MAS, ASEPNYA
DONG...!
Jakarta, Juma'ah 19 Desember
2008
Saya sedang menaiki angkot dari suatu
tempat di Bintaro hendak ke Kebayoran Lama, dan karena sesuatu hal saya tidak
menggunakan motor yang selama ini setia membantu saya mengantar kemanapun saya
pergi. Angkot yang saya naiki masih kosong, hanya ada saya, supir dan seorang
ibu berumur cukup lanjut yang duduk persis di belakang supir menghadap pintu
masuk angkot. Sementara saya duduk di pojok belakang sebelah kirinya supir.
Sayapun duduk dengan santai sambil membuka jendela.
Hari itu memang bukan hari kerja jadi
jalan aga kosong dan penumpangpun tidak terlalu banyak sehingga angkot bisa
dengan leluasa menembus jalan. Tapi rupanya saya salah...selang beberapa menit
melaju, angkot yang saya naiki terpaksa berhenti karena harus mengantri melewati
pertigaan yang tidak ada lampu lalu lintasnya. Sempat ngedumel dalam hati, "coba
tadi naik motor aja ga kaya gini jadinya", tapi yah sudahlah namanya juga
Jakarta dimana sih yang ga macet.
Sinar Matahari siang itu memang cukup
terik, mungkin bener kata orang-orang kalau lapisan Ozone kita sudah bolong,
sehingga sinar Matahari terasa menyengat di kulit.
Beberapa penumpang mulai memasuki angkot
yang saya naiki. Ada yang duduk di samping ibu tua, di pojok sisi kanan dan di
samping sebelah kiri saya. Saya sempat mempehatikan raut muka
penumpang-penumpang yang baru saja naik. Ada kesamaan dari mereka semua, yaitu
raut muka mereka memperlihatkan perasaan yang gerah kepanasan - mungkin menanti
angkot yang tidak kunjung datang di bawah panasnya siang itu. Segera saya buka
jendela lebar-lebar dengan harapan cukup angin yang masuk untuk kita semua di
dalam angkot tersebut.
Angkot masih berjalan dengan
tersendat dan sesekali berhenti karena kendaraan di depannya pun berhenti. Untuk
menghindari kejenuhan, saya masih beruntung karena masih bisa melihat-lihat
kendaraan dan suasana di luar angkot yang saya naiki melalui jendela lebar
permanen yang berada di paling belakang setiap angkot jaman sekarang. Sementara
penumpang yang lain ada yang sibuk memegang-megang ponselnya, ada yang melihat
keluar lewat jendela di samping kepala penumpang lain dan ada juga yang
manggut-manggut kecil sambil denger pemutar musik...."hehehe lucu juga ya segini
banyak orang pada diem semua, ga ada yang ngobrol", kata saya dalam
hati.
Tiba-tiba, saya dikagetkan oleh suara
cukup keras dari suara seorang wanita. "Mas, asepnya dong..."! begitu ujarnya.
Saya mencari sumber suara tersebut, dan rupanya berasal dari ibu tua yang duduk
persis di belakang supir yang sedang menegur sorang lelaki yang duduk dibangku
tambahan menyender ke pintu angkot yang dilipat. Rupanya teguran itu karena
laki-laki tersebut sedang meroko dan karena dia duduk pas di pintu masuk
sehingga asap rokonya sebagian besar masuk ke dalam angkot. Saya sempat sih
mencium aroma asap roko, namun awalnya saya pikir berasal dari luar angkot
ternyata bersumber dari salah satu penumpang angkot ini sendiri.
Rupanya
teguran itu tidak dihiraukan oleh laki-laki yang sedang meroko tersebut. Dia
tidak melakukan apa-apa untuk menanggapi teguran itu dan tetap menghisap
rokonya. "Mas, asepnya dong..."! tegur ibu itu dengan suara lebih keras dari
sebelumnya. "Bentar lagi turun Bu", kata lelaki tersebut dengan nada tak kalah
kerasnya dan tetap meghisap rokonya serta menyemburkan asapnya. Karena angkot
bergerak, maka sekali lagi asap itu tetap tertiup angin masuk ke dalam angkot.
Beberapa penumpang (khususnya yang wanita) menutup mulut dan hidungnya untuk
menghindari asap roko tersebut dan ada pula yang membuka jendela lebar-lebar
agar asap tersebut keluar.
Benar saja tidak lama berselang
beberapa menit, lelaki yang meroko tersebut turun dengan masih tetap menjepit
rokonya disela-sela jari. Huuiiiih...lega rasanya tidak ada asap lagi yang
menyesakkan pernafasan, apalagi ditambah jalan sedikit macet dan udara panas.
Saya jadi teringat beberapa kejadian yang hampir sama seperti kejadian ini, tapi
yang saya tidak habis pikir, kok ada yah orang yang tetap memaksakan kehendaknya
(meroko dalam angkutan umum) padahal dia sendiri tahu pasti akan mengganggu
orang lainnya yang berada pada kendaraan itu. Dan yang parahnya lagi, jika dia
ditegur - banyak diantaranya malah "galakan" mereka. Saya juga masih meroko -
tapi alhamdulillah dan insyaAlloh saya tau tempatnya (memang sih bagusnya
berhenti saja dari kebiasaan ini).
Serupa namun tak sama, juga biasa
terjadi pada saat kita naik angkot, ada penumpang (biasanya wanita) yang duduk
menyerong, sehingga untuk dia sendiri aja memakan banyak tempat padahal kondisi
sedang penuh dan ketika ditegur dia hanya menggesaer sedikit, bukannya
meluruskan duduknya. Belum lagi ada yang bawa barang terlalu besar yang di
letakannya diantara kaki-kaki penumpang lain sudah pasti mengganggu
lainnya.
Dan yang lucunya lagi...kadang ada loh
penumpang yang sedang naik angkot dengan suara keras berbicara/ngobrol panjang
lebar dengan orang lain melalui ponselnya sepanjang perjalanan..
memangnya di hutan.
Sudah sebegitu egoisnyakah kita...?
Sudah sebegitu tidak perdulinya kita pada orang sekitar...? Atau sudah sebegitu
"kerasnya" kah hati kita, sehingga kita melanggar apa yang menjadi hak orang
lain dan juga kewajiban kita yaitu memberikan kenyamanan
bersama.
heru
------------
Kampanye mengembalik
sesama kita
[Non-text portions of this message have been removed]
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar