Minggu, 29 Januari 2012

[daarut-tauhiid] Hukum Mayoritas dalam Syariat Islam

 

Hukum Mayoritas
dalam Syariat Islam
 
Telah menjadi sunnatullah kalau
kebanyakan manusia merupakan para penentang kebenaran. Maka menjadi ironi,
ketika kebenaran kemudian diukur dengan suara mayoritas.
 
Apa Itu Hukum Mayoritas?
 
Yang dimaksud dengan hukum
mayoritas dalam pembahasan kali ini adalah suatu ketetapan hukum di mana jumlah
mayoritas merupakan patokan kebenaran dan suara terbanyak merupakan keputusan
yang harus diikuti meski bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah.
 
Sejauh mana keabsahan hukum
mayoritas ini? Untuk mengetahui jawabannya, perlu ditelusuri terlebih dahulu
oknum (pengusung)nya, yang dalam hal ini adalah manusia, baik tentang hakikat
dirinya, sikapnya terhadap para rasul, maupun keadaan mayoritas mereka, menurut
kacamata syariat. Dengan diketahui keadaan oknum mayoritas, maka akan diketahui
pula sejauh mana keabsahan hukum tersebut.
 
Hakikat Jati Diri Manusia
 
Manusia adalah satu-satunya
makhluk Allah yang menyatakan diri siap memikul 'amanat berat' yang tidak mampu
dilakukan oleh makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi, dan gunung-gunung.
Padahal makhluk yang bernama manusia ini berjatidiri dzalum (amat zalim) dan
jahul (amat bodoh). Allah berfirman:
 
"Sesungguhnya Kami telah tawarkan
amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh."
(al-Ahzab: 72)
 
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as-Sa'di berkata, "Allah mengangkat permasalahan amanat yang Dia amanatkan
kepada para mukallafin (makhluk yang dibebani hukum syariat), yaitu amanat
menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan, baik
dalam keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat itu kepada
makhluk-makhluk besar; langit, bumi, dan gunung-gunung sebagai tawaran pilihan,
bukan keharusan, 'Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya niscaya ada
pahala bagimu, dan bila tidak niscaya kamu akan dihukum.' Maka makhluk-makhluk
itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, bukan
karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh terhadap
pahala-Nya. Kemudian Allah tawarkan kepada manusia, maka ia pun siap menerima
amanat itu dan siap memikulnya dengan segala kezaliman dan kebodohan yang ada
pada dirinya. Maka amanat berat itu pun akhirnya dipikul olehnya." (Taisirul
Karimirrahman, hlm. 620)
 
Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana, tidaklah membiarkan manusia
mengarungi kehidupan dengan memikul amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka
Dia pun mengutus para rasul sebagai pembimbing mereka dan menurunkan Kitab Suci
agar manusia berpegang teguh dengannya dan mengambil petunjuk darinya. Allah
berfirman:
 
"Sungguh Kami telah mengutus
rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, serta Kami turunkan
bersama mereka Kitab Suci dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan." (al-Hadid: 25)
 
Sikap Manusia terhadap Para Rasul yang Membimbing Mereka
 
Namun, demikianlah umat manusia.
Para rasul yang membimbing mereka itu justru ditentang, didustakan, dan
dihinakan. Allah berfirman:
 
"Yang demikian itu dikarenakan
telah datang para rasul kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, lalu
mereka kafir (menentang para rasul tersebut), maka Allah mengazab mereka.
Sesungguhnya Dia Mahakuat lagi Mahadahsyat hukuman-Nya." (Ghafir: 22)
 
"Jika mereka mendustakan kamu
(Muhammad), maka sesungguhnya para rasul sebelummu pun telah didustakan (pula).
Mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan Kitab yang memberi
penjelasan yang sempurna." (Ali 'Imran: 184)
 
"Sebelum mereka, kaum Nuh dan
golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka telah mendustakan (rasul), dan
tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya.
Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran
dengan yang batil itu, oleh karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya)
azab-Ku." (Ghafir: 5)
 
"Dan sungguh telah diperolok-olok
beberapa rasul sebelum kamu. Maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan para
rasul itu azab atas apa yang selalu mereka perolok-olokkan." (al-Anbiya: 41)
 
Bagaimanakah Keadaan Mayoritas Mereka?
 
Bila kita merujuk kepada
Al-Qur'anul Karim, maka kita akan dapati bahwa keadaan mayoritas umat manusia
adalah:
 
1. Tidak beriman
 
Allah berfirman:
 
"Sesungguhnya (Al-Qur'an) itu
benar-benar dari Rabbmu, tetapi mayoritas manusia tidak beriman." (Hud: 17)
 
2. Tidak bersyukur
 
Allah berfirman:
 
"Sesungguhnya Allah mempunyai
karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas manusia tidak bersyukur."
(al-Baqarah: 243)
 
3. Benci kepada kebenaran
 
Allah berfirman:
 
"Sesungguhnya Kami benar-benar
telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci
kebenaran itu." (az-Zukhruf: 78)
 
4. Fasiq (keluar dari ketaatan)
 
Allah berfirman:
 
"Dan sesungguhnya mayoritas
manusia adalah orang-orang yang fasiq." (al-Maidah: 49)
 
5. Lalai dari ayat-ayat Allah
 
Allah berfirman:
 
"Dan sesungguhnya mayoritas dari
manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami." (Yunus: 92)
 
6. Menyesatkan orang lain dengan
hawa nafsu mereka
 
Allah berfirman:
 
"Sesungguhnya mayoritas (dari
manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka
tanpa ilmu." (al-An'am: 119)
 
7. Tidak mengetahui agama yang
lurus
 
Allah berfirman:
 
"Itulah agama yang lurus, tetapi
mayoritas manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 40)
 
8. Mengikuti persangkaan belaka
 
Allah berfirman:
 
"Mereka (mayoritas manusia) tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah)." (al-An'am: 116)
 
9. Penghuni Jahannam
 
Allah berfirman:
 
"Dan sesungguhnya Kami jadikan
untuk isi Jahannam mayoritas dari jin dan manusia." (al-A'raf: 179)
 
Refleksi terhadap Hukum Mayoritas
 
Dari apa yang telah lalu, kita
pun mengetahui bahwa ternyata oknum mayoritas tersebut (manusia) berjati diri
amat zalim dan amat bodoh. Penentangan mereka terhadap para rasul yang
membimbing mereka luar biasa. Demikian pula mayoritas mereka tidak beriman,
tidak bersyukur, benci kepada kebenaran, keluar dari ketaatan, lalai dari
ayat-ayat Allah, menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu dan tanpa ilmu, tidak
mengetahui agama yang lurus, mengikuti persangkaan belaka, dan penghuni
Jahannam.
 
Demikianlah kacamata syariat
memandang oknum mayoritas. Bila demikian kenyataannya, lalu bagaimana dengan
hukum mayoritas itu sendiri?
 
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab menggolongkan hukum mayoritas ini ke dalam kaidah-kaidah yang dipegangi
oleh orang-orang jahiliah, bahkan termasuk kaidah terbesar yang mereka punyai.
Beliau berkata, "Sesungguhnya di antara kaidah terbesar mereka adalah berpegang
dan terbuai dengan jumlah mayoritas. Mereka menilai suatu kebenaran dengannya
serta menilai suatu kebatilan dengan langka dan sedikitnya orang yang
melakukan...." (Masail al-Jahiliah, masalah ke-5)
 
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
al-Fauzan berkata, "Di antara karakter jahiliah, mereka menilai suatu kebenaran
dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas.
Sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan
yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada
diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini
tidak benar, karena Allah berfirman:
 
"Dan jika kamu menuruti mayoritas
orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." (al-An'am: 116)
 
Allah juga berfirman:
 
"Tetapi mayoritas manusia tidak
mengetahui." (al-A'raf: 187)
 
"Dan Kami tidak mendapati
mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka
orang-orang yang fasik." (al-A'raf: 102)
Dan lain sebagainya." (Syarh
Masail al-Jahiliah, hlm. 60).
 
Demikianlah bila hukum mayoritas
dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin jauh dari hukum Allah, akan semakin
buta tentang syariat Islam, bahkan akan menjadi penentang terhadap hukum Allah
dan syariat-Nya.
 
Para pembaca yang dirahmati Allah,
sesungguhnya masih ada fenomena lain yang perlu dijadikan refleksi, yaitu
digunakannya hukum mayoritas sebagai tolok ukur suatu dakwah. Sebaliknya bila pengikutnya
hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat.
Padahal Allah telah berfirman tentang Nabi Nuh:
 
"Dan tidaklah beriman bersamanya
(Nuh) kecuali sedikit." (Hud: 40)
 
Rasulullah bersabda:
 
"Telah ditampakkan kepadaku
umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya kurang dari 10 orang,
seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang
pun yang bersamanya…." (HR. al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari
hadits Abdullah bin 'Abbas)
 
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah
Alusy-Syaikh berkata, "Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang
berdalih dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu
bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah
mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja." (Taisir
al-'Azizil Hamid, hlm.106)
 
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-'Utsaimin berkata, "Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena
jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan. Allah berfirman:
 
"Dan jika kamu menuruti mayoritas
orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." (al-An'am: 116)
 
Jika kita melihat bahwa mayoritas
penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka.
Jangan pula engkau katakan, 'Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian,
mengapa aku bersikap eksklusif tidak sama dengan mereka?'." (al-Qaulul Mufid
'ala Kitabit Tauhid, 1/106)
 
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
al-Fauzan berkata, "Maka tolok ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu mazhab
atau perkataan, namun tolok ukurnya adalah benar ataukah batil. Selama ia benar
walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya,
maka itulah yang harus dipegang (diikuti), karena ia adalah keselamatan.
Selamanya, sesuatu yang batil tidaklah terdukung (menjadi benar, pen.) karena
banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolok ukur yang harus selalu
dipegangi oleh setiap muslim."
 
Beliau juga berkata, "Maka tolok
ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) ataupun sedikit (minoritas), bahkan tolok
ukurnya adalah al-haq (kebenaran). Barang siapa di atas kebenaran—walaupun
sendirian—maka ia benar dan wajib diikuti. Jika mayoritas (manusia) berada di
atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolok
ukurnya adalah kebenaran. Oleh karena itu, para ulama berkata, 'Kebenaran
tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran.
Barang siapa di atas kebenaran maka ia wajib diikuti'." (Syarh Masail
al-Jahiliah, hlm. 61)
 
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan
Alusy-Syaikh berkata, "Hendaknya seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu
dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu
(dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka
berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh
lagi sesat (yaitu mengikuti mayoritas manusia, pen.) dan tidak mau melihat
kepada apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya." (Qurratu 'Uyunil
Muwahhidin, dinukil dari ta'liq [catatan kaki] Fathul Majid, hlm. 83, no. 1)
 
Bagaimanakah Jika Mayoritas Berada di Atas Kebenaran?
 
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
al-Fauzan berkata, "Ya, jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka
ini sesuatu yang baik. Namun sunnatullah menunjukkan bahwa mayoritas (manusia)
berada di atas kebatilan.
 
"Dan mayoritas manusia tidak akan
beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya." (Yusuf: 103)
 
"Dan jika engkau menuruti
mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah." (al-An'am: 116) [Syarh Masail al-Jahiliah,
hlm. 62]
 
Penutup
Dari pembahasan yang telah lalu,
dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syariat
Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran suatu
dakwah, manhaj, dan perkataan. Tolok ukur yang hakiki adalah kebenaran yang
dibangun di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-Salafush Shalih.
 
Wallahu a'lam bish-shawab.
 
Sumber: http://www.asysyariah.com

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: