Minggu, 14 Juni 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2667

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (25 Messages)

1.
HARI INI TERAKHIR KESEMPATAN bikin SKENARIO bareng Penulis QUEEN BEE From: stasiun fiksi FiXiMix
2.
FGD Writers Marketing: Menjadi Penulis Buku. ANGKATAN II From: ayahdinda
3a.
[Catcil] Long Road To The Marriage From: Nursalam AR
3b.
Re: [Catcil] Long Road To The Marriage From: novi_ningsih
3c.
Re: [Catcil] Long Road To The Marriage From: Nursalam AR
4.
[HUMOR] Fakir Missed Call From: Nursalam AR
5.
(catcil) Rumahku Yang Indah From: agussyafii
6.
Bls: [sekolah-kehidupan] INFO WORKSHOP FUN MATH From: Sri Asih
7a.
Re: Hati-hati modus pencopetan baru !! From: novi_ningsih
8a.
Bls: [sekolah-kehidupan] [HUMOR] Fakir Missed Call From: bujang kumbang
8b.
Re: Bls: [sekolah-kehidupan] [HUMOR] Fakir Missed Call From: Nursalam AR
9a.
Bls: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Long Road To The Marriage From: bujang kumbang
9b.
Re: Bls: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Long Road To The Marriage From: Nursalam AR
10a.
Re: Bls: [sekolah-kehidupan] [Donasi Buku] Yuk beramal, yuk, lewat b From: novi_ningsih
11.
Sekuntum sajak sahut-menyahut Buya Hamka dan M. Natsir From: r_widhiatma@yahoo.com
12a.
Re: Bls: [sekolah-kehidupan] [Donasi Buku] Yuk beramal, yuk, lewat b From: novi_ningsih
13a.
Re: KCB Versi baru...[Ketika Cucian Berserakan] From: novi_ningsih
13b.
Re: KCB Versi baru...[Ketika Cucian Berserakan] From: triani retno
13c.
Re: KCB Versi baru...[Ketika Cucian Berserakan] From: rah_ma18
13d.
Re: KCB Versi baru...[Ketika Cucian Berserakan] From: Nursalam AR
14a.
Re: [etalase] Segera Terbit Buku Baru: "Bela Diri For Muslimah" oleh From: novi_ningsih
15.
Re: Ketika Cinta Ditolak From: eko muchayat
16.
Jasa Penerbitan Buku dari HM Publishing From: Bu CaturCatriks
17.
Bls: [sekolah-kehidupan] Re: [etalase] Segera Terbit Buku Baru: "Bel From: bujang kumbang
18.
[ Catcil ] Reuni Keluarga, Ultah Gaya Baru From: hariyanty thahir

Messages

1.

HARI INI TERAKHIR KESEMPATAN bikin SKENARIO bareng Penulis QUEEN BEE

Posted by: "stasiun fiksi FiXiMix" fiximix@yahoo.com   fiximix

Fri Jun 12, 2009 6:07 am (PDT)



HARI INI TERAKHIR KESEMPATAN bikin SKENARIO bareng Penulis Skenario Queen Bee
 
Hari ini, Jumat 12 Juni 2009, adalah hari terakhir pendaftaran Workshop Skenario Film Layar Lebar FiXiMix bersama Ginatri S. Noer, Penulis Skenario Ayat-ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Jelangkung 3, juga Queen Bee.
Buat yang SUDAH DAFTAR, baik pilih sistem diskon atau cicil, terima kasih. Besok (Sabtu, 13 Juni) adalah batas waktu terakhir pengiriman ide cerita (sinopsis) untuk yang belum kirim.
Bagi yang BELUM DAFTAR, TIDAK USAH DAFTAR kalau TIDAK MAU DAPAT KESEMPATAN TERPILIH MASUK TIM SKENARIO utk garap film-film Gina.  :D ;)
Akan dipilih 3 (tiga) peserta terbaik Workshop untuk bersama-sama menggarap film Gina berikutnya. Punya nyali, dong?
Workshop digelar tiap Sabtu, mulai 20 Juni – 25 Juli 2009 (@ 3 jam)
 
Lokasi:
NewSeum Cafe, Jl. Veteran I, No. 33, Silang Monas - Gambir, Jakarta Pusat (dekat Es Krim Ragusa, samping Masjid Istiqlal)
 
Materi:
Langkah-langkah Penulisan Skenario [Premis, Alur], Karakter, Pendekatan Sekuens, Membuat Scene Plot, Nonton film untuk Perdalam Pendekatan sekuens, Mempertajam Turning Point di antara Sekuens dan Pembabakan (dengan melihat contoh-contoh dari film dan membahasnya), Membaca dan Menganalisa Pendekatan Sekuens sebuah Film, Deskripsi dan dialog, Membuat Treatment, Konsultasi Tugas.
 
Fasilitas:
Modul, Sertifikat, Menu Spesial Cafe, Info Networking, dan Kesempatan menjadi Tim Penulis Skenario Profesional bagi 3 peserta terbaik.
 
Biaya:
Registrasi: Rp   200.000, Workshop: Rp 1.600.000 (Dapat dicicil 3X hingga pertemuan ke-3).  
 
Daftar sekarang. Kirimkan Formulir dan Sinopsis/Cerpen maksimal 2 halaman. Formulir dapat di-download di  http://fiximix.multiply.com/journal/item/101/Workshop_Penulis_Skenario_Ayat-ayat_Cinta_di_FiXiMix
 
Pembayaran dilakukan tunai atau transfer ke BNI cab. Dutamas Fatmawati, Jakarta Selatan. No. Rek. 0128028320  (atas nama Henny Purnama Sari), kalau sudah transfer mohon telp./SMS).
Formulir dan biaya workshop paling lambat sudah diterima FiXiMix Sabtu, 12 Juni 2009. Ide Cerita/Sinopsis/Cerpen paling lambat diterima: 13 Juni 2009. Keterangan lebih lanjut hubungi 021 713 90 682 (Yunie), 0813 864 76500 (Deniya), 0815 956 2258 (Henny).
Sampai ketemu di kelas!
 
FiXiMix, stasiun fiksi
Novel-Komik-KumCer-Skenario-Film-Games
Toko*Rental/Perpus*Diskusi*Pelatihan*Pertunjukan*Publikasi*Eksperimentasi

Jl. Desa Putra No. 74 A, Alber - Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640
Tel. 021-713 90 682, 0815 956 2258
e-mail : fiximix@yahoo.com
friendster/facebook: fiximix@yahoo.com --> http://profiles.friendster.com/fiximix
milis : mafia-fiksi@yahoogroups.com
blog : http://fiximix.multiply.com

FiXiMix
Fiksikan dunia!

2.

FGD Writers Marketing: Menjadi Penulis Buku. ANGKATAN II

Posted by: "ayahdinda" arulkhana@yahoo.com   kang_arul

Fri Jun 12, 2009 6:07 am (PDT)




Sehubungan dengan sudah terpenuhinya kuota FGD Writers Marketing: Menjadi Penulis Buku untuk 30 orang per tanggal 11 Juni 2009 dan semakin banyaknya permintaan untuk menjadi peserta, maka dengan ini MENULISYUK KOMUNIKATA membuat pembukaan untuk Angkatan II
 
WRITERS MARKETING: merupakan perpaduan antara kemampuan WRITING
(menulis) dengan aspek MARKETING (menjual) yang dikombinasikan dengan
kemampuan COMMUNICATION (berkomunikasi) dan PROMOTION (melakukan
promosi)

WRITERS MARKETING membongkar pemahaman tradisional
tentang dunia kepenulisan. Bahwa menulis bukan hanya mengandalkan
keahlian menghasilkan karya semata, melainkan strategi menembus seleksi
naskah penerbit, mencari momentum naskah buku, mengetahui keinginan
penerbit, hingga memasarkan buku.

"Diskusinya sangat menarik.
Saya jadi banyak tahu bahwa mempelajari komunikasi antarpribadi
ternyata sangat berguna untuk saya berhubungan dengan pihak penerbit" (Aji, Mahasiswa UIN Jakarta)

"Ini beda! Memberi Pencerahan" (Staf Sekolah Lazuardi, Depok)

"Segar,
lucu, menarik, unik, dan banyak info-info baru yang saya dapat.  Thanks
for the Knowledge. Especially about start wwriting from the middle or
from the ending." (Diana, Guru Swasta-Jakarta)

Ikuti Focus Group Discussion WRITERS MARKETING: Menjadi Penulis Buku pada
Minggu, 28 Juni 2008 pukul 09.15 wib. Bertempat di Gedung ABS (Aisha
Bahasa Sastra) Lantai 3 Jalan Pondasi No 50, Kp Ambon - Rawamangun,
Jakarta Timur.

Kegiatan ini GRATIS/Tidak Dipungut Bayaran. Sangat diutamakan bagi
guru, buruh, dan wanita. TEMPAT SANGAT TERBATAS. Hanya 30 orang.

Bagaimana cara berpartisipasi?
1. Lakukan registrasi lewat email dengan mengisi form di bawah ini
2. Kirim ke info@menulisyuk.com  subject : WM Menjadi Penulis Buku Angkatan II
============================================
FGD Writers Marketing jadi Penulis Buku Angkatan II

Tanggal : Minggu, 28 Juni 2009
Nama     :
Alamat    :
Kontak Email :
         Mobile :
Karya :
=============================================

Batas akhir pendaftaran pada 20 Juni 2009, namun jika kuota terpenuhi maka pendaftaran segera ditutup!
 
Untuk informasi selanjutnya dapat menghubungi
Yanuardi Syukur 081342404140
RW Dodo 081585857114

Best Regards,

.MENULISYUK KOMUNIKATA.
Bussines Contact : +62 812 8749 407
Private Contact     : +62 817 8040 88
e-mail Business    : redaksi @ menulisyuk.com
Situs : www.menulisyuk.com

3a.

[Catcil] Long Road To The Marriage

Posted by: "Nursalam AR" pensilmania@gmail.com

Fri Jun 12, 2009 6:07 am (PDT)



*Long Road To The Marriage**

*Oleh Nursalam AR*

*Mencari Cinta*

*Malam merayap siput. Hujan menderap*

*Sepi meranggas hati. Dingin mendekap naluri*

*Mata susah pejam, angan layang liar*

*Kuraba sisi kasur. Kosong*

*Kapankah ia berpenghuni?*

*Hanya Takdir yang tahu*

*Sebagaimana pengetahuanNya akan rizki dan mati.*

(*Elegi Lajang*, 2002)

Puisi buah karyaku sendiri itulah yang menemani malam-malamku sebagai
lajang. Menjadi lajang adalah berada dalam medan daya tarik-menarik antara
keinginan dan pilihan. Banyak keinginan namun banyak pula pilihan.* *Menurut
Pramoedya Ananta Toer dalam *Bumi Manusia*."Kadang manusia dihadapkan pada
sebuah pilihan dalam hidupnya. Jika tidak memilih saat itu ia tidak mendapat
apa-apa." Kurang lebih seperti itu bunyinya.

Ya, memilih! Buat seorang peragu tentu alangkah beratnya. Buat seorang
sembrono atau *slebor* sama juga sulit. Yang berbeda adalah reaksi mereka.
Si peragu akan tercenung lama dan kadang menyebalkan banyak orang karena
banyaknya waktu untuk memikirkan pilihan yang akan diambil. Si sembrono
justru akan tergesa-gesa mengambil pilihan tanpa masak-masak dipikir. Untuk
kemudian menyesal. Si peragu juga kerap menyesal karena ia kehilangan
momentum. Bukankah segala sesuatu itu indah pada masanya? **

"Ih, sudah ditawarin *akhwat *yang pernah jadi *cover girl* majalah malah
nolak. Kenapa sih?!"

*Ini s*ebetulnya karena minder, ketika seorang kawan menyodorkan pilihan. *
Subhanallah*, cantik nian. Gadis keturunan Arab yatim piatu dari keluarga
mapan. Lulusan ITB. Lebih muda dua tahun saja. Hm..kenapa ditolak? Entahlah,
aku hanya mengikuti alarm intuisiku saja. Minder seperti kataku? Bisa jadi.
Hanya saja aku tidak merasa ada *chemistry* yang sama dengan sekadar melihat
foto saja.

Sebagian temanku hanya tertawa. "Ah, mau nikah aja repot banget!" ledek
mereka. Trauma? Mungkin juga. Dulu kakekku, ayah dari bapak, menikah dengan
gadis keturunan Arab. Beda status pula. Tapi karena perbedaan status, mereka
dipaksa cerai dan meninggalkan seorang anak tunggal: ayahku.

Setelah itu Nek Masenun--sebutanku untuk sang nenek yang tak pernah kulihat
fotonya itu--dinikahkan dengan seorang yang "*sekufu*", setara. Seorang
saudagar kaya dari Arab. Pernikahan mereka tak lama, tak berbuah anak. Saat
itu di era Jakarta 1930an stereotipe soal etnis Arab yang sangat eksklusif
masih sangat kental. Sialnya, kakekku hidup pada zaman itu. Ia hanya penarik
perahu tambang alias perahu *eretan* di Kali Ciliwung. Konon, cerita
almarhum ayahku, kakek seorang yang tampan.

* *

*Bertemu Cinta, Menanti Jodoh*

2007.

Kini saat setidaknya ada sebuah titik cerah ketika seorang gadis bersedia
berkomitmen mendampingi hidupku, apakah puisi di awal tulisan ini akan mati
riwayatnya? Ternyata tidak.

Beberapa bulan sebelumnya. Jam delapan lewat dua puluh satu menit. Malam.

�Ada pesan dari Mama,� ujar gadis manis berjilbab dengan senyum lucu itu.

Aku berdebar. Benakku sibuk menerka kira-kira apa pesan sang Mama setelah
kunjunganku malam itu. Ia seorang janda awal lima puluh tahunan yang
suaminya wafat hanya berselang dua jam setelah ayahku wafat pada 8 September
2006. Entahlah apakah itu suatu kebetulan yang merupakan pertanda antara aku
dan putrinya.

�Apa kata Mama?� sambutku setelah menghela nafas, menguasai diri yang
mendadak gugup.

�Tapi jangan marah ya..�

Hm�apalagi nih? Benakku kian sibuk menerka. Ribuan kombinasi probabilitas
berseliweran hadir dengan cara permutasi atau mutasi. Rasanya otakku jadi
penuh.

�Halo?!�

Ufs! Aku lupa aku sedang bercakap di telepon. Jadi tak mungkin dia
mengetahui gundahku hanya melalui mimik wajah.

�Ya, nggak marah kok. Cerita aja,� tukasku sok mantap. Padahal deg-degan.

�Bener ya nggak marah?� Suara lembut itu kembali bertanya. Duh, bikin
penasaran aja!

�Iya, kagak�� *Tuh*, keluar *deh *logat Betawiku!

Tawa kecil di seberang meledak. Kemudian hening. Satu..dua�tiga�Diam-diam
hatiku menghitung kapan bom itu meledak.

Si gadis bercerita perihal diskusi keluarganya setelah kunjunganku malam
itu. Aku terperangah. Benar, itu bom! Setidaknya demikian yang kurasa.
Terkejut, paling tidak karena efek Doffler ledakannya.

�Salam kan orang Betawi? Kamu sudah yakin?�

�Emang kenapa?�

�Orang Betawi kan tukang kawin. Sukses dikit udah kawin lagi. Liat aja teman
kakak!�

�Kan nggak semua. Tiap orang beda.�

�Itu sekarang waktu dia belum mapan. Coba aja kalo sudah lebih kaya!�

�Sudah-sudah, nanti Mama titip tanya buat Salam apa dia mau poligami nggak.
Disampaikan ya!�

Hening.

�Bang, kok diam? Marah ya?� Suara lembut itu terdengar khawatir.

�Nggak. Cuma rada kaget aja.�

Aku tersadar mendengar tuturannya soal diskusi seru keluarganya tentang aku.
Aku siuman setelah terkena bom itu. Ya, bom stereotipe!

Aku memang berayah-ibu Betawi asli dan tinggal pun *sejek bujeg* di Jakarta.
Sementara si Gadis beribukan asli Lampung dan ayah berdarah Palembang
blasteran Cina. Konon dari garis ibunya ada darah Banjarmasin dan Padang.
Sangat Indonesia bukan?

Wajar jika muncul stereotipe atau pandangan miring mengenai hubungan kami.
Jangankan dengan orang yang sama sekali berbeda suku atau etnis. Dengan
seseorang yang punya darah suku yang sama saja muncul stereotipe yang sama.
Ia gadis Betawi campuran Sunda. Bisa dikatakan ialah cinta pertamaku. Namun
cinta itu kandas tak berakhir mulus. Ibunya menolak lamaranku dengan alasan
�belum mapan� dan stereotipe yang melekat pada orang Betawi: �pemalas� dan
�tukang kawin�. Duh!

Ikhtiarku tak berhenti begitu saja. Ketika ikut sebuah pengajian,
melalui *murobbi
*alias guru ngaji, aku mengajukan �proposal� untuk seorang *akhwat* teman
seangkatanku semasa kuliah. Fisiknya biasa saja namun aku kagumi semangat
dakwah dan komitmennya dalam beramal. Namun, setelah menunggu jawaban nyaris
dua bulan lamanya, ia menolakku�melalui jawaban lisan dari sang
*murobbiyah*�karena
dianggap �kurang sholeh�. Ah, nasib!

�*�Afwan *ya, Lam. Sebetulnya si *akhwat* udah mau. Dia kan seangkatan *
antum*. Jadi tahu kiprah *antum* di organisasi kampus. Tapi setelah dilacak
ternyata *antum* pernah pacaran ya? Nah, itu poin yang memberatkan. Jadi,
atas rekomendasi murobbiyahnya, *antum* ditolak.� Itu jawaban sang
*akhwat*melalui lisan murobbiku.

Saat itu guruku berusaha menyampaikan dengan hati-hati dan empati. Namun apa
pun bentuk penyampaiannya, hatiku terlanjur luluh-lantak.Ya Allah, rasanya
aku punya stempel dosa di dahi yang tak terhapus. Kisah pertemuan dengan
�cinta pertama� yang sudah beberapa tahun lewat jadi bayang-bayang yang
menghambat perjodohanku. Dua *ta�aruf *berikutnya juga bernasib sama. Bahkan
tanpa alasan yang jelas. Ya, sudahlah!

Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Gadis. Awalnya kami sahabat pena
selama lima tahun. Tanpa ada tendensi apa-apa. Aku mengenalnya melalui
rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam. Karena hobinya membaca, aku
sering kirimi ia tulisan-tulisanku. Dan ia seorang kritikus yang baik. Kami
mendiskusikannya via telepon dan email. Awalnya tidak ada rasa apa-apa.
Hanya saja ia memang teman diskusi yang enak.

�Lam, carikan aku calon istri dong!� pinta seorang kawan. Ia teman SMA-ku
dulu. Saat itu kami juga terikat hubungan bisnis.

�Kamu serius?�

Ia mengangguk.

Aku terdiam sejenak. Sebagai penerjemah yang hobi menulis, banyak kenalanku
baik pria maupun wanita. Namun kira-kira adakah yang cocok dengan selera
sobatku ini?

�Maunya seperti apa?�

Ia pun menuturkan standar gadis yang diinginkannya. Hm�cukup ideal memang.
Tapi, *bismillah*, aku coba.

�Oh ya, coba aja kalian kenalan dulu,� ujarku setelah mengusulkan nama
Gadis. �Orangnya baik dan enak diajak ngobrol.�

�Cantik tidak?�

Deg. Aku tertegun. Cantik? Aku tak pernah mempermasalahkan itu sebelumnya.
Aku hanya mengetahuinya dari sebuah foto ukuran 2 x 3 di sebuah majalah. Itu
pun tak begitu jelas. Tapi apakah penting?

�Ya, penting dong, Lam,� tukas sang kawan ngotot. �Itu syarat penting tuh
buat cowok!�

Aku terdiam lagi. �Coba ketemuan aja dulu. Kayaknya cantik kok. Suaranya aja
merdu.� Ia mengangguk. Dengan garansi dariku ia mau menghubungi Gadis. Aku
sudah bertindak sebagai mak comblang yang baik.

Sebulan berlalu. Aku menunggu kabar dari sang kawan. Namun tak juga ada
kabar darinya. Lantas sebagai mak comblang aku meneleponnya untuk memastikan
keseriusan niatnya. Karena sebagai perempuan, Gadis hanya bisa menunggu *to*
?

�Gimana? Sudah ketemuan kan? Cocok tidak?�

Ia menghela nafas. �Seminggu pertama ngobrol via telepon sih cocok
banget. Wawasannya
luas dan humoris. Terus janji ketemuan. Sayang orangnya tidak cantik.�

Ah, cantik itu memang relatif. Di abad pertengahan, perempuan berbadan gemuk
dianggap cantik namun kini justru seakan jadi gambaran momok yang mengerikan
bagi perempuan. Perempuan kini ingin langsing seperti gambaran model artis
dan selebritis yang dicitrakan media massa. Sudah langsing pun belum tentu
jaminan dianggap cantik. Ada syarat lagi untuk wajah: berkulit putih mulus,
tanpa jerawat dll.

Karena penasaran, untuk pertama kalinya, aku meminta waktu bertemu dengan
Gadis. Aku ingin tahu seperti apa si Gadis sehingga kawanku menolaknya
karena alasan tidak cantik. Dan memang benar cantik itu relatif. Atau
mungkin karena aku tidak terlalu mempermasalahkan soal fisik?

Benar juga seperti kata artis Syahnaz Haque bahwa orang yang tidak
mempermasalahkan soal fisik akan bertemu orang yang berpandangan sama.
Pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan berikutnya hingga pertemuan
penting pada malam tersebut. Meski awalnya ada keraguan dari ibunya soal
status pekerjaanku yang bukan orang kantoran dan soal stereotipe etnis, kami
meniatkan �segala sesuatu akan indah pada waktunya�. *Bismillah*. Kami pun
sedang menghitung hari lamaran atau khitbah.

*Meminang dengan Pena
***

Orang bilang penulis itu tak pernah kehabisan kata. Tapi rasanya tidak juga.
Toh, ia juga manusia yang pada suatu titik tertentu dalam hidupnya
kehilangan perbendaharaan kata karena gemuruh rasa di dada.

Tidak percaya? Percaya sajalah. Karena aku sendiri yang mengalaminya.

"Katanya suka nulis ya, Mas?" sapa lelaki berkumis berwajah ramah tersebut.
Aku tersenyum. Itu pertanyaan keseribu sekian dalam hidupku.

"Saya selalu kagum dengan para penulis. Orang yang bisa menulis berarti
berwawasan luas," ujar sang lelaki tersebut. Aku kembali tersenyum. Kali ini
kurasa kian lebar. Tapi aku tidak bereaksi lebih lanjut. Bukan apa-apa.
Bukan sariawan. Bukan pula sombong. Siang itu tertunai sebuah hajat hidupku:
ada gadis yang bersedia menerima lamaranku. Di sebuah rumah asri di batas
kota Jakarta. Dan sang lelaki pengagumku itu (semoga tak salah dugaanku)
adalah juru bicara dari pihak keluarga sang gadis. Salahkah jika hatiku
bergemuruh dan lidah kelu setelah acara itu?

Rasanya aku ingin menyepi, merenungi dan bertakbir. Ada seru di hati:
*Alhamdulillah,
Ya Allah! Ada juga gadis yang menerima lamaranku!* Mungkin terlalu remeh
buat sebagian orang. Tapi sebagai lajang di penghujung dua puluhan yang tiga
kali lamarannya ditolak orang, peristiwa hari ini patutlah dicatat dalam
diary istimewa di palung hati terdalam.

"Sudah menulis di mana saja, Mas?" Kembali sang jubir ramah "mengganggu"
keasyikanku bertamasya syukur. Aku menarik nafas sejenak. *Harus kumulai
dari mana?* pikirku. Wajah sang jubir dengan kumis *a la* Roy Suryo terlihat
antusias menunggu jawabanku. *Ah, berarti pertanyaannya serius*, batinku.

"Insya Allah, di akhir tahun ini ada beberapa buku saya yang diterbitkan,
Mas," ujarku dengan berupaya mengangkat balok besar yang menghimpit lidah.
Mulailah aku bercerita tentang proyek menulisku yang sebenarnya tak seberapa
dibandingkan beberapa kawan penulis lain. Tapi untuk yang bukan penulis
seperti Mas Bambang, sang jubir, itu sudah cukup mengundang decak kagumnya.

*Ah, moga saja itu bukan suara cicak di dinding*, batinku. Dan moga saja
kepalaku tidak menyundul langit-langit atas decak kagumnya yang sejenak aku
curigai sekadar basa-basi. *Ah, Nursalam, masih saja kamu tidak percaya
diri!*

Mas Bambang lantas menjelaskan betapa ia suka membaca dan ingin bisa
menulis. Tak lama topik berganti dengan ceritanya tentang buku-buku yang
suka dibacanya. *Ah, ia pembicara yang baik*. Pintar menarik perhatian teman
bicara dengan sesuatu yang disukainya lantas menariknya ke dalam topik yang
ingin ditujunya. Dan ia melakukannya dengan mulus. Dan aku senang-senang
saja. Atau mungkin *mood*ku sedang bagus karena terbayang sebuah senyum
gadis berjilbab yang menerima penyematan cincin di jari manisnya oleh salah
satu bibiku yang mewakili pihak keluargaku.

Ya, sebuah cincin emas seberat 3,3 gram berkadar 23 karat. Bukan harganya
yang terutama--kendati itu juga penting karena saat dibeli harga emas sedang
tinggi-tingginya--tapi karena ia dibeli dengan hasil pena. Ia kubeli dengan
tagihan hasil terjemahan yang aku minta lebih awal dari klienku dan
hanya dua hari sebelum hari *khitbah* atau lamaran. Sehari berikutnya
berkeliling toko emas di Jatinegara dan Pasar Minggu untuk cari model cincin
yang cocok dan terutama pas dengan *budget *seorang penerjemah pemula yang
pas-pasan.

"Emang kamu mau bawa uang seserahan berapa banyak, Lam?" tanya kakak-kakakku
beberapa hari menjelang khitbah. Ya, proses khitbah ini hanya disiapkan
sepekan. Itu pun hanya total tiga hari bersih siapkan transportasi, undang
keluarga besar dan beli cincin. Karena dua pekan penuh aku harus berkutat
dengan proyek terjemahan yang memaksaku duduk bekerja dari *ba'da* subuh
hingga subuh lagi. Hingga migren, tamu rutinku, tiga kali menerpa. *Duh,
begini ya perjuangan orang mau serius nikah*, demikian aku membatin
menguatkan semangat. Ketika jam telah banyak berlalu namun masih saja
tumpukan dokumen kontrak bisnis dengan bahasanya yang "kering" teronggok di
samping komputer kreditanku.

"Belum," jawabku tenang. Aku tatap wajah kakakku yang terperangah. Mungkin
mereka berpikir aku bercanda. Karena umumnya--dalam tradisi Betawi--khitbah
atau lamaran sudah disertai dengan bawaan uang untuk calon istri yang
dilamar. Minimal semacam uang muka. Namun, puji syukur bagi Allah yang
memudahkan, keluarga sang gadis tidak mensyaratkan itu. Mungkin juga
diam-diam tahu tumpukan tagihan utangku--salah satunya karena kegagalan
bisnisku di masa lalu yang harus ditebus. Ditambah lenyapnya asset usaha
penerjemahanku diterjang banjir pada Februari 2007.

"Yang penting keluarga besar Salam datang," ujar sang Mama. Entahlah apakah
beliau iba dengan aku yang yatim piatu, kurus dan berpenghasilan tak tetap
yang konon sebagai pelamar "termiskin" di antara sekian banyak pelamar yang
berminat dengan anak gadis satu-satunya itu. Ketika aku muncul pertamakali
di rumah asrinya beberapa bulan lalu untuk bersilaturahmi, ia terlihat
berusaha menyembunyikan kekagetannya ketika aku jawab aku naik angkutan
umum. Sejak itu pertanyaan, "Bawa apa ke sini?" tak pernah terluncur dari
mulutnya saat silaturahmi-silaturahmi berikutnya. Mungkin beliau sudah
maklum jika naik angkutan umum berarti bawa supir, kenek dan para
penumpangnya. Komplit.

Belakangan aku ketahui, berdasarkan analisisku dan keterangan dari
sumber-sumber tepercaya, salah satu faktor yang membuatku lumayan diterima
baik adalah karena aku penulis. Memang strategi awalku adalah menghadiahinya
buku-buku atau media cetak yang memuat tulisan-tulisanku. Dan sangat
kebetulan sekali salah satu paman sang gadis pernah aktif menulis di majalah
kampus dan dalam keluarga besarnya ia cukup dihormati karena posisi
"uniknya" itu. Mungkin ini yang namanya *hallo effect*, renungku dalam suatu
kesempatan.

Pertemuanku dengan sang gadis yang kini aku ikat dengan sebuah cincin--demi
sebuah momen besar berikut di akhir tahun ini--juga karena pena. Aku
mendapati fotonya terpampang pada rubrik sahabat pena di sebuah majalah
Islam pada tahun 2000. Entah mengapa aku tergerak untuk menyuratinya. Belum
ada rasa saat itu. Semata-mata yang menggerakkanku adalah satu nama tempat
yang asing bagiku, tapi menggelitik: PLAJU. Ya, itu tempat kelahiran sang
gadis. Yang belakangan kuketahui ia cuma numpang *brojol *saja di sana
karena pekerjaan ayahnya yang harus berpindah-pindah lokasi sebagai karyawan
Pertamina.

Ya, karena pingin tahu tentang nama daerah yang seakan berada di penjuru
antah berantah itu aku surati dia. Cukup romantis jika dikenang. Di tahun
2000an kami berbalas-balasan surat--meski diselingi dengan email alias
ratron--persis seperti tokoh dalam novel *Tenggelamnya Kapal Vanderwijck*-nya
Buya Hamka menjalin kasih. Tapi saat itu tak ada kata cinta tersurat. Aku
yang saat itu berusaha menerapi diri yang lumpuh menulis bertahun-tahun dan
tak berani (lagi) mengirimkan tulisan ke media menjadikannya sebagai
pembaca pertama dan setia tulisan-tulisanku. Bermula dari pertanyaaan
tentang letak Plaju--yang ternyata sebuah kota kecil di Sumatera
Selatan--hingga kritik konstruktifnya atas tulisan-tulisanku yang saat itu
mayoritas cerita pendek.

Perkawanan via surat berlanjut hingga 2005 tanpa pernah sekalipun ada
pernyataan rasa tersurat atau pertemuan tatap muka. Sempat terjeda sebentar
beberapa bulan karena kesibukanku. Juga karena aku kehilangan alamat
emailnya dan juga nomor kontaknya yang lain pada banjir 2002. Ia pun, entah
kenapa bisa sama, kehilangan nomor kontakku. Hingga takdir mempertemukan
kembali pada medio 2006. Sekitar dua bulan menjelang kematian ayahku dan
papanya yang hanya berselang dua jam pada hari yang sama sekitar *nisfu
sya'ban*.

Takdir juga yang membuatku bernyali menghadap ibundanya. Meski saat itu
tersiar kabar sang gadis hendak dijodohkan dengan salah satu sepupu jauhnya
yang lulusan S-2 sebuah universitas agama negeri di Jawa Barat, dan seorang
PNS pula. Sementara siapa pula aku? Pemuda dari garis keturunan beda etnis
yang kendati pernah *nyantrik* di UI namun tak tuntas dan harus berjuang
dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Mulai dari jualan koran,
mengajar bahasa Inggris, sekretaris LSM sampai wartawan *freelance* dan
akhirnya penerjemah lepas semata-semata dilakoni demi menyambung nafas
kemandirian.

Namun rasanya itu terbayar impas ketika pada suatu titik waktu sang gadis
bilang salah satu poin kelebihanku hingga ia tak lagi menolak seperti sekian
pinangan yang bertubi-tubi datang sebelumnya adalah karena aku bisa menulis.
Dan ia pengagum tulisanku. *Ah, amboi, alangkah beruntungnya para penulis
jika semua gadis demikian adanya!* Namun perjalananku ke depan masih
panjang. Jika Allah izinkan maka suatu hari di penghujung tahun ini adalah
momentum awal kedewasaanku. Secara pribadi, aku selalu mengukur tingkat
kedewasaan seseorang termasuk diriku dari berani tidaknya seorang lelaki
berkomitmen serius menikahi perempuan. Semuda apapun sang lelaki,
dan seberapa pun mendasarnya tingkat pendidikan atau rejeki yang ada
padanya.

Ada suatu keinginan di palung hati yang terdalam bahwa aku ingin
menghadiahinya mahar sebuah buku karyaku selayaknya Bung Hatta memberikan
mahar buku *Pemikiran Yunani *yang ditulisnya kepada sang gadis idaman,
Rahmi Hatta. Adakah Allah izinkan itu terpenuhi? *Wallahu a'lam bisshawwab*.
Seperti syair lagu rakyat Swahili di pedalaman Afrika, "Hidup adalah
perjuangan, dan kalah atau menang adalah urusan Tuhan." Termasuk perjuangan
menghadapi kegelisahan tahapan berikutnya pasca pinangan yang diwakili lewat
sebuah pertanyaan, "Sudah ada uang berapa untuk resepsi nikah?"

Aku diam-diam tersenyum. Sederet *plan *A dan B berputar di kepala. Tak
heran belakangan migrenku kerap kambuh baik karena kejar setoran atau
gangguan kegelisahan tersebut. Namun aku meyakini seperti nasihat ibu calon
mertua yang selalu bilang,"Percaya saja pada Tuhan. Kayak tidak punya Tuhan
saja!"

*Ya, aku percaya pada Tuhan, Mama. Nah, calon istriku, seperti halnya
sahabat Nabi yang meminang istrinya dengan sekerat cincin besi, maukah kau
menerimaku dengan sebatang pena bertintakan cinta yang diraut dari kayu
pohon cita-cita? *

Ya, ingin aku bisikkan itu di malam-malam permenunganku dalam penantian. Di
antara jeda rehat begadang malam demi mengejar tenggat pekerjaan yang
berjatuhan bagai air hujan. Seperti hujan, ia pun bervariasi mulai dari
tandus, gerimis hingga hujan deras.

Ya, meminang dengan pena. Hatiku gerimis merincis mengenang kenekatanku
sebelum sembilan September yang bersejarah kemarin. Namun belum layak dada
bungah sebelum takdir yang lebih kuat mengikat. Akan butuh banyak doa untuk
menjemput takdir yang satu itu. Jika sebelum pinangan, aku khusus minta doa
dari salah satu teman SMA-ku yang berumroh agar ia mendoakanku di depan
Multazam maka kali ini aku butuh doa dari semesta. Seperti sebuah sms bijak
dari seorang Teha Sugiyo, sang motivator dari Bandung, "Jika niat dan
komitmen sudah dipancangkan maka semesta akan menyambut."

*Wahai semesta, sambutlah niat suciku!*

*Ya Allah yang menguasai semesta, jadikan aku kuat dengan segala titipan
kekuatan-Mu yang ada, dan bukan sekadar kenekatan tanpa iman yang berkelana
berputus-asa dan tumpas digulung masa!*

* *

*License To Wed***

Mengurus pernikahan itu susah-susah gampang. Seorang teman bilang bahwa
pernikahan itu tergantung cara kita memandang. Dipandang susah ya susah,
dipandang gampang ya jadinya gampang. Termasuk mengurus administrasi
perizinannya. Seperti judul film Warkop DKI: *Susah-Susah Gampang*. Tapi,
lanjut seorang teman yang lain, jika sudah dijalani ya jadi gampang. Seorang
pemuda yang sudah khidmat mendengarkan petuahnya jadi rada dongkol sambil
membatin,�Ya, iyalah!�. Tapi, tak heran, ini masih mengutip kata orang,
bahwa orang yang sudah menikah lebih mudah untuk menikah lagi ketimbang
lajang �yang notabene miskin ilmu dan pengalaman, dan materi pula�untuk
menikah pertamakalinya. Entahlah, terserah percaya atau tidak. Konon, itu
teorinya.

Singkat cerita, di suatu sore hari kerja, seorang pemuda dan seorang gadis
berjalan kaki ke sebuah Kantor Urusan Agama (KUA) di bilangan Jakarta
Selatan yang letaknya mepet dengan Depok, Jawa Barat. Langkah pasangan itu
gontai. Plus wajah cemberut. Maklum, mereka habis *long march* 300 meteran
dari ujung jalan utama. Awalnya, waktu mereka bertanya kepada seorang lelaki
yang nongkrong di ujung gang setiba turun dari angkot, apa jawab sang
lelaki?

�KUA? Dekat kok. Terus lurus aja!�

Dengan *husnuzon* tinggi, sekaligus mengirit ongkos, keduanya menampik
tawaran gerombolan tukang ojek yang sudah dengan baik hati menghangsurkan
motor mereka. Kedua sejoli itu berjalan mantap. Mereka terus berjalan dengan
asumsi �dekat� adalah sekitar maksimal 50 meter. Mereka berjalan terus.
Terus, dan terus, dan kian lama jalan kian panjang bagai coklat *Choki-Choki
*. Alamak! Ini *mah* sudah kelewatan dari kategori dekat, keduanya membatin
sembari berpandangan.

Pasangan itu berhenti sejenak di tepi jalan panjang lurus yang rimbun dan
sepi. Mau naik ojek? Kadung jauh betul. Mau jalan? Tidak jelas seberapa
�dekat� lagi. Bertanyalah keduanya kepada seorang warga setempat. Setelah
bertanya dengan teknik interview yang lebih canggih, didapatlah info bahwa
�target operasi� sudah dekat, sekitar 100 meter lagi di ujung tikungan.
Alhasil, dengan meneguhkan niat, sampailah mereka di depan sebuah kantor
instansi pemerintah yang nyaris tertutup rimbunnya pepohonan. Maklum, KUA
yang satu ini tak jauh dari Setu Babakan, pemukiman budaya Betawi yang
diresmikan pemda DKI beberapa tahun lalu.

Apakah perjuangan keduanya mencatatkan pernikahan hari itu berhasil?

Jam menunjukkan pukul 14.30 WIB. Para pegawai KUA sebagian sudah terlihat
bersantai. Seorang wanita pegawai di meja yang menghadap ke arah pintu
tengah memberesi isi tasnya. Namun buku besar di hadapannya masih terbuka
lebar. Ah, masih ada kesempatan, batin sang pemuda yang hari itu terpaksa
membolos dari jadwal kerjanya di sebuah rumah produksi sitkom untuk
mengurusi macam-macam persiapan nikahan mulai dari cetak foto hingga *
editing* kartu undangan.

Setelah si ibu pencatat ramah berbasa-basi, sepasang muda-mudi itu
mengutarakan niat untuk mencatatkan pernikahan. Dalam hitung-hitungan
mereka, jika jadwal resmi kantor pemerintah sampai pukul 17.00 WIB maka
dapatlah mereka mencatatkan jadwal pernikahan sekaligus mendapatkan penghulu
untuk hari H nanti. Dengan percaya diri, sang pemuda menyodorkan surat
numpang nikah yang diurusnya dengan �jasa� ketua RT, RW, Kelurahan hingga
KUA di tempat asalnya.

�Baik. Si Mas sudah lengkap surat-suratnya. Mbak mana suratnya?�

�Surat apa?� tanya si gadis bingung.

Setengah heran, si ibu menjelaskan bahwa tidak hanya pihak laki-laki yang
harus mengurus surat numpang nikah tapi pihak perempuan juga harus mengurus
surat pengantar nikah. Lebih aneh lagi, mungkin, jika si ibu melihat catatan
usia pasangan tersebut yang bisa-bisanya abai dengan pengetahuan �sepele�
tersebut. Barangkali si ibu mengurut dada heran sambil membatin, �Pasangan
yang aneh.�

Sebenarnya si ibu pencatat di KUA bukan orang pertama yang barangkali
berucap demikian. Saat pasangan itu hendak melangsungkah *khitbah* atau
lamaran pada September lalu, pihak keluarga juga berkomentar,�Duh, pasangan
santai!� ketika mereka tahu bahwa semua persiapan termasuk beli cincin hanya
dilakukan dalam 2 hari jelang hari pinangan. Keduanya pun cuma senyum
cengengesan. Barangkali inilah kesamaan yang menyatukan mereka.

*Back to laptop*, setelah �gagal� dengan sukses di KUA, sang gadis yang
�bermasalah� pun mengurus surat pengantar menikah di RT, RW hingga
Kelurahan. Berbagai perjuangan dilalui mulai dari Pak RT yang hanya bisa
ditemui pada waktu malam saja (tolong, jangan samakan ia dengan drakula)
karena sibuk kerja hingga pegawai kelurahan yang tukang *ngebodor* (baca:
melawak) yang mampu mengetik dua lembar surat dalam 2 jam. Suatu rekor
tersendiri bukan? Sang gadis pun maklum karena si pegawai kelurahan bukan
penerjemah *freelance* seperti calon suaminya yang �karena tekanan *deadline
*�bisa terbirit-birit menerjemahkan 10 halaman dalam sejam. Ia pun menunggu
dengan, terpaksa, sabar.

Setelah 2 jam lebih sedikit, surat pengantar pun beres. Tanpa periksa lagi,
sang gadis menuju rumahnya yang hanya berjarak puluhan meter dari kantor
kelurahan yang setia ditungguinya 2 jam tadi. Sang ibu yang menyambut di
rumah segera meneliti.

�Lho kok tulisannya begini?�

Si gadis penasaran, dan melongok ke bagian belakang surat yang memuat
keterangan: XXXXXX..DAN MENIKAHI SEORANG PEREMPUAN BERNAMA NURSALAM AR
(aslinya tulisan itu dengan tulisan tangan berukir khas lulusan SR tahun
50an).

Si gadis mangkel. Ibunya terbahak.

�Jeruk kok makan jeruk?�

Akhir cerita, surat itu berhasil diperbaiki, diiringi riuh tawa sekantor
kelurahan, dengan tambahan waktu 30 menit saja. Sang gadis tidak jadi �makan
jeruk�. Karena sang �perempuan� dalam keterangan surat itu sudah �kembali�
ke wujud aslinya. Lelaki tulen. Secara *de jure* dan *de facto*.

Dalam catatan pernikahan di KUA, 3 hari kemudian, sang gadis bernama Yuni
Meganingrum dan sang pemuda �yang sempat �berubah wujud��bernama Nursalam
AR.

*Menikah? Lantas....*

Alhamdulillah, di penghujung 2007 tepatnya 23 Desember, di ujung usia 30,
aku menikah. Tepatnya, sudah menikah dan kawin. Ini demi menghindari
olok-olok zaman SMA dulu.

"Elo mau kawin apa nikah?"

"Emang apa bedanya?"

"Nikah pake surat. Nah, kawin cuma pake urat."

Ketika seorang lelaki menikah, akad nikahnya jelas berbunyi, �Saya terima
kawin dan nikahnya fulanah binti fulan." Jelas. Komplit. Tidak ada syak
lagi. Ada senyum terkembang bahagia, ada tangis haru pecah dan ada sederet
kewajiban yang datang.

Pernikahan sendiri bukanlah sebuah prestasi. Setidaknya itu jawaban
pribadiku saat seorang *netter*, ketika dalam sebuah milis meruyak
kontroversi tentang 'pernikahan adalah prestasi', bertanya via email
kepadaku. Menikah bukan prestasi, jawabku. Tapi menikah adalah kebutuhan.
Entahlah bagaimana raut mukanya di seberang kabel sana saat menerima balasan
emailku tersebut yang barangkali dianggapnya "tidak canggih". Puas atau
tidak sang penanya, (lagi-lagi) setidaknya itu sebuah kejujuran terhadap
diri sendiri.

Obat bagi seorang lelaki yang gampang jatuh cinta � seperti aku, misalnya --
adalah menikah dan memiliki istri -- yang setidaknya menurutnya pribadi --
cantik. Minimal, ia terhindar dari dosa khayalan liar bujang di waktu malam
sepi. Terlebih saat dingin hujan menggigit. Yang terutama, membuatnya jadi
belajar bagaimana berkomitmen dan terikat pada sebuah hubungan yang ajeg.

Pernikahan bukanlah menyeragamkan perbedaan tetapi justru memahami perbedaan
dan mencoba berkompromi. Sepekan pertama pernikahan, aku mendapati kenyataan
bahwa aku dan istri tercinta punya kebiasaan tidur yang kontras. Aku suka
tidur dengan lampu terang --karena kebiasaan membaca buku sebelum tidur
hingga tak jarang buku pun berubah jadi tatakan iler -- dan anti kipas angin
(karena aku rentan masuk angin). Namun, Yuni hanya bisa tidur jika lampu
dimatikan dan kipas angin wajib menyala. Gerah, katanya. Alhasil, tiga hari
dalam sepekan pertama tersebut aku masuk angin dan kurang tidur, karena tak
bisa tidur tanpa bacaan pengantar tidur.

Tapi akhirnya titik kompromi tercapai juga setelah terjadi negosiasi.
Setelah sebulan lebih. Masuk hari ketigapuluh sekian, lampu kamar tak selalu
gelap. Terlebih jika aku harus bekerja di depan komputer atau laptop hingga
dini hari.Karena Yuni Meganingrum, istriku, juga mulai belajar memaknai --
dalam arti sebenarnya-- bahwa suaminya tak bisa sepenuhnya "bermetamorfosis
sempurna". Ia masih saja makhluk (semi) nokturnal.

Menikah juga konon membuat kaya. Itu kata salah satu buku panduan menikah --
yang banyak aku lahap jauh sebelum menikah -- yang mengutip janji al Qur'an
bahwa Allah akan memampukan orang-orang yang menikah. Sementara definisi
kaya, seperti halnya sukses, cenderung relatif.

Sebagian kawan -- yang sudah menikah tentunya -- menafsirkannya dalam
dimensi material. "Sebelum menikah, ane ga punya apa-apa. Sekarang
alhamdulillah sudah punya kendaraan pribadi dan sedikit tabungan." Sobat
yang lain memaknainya dalam dimensi spiritual. "Yah, biar belum punya apa
yang banyak kami mau tetapi batin saya tenang setelah menikah." Ya, apapun,
tak usahlah jadi kontroversi.

Setidaknya, sesuai pengalaman saya sendiri, setelah menikah Anda akan kaya
-- dalam artian akan memiliki apa-apa yang belum Anda miliki. Setidaknya
memiliki istri atau suami dan kemudian anak, dan bertambah jumlah keluarga
besar (ada mertua, saudara ipar) dan tambahan kenalan (teman-teman pasangan
kita). Maka, terbentanglah di hadapan Anda, jejaring silaturahim yang luas.
Dan Tuhan menjanjikan syarat panjangnya umur dan berlimpahnya rizki adalah
silaturahim.

Jadi, kendati panjang dan mungkin berat meniti jalan menuju pernikahan,
berteguhlah, Sobat, karena ini jalan kedewasaan, jalan fitrah.

*Pengadegan, Juni 2009*

Foto-foto: www.nursalam.multiply.com
**) semua bagian tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di milis SK yang
artinya Sekolah Kehidupan (SK) adalah bagian tak terlepaskan dari perjalanan
jodoh tsb, tempat di mana saya berteduh. Sungguh saya merasa berdosa dan
sedih ketika rumah ini terasa sunyi dan kering, antara lain karena saya
sendiri sebagai salah satu penghuni tak lagi rajin mengunjungi. Sengaja
tulisan ini dikumpulkan dan diposting ulang guna mengenang perjalanan SK
jelang milad ke-3 di Bandung Juli nanti.*
***) Untuk semua yang berniat, akan, jelang dan sudah menikah, semoga
tulisan ini bermanfaat:). Mari berbagi, mari bercerita! Mari ramaikan rumah
kita kembali!*

* *

--
-Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
YM ID: nursalam_ar
www.nursalam.multiply.com
www.pensilmania.multiply.com
3b.

Re: [Catcil] Long Road To The Marriage

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Fri Jun 12, 2009 8:12 am (PDT)




Sudah membacasemua bagian tulisan ini, tapi tetep seru bacanya :D
hehehehe...

Ayo kita ramaikan eska lagi...

yeee, semangat

*Sedang mempersiapkan lomba nulis :D untuk milad... pada ikutan, ya :)

salam

Novi

In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <pensilmania@...> wrote:
>
> *Long Road To The Marriage**
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> *Mencari Cinta*
>
> *Malam merayap siput. Hujan menderap*
>
> *Sepi meranggas hati. Dingin mendekap naluri*
>
> *Mata susah pejam, angan layang liar*
>
> *Kuraba sisi kasur. Kosong*
>
> *Kapankah ia berpenghuni?*
>
> *Hanya Takdir yang tahu*
>
> *Sebagaimana pengetahuanNya akan rizki dan mati.*
>
> (*Elegi Lajang*, 2002)
>
>
>
> Puisi buah karyaku sendiri itulah yang menemani malam-malamku sebagai
> lajang. Menjadi lajang adalah berada dalam medan daya tarik-menarik antara
> keinginan dan pilihan. Banyak keinginan namun banyak pula pilihan.* *Menurut
> Pramoedya Ananta Toer dalam *Bumi Manusia*."Kadang manusia dihadapkan pada
> sebuah pilihan dalam hidupnya. Jika tidak memilih saat itu ia tidak mendapat
> apa-apa." Kurang lebih seperti itu bunyinya.
>
>
>
> Ya, memilih! Buat seorang peragu tentu alangkah beratnya. Buat seorang
> sembrono atau *slebor* sama juga sulit. Yang berbeda adalah reaksi mereka.
> Si peragu akan tercenung lama dan kadang menyebalkan banyak orang karena
> banyaknya waktu untuk memikirkan pilihan yang akan diambil. Si sembrono
> justru akan tergesa-gesa mengambil pilihan tanpa masak-masak dipikir. Untuk
> kemudian menyesal. Si peragu juga kerap menyesal karena ia kehilangan
> momentum. Bukankah segala sesuatu itu indah pada masanya? **
>
>
>
> "Ih, sudah ditawarin *akhwat *yang pernah jadi *cover girl* majalah malah
> nolak. Kenapa sih?!"
>
>
>
> *Ini s*ebetulnya karena minder, ketika seorang kawan menyodorkan pilihan. *
> Subhanallah*, cantik nian. Gadis keturunan Arab yatim piatu dari keluarga
> mapan. Lulusan ITB. Lebih muda dua tahun saja. Hm..kenapa ditolak? Entahlah,
> aku hanya mengikuti alarm intuisiku saja. Minder seperti kataku? Bisa jadi.
> Hanya saja aku tidak merasa ada *chemistry* yang sama dengan sekadar melihat
> foto saja.
>
>
>
> Sebagian temanku hanya tertawa. "Ah, mau nikah aja repot banget!" ledek
> mereka. Trauma? Mungkin juga. Dulu kakekku, ayah dari bapak, menikah dengan
> gadis keturunan Arab. Beda status pula. Tapi karena perbedaan status, mereka
> dipaksa cerai dan meninggalkan seorang anak tunggal: ayahku.
>
>
>
> Setelah itu Nek Masenun--sebutanku untuk sang nenek yang tak pernah kulihat
> fotonya itu--dinikahkan dengan seorang yang "*sekufu*", setara. Seorang
> saudagar kaya dari Arab. Pernikahan mereka tak lama, tak berbuah anak. Saat
> itu di era Jakarta 1930an stereotipe soal etnis Arab yang sangat eksklusif
> masih sangat kental. Sialnya, kakekku hidup pada zaman itu. Ia hanya penarik
> perahu tambang alias perahu *eretan* di Kali Ciliwung. Konon, cerita
> almarhum ayahku, kakek seorang yang tampan.
>
> * *
>
> *Bertemu Cinta, Menanti Jodoh*
>
>
>
> 2007.
>
>
>
> Kini saat setidaknya ada sebuah titik cerah ketika seorang gadis bersedia
> berkomitmen mendampingi hidupku, apakah puisi di awal tulisan ini akan mati
> riwayatnya? Ternyata tidak.
>
>
>
> Beberapa bulan sebelumnya. Jam delapan lewat dua puluh satu menit. Malam.
>
>
>
> "Ada pesan dari Mama," ujar gadis manis berjilbab dengan senyum lucu itu.
>
>
>
> Aku berdebar. Benakku sibuk menerka kira-kira apa pesan sang Mama setelah
> kunjunganku malam itu. Ia seorang janda awal lima puluh tahunan yang
> suaminya wafat hanya berselang dua jam setelah ayahku wafat pada 8 September
> 2006. Entahlah apakah itu suatu kebetulan yang merupakan pertanda antara aku
> dan putrinya.
>
>
>
> "Apa kata Mama?" sambutku setelah menghela nafas, menguasai diri yang
> mendadak gugup.
>
>
>
> "Tapi jangan marah ya.."
>
>
>
> Hm…apalagi nih? Benakku kian sibuk menerka. Ribuan kombinasi probabilitas
> berseliweran hadir dengan cara permutasi atau mutasi. Rasanya otakku jadi
> penuh.
>
>
>
> "Halo?!"
>
>
>
> Ufs! Aku lupa aku sedang bercakap di telepon. Jadi tak mungkin dia
> mengetahui gundahku hanya melalui mimik wajah.
>
>
>
> "Ya, nggak marah kok. Cerita aja," tukasku sok mantap. Padahal deg-degan.
>
>
>
> "Bener ya nggak marah?" Suara lembut itu kembali bertanya. Duh, bikin
> penasaran aja!
>
>
>
> "Iya, kagak…" *Tuh*, keluar *deh *logat Betawiku!
>
>
>
> Tawa kecil di seberang meledak. Kemudian hening. Satu..dua…tiga…Diam-diam
> hatiku menghitung kapan bom itu meledak.
>
>
>
> Si gadis bercerita perihal diskusi keluarganya setelah kunjunganku malam
> itu. Aku terperangah. Benar, itu bom! Setidaknya demikian yang kurasa.
> Terkejut, paling tidak karena efek Doffler ledakannya.
>
>
>
> "Salam kan orang Betawi? Kamu sudah yakin?"
>
>
>
> "Emang kenapa?"
>
>
>
> "Orang Betawi kan tukang kawin. Sukses dikit udah kawin lagi. Liat aja teman
> kakak!"
>
>
>
> "Kan nggak semua. Tiap orang beda."
>
>
>
> "Itu sekarang waktu dia belum mapan. Coba aja kalo sudah lebih kaya!"
>
>
>
> "Sudah-sudah, nanti Mama titip tanya buat Salam apa dia mau poligami nggak.
> Disampaikan ya!"
>
>
>
> Hening.
>
>
>
> "Bang, kok diam? Marah ya?" Suara lembut itu terdengar khawatir.
>
>
>
> "Nggak. Cuma rada kaget aja."
>
>
>
> Aku tersadar mendengar tuturannya soal diskusi seru keluarganya tentang aku.
> Aku siuman setelah terkena bom itu. Ya, bom stereotipe!
>
>
>
> Aku memang berayah-ibu Betawi asli dan tinggal pun *sejek bujeg* di Jakarta.
> Sementara si Gadis beribukan asli Lampung dan ayah berdarah Palembang
> blasteran Cina. Konon dari garis ibunya ada darah Banjarmasin dan Padang.
> Sangat Indonesia bukan?
>
>
>
> Wajar jika muncul stereotipe atau pandangan miring mengenai hubungan kami.
> Jangankan dengan orang yang sama sekali berbeda suku atau etnis. Dengan
> seseorang yang punya darah suku yang sama saja muncul stereotipe yang sama.
> Ia gadis Betawi campuran Sunda. Bisa dikatakan ialah cinta pertamaku. Namun
> cinta itu kandas tak berakhir mulus. Ibunya menolak lamaranku dengan alasan
> "belum mapan" dan stereotipe yang melekat pada orang Betawi: "pemalas" dan
> "tukang kawin". Duh!
>
>
>
> Ikhtiarku tak berhenti begitu saja. Ketika ikut sebuah pengajian,
> melalui *murobbi
> *alias guru ngaji, aku mengajukan "proposal" untuk seorang *akhwat* teman
> seangkatanku semasa kuliah. Fisiknya biasa saja namun aku kagumi semangat
> dakwah dan komitmennya dalam beramal. Namun, setelah menunggu jawaban nyaris
> dua bulan lamanya, ia menolakku—melalui jawaban lisan dari sang
> *murobbiyah*—karena
> dianggap "kurang sholeh". Ah, nasib!
>
>
>
> "*'Afwan *ya, Lam. Sebetulnya si *akhwat* udah mau. Dia kan seangkatan *
> antum*. Jadi tahu kiprah *antum* di organisasi kampus. Tapi setelah dilacak
> ternyata *antum* pernah pacaran ya? Nah, itu poin yang memberatkan. Jadi,
> atas rekomendasi murobbiyahnya, *antum* ditolak." Itu jawaban sang
> *akhwat*melalui lisan murobbiku.
>
>
>
> Saat itu guruku berusaha menyampaikan dengan hati-hati dan empati. Namun apa
> pun bentuk penyampaiannya, hatiku terlanjur luluh-lantak.Ya Allah, rasanya
> aku punya stempel dosa di dahi yang tak terhapus. Kisah pertemuan dengan
> `cinta pertama' yang sudah beberapa tahun lewat jadi bayang-bayang yang
> menghambat perjodohanku. Dua *ta'aruf *berikutnya juga bernasib sama. Bahkan
> tanpa alasan yang jelas. Ya, sudahlah!
>
>
>
> Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Gadis. Awalnya kami sahabat pena
> selama lima tahun. Tanpa ada tendensi apa-apa. Aku mengenalnya melalui
> rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam. Karena hobinya membaca, aku
> sering kirimi ia tulisan-tulisanku. Dan ia seorang kritikus yang baik. Kami
> mendiskusikannya via telepon dan email. Awalnya tidak ada rasa apa-apa.
> Hanya saja ia memang teman diskusi yang enak.
>
>
>
> "Lam, carikan aku calon istri dong!" pinta seorang kawan. Ia teman SMA-ku
> dulu. Saat itu kami juga terikat hubungan bisnis.
>
>
>
> "Kamu serius?"
>
>
>
> Ia mengangguk.
>
>
>
> Aku terdiam sejenak. Sebagai penerjemah yang hobi menulis, banyak kenalanku
> baik pria maupun wanita. Namun kira-kira adakah yang cocok dengan selera
> sobatku ini?
>
>
>
> "Maunya seperti apa?"
>
>
>
> Ia pun menuturkan standar gadis yang diinginkannya. Hm…cukup ideal memang.
> Tapi, *bismillah*, aku coba.
>
>
>
> "Oh ya, coba aja kalian kenalan dulu," ujarku setelah mengusulkan nama
> Gadis. "Orangnya baik dan enak diajak ngobrol."
>
>
>
> "Cantik tidak?"
>
>
>
> Deg. Aku tertegun. Cantik? Aku tak pernah mempermasalahkan itu sebelumnya.
> Aku hanya mengetahuinya dari sebuah foto ukuran 2 x 3 di sebuah majalah. Itu
> pun tak begitu jelas. Tapi apakah penting?
>
>
>
> "Ya, penting dong, Lam," tukas sang kawan ngotot. "Itu syarat penting tuh
> buat cowok!"
>
>
>
> Aku terdiam lagi. "Coba ketemuan aja dulu. Kayaknya cantik kok. Suaranya aja
> merdu." Ia mengangguk. Dengan garansi dariku ia mau menghubungi Gadis. Aku
> sudah bertindak sebagai mak comblang yang baik.
>
>
>
> Sebulan berlalu. Aku menunggu kabar dari sang kawan. Namun tak juga ada
> kabar darinya. Lantas sebagai mak comblang aku meneleponnya untuk memastikan
> keseriusan niatnya. Karena sebagai perempuan, Gadis hanya bisa menunggu *to*
> ?
>
>
>
> "Gimana? Sudah ketemuan kan? Cocok tidak?"
>
>
>
> Ia menghela nafas. "Seminggu pertama ngobrol via telepon sih cocok
> banget. Wawasannya
> luas dan humoris. Terus janji ketemuan. Sayang orangnya tidak cantik."
>
>
>
> Ah, cantik itu memang relatif. Di abad pertengahan, perempuan berbadan gemuk
> dianggap cantik namun kini justru seakan jadi gambaran momok yang mengerikan
> bagi perempuan. Perempuan kini ingin langsing seperti gambaran model artis
> dan selebritis yang dicitrakan media massa. Sudah langsing pun belum tentu
> jaminan dianggap cantik. Ada syarat lagi untuk wajah: berkulit putih mulus,
> tanpa jerawat dll.
>
>
>
> Karena penasaran, untuk pertama kalinya, aku meminta waktu bertemu dengan
> Gadis. Aku ingin tahu seperti apa si Gadis sehingga kawanku menolaknya
> karena alasan tidak cantik. Dan memang benar cantik itu relatif. Atau
> mungkin karena aku tidak terlalu mempermasalahkan soal fisik?
>
>
>
> Benar juga seperti kata artis Syahnaz Haque bahwa orang yang tidak
> mempermasalahkan soal fisik akan bertemu orang yang berpandangan sama.
> Pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan berikutnya hingga pertemuan
> penting pada malam tersebut. Meski awalnya ada keraguan dari ibunya soal
> status pekerjaanku yang bukan orang kantoran dan soal stereotipe etnis, kami
> meniatkan `segala sesuatu akan indah pada waktunya'. *Bismillah*. Kami pun
> sedang menghitung hari lamaran atau khitbah.
>
>
>
> *Meminang dengan Pena
> ***
>
> Orang bilang penulis itu tak pernah kehabisan kata. Tapi rasanya tidak juga.
> Toh, ia juga manusia yang pada suatu titik tertentu dalam hidupnya
> kehilangan perbendaharaan kata karena gemuruh rasa di dada.
>
>
>
> Tidak percaya? Percaya sajalah. Karena aku sendiri yang mengalaminya.
>
>
>
> "Katanya suka nulis ya, Mas?" sapa lelaki berkumis berwajah ramah tersebut.
> Aku tersenyum. Itu pertanyaan keseribu sekian dalam hidupku.
>
>
>
> "Saya selalu kagum dengan para penulis. Orang yang bisa menulis berarti
> berwawasan luas," ujar sang lelaki tersebut. Aku kembali tersenyum. Kali ini
> kurasa kian lebar. Tapi aku tidak bereaksi lebih lanjut. Bukan apa-apa.
> Bukan sariawan. Bukan pula sombong. Siang itu tertunai sebuah hajat hidupku:
> ada gadis yang bersedia menerima lamaranku. Di sebuah rumah asri di batas
> kota Jakarta. Dan sang lelaki pengagumku itu (semoga tak salah dugaanku)
> adalah juru bicara dari pihak keluarga sang gadis. Salahkah jika hatiku
> bergemuruh dan lidah kelu setelah acara itu?
>
>
>
> Rasanya aku ingin menyepi, merenungi dan bertakbir. Ada seru di hati:
> *Alhamdulillah,
> Ya Allah! Ada juga gadis yang menerima lamaranku!* Mungkin terlalu remeh
> buat sebagian orang. Tapi sebagai lajang di penghujung dua puluhan yang tiga
> kali lamarannya ditolak orang, peristiwa hari ini patutlah dicatat dalam
> diary istimewa di palung hati terdalam.
>
>
>
> "Sudah menulis di mana saja, Mas?" Kembali sang jubir ramah "mengganggu"
> keasyikanku bertamasya syukur. Aku menarik nafas sejenak. *Harus kumulai
> dari mana?* pikirku. Wajah sang jubir dengan kumis *a la* Roy Suryo terlihat
> antusias menunggu jawabanku. *Ah, berarti pertanyaannya serius*, batinku.
>
>
>
> "Insya Allah, di akhir tahun ini ada beberapa buku saya yang diterbitkan,
> Mas," ujarku dengan berupaya mengangkat balok besar yang menghimpit lidah.
> Mulailah aku bercerita tentang proyek menulisku yang sebenarnya tak seberapa
> dibandingkan beberapa kawan penulis lain. Tapi untuk yang bukan penulis
> seperti Mas Bambang, sang jubir, itu sudah cukup mengundang decak kagumnya.
>
>
>
> *Ah, moga saja itu bukan suara cicak di dinding*, batinku. Dan moga saja
> kepalaku tidak menyundul langit-langit atas decak kagumnya yang sejenak aku
> curigai sekadar basa-basi. *Ah, Nursalam, masih saja kamu tidak percaya
> diri!*
>
>
>
> Mas Bambang lantas menjelaskan betapa ia suka membaca dan ingin bisa
> menulis. Tak lama topik berganti dengan ceritanya tentang buku-buku yang
> suka dibacanya. *Ah, ia pembicara yang baik*. Pintar menarik perhatian teman
> bicara dengan sesuatu yang disukainya lantas menariknya ke dalam topik yang
> ingin ditujunya. Dan ia melakukannya dengan mulus. Dan aku senang-senang
> saja. Atau mungkin *mood*ku sedang bagus karena terbayang sebuah senyum
> gadis berjilbab yang menerima penyematan cincin di jari manisnya oleh salah
> satu bibiku yang mewakili pihak keluargaku.
>
>
>
> Ya, sebuah cincin emas seberat 3,3 gram berkadar 23 karat. Bukan harganya
> yang terutama--kendati itu juga penting karena saat dibeli harga emas sedang
> tinggi-tingginya--tapi karena ia dibeli dengan hasil pena. Ia kubeli dengan
> tagihan hasil terjemahan yang aku minta lebih awal dari klienku dan
> hanya dua hari sebelum hari *khitbah* atau lamaran. Sehari berikutnya
> berkeliling toko emas di Jatinegara dan Pasar Minggu untuk cari model cincin
> yang cocok dan terutama pas dengan *budget *seorang penerjemah pemula yang
> pas-pasan.
>
>
>
> "Emang kamu mau bawa uang seserahan berapa banyak, Lam?" tanya kakak-kakakku
> beberapa hari menjelang khitbah. Ya, proses khitbah ini hanya disiapkan
> sepekan. Itu pun hanya total tiga hari bersih siapkan transportasi, undang
> keluarga besar dan beli cincin. Karena dua pekan penuh aku harus berkutat
> dengan proyek terjemahan yang memaksaku duduk bekerja dari *ba'da* subuh
> hingga subuh lagi. Hingga migren, tamu rutinku, tiga kali menerpa. *Duh,
> begini ya perjuangan orang mau serius nikah*, demikian aku membatin
> menguatkan semangat. Ketika jam telah banyak berlalu namun masih saja
> tumpukan dokumen kontrak bisnis dengan bahasanya yang "kering" teronggok di
> samping komputer kreditanku.
>
>
>
> "Belum," jawabku tenang. Aku tatap wajah kakakku yang terperangah. Mungkin
> mereka berpikir aku bercanda. Karena umumnya--dalam tradisi Betawi--khitbah
> atau lamaran sudah disertai dengan bawaan uang untuk calon istri yang
> dilamar. Minimal semacam uang muka. Namun, puji syukur bagi Allah yang
> memudahkan, keluarga sang gadis tidak mensyaratkan itu. Mungkin juga
> diam-diam tahu tumpukan tagihan utangku--salah satunya karena kegagalan
> bisnisku di masa lalu yang harus ditebus. Ditambah lenyapnya asset usaha
> penerjemahanku diterjang banjir pada Februari 2007.
>
>
>
> "Yang penting keluarga besar Salam datang," ujar sang Mama. Entahlah apakah
> beliau iba dengan aku yang yatim piatu, kurus dan berpenghasilan tak tetap
> yang konon sebagai pelamar "termiskin" di antara sekian banyak pelamar yang
> berminat dengan anak gadis satu-satunya itu. Ketika aku muncul pertamakali
> di rumah asrinya beberapa bulan lalu untuk bersilaturahmi, ia terlihat
> berusaha menyembunyikan kekagetannya ketika aku jawab aku naik angkutan
> umum. Sejak itu pertanyaan, "Bawa apa ke sini?" tak pernah terluncur dari
> mulutnya saat silaturahmi-silaturahmi berikutnya. Mungkin beliau sudah
> maklum jika naik angkutan umum berarti bawa supir, kenek dan para
> penumpangnya. Komplit.
>
>
>
> Belakangan aku ketahui, berdasarkan analisisku dan keterangan dari
> sumber-sumber tepercaya, salah satu faktor yang membuatku lumayan diterima
> baik adalah karena aku penulis. Memang strategi awalku adalah menghadiahinya
> buku-buku atau media cetak yang memuat tulisan-tulisanku. Dan sangat
> kebetulan sekali salah satu paman sang gadis pernah aktif menulis di majalah
> kampus dan dalam keluarga besarnya ia cukup dihormati karena posisi
> "uniknya" itu. Mungkin ini yang namanya *hallo effect*, renungku dalam suatu
> kesempatan.
>
>
>
> Pertemuanku dengan sang gadis yang kini aku ikat dengan sebuah cincin--demi
> sebuah momen besar berikut di akhir tahun ini--juga karena pena. Aku
> mendapati fotonya terpampang pada rubrik sahabat pena di sebuah majalah
> Islam pada tahun 2000. Entah mengapa aku tergerak untuk menyuratinya. Belum
> ada rasa saat itu. Semata-mata yang menggerakkanku adalah satu nama tempat
> yang asing bagiku, tapi menggelitik: PLAJU. Ya, itu tempat kelahiran sang
> gadis. Yang belakangan kuketahui ia cuma numpang *brojol *saja di sana
> karena pekerjaan ayahnya yang harus berpindah-pindah lokasi sebagai karyawan
> Pertamina.
>
>
>
> Ya, karena pingin tahu tentang nama daerah yang seakan berada di penjuru
> antah berantah itu aku surati dia. Cukup romantis jika dikenang. Di tahun
> 2000an kami berbalas-balasan surat--meski diselingi dengan email alias
> ratron--persis seperti tokoh dalam novel *Tenggelamnya Kapal Vanderwijck*-nya
> Buya Hamka menjalin kasih. Tapi saat itu tak ada kata cinta tersurat. Aku
> yang saat itu berusaha menerapi diri yang lumpuh menulis bertahun-tahun dan
> tak berani (lagi) mengirimkan tulisan ke media menjadikannya sebagai
> pembaca pertama dan setia tulisan-tulisanku. Bermula dari pertanyaaan
> tentang letak Plaju--yang ternyata sebuah kota kecil di Sumatera
> Selatan--hingga kritik konstruktifnya atas tulisan-tulisanku yang saat itu
> mayoritas cerita pendek.
>
>
>
> Perkawanan via surat berlanjut hingga 2005 tanpa pernah sekalipun ada
> pernyataan rasa tersurat atau pertemuan tatap muka. Sempat terjeda sebentar
> beberapa bulan karena kesibukanku. Juga karena aku kehilangan alamat
> emailnya dan juga nomor kontaknya yang lain pada banjir 2002. Ia pun, entah
> kenapa bisa sama, kehilangan nomor kontakku. Hingga takdir mempertemukan
> kembali pada medio 2006. Sekitar dua bulan menjelang kematian ayahku dan
> papanya yang hanya berselang dua jam pada hari yang sama sekitar *nisfu
> sya'ban*.
>
>
>
> Takdir juga yang membuatku bernyali menghadap ibundanya. Meski saat itu
> tersiar kabar sang gadis hendak dijodohkan dengan salah satu sepupu jauhnya
> yang lulusan S-2 sebuah universitas agama negeri di Jawa Barat, dan seorang
> PNS pula. Sementara siapa pula aku? Pemuda dari garis keturunan beda etnis
> yang kendati pernah *nyantrik* di UI namun tak tuntas dan harus berjuang
> dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Mulai dari jualan koran,
> mengajar bahasa Inggris, sekretaris LSM sampai wartawan *freelance* dan
> akhirnya penerjemah lepas semata-semata dilakoni demi menyambung nafas
> kemandirian.
>
>
>
> Namun rasanya itu terbayar impas ketika pada suatu titik waktu sang gadis
> bilang salah satu poin kelebihanku hingga ia tak lagi menolak seperti sekian
> pinangan yang bertubi-tubi datang sebelumnya adalah karena aku bisa menulis.
> Dan ia pengagum tulisanku. *Ah, amboi, alangkah beruntungnya para penulis
> jika semua gadis demikian adanya!* Namun perjalananku ke depan masih
> panjang. Jika Allah izinkan maka suatu hari di penghujung tahun ini adalah
> momentum awal kedewasaanku. Secara pribadi, aku selalu mengukur tingkat
> kedewasaan seseorang termasuk diriku dari berani tidaknya seorang lelaki
> berkomitmen serius menikahi perempuan. Semuda apapun sang lelaki,
> dan seberapa pun mendasarnya tingkat pendidikan atau rejeki yang ada
> padanya.
>
>
>
> Ada suatu keinginan di palung hati yang terdalam bahwa aku ingin
> menghadiahinya mahar sebuah buku karyaku selayaknya Bung Hatta memberikan
> mahar buku *Pemikiran Yunani *yang ditulisnya kepada sang gadis idaman,
> Rahmi Hatta. Adakah Allah izinkan itu terpenuhi? *Wallahu a'lam bisshawwab*.
> Seperti syair lagu rakyat Swahili di pedalaman Afrika, "Hidup adalah
> perjuangan, dan kalah atau menang adalah urusan Tuhan." Termasuk perjuangan
> menghadapi kegelisahan tahapan berikutnya pasca pinangan yang diwakili lewat
> sebuah pertanyaan, "Sudah ada uang berapa untuk resepsi nikah?"
>
>
>
> Aku diam-diam tersenyum. Sederet *plan *A dan B berputar di kepala. Tak
> heran belakangan migrenku kerap kambuh baik karena kejar setoran atau
> gangguan kegelisahan tersebut. Namun aku meyakini seperti nasihat ibu calon
> mertua yang selalu bilang,"Percaya saja pada Tuhan. Kayak tidak punya Tuhan
> saja!"
>
>
>
> *Ya, aku percaya pada Tuhan, Mama. Nah, calon istriku, seperti halnya
> sahabat Nabi yang meminang istrinya dengan sekerat cincin besi, maukah kau
> menerimaku dengan sebatang pena bertintakan cinta yang diraut dari kayu
> pohon cita-cita? *
>
>
>
> Ya, ingin aku bisikkan itu di malam-malam permenunganku dalam penantian. Di
> antara jeda rehat begadang malam demi mengejar tenggat pekerjaan yang
> berjatuhan bagai air hujan. Seperti hujan, ia pun bervariasi mulai dari
> tandus, gerimis hingga hujan deras.
>
>
>
> Ya, meminang dengan pena. Hatiku gerimis merincis mengenang kenekatanku
> sebelum sembilan September yang bersejarah kemarin. Namun belum layak dada
> bungah sebelum takdir yang lebih kuat mengikat. Akan butuh banyak doa untuk
> menjemput takdir yang satu itu. Jika sebelum pinangan, aku khusus minta doa
> dari salah satu teman SMA-ku yang berumroh agar ia mendoakanku di depan
> Multazam maka kali ini aku butuh doa dari semesta. Seperti sebuah sms bijak
> dari seorang Teha Sugiyo, sang motivator dari Bandung, "Jika niat dan
> komitmen sudah dipancangkan maka semesta akan menyambut."
>
>
>
> *Wahai semesta, sambutlah niat suciku!*
>
>
>
> *Ya Allah yang menguasai semesta, jadikan aku kuat dengan segala titipan
> kekuatan-Mu yang ada, dan bukan sekadar kenekatan tanpa iman yang berkelana
> berputus-asa dan tumpas digulung masa!*
>
> * *
>
> *License To Wed***
>
>
>
> Mengurus pernikahan itu susah-susah gampang. Seorang teman bilang bahwa
> pernikahan itu tergantung cara kita memandang. Dipandang susah ya susah,
> dipandang gampang ya jadinya gampang. Termasuk mengurus administrasi
> perizinannya. Seperti judul film Warkop DKI: *Susah-Susah Gampang*. Tapi,
> lanjut seorang teman yang lain, jika sudah dijalani ya jadi gampang. Seorang
> pemuda yang sudah khidmat mendengarkan petuahnya jadi rada dongkol sambil
> membatin,"Ya, iyalah!". Tapi, tak heran, ini masih mengutip kata orang,
> bahwa orang yang sudah menikah lebih mudah untuk menikah lagi ketimbang
> lajang –yang notabene miskin ilmu dan pengalaman, dan materi pula—untuk
> menikah pertamakalinya. Entahlah, terserah percaya atau tidak. Konon, itu
> teorinya.
>
>
>
> Singkat cerita, di suatu sore hari kerja, seorang pemuda dan seorang gadis
> berjalan kaki ke sebuah Kantor Urusan Agama (KUA) di bilangan Jakarta
> Selatan yang letaknya mepet dengan Depok, Jawa Barat. Langkah pasangan itu
> gontai. Plus wajah cemberut. Maklum, mereka habis *long march* 300 meteran
> dari ujung jalan utama. Awalnya, waktu mereka bertanya kepada seorang lelaki
> yang nongkrong di ujung gang setiba turun dari angkot, apa jawab sang
> lelaki?
>
>
>
> "KUA? Dekat kok. Terus lurus aja!"
>
>
>
> Dengan *husnuzon* tinggi, sekaligus mengirit ongkos, keduanya menampik
> tawaran gerombolan tukang ojek yang sudah dengan baik hati menghangsurkan
> motor mereka. Kedua sejoli itu berjalan mantap. Mereka terus berjalan dengan
> asumsi "dekat" adalah sekitar maksimal 50 meter. Mereka berjalan terus.
> Terus, dan terus, dan kian lama jalan kian panjang bagai coklat *Choki-Choki
> *. Alamak! Ini *mah* sudah kelewatan dari kategori dekat, keduanya membatin
> sembari berpandangan.
>
>
>
> Pasangan itu berhenti sejenak di tepi jalan panjang lurus yang rimbun dan
> sepi. Mau naik ojek? Kadung jauh betul. Mau jalan? Tidak jelas seberapa
> "dekat" lagi. Bertanyalah keduanya kepada seorang warga setempat. Setelah
> bertanya dengan teknik interview yang lebih canggih, didapatlah info bahwa
> "target operasi" sudah dekat, sekitar 100 meter lagi di ujung tikungan.
> Alhasil, dengan meneguhkan niat, sampailah mereka di depan sebuah kantor
> instansi pemerintah yang nyaris tertutup rimbunnya pepohonan. Maklum, KUA
> yang satu ini tak jauh dari Setu Babakan, pemukiman budaya Betawi yang
> diresmikan pemda DKI beberapa tahun lalu.
>
>
>
> Apakah perjuangan keduanya mencatatkan pernikahan hari itu berhasil?
>
>
>
> Jam menunjukkan pukul 14.30 WIB. Para pegawai KUA sebagian sudah terlihat
> bersantai. Seorang wanita pegawai di meja yang menghadap ke arah pintu
> tengah memberesi isi tasnya. Namun buku besar di hadapannya masih terbuka
> lebar. Ah, masih ada kesempatan, batin sang pemuda yang hari itu terpaksa
> membolos dari jadwal kerjanya di sebuah rumah produksi sitkom untuk
> mengurusi macam-macam persiapan nikahan mulai dari cetak foto hingga *
> editing* kartu undangan.
>
>
>
> Setelah si ibu pencatat ramah berbasa-basi, sepasang muda-mudi itu
> mengutarakan niat untuk mencatatkan pernikahan. Dalam hitung-hitungan
> mereka, jika jadwal resmi kantor pemerintah sampai pukul 17.00 WIB maka
> dapatlah mereka mencatatkan jadwal pernikahan sekaligus mendapatkan penghulu
> untuk hari H nanti. Dengan percaya diri, sang pemuda menyodorkan surat
> numpang nikah yang diurusnya dengan "jasa" ketua RT, RW, Kelurahan hingga
> KUA di tempat asalnya.
>
>
>
> "Baik. Si Mas sudah lengkap surat-suratnya. Mbak mana suratnya?"
>
>
>
> "Surat apa?" tanya si gadis bingung.
>
>
>
> Setengah heran, si ibu menjelaskan bahwa tidak hanya pihak laki-laki yang
> harus mengurus surat numpang nikah tapi pihak perempuan juga harus mengurus
> surat pengantar nikah. Lebih aneh lagi, mungkin, jika si ibu melihat catatan
> usia pasangan tersebut yang bisa-bisanya abai dengan pengetahuan "sepele"
> tersebut. Barangkali si ibu mengurut dada heran sambil membatin, "Pasangan
> yang aneh."
>
>
>
> Sebenarnya si ibu pencatat di KUA bukan orang pertama yang barangkali
> berucap demikian. Saat pasangan itu hendak melangsungkah *khitbah* atau
> lamaran pada September lalu, pihak keluarga juga berkomentar,"Duh, pasangan
> santai!" ketika mereka tahu bahwa semua persiapan termasuk beli cincin hanya
> dilakukan dalam 2 hari jelang hari pinangan. Keduanya pun cuma senyum
> cengengesan. Barangkali inilah kesamaan yang menyatukan mereka.
>
>
>
> *Back to laptop*, setelah "gagal" dengan sukses di KUA, sang gadis yang
> "bermasalah" pun mengurus surat pengantar menikah di RT, RW hingga
> Kelurahan. Berbagai perjuangan dilalui mulai dari Pak RT yang hanya bisa
> ditemui pada waktu malam saja (tolong, jangan samakan ia dengan drakula)
> karena sibuk kerja hingga pegawai kelurahan yang tukang *ngebodor* (baca:
> melawak) yang mampu mengetik dua lembar surat dalam 2 jam. Suatu rekor
> tersendiri bukan? Sang gadis pun maklum karena si pegawai kelurahan bukan
> penerjemah *freelance* seperti calon suaminya yang –karena tekanan *deadline
> *—bisa terbirit-birit menerjemahkan 10 halaman dalam sejam. Ia pun menunggu
> dengan, terpaksa, sabar.
>
>
>
> Setelah 2 jam lebih sedikit, surat pengantar pun beres. Tanpa periksa lagi,
> sang gadis menuju rumahnya yang hanya berjarak puluhan meter dari kantor
> kelurahan yang setia ditungguinya 2 jam tadi. Sang ibu yang menyambut di
> rumah segera meneliti.
>
>
>
> "Lho kok tulisannya begini?"
>
>
>
> Si gadis penasaran, dan melongok ke bagian belakang surat yang memuat
> keterangan: XXXXXX..DAN MENIKAHI SEORANG PEREMPUAN BERNAMA NURSALAM AR
> (aslinya tulisan itu dengan tulisan tangan berukir khas lulusan SR tahun
> 50an).
>
>
>
> Si gadis mangkel. Ibunya terbahak.
>
>
>
> "Jeruk kok makan jeruk?"
>
>
>
> Akhir cerita, surat itu berhasil diperbaiki, diiringi riuh tawa sekantor
> kelurahan, dengan tambahan waktu 30 menit saja. Sang gadis tidak jadi "makan
> jeruk". Karena sang "perempuan" dalam keterangan surat itu sudah "kembali"
> ke wujud aslinya. Lelaki tulen. Secara *de jure* dan *de facto*.
>
>
>
> Dalam catatan pernikahan di KUA, 3 hari kemudian, sang gadis bernama Yuni
> Meganingrum dan sang pemuda –yang sempat "berubah wujud"—bernama Nursalam
> AR.
>
>
>
> *Menikah? Lantas....*
>
>
>
> Alhamdulillah, di penghujung 2007 tepatnya 23 Desember, di ujung usia 30,
> aku menikah. Tepatnya, sudah menikah dan kawin. Ini demi menghindari
> olok-olok zaman SMA dulu.
>
>
>
> "Elo mau kawin apa nikah?"
>
>
>
> "Emang apa bedanya?"
>
>
>
> "Nikah pake surat. Nah, kawin cuma pake urat."
>
>
>
> Ketika seorang lelaki menikah, akad nikahnya jelas berbunyi, "Saya terima
> kawin dan nikahnya fulanah binti fulan." Jelas. Komplit. Tidak ada syak
> lagi. Ada senyum terkembang bahagia, ada tangis haru pecah dan ada sederet
> kewajiban yang datang.
>
>
>
> Pernikahan sendiri bukanlah sebuah prestasi. Setidaknya itu jawaban
> pribadiku saat seorang *netter*, ketika dalam sebuah milis meruyak
> kontroversi tentang 'pernikahan adalah prestasi', bertanya via email
> kepadaku. Menikah bukan prestasi, jawabku. Tapi menikah adalah kebutuhan.
> Entahlah bagaimana raut mukanya di seberang kabel sana saat menerima balasan
> emailku tersebut yang barangkali dianggapnya "tidak canggih". Puas atau
> tidak sang penanya, (lagi-lagi) setidaknya itu sebuah kejujuran terhadap
> diri sendiri.
>
>
>
> Obat bagi seorang lelaki yang gampang jatuh cinta – seperti aku, misalnya --
> adalah menikah dan memiliki istri -- yang setidaknya menurutnya pribadi --
> cantik. Minimal, ia terhindar dari dosa khayalan liar bujang di waktu malam
> sepi. Terlebih saat dingin hujan menggigit. Yang terutama, membuatnya jadi
> belajar bagaimana berkomitmen dan terikat pada sebuah hubungan yang ajeg.
>
>
>
> Pernikahan bukanlah menyeragamkan perbedaan tetapi justru memahami perbedaan
> dan mencoba berkompromi. Sepekan pertama pernikahan, aku mendapati kenyataan
> bahwa aku dan istri tercinta punya kebiasaan tidur yang kontras. Aku suka
> tidur dengan lampu terang --karena kebiasaan membaca buku sebelum tidur
> hingga tak jarang buku pun berubah jadi tatakan iler -- dan anti kipas angin
> (karena aku rentan masuk angin). Namun, Yuni hanya bisa tidur jika lampu
> dimatikan dan kipas angin wajib menyala. Gerah, katanya. Alhasil, tiga hari
> dalam sepekan pertama tersebut aku masuk angin dan kurang tidur, karena tak
> bisa tidur tanpa bacaan pengantar tidur.
>
>
>
> Tapi akhirnya titik kompromi tercapai juga setelah terjadi negosiasi.
> Setelah sebulan lebih. Masuk hari ketigapuluh sekian, lampu kamar tak selalu
> gelap. Terlebih jika aku harus bekerja di depan komputer atau laptop hingga
> dini hari.Karena Yuni Meganingrum, istriku, juga mulai belajar memaknai --
> dalam arti sebenarnya-- bahwa suaminya tak bisa sepenuhnya "bermetamorfosis
> sempurna". Ia masih saja makhluk (semi) nokturnal.
>
>
>
> Menikah juga konon membuat kaya. Itu kata salah satu buku panduan menikah --
> yang banyak aku lahap jauh sebelum menikah -- yang mengutip janji al Qur'an
> bahwa Allah akan memampukan orang-orang yang menikah. Sementara definisi
> kaya, seperti halnya sukses, cenderung relatif.
>
>
>
> Sebagian kawan -- yang sudah menikah tentunya -- menafsirkannya dalam
> dimensi material. "Sebelum menikah, ane ga punya apa-apa. Sekarang
> alhamdulillah sudah punya kendaraan pribadi dan sedikit tabungan." Sobat
> yang lain memaknainya dalam dimensi spiritual. "Yah, biar belum punya apa
> yang banyak kami mau tetapi batin saya tenang setelah menikah." Ya, apapun,
> tak usahlah jadi kontroversi.
>
>
>
> Setidaknya, sesuai pengalaman saya sendiri, setelah menikah Anda akan kaya
> -- dalam artian akan memiliki apa-apa yang belum Anda miliki. Setidaknya
> memiliki istri atau suami dan kemudian anak, dan bertambah jumlah keluarga
> besar (ada mertua, saudara ipar) dan tambahan kenalan (teman-teman pasangan
> kita). Maka, terbentanglah di hadapan Anda, jejaring silaturahim yang luas.
> Dan Tuhan menjanjikan syarat panjangnya umur dan berlimpahnya rizki adalah
> silaturahim.
>
>
>
> Jadi, kendati panjang dan mungkin berat meniti jalan menuju pernikahan,
> berteguhlah, Sobat, karena ini jalan kedewasaan, jalan fitrah.
>
> *Pengadegan, Juni 2009*
>
> Foto-foto: www.nursalam.multiply.com
> **) semua bagian tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di milis SK yang
> artinya Sekolah Kehidupan (SK) adalah bagian tak terlepaskan dari perjalanan
> jodoh tsb, tempat di mana saya berteduh. Sungguh saya merasa berdosa dan
> sedih ketika rumah ini terasa sunyi dan kering, antara lain karena saya
> sendiri sebagai salah satu penghuni tak lagi rajin mengunjungi. Sengaja
> tulisan ini dikumpulkan dan diposting ulang guna mengenang perjalanan SK
> jelang milad ke-3 di Bandung Juli nanti.*
> ***) Untuk semua yang berniat, akan, jelang dan sudah menikah, semoga
> tulisan ini bermanfaat:). Mari berbagi, mari bercerita! Mari ramaikan rumah
> kita kembali!*
>
> * *
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> --
> -Nursalam AR
> Translator & Writer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> YM ID: nursalam_ar
> www.nursalam.multiply.com
> www.pensilmania.multiply.com
>

3c.

Re: [Catcil] Long Road To The Marriage

Posted by: "Nursalam AR" pensilmania@gmail.com

Fri Jun 12, 2009 10:34 pm (PDT)



Iya nih,Nov. Belum ada tulisan terbaru lagi. Tapi teringat ada kawan di
milis ini yang butuh sharing soal perjuangan menuju nikah.Jadilah tulisan
ini dire-posting keroyokan:). Makasih ya!

Yuk, kita ramaikan SK lagi!

Ditunggu lho lombanya:).

Tabik,

Nursalam AR

On 6/12/09, novi_ningsih <novi_ningsih@yahoo.com> wrote:
>
>
>
>
> Sudah membacasemua bagian tulisan ini, tapi tetep seru bacanya :D
> hehehehe...
>
> Ayo kita ramaikan eska lagi...
>
> yeee, semangat
>
> *Sedang mempersiapkan lomba nulis :D untuk milad... pada ikutan, ya :)
>
> salam
>
> Novi
>
> In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com <sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> Nursalam AR <pensilmania@...> wrote:
> >
> > *Long Road To The Marriage**
> >
> > *Oleh Nursalam AR*
> >
> >
> >
> > *Mencari Cinta*
> >
> > *Malam merayap siput. Hujan menderap*
> >
> > *Sepi meranggas hati. Dingin mendekap naluri*
> >
> > *Mata susah pejam, angan layang liar*
> >
> > *Kuraba sisi kasur. Kosong*
> >
> > *Kapankah ia berpenghuni?*
> >
> > *Hanya Takdir yang tahu*
> >
> > *Sebagaimana pengetahuanNya akan rizki dan mati.*
> >
> > (*Elegi Lajang*, 2002)
> >
> >
> >
> > Puisi buah karyaku sendiri itulah yang menemani malam-malamku sebagai
> > lajang. Menjadi lajang adalah berada dalam medan daya tarik-menarik
> antara
> > keinginan dan pilihan. Banyak keinginan namun banyak pula pilihan.*
> *Menurut
> > Pramoedya Ananta Toer dalam *Bumi Manusia*."Kadang manusia dihadapkan
> pada
> > sebuah pilihan dalam hidupnya. Jika tidak memilih saat itu ia tidak
> mendapat
> > apa-apa." Kurang lebih seperti itu bunyinya.
> >
> >
> >
> > Ya, memilih! Buat seorang peragu tentu alangkah beratnya. Buat seorang
> > sembrono atau *slebor* sama juga sulit. Yang berbeda adalah reaksi
> mereka.
> > Si peragu akan tercenung lama dan kadang menyebalkan banyak orang karena
> > banyaknya waktu untuk memikirkan pilihan yang akan diambil. Si sembrono
> > justru akan tergesa-gesa mengambil pilihan tanpa masak-masak dipikir.
> Untuk
> > kemudian menyesal. Si peragu juga kerap menyesal karena ia kehilangan
> > momentum. Bukankah segala sesuatu itu indah pada masanya? **
> >
> >
> >
> > "Ih, sudah ditawarin *akhwat *yang pernah jadi *cover girl* majalah malah
> > nolak. Kenapa sih?!"
> >
> >
> >
> > *Ini s*ebetulnya karena minder, ketika seorang kawan menyodorkan pilihan.
> *
> > Subhanallah*, cantik nian. Gadis keturunan Arab yatim piatu dari keluarga
> > mapan. Lulusan ITB. Lebih muda dua tahun saja. Hm..kenapa ditolak?
> Entahlah,
> > aku hanya mengikuti alarm intuisiku saja. Minder seperti kataku? Bisa
> jadi.
> > Hanya saja aku tidak merasa ada *chemistry* yang sama dengan sekadar
> melihat
> > foto saja.
> >
> >
> >
> > Sebagian temanku hanya tertawa. "Ah, mau nikah aja repot banget!" ledek
> > mereka. Trauma? Mungkin juga. Dulu kakekku, ayah dari bapak, menikah
> dengan
> > gadis keturunan Arab. Beda status pula. Tapi karena perbedaan status,
> mereka
> > dipaksa cerai dan meninggalkan seorang anak tunggal: ayahku.
> >
> >
> >
> > Setelah itu Nek Masenun--sebutanku untuk sang nenek yang tak pernah
> kulihat
> > fotonya itu--dinikahkan dengan seorang yang "*sekufu*", setara. Seorang
> > saudagar kaya dari Arab. Pernikahan mereka tak lama, tak berbuah anak.
> Saat
> > itu di era Jakarta 1930an stereotipe soal etnis Arab yang sangat
> eksklusif
> > masih sangat kental. Sialnya, kakekku hidup pada zaman itu. Ia hanya
> penarik
> > perahu tambang alias perahu *eretan* di Kali Ciliwung. Konon, cerita
> > almarhum ayahku, kakek seorang yang tampan.
> >
> > * *
> >
> > *Bertemu Cinta, Menanti Jodoh*
> >
> >
> >
> > 2007.
> >
> >
> >
> > Kini saat setidaknya ada sebuah titik cerah ketika seorang gadis bersedia
> > berkomitmen mendampingi hidupku, apakah puisi di awal tulisan ini akan
> mati
> > riwayatnya? Ternyata tidak.
> >
> >
> >
> > Beberapa bulan sebelumnya. Jam delapan lewat dua puluh satu menit. Malam.
> >
> >
> >
> > "Ada pesan dari Mama," ujar gadis manis berjilbab dengan senyum lucu itu.
> >
> >
> >
> > Aku berdebar. Benakku sibuk menerka kira-kira apa pesan sang Mama setelah
> > kunjunganku malam itu. Ia seorang janda awal lima puluh tahunan yang
> > suaminya wafat hanya berselang dua jam setelah ayahku wafat pada 8
> September
> > 2006. Entahlah apakah itu suatu kebetulan yang merupakan pertanda antara
> aku
> > dan putrinya.
> >
> >
> >
> > "Apa kata Mama?" sambutku setelah menghela nafas, menguasai diri yang
> > mendadak gugup.
> >
> >
> >
> > "Tapi jangan marah ya.."
> >
> >
> >
> > Hm�apalagi nih? Benakku kian sibuk menerka. Ribuan kombinasi probabilitas
> > berseliweran hadir dengan cara permutasi atau mutasi. Rasanya otakku jadi
> > penuh.
> >
> >
> >
> > "Halo?!"
> >
> >
> >
> > Ufs! Aku lupa aku sedang bercakap di telepon. Jadi tak mungkin dia
> > mengetahui gundahku hanya melalui mimik wajah.
> >
> >
> >
> > "Ya, nggak marah kok. Cerita aja," tukasku sok mantap. Padahal deg-degan.
> >
> >
> >
> > "Bener ya nggak marah?" Suara lembut itu kembali bertanya. Duh, bikin
> > penasaran aja!
> >
> >
> >
> > "Iya, kagak�" *Tuh*, keluar *deh *logat Betawiku!
> >
> >
> >
> > Tawa kecil di seberang meledak. Kemudian hening. Satu..dua�tiga�Diam-diam
> > hatiku menghitung kapan bom itu meledak.
> >
> >
> >
> > Si gadis bercerita perihal diskusi keluarganya setelah kunjunganku malam
> > itu. Aku terperangah. Benar, itu bom! Setidaknya demikian yang kurasa.
> > Terkejut, paling tidak karena efek Doffler ledakannya.
> >
> >
> >
> > "Salam kan orang Betawi? Kamu sudah yakin?"
> >
> >
> >
> > "Emang kenapa?"
> >
> >
> >
> > "Orang Betawi kan tukang kawin. Sukses dikit udah kawin lagi. Liat aja
> teman
> > kakak!"
> >
> >
> >
> > "Kan nggak semua. Tiap orang beda."
> >
> >
> >
> > "Itu sekarang waktu dia belum mapan. Coba aja kalo sudah lebih kaya!"
> >
> >
> >
> > "Sudah-sudah, nanti Mama titip tanya buat Salam apa dia mau poligami
> nggak.
> > Disampaikan ya!"
> >
> >
> >
> > Hening.
> >
> >
> >
> > "Bang, kok diam? Marah ya?" Suara lembut itu terdengar khawatir.
> >
> >
> >
> > "Nggak. Cuma rada kaget aja."
> >
> >
> >
> > Aku tersadar mendengar tuturannya soal diskusi seru keluarganya tentang
> aku.
> > Aku siuman setelah terkena bom itu. Ya, bom stereotipe!
> >
> >
> >
> > Aku memang berayah-ibu Betawi asli dan tinggal pun *sejek bujeg* di
> Jakarta.
> > Sementara si Gadis beribukan asli Lampung dan ayah berdarah Palembang
> > blasteran Cina. Konon dari garis ibunya ada darah Banjarmasin dan Padang.
> > Sangat Indonesia bukan?
> >
> >
> >
> > Wajar jika muncul stereotipe atau pandangan miring mengenai hubungan
> kami.
> > Jangankan dengan orang yang sama sekali berbeda suku atau etnis. Dengan
> > seseorang yang punya darah suku yang sama saja muncul stereotipe yang
> sama.
> > Ia gadis Betawi campuran Sunda. Bisa dikatakan ialah cinta pertamaku.
> Namun
> > cinta itu kandas tak berakhir mulus. Ibunya menolak lamaranku dengan
> alasan
> > "belum mapan" dan stereotipe yang melekat pada orang Betawi: "pemalas"
> dan
> > "tukang kawin". Duh!
> >
> >
> >
> > Ikhtiarku tak berhenti begitu saja. Ketika ikut sebuah pengajian,
> > melalui *murobbi
> > *alias guru ngaji, aku mengajukan "proposal" untuk seorang *akhwat* teman
> > seangkatanku semasa kuliah. Fisiknya biasa saja namun aku kagumi semangat
> > dakwah dan komitmennya dalam beramal. Namun, setelah menunggu jawaban
> nyaris
> > dua bulan lamanya, ia menolakku�melalui jawaban lisan dari sang
> > *murobbiyah*�karena
> > dianggap "kurang sholeh". Ah, nasib!
> >
> >
> >
> > "*'Afwan *ya, Lam. Sebetulnya si *akhwat* udah mau. Dia kan seangkatan *
> > antum*. Jadi tahu kiprah *antum* di organisasi kampus. Tapi setelah
> dilacak
> > ternyata *antum* pernah pacaran ya? Nah, itu poin yang memberatkan. Jadi,
> > atas rekomendasi murobbiyahnya, *antum* ditolak." Itu jawaban sang
> > *akhwat*melalui lisan murobbiku.
> >
> >
> >
> > Saat itu guruku berusaha menyampaikan dengan hati-hati dan empati. Namun
> apa
> > pun bentuk penyampaiannya, hatiku terlanjur luluh-lantak.Ya Allah,
> rasanya
> > aku punya stempel dosa di dahi yang tak terhapus. Kisah pertemuan dengan
> > `cinta pertama' yang sudah beberapa tahun lewat jadi bayang-bayang yang
> > menghambat perjodohanku. Dua *ta'aruf *berikutnya juga bernasib sama.
> Bahkan
> > tanpa alasan yang jelas. Ya, sudahlah!
> >
> >
> >
> > Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Gadis. Awalnya kami sahabat pena
> > selama lima tahun. Tanpa ada tendensi apa-apa. Aku mengenalnya melalui
> > rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam. Karena hobinya membaca, aku
> > sering kirimi ia tulisan-tulisanku. Dan ia seorang kritikus yang baik.
> Kami
> > mendiskusikannya via telepon dan email. Awalnya tidak ada rasa apa-apa.
> > Hanya saja ia memang teman diskusi yang enak.
> >
> >
> >
> > "Lam, carikan aku calon istri dong!" pinta seorang kawan. Ia teman SMA-ku
> > dulu. Saat itu kami juga terikat hubungan bisnis.
> >
> >
> >
> > "Kamu serius?"
> >
> >
> >
> > Ia mengangguk.
> >
> >
> >
> > Aku terdiam sejenak. Sebagai penerjemah yang hobi menulis, banyak
> kenalanku
> > baik pria maupun wanita. Namun kira-kira adakah yang cocok dengan selera
> > sobatku ini?
> >
> >
> >
> > "Maunya seperti apa?"
> >
> >
> >
> > Ia pun menuturkan standar gadis yang diinginkannya. Hm�cukup ideal
> memang.
> > Tapi, *bismillah*, aku coba.
> >
> >
> >
> > "Oh ya, coba aja kalian kenalan dulu," ujarku setelah mengusulkan nama
> > Gadis. "Orangnya baik dan enak diajak ngobrol."
> >
> >
> >
> > "Cantik tidak?"
> >
> >
> >
> > Deg. Aku tertegun. Cantik? Aku tak pernah mempermasalahkan itu
> sebelumnya.
> > Aku hanya mengetahuinya dari sebuah foto ukuran 2 x 3 di sebuah majalah.
> Itu
> > pun tak begitu jelas. Tapi apakah penting?
> >
> >
> >
> > "Ya, penting dong, Lam," tukas sang kawan ngotot. "Itu syarat penting tuh
> > buat cowok!"
> >
> >
> >
> > Aku terdiam lagi. "Coba ketemuan aja dulu. Kayaknya cantik kok. Suaranya
> aja
> > merdu." Ia mengangguk. Dengan garansi dariku ia mau menghubungi Gadis.
> Aku
> > sudah bertindak sebagai mak comblang yang baik.
> >
> >
> >
> > Sebulan berlalu. Aku menunggu kabar dari sang kawan. Namun tak juga ada
> > kabar darinya. Lantas sebagai mak comblang aku meneleponnya untuk
> memastikan
> > keseriusan niatnya. Karena sebagai perempuan, Gadis hanya bisa menunggu
> *to*
> > ?
> >
> >
> >
> > "Gimana? Sudah ketemuan kan? Cocok tidak?"
> >
> >
> >
> > Ia menghela nafas. "Seminggu pertama ngobrol via telepon sih cocok
> > banget. Wawasannya
> > luas dan humoris. Terus janji ketemuan. Sayang orangnya tidak cantik."
> >
> >
> >
> > Ah, cantik itu memang relatif. Di abad pertengahan, perempuan berbadan
> gemuk
> > dianggap cantik namun kini justru seakan jadi gambaran momok yang
> mengerikan
> > bagi perempuan. Perempuan kini ingin langsing seperti gambaran model
> artis
> > dan selebritis yang dicitrakan media massa. Sudah langsing pun belum
> tentu
> > jaminan dianggap cantik. Ada syarat lagi untuk wajah: berkulit putih
> mulus,
> > tanpa jerawat dll.
> >
> >
> >
> > Karena penasaran, untuk pertama kalinya, aku meminta waktu bertemu dengan
> > Gadis. Aku ingin tahu seperti apa si Gadis sehingga kawanku menolaknya
> > karena alasan tidak cantik. Dan memang benar cantik itu relatif. Atau
> > mungkin karena aku tidak terlalu mempermasalahkan soal fisik?
> >
> >
> >
> > Benar juga seperti kata artis Syahnaz Haque bahwa orang yang tidak
> > mempermasalahkan soal fisik akan bertemu orang yang berpandangan sama.
> > Pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan berikutnya hingga
> pertemuan
> > penting pada malam tersebut. Meski awalnya ada keraguan dari ibunya soal
> > status pekerjaanku yang bukan orang kantoran dan soal stereotipe etnis,
> kami
> > meniatkan `segala sesuatu akan indah pada waktunya'. *Bismillah*. Kami
> pun
> > sedang menghitung hari lamaran atau khitbah.
> >
> >
> >
> > *Meminang dengan Pena
> > ***
> >
> > Orang bilang penulis itu tak pernah kehabisan kata. Tapi rasanya tidak
> juga.
> > Toh, ia juga manusia yang pada suatu titik tertentu dalam hidupnya
> > kehilangan perbendaharaan kata karena gemuruh rasa di dada.
> >
> >
> >
> > Tidak percaya? Percaya sajalah. Karena aku sendiri yang mengalaminya.
> >
> >
> >
> > "Katanya suka nulis ya, Mas?" sapa lelaki berkumis berwajah ramah
> tersebut.
> > Aku tersenyum. Itu pertanyaan keseribu sekian dalam hidupku.
> >
> >
> >
> > "Saya selalu kagum dengan para penulis. Orang yang bisa menulis berarti
> > berwawasan luas," ujar sang lelaki tersebut. Aku kembali tersenyum. Kali
> ini
> > kurasa kian lebar. Tapi aku tidak bereaksi lebih lanjut. Bukan apa-apa.
> > Bukan sariawan. Bukan pula sombong. Siang itu tertunai sebuah hajat
> hidupku:
> > ada gadis yang bersedia menerima lamaranku. Di sebuah rumah asri di batas
> > kota Jakarta. Dan sang lelaki pengagumku itu (semoga tak salah dugaanku)
> > adalah juru bicara dari pihak keluarga sang gadis. Salahkah jika hatiku
> > bergemuruh dan lidah kelu setelah acara itu?
> >
> >
> >
> > Rasanya aku ingin menyepi, merenungi dan bertakbir. Ada seru di hati:
> > *Alhamdulillah,
> > Ya Allah! Ada juga gadis yang menerima lamaranku!* Mungkin terlalu remeh
> > buat sebagian orang. Tapi sebagai lajang di penghujung dua puluhan yang
> tiga
> > kali lamarannya ditolak orang, peristiwa hari ini patutlah dicatat dalam
> > diary istimewa di palung hati terdalam.
> >
> >
> >
> > "Sudah menulis di mana saja, Mas?" Kembali sang jubir ramah "mengganggu"
> > keasyikanku bertamasya syukur. Aku menarik nafas sejenak. *Harus kumulai
> > dari mana?* pikirku. Wajah sang jubir dengan kumis *a la* Roy Suryo
> terlihat
> > antusias menunggu jawabanku. *Ah, berarti pertanyaannya serius*, batinku.
> >
> >
> >
> > "Insya Allah, di akhir tahun ini ada beberapa buku saya yang diterbitkan,
> > Mas," ujarku dengan berupaya mengangkat balok besar yang menghimpit
> lidah.
> > Mulailah aku bercerita tentang proyek menulisku yang sebenarnya tak
> seberapa
> > dibandingkan beberapa kawan penulis lain. Tapi untuk yang bukan penulis
> > seperti Mas Bambang, sang jubir, itu sudah cukup mengundang decak
> kagumnya.
> >
> >
> >
> > *Ah, moga saja itu bukan suara cicak di dinding*, batinku. Dan moga saja
> > kepalaku tidak menyundul langit-langit atas decak kagumnya yang sejenak
> aku
> > curigai sekadar basa-basi. *Ah, Nursalam, masih saja kamu tidak percaya
> > diri!*
> >
> >
> >
> > Mas Bambang lantas menjelaskan betapa ia suka membaca dan ingin bisa
> > menulis. Tak lama topik berganti dengan ceritanya tentang buku-buku yang
> > suka dibacanya. *Ah, ia pembicara yang baik*. Pintar menarik perhatian
> teman
> > bicara dengan sesuatu yang disukainya lantas menariknya ke dalam topik
> yang
> > ingin ditujunya. Dan ia melakukannya dengan mulus. Dan aku senang-senang
> > saja. Atau mungkin *mood*ku sedang bagus karena terbayang sebuah senyum
> > gadis berjilbab yang menerima penyematan cincin di jari manisnya oleh
> salah
> > satu bibiku yang mewakili pihak keluargaku.
> >
> >
> >
> > Ya, sebuah cincin emas seberat 3,3 gram berkadar 23 karat. Bukan harganya
> > yang terutama--kendati itu juga penting karena saat dibeli harga emas
> sedang
> > tinggi-tingginya--tapi karena ia dibeli dengan hasil pena. Ia kubeli
> dengan
> > tagihan hasil terjemahan yang aku minta lebih awal dari klienku dan
> > hanya dua hari sebelum hari *khitbah* atau lamaran. Sehari berikutnya
> > berkeliling toko emas di Jatinegara dan Pasar Minggu untuk cari model
> cincin
> > yang cocok dan terutama pas dengan *budget *seorang penerjemah pemula
> yang
> > pas-pasan.
> >
> >
> >
> > "Emang kamu mau bawa uang seserahan berapa banyak, Lam?" tanya
> kakak-kakakku
> > beberapa hari menjelang khitbah. Ya, proses khitbah ini hanya disiapkan
> > sepekan. Itu pun hanya total tiga hari bersih siapkan transportasi,
> undang
> > keluarga besar dan beli cincin. Karena dua pekan penuh aku harus berkutat
> > dengan proyek terjemahan yang memaksaku duduk bekerja dari *ba'da* subuh
> > hingga subuh lagi. Hingga migren, tamu rutinku, tiga kali menerpa. *Duh,
> > begini ya perjuangan orang mau serius nikah*, demikian aku membatin
> > menguatkan semangat. Ketika jam telah banyak berlalu namun masih saja
> > tumpukan dokumen kontrak bisnis dengan bahasanya yang "kering" teronggok
> di
> > samping komputer kreditanku.
> >
> >
> >
> > "Belum," jawabku tenang. Aku tatap wajah kakakku yang terperangah.
> Mungkin
> > mereka berpikir aku bercanda. Karena umumnya--dalam tradisi
> Betawi--khitbah
> > atau lamaran sudah disertai dengan bawaan uang untuk calon istri yang
> > dilamar. Minimal semacam uang muka. Namun, puji syukur bagi Allah yang
> > memudahkan, keluarga sang gadis tidak mensyaratkan itu. Mungkin juga
> > diam-diam tahu tumpukan tagihan utangku--salah satunya karena kegagalan
> > bisnisku di masa lalu yang harus ditebus. Ditambah lenyapnya asset usaha
> > penerjemahanku diterjang banjir pada Februari 2007.
> >
> >
> >
> > "Yang penting keluarga besar Salam datang," ujar sang Mama. Entahlah
> apakah
> > beliau iba dengan aku yang yatim piatu, kurus dan berpenghasilan tak
> tetap
> > yang konon sebagai pelamar "termiskin" di antara sekian banyak pelamar
> yang
> > berminat dengan anak gadis satu-satunya itu. Ketika aku muncul
> pertamakali
> > di rumah asrinya beberapa bulan lalu untuk bersilaturahmi, ia terlihat
> > berusaha menyembunyikan kekagetannya ketika aku jawab aku naik angkutan
> > umum. Sejak itu pertanyaan, "Bawa apa ke sini?" tak pernah terluncur dari
> > mulutnya saat silaturahmi-silaturahmi berikutnya. Mungkin beliau sudah
> > maklum jika naik angkutan umum berarti bawa supir, kenek dan para
> > penumpangnya. Komplit.
> >
> >
> >
> > Belakangan aku ketahui, berdasarkan analisisku dan keterangan dari
> > sumber-sumber tepercaya, salah satu faktor yang membuatku lumayan
> diterima
> > baik adalah karena aku penulis. Memang strategi awalku adalah
> menghadiahinya
> > buku-buku atau media cetak yang memuat tulisan-tulisanku. Dan sangat
> > kebetulan sekali salah satu paman sang gadis pernah aktif menulis di
> majalah
> > kampus dan dalam keluarga besarnya ia cukup dihormati karena posisi
> > "uniknya" itu. Mungkin ini yang namanya *hallo effect*, renungku dalam
> suatu
> > kesempatan.
> >
> >
> >
> > Pertemuanku dengan sang gadis yang kini aku ikat dengan sebuah
> cincin--demi
> > sebuah momen besar berikut di akhir tahun ini--juga karena pena. Aku
> > mendapati fotonya terpampang pada rubrik sahabat pena di sebuah majalah
> > Islam pada tahun 2000. Entah mengapa aku tergerak untuk menyuratinya.
> Belum
> > ada rasa saat itu. Semata-mata yang menggerakkanku adalah satu nama
> tempat
> > yang asing bagiku, tapi menggelitik: PLAJU. Ya, itu tempat kelahiran sang
> > gadis. Yang belakangan kuketahui ia cuma numpang *brojol *saja di sana
> > karena pekerjaan ayahnya yang harus berpindah-pindah lokasi sebagai
> karyawan
> > Pertamina.
> >
> >
> >
> > Ya, karena pingin tahu tentang nama daerah yang seakan berada di penjuru
> > antah berantah itu aku surati dia. Cukup romantis jika dikenang. Di tahun
> > 2000an kami berbalas-balasan surat--meski diselingi dengan email alias
> > ratron--persis seperti tokoh dalam novel *Tenggelamnya Kapal
> Vanderwijck*-nya
> > Buya Hamka menjalin kasih. Tapi saat itu tak ada kata cinta tersurat. Aku
> > yang saat itu berusaha menerapi diri yang lumpuh menulis bertahun-tahun
> dan
> > tak berani (lagi) mengirimkan tulisan ke media menjadikannya sebagai
> > pembaca pertama dan setia tulisan-tulisanku. Bermula dari pertanyaaan
> > tentang letak Plaju--yang ternyata sebuah kota kecil di Sumatera
> > Selatan--hingga kritik konstruktifnya atas tulisan-tulisanku yang saat
> itu
> > mayoritas cerita pendek.
> >
> >
> >
> > Perkawanan via surat berlanjut hingga 2005 tanpa pernah sekalipun ada
> > pernyataan rasa tersurat atau pertemuan tatap muka. Sempat terjeda
> sebentar
> > beberapa bulan karena kesibukanku. Juga karena aku kehilangan alamat
> > emailnya dan juga nomor kontaknya yang lain pada banjir 2002. Ia pun,
> entah
> > kenapa bisa sama, kehilangan nomor kontakku. Hingga takdir mempertemukan
> > kembali pada medio 2006. Sekitar dua bulan menjelang kematian ayahku dan
> > papanya yang hanya berselang dua jam pada hari yang sama sekitar *nisfu
> > sya'ban*.
> >
> >
> >
> > Takdir juga yang membuatku bernyali menghadap ibundanya. Meski saat itu
> > tersiar kabar sang gadis hendak dijodohkan dengan salah satu sepupu
> jauhnya
> > yang lulusan S-2 sebuah universitas agama negeri di Jawa Barat, dan
> seorang
> > PNS pula. Sementara siapa pula aku? Pemuda dari garis keturunan beda
> etnis
> > yang kendati pernah *nyantrik* di UI namun tak tuntas dan harus berjuang
> > dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Mulai dari jualan koran,
> > mengajar bahasa Inggris, sekretaris LSM sampai wartawan *freelance* dan
> > akhirnya penerjemah lepas semata-semata dilakoni demi menyambung nafas
> > kemandirian.
> >
> >
> >
> > Namun rasanya itu terbayar impas ketika pada suatu titik waktu sang gadis
> > bilang salah satu poin kelebihanku hingga ia tak lagi menolak seperti
> sekian
> > pinangan yang bertubi-tubi datang sebelumnya adalah karena aku bisa
> menulis.
> > Dan ia pengagum tulisanku. *Ah, amboi, alangkah beruntungnya para penulis
> > jika semua gadis demikian adanya!* Namun perjalananku ke depan masih
> > panjang. Jika Allah izinkan maka suatu hari di penghujung tahun ini
> adalah
> > momentum awal kedewasaanku. Secara pribadi, aku selalu mengukur tingkat
> > kedewasaan seseorang termasuk diriku dari berani tidaknya seorang lelaki
> > berkomitmen serius menikahi perempuan. Semuda apapun sang lelaki,
> > dan seberapa pun mendasarnya tingkat pendidikan atau rejeki yang ada
> > padanya.
> >
> >
> >
> > Ada suatu keinginan di palung hati yang terdalam bahwa aku ingin
> > menghadiahinya mahar sebuah buku karyaku selayaknya Bung Hatta memberikan
> > mahar buku *Pemikiran Yunani *yang ditulisnya kepada sang gadis idaman,
> > Rahmi Hatta. Adakah Allah izinkan itu terpenuhi? *Wallahu a'lam
> bisshawwab*.
> > Seperti syair lagu rakyat Swahili di pedalaman Afrika, "Hidup adalah
> > perjuangan, dan kalah atau menang adalah urusan Tuhan." Termasuk
> perjuangan
> > menghadapi kegelisahan tahapan berikutnya pasca pinangan yang diwakili
> lewat
> > sebuah pertanyaan, "Sudah ada uang berapa untuk resepsi nikah?"
> >
> >
> >
> > Aku diam-diam tersenyum. Sederet *plan *A dan B berputar di kepala. Tak
> > heran belakangan migrenku kerap kambuh baik karena kejar setoran atau
> > gangguan kegelisahan tersebut. Namun aku meyakini seperti nasihat ibu
> calon
> > mertua yang selalu bilang,"Percaya saja pada Tuhan. Kayak tidak punya
> Tuhan
> > saja!"
> >
> >
> >
> > *Ya, aku percaya pada Tuhan, Mama. Nah, calon istriku, seperti halnya
> > sahabat Nabi yang meminang istrinya dengan sekerat cincin besi, maukah
> kau
> > menerimaku dengan sebatang pena bertintakan cinta yang diraut dari kayu
> > pohon cita-cita? *
> >
> >
> >
> > Ya, ingin aku bisikkan itu di malam-malam permenunganku dalam penantian.
> Di
> > antara jeda rehat begadang malam demi mengejar tenggat pekerjaan yang
> > berjatuhan bagai air hujan. Seperti hujan, ia pun bervariasi mulai dari
> > tandus, gerimis hingga hujan deras.
> >
> >
> >
> > Ya, meminang dengan pena. Hatiku gerimis merincis mengenang kenekatanku
> > sebelum sembilan September yang bersejarah kemarin. Namun belum layak
> dada
> > bungah sebelum takdir yang lebih kuat mengikat. Akan butuh banyak doa
> untuk
> > menjemput takdir yang satu itu. Jika sebelum pinangan, aku khusus minta
> doa
> > dari salah satu teman SMA-ku yang berumroh agar ia mendoakanku di depan
> > Multazam maka kali ini aku butuh doa dari semesta. Seperti sebuah sms
> bijak
> > dari seorang Teha Sugiyo, sang motivator dari Bandung, "Jika niat dan
> > komitmen sudah dipancangkan maka semesta akan menyambut."
> >
> >
> >
> > *Wahai semesta, sambutlah niat suciku!*
> >
> >
> >
> > *Ya Allah yang menguasai semesta, jadikan aku kuat dengan segala titipan
> > kekuatan-Mu yang ada, dan bukan sekadar kenekatan tanpa iman yang
> berkelana
> > berputus-asa dan tumpas digulung masa!*
> >
> > * *
> >
> > *License To Wed***
> >
> >
> >
> > Mengurus pernikahan itu susah-susah gampang. Seorang teman bilang bahwa
> > pernikahan itu tergantung cara kita memandang. Dipandang susah ya susah,
> > dipandang gampang ya jadinya gampang. Termasuk mengurus administrasi
> > perizinannya. Seperti judul film Warkop DKI: *Susah-Susah Gampang*. Tapi,
> > lanjut seorang teman yang lain, jika sudah dijalani ya jadi gampang.
> Seorang
> > pemuda yang sudah khidmat mendengarkan petuahnya jadi rada dongkol sambil
> > membatin,"Ya, iyalah!". Tapi, tak heran, ini masih mengutip kata orang,
> > bahwa orang yang sudah menikah lebih mudah untuk menikah lagi ketimbang
> > lajang �yang notabene miskin ilmu dan pengalaman, dan materi pula�untuk
> > menikah pertamakalinya. Entahlah, terserah percaya atau tidak. Konon, itu
> > teorinya.
> >
> >
> >
> > Singkat cerita, di suatu sore hari kerja, seorang pemuda dan seorang
> gadis
> > berjalan kaki ke sebuah Kantor Urusan Agama (KUA) di bilangan Jakarta
> > Selatan yang letaknya mepet dengan Depok, Jawa Barat. Langkah pasangan
> itu
> > gontai. Plus wajah cemberut. Maklum, mereka habis *long march* 300
> meteran
> > dari ujung jalan utama. Awalnya, waktu mereka bertanya kepada seorang
> lelaki
> > yang nongkrong di ujung gang setiba turun dari angkot, apa jawab sang
> > lelaki?
> >
> >
> >
> > "KUA? Dekat kok. Terus lurus aja!"
> >
> >
> >
> > Dengan *husnuzon* tinggi, sekaligus mengirit ongkos, keduanya menampik
> > tawaran gerombolan tukang ojek yang sudah dengan baik hati menghangsurkan
> > motor mereka. Kedua sejoli itu berjalan mantap. Mereka terus berjalan
> dengan
> > asumsi "dekat" adalah sekitar maksimal 50 meter. Mereka berjalan terus.
> > Terus, dan terus, dan kian lama jalan kian panjang bagai coklat
> *Choki-Choki
> > *. Alamak! Ini *mah* sudah kelewatan dari kategori dekat, keduanya
> membatin
> > sembari berpandangan.
> >
> >
> >
> > Pasangan itu berhenti sejenak di tepi jalan panjang lurus yang rimbun dan
> > sepi. Mau naik ojek? Kadung jauh betul. Mau jalan? Tidak jelas seberapa
> > "dekat" lagi. Bertanyalah keduanya kepada seorang warga setempat. Setelah
> > bertanya dengan teknik interview yang lebih canggih, didapatlah info
> bahwa
> > "target operasi" sudah dekat, sekitar 100 meter lagi di ujung tikungan.
> > Alhasil, dengan meneguhkan niat, sampailah mereka di depan sebuah kantor
> > instansi pemerintah yang nyaris tertutup rimbunnya pepohonan. Maklum, KUA
> > yang satu ini tak jauh dari Setu Babakan, pemukiman budaya Betawi yang
> > diresmikan pemda DKI beberapa tahun lalu.
> >
> >
> >
> > Apakah perjuangan keduanya mencatatkan pernikahan hari itu berhasil?
> >
> >
> >
> > Jam menunjukkan pukul 14.30 WIB. Para pegawai KUA sebagian sudah terlihat
> > bersantai. Seorang wanita pegawai di meja yang menghadap ke arah pintu
> > tengah memberesi isi tasnya. Namun buku besar di hadapannya masih terbuka
> > lebar. Ah, masih ada kesempatan, batin sang pemuda yang hari itu terpaksa
> > membolos dari jadwal kerjanya di sebuah rumah produksi sitkom untuk
> > mengurusi macam-macam persiapan nikahan mulai dari cetak foto hingga *
> > editing* kartu undangan.
> >
> >
> >
> > Setelah si ibu pencatat ramah berbasa-basi, sepasang muda-mudi itu
> > mengutarakan niat untuk mencatatkan pernikahan. Dalam hitung-hitungan
> > mereka, jika jadwal resmi kantor pemerintah sampai pukul 17.00 WIB maka
> > dapatlah mereka mencatatkan jadwal pernikahan sekaligus mendapatkan
> penghulu
> > untuk hari H nanti. Dengan percaya diri, sang pemuda menyodorkan surat
> > numpang nikah yang diurusnya dengan "jasa" ketua RT, RW, Kelurahan hingga
> > KUA di tempat asalnya.
> >
> >
> >
> > "Baik. Si Mas sudah lengkap surat-suratnya. Mbak mana suratnya?"
> >
> >
> >
> > "Surat apa?" tanya si gadis bingung.
> >
> >
> >
> > Setengah heran, si ibu menjelaskan bahwa tidak hanya pihak laki-laki yang
> > harus mengurus surat numpang nikah tapi pihak perempuan juga harus
> mengurus
> > surat pengantar nikah. Lebih aneh lagi, mungkin, jika si ibu melihat
> catatan
> > usia pasangan tersebut yang bisa-bisanya abai dengan pengetahuan "sepele"
> > tersebut. Barangkali si ibu mengurut dada heran sambil membatin,
> "Pasangan
> > yang aneh."
> >
> >
> >
> > Sebenarnya si ibu pencatat di KUA bukan orang pertama yang barangkali
> > berucap demikian. Saat pasangan itu hendak melangsungkah *khitbah* atau
> > lamaran pada September lalu, pihak keluarga juga berkomentar,"Duh,
> pasangan
> > santai!" ketika mereka tahu bahwa semua persiapan termasuk beli cincin
> hanya
> > dilakukan dalam 2 hari jelang hari pinangan. Keduanya pun cuma senyum
> > cengengesan. Barangkali inilah kesamaan yang menyatukan mereka.
> >
> >
> >
> > *Back to laptop*, setelah "gagal" dengan sukses di KUA, sang gadis yang
> > "bermasalah" pun mengurus surat pengantar menikah di RT, RW hingga
> > Kelurahan. Berbagai perjuangan dilalui mulai dari Pak RT yang hanya bisa
> > ditemui pada waktu malam saja (tolong, jangan samakan ia dengan drakula)
> > karena sibuk kerja hingga pegawai kelurahan yang tukang *ngebodor* (baca:
> > melawak) yang mampu mengetik dua lembar surat dalam 2 jam. Suatu rekor
> > tersendiri bukan? Sang gadis pun maklum karena si pegawai kelurahan bukan
> > penerjemah *freelance* seperti calon suaminya yang �karena tekanan
> *deadline
> > *�bisa terbirit-birit menerjemahkan 10 halaman dalam sejam. Ia pun
> menunggu
> > dengan, terpaksa, sabar.
> >
> >
> >
> > Setelah 2 jam lebih sedikit, surat pengantar pun beres. Tanpa periksa
> lagi,
> > sang gadis menuju rumahnya yang hanya berjarak puluhan meter dari kantor
> > kelurahan yang setia ditungguinya 2 jam tadi. Sang ibu yang menyambut di
> > rumah segera meneliti.
> >
> >
> >
> > "Lho kok tulisannya begini?"
> >
> >
> >
> > Si gadis penasaran, dan melongok ke bagian belakang surat yang memuat
> > keterangan: XXXXXX..DAN MENIKAHI SEORANG PEREMPUAN BERNAMA NURSALAM AR
> > (aslinya tulisan itu dengan tulisan tangan berukir khas lulusan SR tahun
> > 50an).
> >
> >
> >
> > Si gadis mangkel. Ibunya terbahak.
> >
> >
> >
> > "Jeruk kok makan jeruk?"
> >
> >
> >
> > Akhir cerita, surat itu berhasil diperbaiki, diiringi riuh tawa sekantor
> > kelurahan, dengan tambahan waktu 30 menit saja. Sang gadis tidak jadi
> "makan
> > jeruk". Karena sang "perempuan" dalam keterangan surat itu sudah
> "kembali"
> > ke wujud aslinya. Lelaki tulen. Secara *de jure* dan *de facto*.
> >
> >
> >
> > Dalam catatan pernikahan di KUA, 3 hari kemudian, sang gadis bernama Yuni
> > Meganingrum dan sang pemuda �yang sempat "berubah wujud"�bernama Nursalam
> > AR.
> >
> >
> >
> > *Menikah? Lantas....*
> >
> >
> >
> > Alhamdulillah, di penghujung 2007 tepatnya 23 Desember, di ujung usia 30,
> > aku menikah. Tepatnya, sudah menikah dan kawin. Ini demi menghindari
> > olok-olok zaman SMA dulu.
> >
> >
> >
> > "Elo mau kawin apa nikah?"
> >
> >
> >
> > "Emang apa bedanya?"
> >
> >
> >
> > "Nikah pake surat. Nah, kawin cuma pake urat."
> >
> >
> >
> > Ketika seorang lelaki menikah, akad nikahnya jelas berbunyi, "Saya terima
> > kawin dan nikahnya fulanah binti fulan." Jelas. Komplit. Tidak ada syak
> > lagi. Ada senyum terkembang bahagia, ada tangis haru pecah dan ada
> sederet
> > kewajiban yang datang.
> >
> >
> >
> > Pernikahan sendiri bukanlah sebuah prestasi. Setidaknya itu jawaban
> > pribadiku saat seorang *netter*, ketika dalam sebuah milis meruyak
> > kontroversi tentang 'pernikahan adalah prestasi', bertanya via email
> > kepadaku. Menikah bukan prestasi, jawabku. Tapi menikah adalah kebutuhan.
> > Entahlah bagaimana raut mukanya di seberang kabel sana saat menerima
> balasan
> > emailku tersebut yang barangkali dianggapnya "tidak canggih". Puas atau
> > tidak sang penanya, (lagi-lagi) setidaknya itu sebuah kejujuran terhadap
> > diri sendiri.
> >
> >
> >
> > Obat bagi seorang lelaki yang gampang jatuh cinta � seperti aku, misalnya
> --
> > adalah menikah dan memiliki istri -- yang setidaknya menurutnya pribadi
> --
> > cantik. Minimal, ia terhindar dari dosa khayalan liar bujang di waktu
> malam
> > sepi. Terlebih saat dingin hujan menggigit. Yang terutama, membuatnya
> jadi
> > belajar bagaimana berkomitmen dan terikat pada sebuah hubungan yang ajeg.
> >
> >
> >
> > Pernikahan bukanlah menyeragamkan perbedaan tetapi justru memahami
> perbedaan
> > dan mencoba berkompromi. Sepekan pertama pernikahan, aku mendapati
> kenyataan
> > bahwa aku dan istri tercinta punya kebiasaan tidur yang kontras. Aku suka
> > tidur dengan lampu terang --karena kebiasaan membaca buku sebelum tidur
> > hingga tak jarang buku pun berubah jadi tatakan iler -- dan anti kipas
> angin
> > (karena aku rentan masuk angin). Namun, Yuni hanya bisa tidur jika lampu
> > dimatikan dan kipas angin wajib menyala. Gerah, katanya. Alhasil, tiga
> hari
> > dalam sepekan pertama tersebut aku masuk angin dan kurang tidur, karena
> tak
> > bisa tidur tanpa bacaan pengantar tidur.
> >
> >
> >
> > Tapi akhirnya titik kompromi tercapai juga setelah terjadi negosiasi.
> > Setelah sebulan lebih. Masuk hari ketigapuluh sekian, lampu kamar tak
> selalu
> > gelap. Terlebih jika aku harus bekerja di depan komputer atau laptop
> hingga
> > dini hari.Karena Yuni Meganingrum, istriku, juga mulai belajar memaknai
> --
> > dalam arti sebenarnya-- bahwa suaminya tak bisa sepenuhnya
> "bermetamorfosis
> > sempurna". Ia masih saja makhluk (semi) nokturnal.
> >
> >
> >
> > Menikah juga konon membuat kaya. Itu kata salah satu buku panduan menikah
> --
> > yang banyak aku lahap jauh sebelum menikah -- yang mengutip janji al
> Qur'an
> > bahwa Allah akan memampukan orang-orang yang menikah. Sementara definisi
> > kaya, seperti halnya sukses, cenderung relatif.
> >
> >
> >
> > Sebagian kawan -- yang sudah menikah tentunya -- menafsirkannya dalam
> > dimensi material. "Sebelum menikah, ane ga punya apa-apa. Sekarang
> > alhamdulillah sudah punya kendaraan pribadi dan sedikit tabungan." Sobat
> > yang lain memaknainya dalam dimensi spiritual. "Yah, biar belum punya apa
> > yang banyak kami mau tetapi batin saya tenang setelah menikah." Ya,
> apapun,
> > tak usahlah jadi kontroversi.
> >
> >
> >
> > Setidaknya, sesuai pengalaman saya sendiri, setelah menikah Anda akan
> kaya
> > -- dalam artian akan memiliki apa-apa yang belum Anda miliki. Setidaknya
> > memiliki istri atau suami dan kemudian anak, dan bertambah jumlah
> keluarga
> > besar (ada mertua, saudara ipar) dan tambahan kenalan (teman-teman
> pasangan
> > kita). Maka, terbentanglah di hadapan Anda, jejaring silaturahim yang
> luas.
> > Dan Tuhan menjanjikan syarat panjangnya umur dan berlimpahnya rizki
> adalah
> > silaturahim.
> >
> >
> >
> > Jadi, kendati panjang dan mungkin berat meniti jalan menuju pernikahan,
> > berteguhlah, Sobat, karena ini jalan kedewasaan, jalan fitrah.
> >
> > *Pengadegan, Juni 2009*
> >
> > Foto-foto: www.nursalam.multiply.com
> > **) semua bagian tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di milis SK yang
> > artinya Sekolah Kehidupan (SK) adalah bagian tak terlepaskan dari
> perjalanan
> > jodoh tsb, tempat di mana saya berteduh. Sungguh saya merasa berdosa dan
> > sedih ketika rumah ini terasa sunyi dan kering, antara lain karena saya
> > sendiri sebagai salah satu penghuni tak lagi rajin mengunjungi. Sengaja
> > tulisan ini dikumpulkan dan diposting ulang guna mengenang perjalanan SK
> > jelang milad ke-3 di Bandung Juli nanti.*
> > ***) Untuk semua yang berniat, akan, jelang dan sudah menikah, semoga
> > tulisan ini bermanfaat:). Mari berbagi, mari bercerita! Mari ramaikan
> rumah
> > kita kembali!*
> >
> > * *
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > --
> > -Nursalam AR
> > Translator & Writer
> > 0813-10040723
> > 021-92727391
> > YM ID: nursalam_ar
> > www.nursalam.multiply.com
> > www.pensilmania.multiply.com
> >
>
>
>

--
-Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
YM ID: nursalam_ar
www.nursalam.multiply.com
www.pensilmania.multiply.com
4.

[HUMOR] Fakir Missed Call

Posted by: "Nursalam AR" pensilmania@gmail.com

Fri Jun 12, 2009 6:07 am (PDT)



*Fakir Missed Call**

*Oleh Nursalam AR*

�Pak, minta duit, Pak...�

Langkah Pak Jarot yang memasuki dapur terhenti. Ia melotot. �Kamu apa-apaan
sih, Ni? Minta duit segala. Gayanya begitu lagi. Kayak fakir miskin aja!�

�Saya kan fakir, Pak,� jawab Arni dengan wajah memelas.

�Fakir apa? Kamu kan baru gajian minggu kemarin!�

�Fakir *missed call*. Ga bisa nelpon,� Arni mengacungkan hape miliknya. Hape
gaul model terbaru. �Gaji yang kemarin kan ditabung buat beli berlian.�

�Berlian?� Pak Jarot tambah mendelik.

Dengan lugu, Arni menjawab,�Iya, buat mas kawin saya. Keren kan?�

�Emang kamu sudah mau nikah? Kan belum punya pacar?�

�Iya sih, Pak. Semua masih dalam konfirmasi,� Arni tertunduk. Ia meneruskan
mengelap termos. �Ini makanya saya butuh pulsa biar dapat kepastiannya,
Pak.�

Pak Jarot geleng-geleng kepala. Gaya pembantunya ini memang beda, *high
class*. Tapi, demi membantu orang dapat jodoh, Pak Jarot mengeluarkan
dompetnya.

�Kamu butuh berapa?�

�Seadanya, Pak.�

Pak Jarot tersenyum lega. Ia menarik selembar dua puluh ribuan.

�Maksudnya, seadanya isi dompet bapak...�

Pak Jarot mendehem keras. Kumis baplangnya bergerak-gerak.

Arni paham situasi. �Boleh deh, Pak. Dua puluh ribu ga apa-apa.�

Belum lagi lembar dua puluh ribuan itu berpindah tangan, terdengar deheman
keras dari ruang tengah. Pak Jarot mendadak panik. Lekas ditariknya
tangannya. Ia lantas pergi. Amblas sudah harapan Arni. Di rumah itu, deheman
Bu Jarot lebih berkuasa daripada kumis baplang suaminya. Dan Pak Jarot
sendiri tidak mau nanti dituduh terlibat *affair *dengan pembantunya.
Bisa-bisa seperti Bill Clinton dan Monica Lewinski.

Buat Arni sendiri, monika mo kagak sih terserah. Yang penting bisa nelpon�

Di ruang tengah, Bu Jarot mendehem berkali-kali. Tenggorokannya terasa
gatal. Kebanyakan *ngemil *kacang kulit. Padahal sinetron lagi seru-serunya.

�ATI...!!!� teriaknya. �Air minum, Ti!�

Nama lengkap Arni memang Arniati binti Sami�un. Tapi ia lebih suka, karena
lebih keren, dipanggil �Arni�. Namun Bu Jarot, yang sangat sadar hierarki
sosial, tetap memanggilnya �Ati�. Biar lebih terasa *feel*-nya, katanya. *
Feel* sebagai pembantu, maksudnya.

Arni yang belum kelar mengelap termos tergopoh-gopoh menghampiri majikannya
yang satu ini.

Bukannya senang, Bu Jarot malah senewen. �Segelas aja, Ti! Ga setermos!�

Arni kaget. Ia baru sadar ia masih memegang termos yang sedang dilapnya. Ia
cengengesan. �Iya ya, Bu,hehe...�

�Pake ketawa lagi!� sembur Bu Jarot. �Nyindir ya? Mentang-mentang aku
gembrot, kamu kira aku minum kayak gajah?!�

Arni langsung *mingkem*, manyun. Sengsara *bener* jadi fakir *missed call*,
batinnya. Masih mending jadi fakir miskin dilindungi undang-undang.

Bagian hatinya yang lain bersuara,�Tapi kalo fakir *missed* *call* kayak gue
kan disayang Kang Undang��

Terbersit lintasan nama salah satu target calon pacarnya itu, Arni jadi
ceria. Senyumnya terkembang. Rentetan omelan yang diluncurkan Bu Jarot
serasa nyanyian burung-burung di taman bunga. Pada *scene* tersebut,
dalam *slow
motion*, Bu Jarot terus *nyerocos* sambil menuding-nuding Arni sementara
Arni tertunduk tersenyum tersipu-sipu. Dalam khayalannya, ia sedang
mendengarkan rayuan mesra Kang Undang.

�*Abdi bogoh ka anjeun*��

Padahal sebenarnya Bu Jarot sedang memakinya,�Dasar ganjen!�

***

�TIDAK!� tolak Arni. Ia meronta sekuat tenaga.

�Arni, aku sayang kamu�� Syamsul terus mendekat.

�TIDAK!� jerit Arni kian keras.

�Dengar dulu, Arni, aku tulus��

Arni tertegun. �Lho, kamu bukannya Syamsul?�

�Ya, aku Syamsul. Dan aku tulus...�

�Syamsul apa Tulus?!� potong Arni. �Konsisten dong!�

�*Whatever* deh!� Syamsul kesal.

�CUT!� suara keras setengah membentak terdengar.

�Ini sinetron, *guys*!� bentak sang sutradara berkepala botak. �Bukan
ngobrol. Yang serius dong!�

�Ya, Pak,� angguk Syamsul dan Arni berbarengan. Lesu.

�Ulang ya. Yang serius!� ancam Si Botak.�*Camera action*!�

�TIDAK!� jerit Arni tambah keras.

�Hoi! Lu apain tuh anak gue!� Mendadak muncul babe Arni bersenjatakan golok.
Golok *made in* Cibatu yang tajam berkilat diacung-acungkannya.

�Pak�Sabar!� Syamsul menahan.

�Name gue Mi�un. Bukan Sabar. Sok kenal lu!� Bang Mi�un mencengkeram kerah
kaos Syamsul. �Dasar anak bejat!�

�Be, Arni kan lagi maen pelem!� Arni menangis meratap.

�Kagak pake. Pulang!� Bang Mi�un menyeret anak perawan sematawayangnya
pulang. Tak ada yang mencegatnya. Tongkrongan Bang Mi�un dengan gelang bahar
hitam, gesper hijau besar dan celana pangsinya sungguh mengesankan sebagai
jawara tangguh.

Padahal, andai mereka tahu, Bang Mi�un hanya kuli penyadap *tuak* aren. *
Tuak* aren adalah sebutan dalam bahasa Betawi untuk nira aren yang kemudian
akan diolah menjadi cuka. Pohon-pohon aren yang disadap pun milik orang
lain. Karena profesinya itu, sejak ia ditinggal mati istrinya sepuluh tahun
lalu, Bang Mi�un dijuluki DUREN. Bukan Duda Keren. Tapi duda (bau) aren.

�Ancur! Kacau!� Si Botak ngamuk-ngamuk. Tak sengaja ia menyepak kamera.

�Tambah mati gue! Hih!� Si Botak terperangah melihat kamera senilai jutaan
rupiah terbanting sia-sia ke tanah.

Arni sendiri terisak-isak dalam seretan ayahnya. Gagal lagi usahanya untuk
terlepas dari status fakir *missed call*.

*Gagal lagi ah�gagal lagi*�

Isakan Arni berirama seperti melodi lagu tarling Pantura, *Mabok Bae*.

* * *

�Babe, gimane sih?! Arni kan bosen jadi pembantu terus!� protes Arni.
�Sekalinye jadi artis eh babe kendiri yang ngalangin!�

Bang Mi�un mengacungkan goloknya,�Ati, haram tuh perawan maen pelem.
Dipegang-pegang bukan muhrim. Kagak sudi gue!�

�Yee..babe kege-eran deh. Emang babe yang dipegang-pegang. Kan Arni yang
ngerasain!�

�Ya Allah, justru entu nyang gue ga suka. Udah, Ti, elo jadi pembantu aje. Biar
gaji dikit tapi halal!� Titah Bang Mi�un terucap sudah. Harga mati sudah
dipatok.

Ati alias Arni merengut. Ia berlari masuk kamar. Ditumpahkannya segala
kesedihan di bantal *demek*. Padahal baru kemarin ia bersukacita diajak Inah
� pembantu seberang rumah Bu Jarot � untuk ikutan syuting sinetron. Kebetulan
kru tim sinetron favorit Arni sedang *take* beberapa *scene* di kampung
mereka. Dan sang sutradara butuh beberapa figuran yang akan berperan sebagai
pembantu rumah tangga. Termasuk Syamsul, tukang kebon di rumah Pak Dewa.
Jadi cocoklah. Dijamin Arni dkk akan sangat menjiwai peran.

Yah, meski cuma jadi figuran yang kebagian ngomong beberapa baris dialog
saja. Meski cuma dapat dua lembar seratus ribuan. Tapi Arni senang. Ia sudah
membayangkan bisa beli pulsa dan bertelepon ria dengan Kang Undang, Bang
Jeki, Mas Alan...

Mas Alan?

Kok gue bisa lupa ya sama jejaka Solo item manis itu?

Arni terhenyak. Ia lupa sedihnya. Ia ambil buku *diary*-nya yang lebih mirip
buku catatan tukang kredit panci. Ia buka-buka sebentar dan mulai
mengingat-ingat.

Ya Allah, udah sebulan gue ga ketemuan sama Mas Alan, desisnya. Arni
berdesis panjang mirip ular sendok ketemu mangsa. Mas Alan, *ape kabarnye ye
*?

Mas Alan, yang nama lengkapnya Sutarlan, termasuk target inceran Arni nomor
satu untuk dijadikan calon suami. Kendati profesinya sebagai *Office
Boy*(OB) tidak berbeda jauh dengan strata gebetan-gebetan Arni yang
lain,
perilaku Mas Alan yang lugu dan lemah lembut khas Solo dengan perawakan item
manis sungguh suatu hal berbeda yang menarik hati Arni.

Bukankah cinta itu tidak mengenal perbedaan? Bukankah perbedaan itu adalah
kembang-kembang hubungan asmara? Arni hafal betul kata-kata mutiara tentang
cinta itu yang dicomotnya dari sebuah majalah remaja.

Arni teringat nostalgia kencan pertamanya dengan Mas Alan.

Sore itu di taman umum di bawah jembatan layang. Angin sepoi-sepoi geboy.
Arni dan Mas Alan duduk berhimpit. Bukan karena pingin lebih mesra tapi
memang bangku taman begitu sempit. Mereka berdua sama-sama gugup.

�Kulit kamu putih,� bisik Mas Alan dengan jurus pembukanya. Arni sumringah.
Tangannya sibuk mengelus-elus kulit lengannya yang terbuka leluasa. Sore itu
Arni berdandan spesial untuk Mas Alan: *tanktop* pink dan *blue jeans*ketat.

�Ah, masak,� Arni grogi. Kian grogi, karena diam-diam tangan Mas
Alan mulai merayap seperti *ulet keket* menaiki batang pohon sirih.

�Betul. Kulit kamu putiih banget!� Alan tampak serius. Matanya
lekat meneliti kulit Arni. Boleh diakui, sebagai pembantu rumah tangga,
penampilan Arni yang putih dan *sekel *memancing iri Bu Jarot, sang majikan.
Tidak heran jika Bu Jarot selalu cemburu jika suaminya dekat-dekat dengan si
pembantu muda.

�Ah, masak sih,� Arni makin tersipu malu. �Nggak kok!� ujarnya
merendah. Tangannya basah berkeringat, bergetar dalam genggaman Mas Alan.
Entah berapa skala richter kekuatannya. Yang jelas, rambatannya terasa
hingga ke jantung Arni.

�Iya juga sih. Kulit kamu ada bercaknya,� ujar Mas Alan setelah
memandang lengan Arni lebih dekat. Sslurp! Lenyaplah sensasi gembira yang
sedang dinikmati Arni. Ia memandang kecewa berganti-ganti antara Mas Alan
dan bercak coklat yang ada di lengannya agak sedikit ke bawah.

�Tapi jangan kuatir. Itu tidak masalah,� Mas Alan menenangkan.
Senyum Arni kembali terbit. Ia senang Mas Alan mau menerima
keadaannya. *Nobody�s
perfect*, begitu bunyi salah satu kata mutiara yang dihafal Arni.

�Aku punya solusinya,� lanjut Mas Alan. Ia mengeluarkan sesuatu
dari tas ranselnya. �Ini dia. Obat pemutih kulit cap Duo Putro Rajo.
Berkhasiat menghilangkan bercak-bercak di kulit dan 1001 masalah kulit
lainnya. Untuk Dik Arni, bisa cicil tiga kali. Lebih bagus lagi kalo Dik
Arni mau jadi *downline* aku,� jelas Mas Alan yang mendadak jadi bersemangat
menggebu-gebu. �Gimana?�

Ternyata pekerjaan sampingan Mas Alan adalah agen Multi Level
Marketing (MLM). Jadilah kencan pertama mereka ajang presentasi produk
dagangan Mas Alan. Tapi Mas Alan cukup royal. Dibandingkan Bang Jeki, si
sopir mikrolet.

Saat itu mereka janjian via telepon untuk kencan pertama.

�Halo, Bang Jeki ya? Ini Arni,� sapa Arni dengan suara
dimanja-manjakan.

Terdengar riuh bising kendaraan. Sepertinya Bang Jeki sedang *
ngetem* di terminal.

�Ya, siapa nih?� jawab Bang Jeki tegas dengan logat Bataknya.
Nama lengkapnya Zakiruddin Harahap.

�Arni, Bang...� ujar Arni masih dengan suara manja dan super
lembut.

�HAH? SIAPA?�

�Arni...!! A-R-N-I...ARNI!�

�ALNI?!�

�A-R-N-I...ERR...ROMEO!�

Terdengar dengus kesal. �BAH! MANA PULA ROMEO SUARANYA CEWEK?!�

Aargh!

Tapi akhirnya mereka jadi juga ketemuan. Di rumah makan Padang.
Karena Arni menolak setengah mati diajak masuk ke *lapo* di sebelah
terminal.

�Ah, *mentel kali* kau. Ya, sudahlah!� cetus Bang Jeki kesal ketika diajak
masuk ke rumah makan Padang. Ini juga kompromi, batin Arni dalam hati. Kan
mereka masih bertetangga provinsi. Sebetulnya Arni pingin makan botok teri
di rumah makan Sunda. Tapi Sunda kan jauh dari Sumatera, pikirnya, nanti
Bang Jeki bermasalah lagi. Yah, Arni mengalah demi cinta�

Cinta? Rasanya tidak juga. Selama kencan dengan Bang Jeki rasanya urat leher
Arni tegang terus. Ia harus teriak-teriak ketika ngobrol dengan Bang Jeki.
Gara-gara terbiasa hidup di terminal yang bising, Bang Jeki agak kurang
pendengarannya. Alhasil, saat mereka nonton di bioskop, para penonton yang
lain pada protes. Mereka bilang Bang Jeki �mengganggu ketenangan�.

�Apa pula ini?! Aku kan cuma berbisik, Ar!� Bang Jeki membela diri.

Nah, kalau mau dibilang cinta sejati, ya cinta sejati Arni sebetulnya
tertambat pada kumis tipis Kang Undang. Sang tukang kredit dari Garut. Ia
yang paling ganteng dari ketiga pria yang menghiasi hati Arni. Orangnya juga
sabar dan sopan. Royal pula. Tiap bulan Arni dikasih sangu uang pulsa dan
uang bedak. Kencan pertama mereka pun di sebuah kafe kopi waralaba
internasional. Meski selanjutnya kembali ke warteg dan rumah makan Sunda. Namun
kencan pertama itu sangat mengesankan sekaligus memalukan buat Arni.

�Akang sudah pingin nikah, Neng,� ujar Kang Undang waktu itu. Usianya memang
sudah lewat 30-an. Sambil menyeruput *ice blended*-nya, Arni mesem-mesem.

�Gimana, Neng?� lanjut Kang Undang dengan tatapan menyelidik.

�Enak...�

Kang Undang nyengir. �Nikah *mah* emang enak *atuh*, Neng. Neng mau kan?�

Arni menatap Kang Undang. �Tapi krimnya tambah ya!�

�Kok pake krim, Neng? Kan Neng masih perawan?�

Giliran Arni yang bengong. Ia ternganga dengan krim belepotan di bibir.

�Neng udah ga perawan?� tanya Kang Undang hati-hati. �Mm�maap..�

Kang Undang tampak kecewa. Ia meneguk *capuccino*-nya sekali tandas.

Arni bingung. �Kang, apa hubungannya krim sama perawan? Kan Neng cuma mau
tambah krim lagi?� kata Arni sambil memperlihatkan gelasnya.

Kang Undang melongo. Ada senyum lega sekaligus mangkel di wajahnya. Ternyata
sedari tadi Arni hanya sibuk dengan *ice blended*-nya.

Tapi, dasar orang sabar, Kang Undang masih setia menemani dan menraktir Arni
selama berbulan-bulan setelah itu. Hanya dua setengah bulan belakangan tiada
kabar darinya baik SMS atau telepon. Padahal Arni sudah menabung
berbulan-bulan uang gajinya untuk membeli mas kawin. Ia ingin berlian
sebagai mas kawinnya. Dan ia tak ingin merepotkan Kang Undang yang sudah
sangat baik kepadanya. Tapi, aah, sekarang Arni bukan saja fakir cinta, tapi
juga fakir *missed call* bahkan fakir pulsa�

Kembali Arni sesenggukan hingga ia tertidur kelelahan. Dalam mimpinya, ia
bertemu Kang Undang. Mereka berkejar-kejaran di padang rumput luas sambil
menari dan sesekali main petak umpet di balik pohon seperti di film-film
India.

***

Inah adalah tempat curhat sejati dan yang paling nyaman buat
Arni.

�*Yo wis, sing sabar to*, Ni,� hibur Inah. Nama lengkapnya Wolly
Sutinah. Itu nama asli Mak Wok, aktris film *ngetop* tahun 70-an. Konon
orang tua Inah *fans* berat Mak Wok. Entah karena pengaruh kharisma nama
�Wolly� atau tidak, Inah juga sangat pintar membuat kue wolu... eh bolu.

�Gue capek sabar terus-terusan, Nah,� rintih Arni. Ia
sesenggukan memeluk lututnya. Wajahnya sembab berurai air mata.

�Sabar kok capek, Ni,� lanjut Inah sambil menyisiri rambut Arni
yang mayang bergelombang. �Sabar itu *ndak* ada batasnya. Hidup juga
*sing*sederhana.
*Wong Jowo* bilang �*ngono yo ngono yo ojo ngono*���

�Apaan tuh?�

�Maksudnya kalo kamu sedih *yo* jangan kelewat sedih. Kalo *seneng
yo* jangan kebablasan�Roda kan *muter to*, Ni,� Inah berpetuah bijak. Arni
manggut-manggut merasa tercerahkan. Kadang Arni curiga jangan-jangan Inah
itu sarjana yang menyamar jadi pembantu seperti di sinetron-sinetron.

Mendadak wajah Arni yang sejenak cerah kembali mendung.

�Tapi, Nah, kalo rodanya kayak ban mikrolet Bang Jeki yang
sering *ngetem*, gimana?�

Inah pun kehabisan kata.

*Catatan :*

Mingkem: terdiam, bibir terkatup rapat (bahasa Betawi)

Abdi bogoh ka anjeun: aku cinta kamu (bahasa Sunda)

Tarling: kesenian gitar dan suling khas Cirebonan, pesisir Pantai Utara Jawa

Demek (dilafalkan seperti pada kata �temen�): basah, agak lembab (bahasa
Betawi)

Ular Sendok: ular Sanca (bahasa Betawi)

Ulet Keket: ulat bulu yang berukuran besar, berwarna hijau dan menyebabkan
gatal jika menyentuh badan (bahasa Betawi)

Sekel (dilafalkan seperti pada kata �temen�): montok berisi (bahasa Betawi)

Lapo: warung tuak khas Tapanuli (bahasa Tapanuli)

Mentel (dilafalkan seperti pada kata �menteng�): cerewet, banyak omong
(bahasa Batak Medan)

* *) cerpen ini menjadi juara Pertama dalam Lomba Cerpen Humor Cabang FLP
Jakarta pada Maret 2009.*

* *

* *

--
-Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
YM ID: nursalam_ar
www.nursalam.multiply.com
www.pensilmania.multiply.com
5.

(catcil) Rumahku Yang Indah

Posted by: "agussyafii" agussyafii@yahoo.com   agussyafii

Fri Jun 12, 2009 6:08 am (PDT)



(catcil) Rumahku Yang Indah

By: agussyafii

Senin malam ketika anak-anak Amalia selesai menghapal surat-surat pendek kami berdiskusi mengenai 'Rumahku Yang Indah.' Adi mengatakan rumahnya indah karena ada ayah, ibu dan adek yang sayang pada dirinya. Lusi menyebutkan rumah yang indah karena penghuninya murah senyum tapi tidak kalo sedang sakit gigi. Demikian hal juga Dani, sekalipun rumahnya juga buat menjadi warung teman-temannya suka bermain dirumahnya. Namun berbeda dengan Dede yang menyebutkan bahwa rumah indah jika dihiasi keramahan penghuninya. 'Coba Kak, kalo kita maen kerumah teman yang punya rumah ramah dan baik hati..rumah itu terlihat indah.'katanya.

Kemudian saya menjelaskan kepada anak-anak Amalia, 'Kita Sebagai makhluk budaya mengenal tempat tinggal tetap atau rumah yang menjadi tempat istirahat dan tempat membangun keluarga. sebab itulah pintu pada tempat tinggal kita sebagai pelindung kehidupan privacy kita dan keluarga disamping untuk keamanan. Oleh karena itu tatakrama kehidupan masyarakat mengharuskan mengetuk pintu atau menekan bel atau memberi salam terlebih dahulu ketika akan memasuki rumah tinggal orang sebagai bentuk meminta izin agar kedatangannya tidak mengganggu kehidupan pribadi orang lain.'

'Lantas kita barus bagaimana Kak Agus?' tanya Ratna.

Saya katakan padanya bahwa Islam memberikan tuntunan adab ketika memasuki rumah, baik rumah orang lain maupun rumah sendiri dan kemudian saya menerangkan beberapa hal tuntunan yang patut menjadi perhatian anak-anak Amalia antara lain.

1. Berdoa ketika memasuki rumah. Rasulullah memberi contoh doa sebagai berikut.

Bismillahi walijna, wa bismillahi kharajna, wa `ala rabbina tawakkalna

Artinya, 'Dengan nama Allah kami masuk, dengan nama Allah kami keluar, dan kepada Allah kami berserah diri.' (HR. Abu Daud)

2. Memberi salam kepada penghuni rumah pada saat memasukinya:

Assalamu `alaikum wa rahmatullahi wa baraka tuhu

artinya, Selamat, rahmat dan berkat Allah menyertai anda.

Rasulullah SAW pernah berkata kepada Anas r.a.: Hai anakku, apabila engkau masuk ke rumah keluargamu, ucapkan salam, agar engkau dan seisi rumah mendapat keberkahannya.

3. Apabila mengetuk pintu, ketuklah dengan perlahan sekedar ia tahu bahwa di luar ada tamu.

4. Kalau ketukan perlu berulang kali, maka lakukanlah dalam tempo yang agak jarang.

5. Saat permisi untuk masuk, ambillah posisi di samping pintu, jangan pas di depan pintu.

6. Setelah mengetok pintu dan ada suara dari dalam menanyakan siapa, maka jawablah dengan menyebut nama anda yang dikenalnya.

7. Kalau anda bertandang ke rumah teman, jagalah mata anda dari menoleh ke sana ke mari dan bukalah alas kaki (jika analisanya demikian), kemudian meletakkan pada tempatnya.

8. Duduklah pada tempat yang telah disediakan untuk tamu dan jangan menempati tempat khusus bagi tuan rumah. Rasulullah pernah bersabda:

'Tidak layak seorang tamu mengimami penguasa wilayah setempat dan tidak duduk di rumahnya di tempat kehormatannya, kecuali dengan izinnya'. (HR. Muslim)

9. Hormatilah orang yang lebih tua baik umur maupun kedudukkannya pada saat berjalan, masuk, keluar, saat pertemuan, pembicaraan, dengar pendapat, diskusi dan pada saat mengikuti arahan.

Malam semakin larut anak-anak Amalia terlibat dalam diskusi hangat mengenai rumahku yang indah dan akhirnya kami sepakat bahwa rumahku yang indah, rumah yang membuat nyaman dan bahagia para penghuninya.
Akhirul kalam izinkan saya berdoa buat teman2 semua yang membaca tulisan ini, Semoga Alloh SWT senantiasa dilimpahkan kebahagiaan selalu untuk anda dan keluarga..amin ya robbal alamin...selamat liburan dan berakhir pekan bersama keluarga tercinta

Jumat, 12 juni 2009

Wassalam,
agussyafii

--
Tulisan ini dalam rangka kampanye program 'Amalia Love Green (ALG)' Ahad, tanggal 14 Juni 2009, di Rumah Amalia, Jl. Subagyo Blok ii 1, no.23 Komplek Peruri, RT 001 RW 09, Sudimara Timur, Ciledug. TNG. 'Lima Cara Amalia Love Green (5 CALL Green) Pelihara Bumi' 1. Jadilah Penyelamat Bumi dengan memulai dari hal yang kecil dan mudah, 2. Tanam bunga dalam pot, 3. Gunakan Air dengan bijak, 4. manfaatkan kembali benda-benda yang bisa digunakan, 5. Matikan lampu yang tidak digunakan. Mari kirimkan dukungan anda pada program 'Amalia Green Love (AGL)' melalui http://agussyafii.blogspot.com, http://id-id.facebook.com/people/Agus-Syafii-Muhamad/861635703 atau sms 087 8777 12431

6.

Bls: [sekolah-kehidupan] INFO WORKSHOP FUN MATH

Posted by: "Sri Asih" asih_cp09@yahoo.co.id   asih_cp09

Fri Jun 12, 2009 6:08 am (PDT)



Terlalu jauh kang. Buat acara serupa di Jakarta donk, boleh juga tuh , selama ini memang anak-anak kesulitan memahami soal cerita.

--- Pada Jum, 12/6/09, ammy ramdhania <ammy_ram@yahoo.co.id> menulis:

Dari: ammy ramdhania <ammy_ram@yahoo.co.id>
Topik: [sekolah-kehidupan] INFO WORKSHOP FUN MATH
Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 12 Juni, 2009, 5:28 AM

Dear Allz,
 
KELOMPOK MASYARAKAT PEMERHATI PENDIDIKAN ANAK (MENITI PENA) bekerja sama dengan GemilangPembelajar menggelar WORKSHOP matematika :
PEMODELAN MATEMATIKA : CARA MUDAH MENYELESAIKAN SOAL CERITA
Bersama :  TEAM dari FUN MATH
·         Syarif Hidayat, Ir.MSc
(SeniorManager PT TELKOM)
·         Yussy Kusumawardhani, ST 
(konsultan, penulis & pemerhati pendidikan anak)
·         Fatimah Mulyana
(konsultan matematika sekolah, penulis & pemerhati pendidikan anak)
Tempat :   GRAHA HARMONI,
JL BUDI No 28 CIMINDI  
BANDUNG
 
Hari /tgl : MINGGU, 14 JUNI 2009
Jam 08.00 – 16.00 wib
Kontribusi Peserta
Paket tunggal          : Rp. 75.000,- per orang
Paket 2 orang dari satu sekolah    : Rp. 65.000,- per orang
Paket 3 orang dst, dari satu sekolah :: Rp. 55.000,- per orang
Diskon 10% untuk anggota Simpul Pendidikan
(kecuali Paket 3 orang : diskon 5%)
 
Fasilitas Peserta :
Sertifikat, Seminar Kit, Snack, makan siang, ruangan ber-AC.
 
Informasi & Pendaftaran
Ibu Neneng  : 665 4378 / 085 220 7411 73
Ibu Maya     : 665 8406 / 081 221 56 808
Ibu Prapti     : 664 0994 / 022 9160 2027
 
 acara ini digelar khusus untuk mereka yang punya perhatian yang sangat tinggi akan dunia pendidikan anak  dan berani  menerima  hal-hal yang baru demi kemajuan yang sangat signifikan untuk generasi mendatang.
Tempat sangat terbatas, daftarkan segera ……….
 
 
 
 

Lebih bersih, Lebih baik, Lebih cepat - Yahoo! Mail: Kini tanpa iklan. Rasakan bedanya!












Lebih bersih, Lebih baik, Lebih cepat - Yahoo! Mail: Kini tanpa iklan. Rasakan bedanya! http://id.mail.yahoo.com
7a.

Re: Hati-hati modus pencopetan baru !!

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Fri Jun 12, 2009 6:20 am (PDT)



Makasi atas sharingnya, mbak...
waaah, saya suka naik mikrolet M19 tuh...

Oh, ya Ralat, Depok-kampung rambutan itu T19, bukan M19 ;)

Sekadar share, saya pernah kecopetan di angkot T19 tersebut, perjalanan dari Depok menuju Pasar Rebo dengan modus, repot buka jendela. Pelakunya 2 orang seolah tidak saling kenal, tapi bekerja sama untuk mengalihkan saya... Alhasil HP Nokia 3200 (tahun 2006an) raib di tangan pencopet... Saya sebenarnya udah ngeh, penumpang lain juga, tapi setelah kejadian...

Banyak modus lain juga, seperti membawa tas besar-besar (ransel besar) tapi kayak ga ada isinya gitu. Biasanya pelakunya juga banyak. bisa 3-4 orang. Saya melihat langsung kejadian di Mikrolet M26 (Kp.melayu-Bekasi) seorang ibu yang dompetnya diambil, langsung menegor si copet yang jiper dan kemudian menjatuhkan dompet tersebut. Ga lama dari situ, si copet turun dan ga berapa jauh disusul teman-temannya...

Hmmm, intinya, banyak modus, dan emang kudu ati-ati...
nasehat buat diri sendiri juga yang sering menggunakan alat transportasi angkot, dll.

Salam

Novi

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Priyashiva" <g_tarot@...> wrote:
>
> Jika anda berada di angkutan di sekitar jabodetabek atau khususnya di kampung rambutan, hendaknya anda berhati-hati jika ada segerombolan 3 pria dan 1 wanita yang berpura-pura menjadi penumpang sambil membawa tas-tas besar yang naik serta turun secara bersamaan dan salah satunya menyebarkan brosur pijat refleksi karena mereka sebenarnya GEROMBOLAN COPET.
>
> Modusnya adalah sebagai berikut:
> Salah satu pria dengan menggunakan atribut agama akan menyebarkan beberapa brosur pijat refleksi ke penumpang. Kemudian 2 pria lain dan 1 wanita temannya akan mengelilingi korbannya. Salah satu dari ke 3 rekannya tersebut akan berpura-pura menanyakan alamat brosur pada si pria yang menggunakan atribut agama tersebut. Si pria beratribut agama ini berpura-pura menjelaskan alamat sambil memberikan contoh memijat. Lalu serta merta pria ini akan menarik tangan anda untuk dipijat sambil menyuruh kita membaca isi brosur. BERHATI-HATILAH karena sebenarnya pria ini sedang berusaha menghipnotis anda melalui efek kejut pijatan. Tatkala anda sudah terkena hipnotis maka ke tiga rekannya tersebut akan menguras dan mengoper isi dompet, hp dan benda berharga lainnya.
>
> Ini jenis modus pencopetan lama tapi baru. Pencopetan dengan modus hipnotis semacam ini sudah ada beberapa tahun yang lalu. Beberapa jalur yang biasanya menjadi target operasi mereka adalah M19 (kranji bekasi - Cililitan), M44 (jurusan kuningan casablanca), M06 (Cijantung - Cililitan), M19 (Depok - Kampung Rambutan). Kebanyakan copet beraksi di Mikrolet atau Metromini yang sedang padat.
>
> Metode copet dengan hipnotis ini biasanya :
> - sok akrab lalu dengan tiba-tiba akan memijat lutut, pundak, atau punggung tangan antara jempol dan jari telunjuk karena di 3 daerah inilah jikat dipijat akan memberikan efek kejut yang memudahkan pelaku menginduksi hipnotis.
> - Mereka akan menyebarkan brosur atau selebaran. Selebaran atau brosur ini membantu pelaku untuk menginduksi hipnotis. Korban mudah dihipnotis jika korban dengan sengaja dipaksa mefokuskan pada obyek tertentu.
>
> Cara menghindari modus ini :
> - Jangan pernah mau mengambil atau menerima brosur atau selebaran dari orang tak dikenal yang memberikan secara memaksa dan bergerombol.
> - Jangan pernah bersentuhan secara fisik dengan orang yang tidak dikenal. Jaga jarak minimal 1.5 meter jika ada orang yang bertanya pada anda sewaktu berjalan.
> - Jika ada orang yang mencoba mau memegang anda baik dg tujuan mau memijat atau memencet anggota tubuh anda, bentaklah orang tersebut agar orang tersebut kaget. Dengan demikian usaha orang yang bertujuan menghipnotis anda, dia akan terganggu fokusnya. Misalnya : ' Apa-apan sih ! ' ' Sorry jangan pegang ! ' Dll.
> - Tunjukan sikap kemarahan anda agar mental para pencopet tersebut down.
> - Perhatikan orang-orang di sekitar anda, karena biasanya copet beraksi secara
> bergerombol. Bisa mungkin pindah atau turun kendaraan agar anda bisa terlepas
> dari posisi terkunci.
> - Banyaklah berdoa meminta perlindungan Tuhan.
> - Jika ada teman atau penumpang lain yang terkena hipnotis ini, cobalah untuk mengejutkan si penumpang atau korban agar dia terbangun.
>
> Mohon email ini disebarluaskan agar kejahatan ini bisa ditekan dan dihindari.
>
> Saya menuliskan pengalaman ini karena saya malam ini (10 maret 2009) sempat hampir menjadi korban.
>
> Semoga dengan mengirimkan pengalaman ini saya tidak akan masuk penjara seperti Ibu Prita Mulyasari hehehhe
>
> Salam,
> PriyaShiva Akasa
>

8a.

Bls: [sekolah-kehidupan] [HUMOR] Fakir Missed Call

Posted by: "bujang kumbang" bujangkumbang@yahoo.co.id   bujangkumbang

Fri Jun 12, 2009 7:14 am (PDT)



met ya abang...
skg aye tahu bgmn buat cerpen humor
makacih ya bang...
ini berkat abang...
atas ilmu-ilmunya
sukses selalu!
amin!

--- Pada Jum, 12/6/09, Nursalam AR <pensilmania@gmail.com> menulis:

Dari: Nursalam AR <pensilmania@gmail.com>
Topik: [sekolah-kehidupan] [HUMOR] Fakir Missed Call
Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 12 Juni, 2009, 4:33 PM

Fakir Missed Call*

Oleh Nursalam AR

"Pak, minta duit, Pak..."
Langkah Pak Jarot yang memasuki dapur terhenti. Ia melotot. "Kamu apa-apaan sih, Ni? Minta duit segala. Gayanya begitu lagi. Kayak fakir miskin aja!"

"Saya kan fakir, Pak," jawab Arni dengan wajah memelas.
"Fakir apa? Kamu kan baru gajian minggu kemarin!"
"Fakir missed call. Ga bisa nelpon," Arni mengacungkan hape miliknya. Hape gaul model terbaru. "Gaji yang kemarin kan ditabung buat beli berlian."

"Berlian?" Pak Jarot tambah mendelik.
Dengan lugu, Arni menjawab,"Iya, buat mas kawin saya. Keren kan?"

"Emang kamu sudah mau nikah? Kan belum punya pacar?"
"Iya sih, Pak. Semua masih dalam konfirmasi," Arni tertunduk. Ia meneruskan mengelap termos. "Ini makanya saya butuh pulsa biar dapat kepastiannya, Pak."

Pak Jarot geleng-geleng kepala. Gaya pembantunya ini memang beda, high class. Tapi, demi membantu orang dapat jodoh, Pak Jarot mengeluarkan dompetnya.

"Kamu butuh berapa?"
"Seadanya, Pak."
Pak Jarot tersenyum lega. Ia menarik selembar dua puluh ribuan.

"Maksudnya, seadanya isi dompet bapak..."
Pak Jarot mendehem keras. Kumis baplangnya bergerak-gerak.

Arni paham situasi. "Boleh deh, Pak. Dua puluh ribu ga apa-apa."

Belum lagi lembar dua puluh ribuan itu berpindah tangan, terdengar deheman keras dari ruang tengah. Pak Jarot mendadak panik. Lekas ditariknya tangannya. Ia lantas pergi. Amblas sudah harapan Arni. Di rumah itu, deheman Bu Jarot lebih berkuasa daripada kumis baplang suaminya. Dan Pak Jarot sendiri tidak mau nanti dituduh terlibat affair dengan pembantunya. Bisa-bisa seperti Bill Clinton dan Monica Lewinski.

Buat Arni sendiri, monika mo kagak sih terserah. Yang penting bisa nelpon…

Di ruang tengah, Bu Jarot mendehem berkali-kali. Tenggorokannya terasa gatal. Kebanyakan ngemil kacang kulit. Padahal sinetron lagi seru-serunya.

"ATI...!!!" teriaknya. "Air minum, Ti!"

Nama lengkap Arni memang Arniati binti Sami'un. Tapi ia lebih suka, karena lebih keren, dipanggil "Arni". Namun Bu Jarot, yang sangat sadar hierarki sosial, tetap memanggilnya "Ati". Biar lebih terasa feel-nya, katanya. Feel sebagai pembantu, maksudnya.

Arni yang belum kelar mengelap termos tergopoh-gopoh menghampiri majikannya yang satu ini.

Bukannya senang, Bu Jarot malah senewen. "Segelas aja, Ti! Ga setermos!"

Arni kaget. Ia baru sadar ia masih memegang termos yang sedang dilapnya. Ia cengengesan. "Iya ya, Bu,hehe..."

"Pake ketawa lagi!" sembur Bu Jarot. "Nyindir ya? Mentang-mentang aku gembrot, kamu kira aku minum kayak gajah?!"

Arni langsung mingkem, manyun. Sengsara bener jadi fakir missed call, batinnya. Masih mending jadi fakir miskin dilindungi undang-undang.

Bagian hatinya yang lain bersuara,"Tapi kalo fakir missed call kayak gue kan disayang Kang Undang…"

Terbersit lintasan nama salah satu target calon pacarnya itu, Arni jadi ceria. Senyumnya terkembang. Rentetan omelan yang diluncurkan Bu Jarot serasa nyanyian burung-burung di taman bunga. Pada scene tersebut, dalam slow motion, Bu Jarot terus nyerocos sambil menuding-nuding Arni sementara Arni tertunduk tersenyum tersipu-sipu. Dalam khayalannya, ia sedang mendengarkan rayuan mesra Kang Undang.

"Abdi bogoh ka anjeun…"
Padahal sebenarnya Bu Jarot sedang memakinya,"Dasar ganjen!"

***

"TIDAK!" tolak Arni. Ia meronta sekuat tenaga.

"Arni, aku sayang kamu…" Syamsul terus mendekat.
"TIDAK!" jerit Arni kian keras.
"Dengar dulu, Arni, aku tulus…"

Arni tertegun. "Lho, kamu bukannya Syamsul?"

"Ya, aku Syamsul. Dan aku tulus..."
"Syamsul apa Tulus?!" potong Arni. "Konsisten dong!"
"Whatever deh!" Syamsul kesal.
"CUT!" suara keras setengah membentak terdengar.
"Ini sinetron, guys!" bentak sang sutradara berkepala botak. "Bukan ngobrol. Yang serius dong!"

"Ya, Pak," angguk Syamsul dan Arni berbarengan. Lesu.

"Ulang ya. Yang serius!" ancam Si Botak."Camera action!"

"TIDAK!" jerit Arni tambah keras.
"Hoi! Lu apain tuh anak gue!" Mendadak muncul babe Arni bersenjatakan golok. Golok made in Cibatu yang tajam berkilat diacung-acungkannya .

"Pak…Sabar!" Syamsul menahan.
"Name gue Mi'un. Bukan Sabar. Sok kenal lu!" Bang Mi'un mencengkeram kerah kaos Syamsul. "Dasar anak bejat!"

"Be, Arni kan lagi maen pelem!" Arni menangis meratap.
"Kagak pake. Pulang!" Bang Mi'un menyeret anak perawan sematawayangnya pulang. Tak ada yang mencegatnya. Tongkrongan Bang Mi'un dengan gelang bahar hitam, gesper hijau besar dan celana pangsinya sungguh mengesankan sebagai jawara tangguh.

Padahal, andai mereka tahu, Bang Mi'un hanya kuli penyadap tuak aren. Tuak aren adalah sebutan dalam bahasa Betawi untuk nira aren yang kemudian akan diolah menjadi cuka. Pohon-pohon aren yang disadap pun milik orang lain. Karena profesinya itu, sejak ia ditinggal mati istrinya sepuluh tahun lalu, Bang Mi'un dijuluki DUREN. Bukan Duda Keren. Tapi duda (bau) aren.

"Ancur! Kacau!" Si Botak ngamuk-ngamuk. Tak sengaja ia menyepak kamera.

"Tambah mati gue! Hih!" Si Botak terperangah melihat kamera senilai jutaan rupiah terbanting sia-sia ke tanah.

Arni sendiri terisak-isak dalam seretan ayahnya. Gagal lagi usahanya untuk terlepas dari status fakir missed call.

Gagal lagi ah…gagal lagi…
Isakan Arni berirama seperti melodi lagu tarling Pantura, Mabok Bae.

* * *
"Babe, gimane sih?! Arni kan bosen jadi pembantu terus!" protes Arni. "Sekalinye jadi artis eh babe kendiri yang ngalangin!"

Bang Mi'un mengacungkan goloknya,"Ati, haram tuh perawan maen pelem. Dipegang-pegang bukan muhrim. Kagak sudi gue!"

"Yee..babe kege-eran deh. Emang babe yang dipegang-pegang. Kan Arni yang ngerasain!"

"Ya Allah, justru entu nyang gue ga suka. Udah, Ti, elo jadi pembantu aje. Biar gaji dikit tapi halal!" Titah Bang Mi'un terucap sudah. Harga mati sudah dipatok.

Ati alias Arni merengut. Ia berlari masuk kamar. Ditumpahkannya segala kesedihan di bantal demek. Padahal baru kemarin ia bersukacita diajak Inah – pembantu seberang rumah Bu Jarot – untuk ikutan syuting sinetron. Kebetulan kru tim sinetron favorit Arni sedang take beberapa scene di kampung mereka. Dan sang sutradara butuh beberapa figuran yang akan berperan sebagai pembantu rumah tangga. Termasuk Syamsul, tukang kebon di rumah Pak Dewa. Jadi cocoklah. Dijamin Arni dkk akan sangat menjiwai peran.

Yah, meski cuma jadi figuran yang kebagian ngomong beberapa baris dialog saja. Meski cuma dapat dua lembar seratus ribuan. Tapi Arni senang. Ia sudah membayangkan bisa beli pulsa dan bertelepon ria dengan Kang Undang, Bang Jeki, Mas Alan...

Mas Alan?

Kok gue bisa lupa ya sama jejaka Solo item manis itu?

Arni terhenyak. Ia lupa sedihnya. Ia ambil buku diary-nya yang lebih mirip buku catatan tukang kredit panci. Ia buka-buka sebentar dan mulai mengingat-ingat.

Ya Allah, udah sebulan gue ga ketemuan sama Mas Alan, desisnya. Arni berdesis panjang mirip ular sendok ketemu mangsa. Mas Alan, ape kabarnye ye?

Mas Alan, yang nama lengkapnya Sutarlan, termasuk target inceran Arni nomor satu untuk dijadikan calon suami. Kendati profesinya sebagai Office Boy (OB) tidak berbeda jauh dengan strata gebetan-gebetan Arni yang lain, perilaku Mas Alan yang lugu dan lemah lembut khas Solo dengan perawakan item manis sungguh suatu hal berbeda yang menarik hati Arni.

Bukankah cinta itu tidak mengenal perbedaan? Bukankah perbedaan itu adalah kembang-kembang hubungan asmara? Arni hafal betul kata-kata mutiara tentang cinta itu yang dicomotnya dari sebuah majalah remaja.

Arni teringat nostalgia kencan pertamanya dengan Mas Alan.

Sore itu di taman umum di bawah jembatan layang. Angin sepoi-sepoi geboy. Arni dan Mas Alan duduk berhimpit. Bukan karena pingin lebih mesra tapi memang bangku taman begitu sempit. Mereka berdua sama-sama gugup.

"Kulit kamu putih," bisik Mas Alan dengan jurus pembukanya. Arni sumringah. Tangannya sibuk mengelus-elus kulit lengannya yang terbuka leluasa. Sore itu Arni berdandan spesial untuk Mas Alan: tanktop pink dan blue jeans ketat.

"Ah, masak," Arni grogi. Kian grogi, karena diam-diam tangan Mas Alan mulai merayap seperti ulet keket menaiki batang pohon sirih.

"Betul. Kulit kamu putiih banget!" Alan tampak serius. Matanya lekat meneliti kulit Arni. Boleh diakui, sebagai pembantu rumah tangga, penampilan Arni yang putih dan sekel memancing iri Bu Jarot, sang majikan. Tidak heran jika Bu Jarot selalu cemburu jika suaminya dekat-dekat dengan si pembantu muda.

"Ah, masak sih," Arni makin tersipu malu. "Nggak kok!" ujarnya merendah. Tangannya basah berkeringat, bergetar dalam genggaman Mas Alan. Entah berapa skala richter kekuatannya. Yang jelas, rambatannya terasa hingga ke jantung Arni.

"Iya juga sih. Kulit kamu ada bercaknya," ujar Mas Alan setelah memandang lengan Arni lebih dekat. Sslurp! Lenyaplah sensasi gembira yang sedang dinikmati Arni. Ia memandang kecewa berganti-ganti antara Mas Alan dan bercak coklat yang ada di lengannya agak sedikit ke bawah.

"Tapi jangan kuatir. Itu tidak masalah," Mas Alan menenangkan. Senyum Arni kembali terbit. Ia senang Mas Alan mau menerima keadaannya. Nobody's perfect, begitu bunyi salah satu kata mutiara yang dihafal Arni.

"Aku punya solusinya," lanjut Mas Alan. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya. "Ini dia. Obat pemutih kulit cap Duo Putro Rajo. Berkhasiat menghilangkan bercak-bercak di kulit dan 1001 masalah kulit lainnya. Untuk Dik Arni, bisa cicil tiga kali. Lebih bagus lagi kalo Dik Arni mau jadi downline aku," jelas Mas Alan yang mendadak jadi bersemangat menggebu-gebu. "Gimana?"

Ternyata pekerjaan sampingan Mas Alan adalah agen Multi Level Marketing (MLM). Jadilah kencan pertama mereka ajang presentasi produk dagangan Mas Alan. Tapi Mas Alan cukup royal. Dibandingkan Bang Jeki, si sopir mikrolet.

Saat itu mereka janjian via telepon untuk kencan pertama.

"Halo, Bang Jeki ya? Ini Arni," sapa Arni dengan suara dimanja-manjakan.

Terdengar riuh bising kendaraan. Sepertinya Bang Jeki sedang ngetem di terminal.

"Ya, siapa nih?" jawab Bang Jeki tegas dengan logat Bataknya. Nama lengkapnya Zakiruddin Harahap.

"Arni, Bang..." ujar Arni masih dengan suara manja dan super lembut.

"HAH? SIAPA?"

"Arni...!! A-R-N-I...ARNI!"

"ALNI?!"

"A-R-N-I...ERR. ..ROMEO!"

Terdengar dengus kesal. "BAH! MANA PULA ROMEO SUARANYA CEWEK?!"

Aargh!

Tapi akhirnya mereka jadi juga ketemuan. Di rumah makan Padang. Karena Arni menolak setengah mati diajak masuk ke lapo di sebelah terminal.

"Ah, mentel kali kau. Ya, sudahlah!" cetus Bang Jeki kesal ketika diajak masuk ke rumah makan Padang. Ini juga kompromi, batin Arni dalam hati. Kan mereka masih bertetangga provinsi. Sebetulnya Arni pingin makan botok teri di rumah makan Sunda. Tapi Sunda kan jauh dari Sumatera, pikirnya, nanti Bang Jeki bermasalah lagi. Yah, Arni mengalah demi cinta…

Cinta? Rasanya tidak juga. Selama kencan dengan Bang Jeki rasanya urat leher Arni tegang terus. Ia harus teriak-teriak ketika ngobrol dengan Bang Jeki. Gara-gara terbiasa hidup di terminal yang bising, Bang Jeki agak kurang pendengarannya. Alhasil, saat mereka nonton di bioskop, para penonton yang lain pada protes. Mereka bilang Bang Jeki "mengganggu ketenangan".

"Apa pula ini?! Aku kan cuma berbisik, Ar!" Bang Jeki membela diri.

Nah, kalau mau dibilang cinta sejati, ya cinta sejati Arni sebetulnya tertambat pada kumis tipis Kang Undang. Sang tukang kredit dari Garut. Ia yang paling ganteng dari ketiga pria yang menghiasi hati Arni. Orangnya juga sabar dan sopan. Royal pula. Tiap bulan Arni dikasih sangu uang pulsa dan uang bedak. Kencan pertama mereka pun di sebuah kafe kopi waralaba internasional. Meski selanjutnya kembali ke warteg dan rumah makan Sunda. Namun kencan pertama itu sangat mengesankan sekaligus memalukan buat Arni.

"Akang sudah pingin nikah, Neng," ujar Kang Undang waktu itu. Usianya memang sudah lewat 30-an. Sambil menyeruput ice blended-nya, Arni mesem-mesem.

"Gimana, Neng?" lanjut Kang Undang dengan tatapan menyelidik.

"Enak..."
Kang Undang nyengir. "Nikah mah emang enak atuh, Neng. Neng mau kan?"

Arni menatap Kang Undang. "Tapi krimnya tambah ya!"
"Kok pake krim, Neng? Kan Neng masih perawan?"
Giliran Arni yang bengong. Ia ternganga dengan krim belepotan di bibir.

"Neng udah ga perawan?" tanya Kang Undang hati-hati. "Mm…maap.."

Kang Undang tampak kecewa. Ia meneguk capuccino-nya sekali tandas.

Arni bingung. "Kang, apa hubungannya krim sama perawan? Kan Neng cuma mau tambah krim lagi?" kata Arni sambil memperlihatkan gelasnya.

Kang Undang melongo. Ada senyum lega sekaligus mangkel di wajahnya. Ternyata sedari tadi Arni hanya sibuk dengan ice blended-nya.

Tapi, dasar orang sabar, Kang Undang masih setia menemani dan menraktir Arni selama berbulan-bulan setelah itu. Hanya dua setengah bulan belakangan tiada kabar darinya baik SMS atau telepon. Padahal Arni sudah menabung berbulan-bulan uang gajinya untuk membeli mas kawin. Ia ingin berlian sebagai mas kawinnya. Dan ia tak ingin merepotkan Kang Undang yang sudah sangat baik kepadanya. Tapi, aah, sekarang Arni bukan saja fakir cinta, tapi juga fakir missed call bahkan fakir pulsa…

Kembali Arni sesenggukan hingga ia tertidur kelelahan. Dalam mimpinya, ia bertemu Kang Undang. Mereka berkejar-kejaran di padang rumput luas sambil menari dan sesekali main petak umpet di balik pohon seperti di film-film India.

***

Inah adalah tempat curhat sejati dan yang paling nyaman buat Arni.

"Yo wis, sing sabar to, Ni," hibur Inah. Nama lengkapnya Wolly Sutinah. Itu nama asli Mak Wok, aktris film ngetop tahun 70-an. Konon orang tua Inah fans berat Mak Wok. Entah karena pengaruh kharisma nama 'Wolly' atau tidak, Inah juga sangat pintar membuat kue wolu... eh bolu.

"Gue capek sabar terus-terusan, Nah," rintih Arni. Ia sesenggukan memeluk lututnya. Wajahnya sembab berurai air mata.

"Sabar kok capek, Ni," lanjut Inah sambil menyisiri rambut Arni yang mayang bergelombang. "Sabar itu ndak ada batasnya. Hidup juga sing sederhana. Wong Jowo bilang 'ngono yo ngono yo ojo ngono'…"

"Apaan tuh?"
"Maksudnya kalo kamu sedih yo jangan kelewat sedih. Kalo seneng yo jangan kebablasan…Roda kan muter to, Ni," Inah berpetuah bijak. Arni manggut-manggut merasa tercerahkan. Kadang Arni curiga jangan-jangan Inah itu sarjana yang menyamar jadi pembantu seperti di sinetron-sinetron.

Mendadak wajah Arni yang sejenak cerah kembali mendung.
"Tapi, Nah, kalo rodanya kayak ban mikrolet Bang Jeki yang sering ngetem, gimana?"

Inah pun kehabisan kata.

Catatan :

Mingkem: terdiam, bibir terkatup rapat (bahasa Betawi)

Abdi bogoh ka anjeun: aku cinta kamu (bahasa Sunda)

Tarling: kesenian gitar dan suling khas Cirebonan, pesisir Pantai Utara Jawa

Demek (dilafalkan seperti pada kata 'temen'): basah, agak lembab (bahasa Betawi)

Ular Sendok: ular Sanca (bahasa Betawi)

Ulet Keket: ulat bulu yang berukuran besar, berwarna hijau dan menyebabkan gatal jika menyentuh badan (bahasa Betawi)

Sekel (dilafalkan seperti pada kata 'temen'): montok berisi (bahasa Betawi)

Lapo: warung tuak khas Tapanuli (bahasa Tapanuli)

Mentel (dilafalkan seperti pada kata 'menteng'): cerewet, banyak omong (bahasa Batak Medan)

*) cerpen ini menjadi juara Pertama dalam Lomba Cerpen Humor Cabang FLP Jakarta pada Maret 2009.

--
-Nursalam AR
Translator & Writer

0813-10040723
021-92727391
YM ID: nursalam_ar
www.nursalam. multiply. com
www.pensilmania. multiply. com











Cepat, Bebas Iklan, Kapasitas Tanpa Batas - Dengan Yahoo! Mail Anda bisa mendapatkan semuanya. http://id.mail.yahoo.com
8b.

Re: Bls: [sekolah-kehidupan] [HUMOR] Fakir Missed Call

Posted by: "Nursalam AR" pensilmania@gmail.com

Fri Jun 12, 2009 10:34 pm (PDT)



Sip,Yan. Moga mentoring singkat di kafe TIM ada hasilnya ya:). Ditunggu lho
karya-karyamu!

Tabik,

Nursalam AR

On 6/12/09, bujang kumbang <bujangkumbang@yahoo.co.id> wrote:
>
>
>
> met ya abang...
> skg aye tahu bgmn buat cerpen humor
> makacih ya bang...
> ini berkat abang...
> atas ilmu-ilmunya
> sukses selalu!
> amin!
>
> --- Pada *Jum, 12/6/09, Nursalam AR <pensilmania@gmail.com>* menulis:
>
>
> Dari: Nursalam AR <pensilmania@gmail.com>
> Topik: [sekolah-kehidupan] [HUMOR] Fakir Missed Call
> Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Tanggal: Jumat, 12 Juni, 2009, 4:33 PM
>
> *Fakir Missed Call**
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
> �Pak, minta duit, Pak...�
>
> Langkah Pak Jarot yang memasuki dapur terhenti. Ia melotot. �Kamu
> apa-apaan sih, Ni? Minta duit segala. Gayanya begitu lagi. Kayak fakir
> miskin aja!�
>
> �Saya kan fakir, Pak,� jawab Arni dengan wajah memelas.
>
> �Fakir apa? Kamu kan baru gajian minggu kemarin!�
>
> �Fakir *missed call*. Ga bisa nelpon,� Arni mengacungkan hape miliknya.
> Hape gaul model terbaru. �Gaji yang kemarin kan ditabung buat beli berlian.�
>
> �Berlian?� Pak Jarot tambah mendelik.
>
> Dengan lugu, Arni menjawab,�Iya, buat mas kawin saya. Keren kan?�
>
> �Emang kamu sudah mau nikah? Kan belum punya pacar?�
>
> �Iya sih, Pak. Semua masih dalam konfirmasi,� Arni tertunduk. Ia
> meneruskan mengelap termos. �Ini makanya saya butuh pulsa biar dapat
> kepastiannya, Pak.�
>
> Pak Jarot geleng-geleng kepala. Gaya pembantunya ini memang beda, *high
> class*. Tapi, demi membantu orang dapat jodoh, Pak Jarot mengeluarkan
> dompetnya.
>
> �Kamu butuh berapa?�
>
> �Seadanya, Pak.�
>
> Pak Jarot tersenyum lega. Ia menarik selembar dua puluh ribuan.
>
> �Maksudnya, seadanya isi dompet bapak...�
>
> Pak Jarot mendehem keras. Kumis baplangnya bergerak-gerak.
>
> Arni paham situasi. �Boleh deh, Pak. Dua puluh ribu ga apa-apa.�
>
> Belum lagi lembar dua puluh ribuan itu berpindah tangan, terdengar deheman
> keras dari ruang tengah. Pak Jarot mendadak panik. Lekas ditariknya
> tangannya. Ia lantas pergi. Amblas sudah harapan Arni. Di rumah itu, deheman
> Bu Jarot lebih berkuasa daripada kumis baplang suaminya. Dan Pak Jarot
> sendiri tidak mau nanti dituduh terlibat *affair *dengan pembantunya.
> Bisa-bisa seperti Bill Clinton dan Monica Lewinski.
>
> Buat Arni sendiri, monika mo kagak sih terserah. Yang penting bisa nelpon�
>
> Di ruang tengah, Bu Jarot mendehem berkali-kali. Tenggorokannya terasa
> gatal. Kebanyakan *ngemil *kacang kulit. Padahal sinetron lagi
> seru-serunya.
>
> �ATI...!!!� teriaknya. �Air minum, Ti!�
>
> Nama lengkap Arni memang Arniati binti Sami�un. Tapi ia lebih suka, karena
> lebih keren, dipanggil �Arni�. Namun Bu Jarot, yang sangat sadar hierarki
> sosial, tetap memanggilnya �Ati�. Biar lebih terasa *feel*-nya, katanya. *
> Feel* sebagai pembantu, maksudnya.
>
> Arni yang belum kelar mengelap termos tergopoh-gopoh menghampiri majikannya
> yang satu ini.
>
> Bukannya senang, Bu Jarot malah senewen. �Segelas aja, Ti! Ga setermos!�
>
> Arni kaget. Ia baru sadar ia masih memegang termos yang sedang dilapnya. Ia
> cengengesan. �Iya ya, Bu,hehe...�
>
> �Pake ketawa lagi!� sembur Bu Jarot. �Nyindir ya? Mentang-mentang aku
> gembrot, kamu kira aku minum kayak gajah?!�
>
> Arni langsung *mingkem*, manyun. Sengsara *bener* jadi fakir *missed call*,
> batinnya. Masih mending jadi fakir miskin dilindungi undang-undang.
>
> Bagian hatinya yang lain bersuara,�Tapi kalo fakir *missed* *call* kayak
> gue kan disayang Kang Undang��
>
> Terbersit lintasan nama salah satu target calon pacarnya itu, Arni jadi
> ceria. Senyumnya terkembang. Rentetan omelan yang diluncurkan Bu Jarot
> serasa nyanyian burung-burung di taman bunga. Pada *scene* tersebut, dalam
> *slow motion*, Bu Jarot terus *nyerocos* sambil menuding-nuding Arni
> sementara Arni tertunduk tersenyum tersipu-sipu. Dalam khayalannya, ia
> sedang mendengarkan rayuan mesra Kang Undang.
>
> �*Abdi bogoh ka anjeun*��
>
> Padahal sebenarnya Bu Jarot sedang memakinya,�Dasar ganjen!�
>
> ***
>
> �TIDAK!� tolak Arni. Ia meronta sekuat tenaga.
>
> �Arni, aku sayang kamu�� Syamsul terus mendekat.
>
> �TIDAK!� jerit Arni kian keras.
>
> �Dengar dulu, Arni, aku tulus��
>
> Arni tertegun. �Lho, kamu bukannya Syamsul?�
>
> �Ya, aku Syamsul. Dan aku tulus...�
>
> �Syamsul apa Tulus?!� potong Arni. �Konsisten dong!�
>
> �*Whatever* deh!� Syamsul kesal.
>
> �CUT!� suara keras setengah membentak terdengar.
>
> �Ini sinetron, *guys*!� bentak sang sutradara berkepala botak. �Bukan
> ngobrol. Yang serius dong!�
>
> �Ya, Pak,� angguk Syamsul dan Arni berbarengan. Lesu.
>
> �Ulang ya. Yang serius!� ancam Si Botak.�*Camera action*!�
>
> �TIDAK!� jerit Arni tambah keras.
>
> �Hoi! Lu apain tuh anak gue!� Mendadak muncul babe Arni bersenjatakan
> golok. Golok *made in* Cibatu yang tajam berkilat diacung-acungkannya .
>
> �Pak�Sabar!� Syamsul menahan.
>
> �Name gue Mi�un. Bukan Sabar. Sok kenal lu!� Bang Mi�un mencengkeram kerah
> kaos Syamsul. �Dasar anak bejat!�
>
> �Be, Arni kan lagi maen pelem!� Arni menangis meratap.
>
> �Kagak pake. Pulang!� Bang Mi�un menyeret anak perawan sematawayangnya
> pulang. Tak ada yang mencegatnya. Tongkrongan Bang Mi�un dengan gelang bahar
> hitam, gesper hijau besar dan celana pangsinya sungguh mengesankan sebagai
> jawara tangguh.
>
> Padahal, andai mereka tahu, Bang Mi�un hanya kuli penyadap *tuak* aren. *
> Tuak* aren adalah sebutan dalam bahasa Betawi untuk nira aren yang
> kemudian akan diolah menjadi cuka. Pohon-pohon aren yang disadap pun milik
> orang lain. Karena profesinya itu, sejak ia ditinggal mati istrinya sepuluh
> tahun lalu, Bang Mi�un dijuluki DUREN. Bukan Duda Keren. Tapi duda (bau)
> aren.
>
> �Ancur! Kacau!� Si Botak ngamuk-ngamuk. Tak sengaja ia menyepak kamera.
>
> �Tambah mati gue! Hih!� Si Botak terperangah melihat kamera senilai jutaan
> rupiah terbanting sia-sia ke tanah.
>
> Arni sendiri terisak-isak dalam seretan ayahnya. Gagal lagi usahanya untuk
> terlepas dari status fakir *missed call*.
>
> *Gagal lagi ah�gagal lagi*�
>
> Isakan Arni berirama seperti melodi lagu tarling Pantura, *Mabok Bae*.
>
> * * *
>
> �Babe, gimane sih?! Arni kan bosen jadi pembantu terus!� protes Arni.
> �Sekalinye jadi artis eh babe kendiri yang ngalangin!�
>
> Bang Mi�un mengacungkan goloknya,�Ati, haram tuh perawan maen pelem.
> Dipegang-pegang bukan muhrim. Kagak sudi gue!�
>
> �Yee..babe kege-eran deh. Emang babe yang dipegang-pegang. Kan Arni yang
> ngerasain!�
>
> �Ya Allah, justru entu nyang gue ga suka. Udah, Ti, elo jadi pembantu aje.
> Biar gaji dikit tapi halal!� Titah Bang Mi�un terucap sudah. Harga mati
> sudah dipatok.
>
> Ati alias Arni merengut. Ia berlari masuk kamar. Ditumpahkannya segala
> kesedihan di bantal *demek*. Padahal baru kemarin ia bersukacita diajak
> Inah � pembantu seberang rumah Bu Jarot � untuk ikutan syuting sinetron. Kebetulan
> kru tim sinetron favorit Arni sedang *take* beberapa *scene* di kampung
> mereka. Dan sang sutradara butuh beberapa figuran yang akan berperan sebagai
> pembantu rumah tangga. Termasuk Syamsul, tukang kebon di rumah Pak Dewa.
> Jadi cocoklah. Dijamin Arni dkk akan sangat menjiwai peran.
>
> Yah, meski cuma jadi figuran yang kebagian ngomong beberapa baris dialog
> saja. Meski cuma dapat dua lembar seratus ribuan. Tapi Arni senang. Ia
> sudah membayangkan bisa beli pulsa dan bertelepon ria dengan Kang Undang,
> Bang Jeki, Mas Alan...
>
> Mas Alan?
>
> Kok gue bisa lupa ya sama jejaka Solo item manis itu?
>
> Arni terhenyak. Ia lupa sedihnya. Ia ambil buku *diary*-nya yang lebih
> mirip buku catatan tukang kredit panci. Ia buka-buka sebentar dan mulai
> mengingat-ingat.
>
> Ya Allah, udah sebulan gue ga ketemuan sama Mas Alan, desisnya. Arni
> berdesis panjang mirip ular sendok ketemu mangsa. Mas Alan, *ape kabarnye
> ye*?
>
> Mas Alan, yang nama lengkapnya Sutarlan, termasuk target inceran Arni nomor
> satu untuk dijadikan calon suami. Kendati profesinya sebagai *Office Boy*(OB) tidak berbeda jauh dengan strata gebetan-gebetan Arni yang lain,
> perilaku Mas Alan yang lugu dan lemah lembut khas Solo dengan perawakan item
> manis sungguh suatu hal berbeda yang menarik hati Arni.
>
> Bukankah cinta itu tidak mengenal perbedaan? Bukankah perbedaan itu adalah
> kembang-kembang hubungan asmara? Arni hafal betul kata-kata mutiara tentang
> cinta itu yang dicomotnya dari sebuah majalah remaja.
>
> Arni teringat nostalgia kencan pertamanya dengan Mas Alan.
>
> Sore itu di taman umum di bawah jembatan layang. Angin sepoi-sepoi geboy.
> Arni dan Mas Alan duduk berhimpit. Bukan karena pingin lebih mesra tapi
> memang bangku taman begitu sempit. Mereka berdua sama-sama gugup.
>
> �Kulit kamu putih,� bisik Mas Alan dengan jurus pembukanya. Arni sumringah.
> Tangannya sibuk mengelus-elus kulit lengannya yang terbuka leluasa. Sore itu
> Arni berdandan spesial untuk Mas Alan: *tanktop* pink dan *blue jeans*ketat.
>
> �Ah, masak,� Arni grogi. Kian grogi, karena diam-diam tangan Mas Alan mulai
> merayap seperti *ulet keket* menaiki batang pohon sirih.
>
> �Betul. Kulit kamu putiih banget!� Alan tampak serius. Matanya lekat
> meneliti kulit Arni. Boleh diakui, sebagai pembantu rumah tangga, penampilan
> Arni yang putih dan *sekel *memancing iri Bu Jarot, sang majikan. Tidak
> heran jika Bu Jarot selalu cemburu jika suaminya dekat-dekat dengan si
> pembantu muda.
>
> �Ah, masak sih,� Arni makin tersipu malu. �Nggak kok!� ujarnya merendah.
> Tangannya basah berkeringat, bergetar dalam genggaman Mas Alan. Entah berapa
> skala richter kekuatannya. Yang jelas, rambatannya terasa hingga ke
> jantung Arni.
>
> �Iya juga sih. Kulit kamu ada bercaknya,� ujar Mas Alan setelah memandang
> lengan Arni lebih dekat. Sslurp! Lenyaplah sensasi gembira yang sedang
> dinikmati Arni. Ia memandang kecewa berganti-ganti antara Mas Alan dan
> bercak coklat yang ada di lengannya agak sedikit ke bawah.
>
> �Tapi jangan kuatir. Itu tidak masalah,� Mas Alan menenangkan. Senyum Arni
> kembali terbit. Ia senang Mas Alan mau menerima keadaannya. *Nobody�s
> perfect*, begitu bunyi salah satu kata mutiara yang dihafal Arni.
>
> �Aku punya solusinya,� lanjut Mas Alan. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas
> ranselnya. �Ini dia. Obat pemutih kulit cap Duo Putro Rajo. Berkhasiat
> menghilangkan bercak-bercak di kulit dan 1001 masalah kulit lainnya. Untuk
> Dik Arni, bisa cicil tiga kali. Lebih bagus lagi kalo Dik Arni mau jadi *
> downline* aku,� jelas Mas Alan yang mendadak jadi bersemangat
> menggebu-gebu. �Gimana?�
>
> Ternyata pekerjaan sampingan Mas Alan adalah agen Multi Level Marketing
> (MLM). Jadilah kencan pertama mereka ajang presentasi produk dagangan Mas
> Alan. Tapi Mas Alan cukup royal. Dibandingkan Bang Jeki, si sopir
> mikrolet.
>
> Saat itu mereka janjian via telepon untuk kencan pertama.
>
> �Halo, Bang Jeki ya? Ini Arni,� sapa Arni dengan suara dimanja-manjakan.
>
> Terdengar riuh bising kendaraan. Sepertinya Bang Jeki sedang *ngetem* di
> terminal.
>
> �Ya, siapa nih?� jawab Bang Jeki tegas dengan logat Bataknya. Nama
> lengkapnya Zakiruddin Harahap.
>
> �Arni, Bang...� ujar Arni masih dengan suara manja dan super lembut.
>
> �HAH? SIAPA?�
>
> �Arni...!! A-R-N-I...ARNI!�
>
> �ALNI?!�
>
> �A-R-N-I...ERR. ..ROMEO!�
>
> Terdengar dengus kesal. �BAH! MANA PULA ROMEO SUARANYA CEWEK?!�
>
> Aargh!
>
> Tapi akhirnya mereka jadi juga ketemuan. Di rumah makan Padang. Karena Arni
> menolak setengah mati diajak masuk ke *lapo* di sebelah terminal.
>
> �Ah, *mentel kali* kau. Ya, sudahlah!� cetus Bang Jeki kesal ketika diajak
> masuk ke rumah makan Padang. Ini juga kompromi, batin Arni dalam hati. Kan
> mereka masih bertetangga provinsi. Sebetulnya Arni pingin makan botok teri
> di rumah makan Sunda. Tapi Sunda kan jauh dari Sumatera, pikirnya, nanti
> Bang Jeki bermasalah lagi. Yah, Arni mengalah demi cinta�
>
> Cinta? Rasanya tidak juga. Selama kencan dengan Bang Jeki rasanya urat
> leher Arni tegang terus. Ia harus teriak-teriak ketika ngobrol dengan Bang
> Jeki. Gara-gara terbiasa hidup di terminal yang bising, Bang Jeki agak
> kurang pendengarannya. Alhasil, saat mereka nonton di bioskop, para penonton
> yang lain pada protes. Mereka bilang Bang Jeki �mengganggu ketenangan�.
>
> �Apa pula ini?! Aku kan cuma berbisik, Ar!� Bang Jeki membela diri.
>
> Nah, kalau mau dibilang cinta sejati, ya cinta sejati Arni sebetulnya
> tertambat pada kumis tipis Kang Undang. Sang tukang kredit dari Garut. Ia
> yang paling ganteng dari ketiga pria yang menghiasi hati Arni. Orangnya juga
> sabar dan sopan. Royal pula. Tiap bulan Arni dikasih sangu uang pulsa dan
> uang bedak. Kencan pertama mereka pun di sebuah kafe kopi waralaba
> internasional. Meski selanjutnya kembali ke warteg dan rumah makan Sunda. Namun
> kencan pertama itu sangat mengesankan sekaligus memalukan buat Arni.
>
> �Akang sudah pingin nikah, Neng,� ujar Kang Undang waktu itu. Usianya
> memang sudah lewat 30-an. Sambil menyeruput *ice blended*-nya, Arni
> mesem-mesem.
>
> �Gimana, Neng?� lanjut Kang Undang dengan tatapan menyelidik.
>
> �Enak...�
>
> Kang Undang nyengir. �Nikah *mah* emang enak *atuh*, Neng. Neng mau kan?�
>
> Arni menatap Kang Undang. �Tapi krimnya tambah ya!�
>
> �Kok pake krim, Neng? Kan Neng masih perawan?�
>
> Giliran Arni yang bengong. Ia ternganga dengan krim belepotan di bibir.
>
> �Neng udah ga perawan?� tanya Kang Undang hati-hati. �Mm�maap..�
>
> Kang Undang tampak kecewa. Ia meneguk *capuccino*-nya sekali tandas.
>
> Arni bingung. �Kang, apa hubungannya krim sama perawan? Kan Neng cuma mau
> tambah krim lagi?� kata Arni sambil memperlihatkan gelasnya.
>
> Kang Undang melongo. Ada senyum lega sekaligus mangkel di wajahnya.
> Ternyata sedari tadi Arni hanya sibuk dengan *ice blended*-nya.
>
> Tapi, dasar orang sabar, Kang Undang masih setia menemani dan menraktir
> Arni selama berbulan-bulan setelah itu. Hanya dua setengah bulan belakangan
> tiada kabar darinya baik SMS atau telepon. Padahal Arni sudah menabung
> berbulan-bulan uang gajinya untuk membeli mas kawin. Ia ingin berlian
> sebagai mas kawinnya. Dan ia tak ingin merepotkan Kang Undang yang sudah
> sangat baik kepadanya. Tapi, aah, sekarang Arni bukan saja fakir cinta, tapi
> juga fakir *missed call* bahkan fakir pulsa�
>
> Kembali Arni sesenggukan hingga ia tertidur kelelahan. Dalam mimpinya, ia
> bertemu Kang Undang. Mereka berkejar-kejaran di padang rumput luas sambil
> menari dan sesekali main petak umpet di balik pohon seperti di film-film
> India.
>
> ***
>
> Inah adalah tempat curhat sejati dan yang paling nyaman buat Arni.
>
> �*Yo wis, sing sabar to*, Ni,� hibur Inah. Nama lengkapnya Wolly Sutinah.
> Itu nama asli Mak Wok, aktris film *ngetop* tahun 70-an. Konon orang tua
> Inah *fans* berat Mak Wok. Entah karena pengaruh kharisma nama �Wolly�
> atau tidak, Inah juga sangat pintar membuat kue wolu... eh bolu.
>
> �Gue capek sabar terus-terusan, Nah,� rintih Arni. Ia sesenggukan memeluk
> lututnya. Wajahnya sembab berurai air mata.
>
> �Sabar kok capek, Ni,� lanjut Inah sambil menyisiri rambut Arni yang mayang
> bergelombang. �Sabar itu *ndak* ada batasnya. Hidup juga *sing* sederhana.
> *Wong Jowo* bilang �*ngono yo ngono yo ojo ngono*���
>
> �Apaan tuh?�
>
> �Maksudnya kalo kamu sedih *yo* jangan kelewat sedih. Kalo *seneng yo*jangan kebablasan�Roda kan
> *muter to*, Ni,� Inah berpetuah bijak. Arni manggut-manggut merasa
> tercerahkan. Kadang Arni curiga jangan-jangan Inah itu sarjana yang menyamar
> jadi pembantu seperti di sinetron-sinetron.
>
> Mendadak wajah Arni yang sejenak cerah kembali mendung.
>
> �Tapi, Nah, kalo rodanya kayak ban mikrolet Bang Jeki yang sering *ngetem*,
> gimana?�
>
> Inah pun kehabisan kata.
>
> *Catatan :*
>
> Mingkem: terdiam, bibir terkatup rapat (bahasa Betawi)
>
> Abdi bogoh ka anjeun: aku cinta kamu (bahasa Sunda)
>
> Tarling: kesenian gitar dan suling khas Cirebonan, pesisir Pantai Utara
> Jawa
>
> Demek (dilafalkan seperti pada kata �temen�): basah, agak lembab (bahasa
> Betawi)
>
> Ular Sendok: ular Sanca (bahasa Betawi)
>
> Ulet Keket: ulat bulu yang berukuran besar, berwarna hijau dan menyebabkan
> gatal jika menyentuh badan (bahasa Betawi)
>
> Sekel (dilafalkan seperti pada kata �temen�): montok berisi (bahasa Betawi)
>
> Lapo: warung tuak khas Tapanuli (bahasa Tapanuli)
>
> Mentel (dilafalkan seperti pada kata �menteng�): cerewet, banyak omong
> (bahasa Batak Medan)
>
> **) cerpen ini menjadi juara Pertama dalam Lomba Cerpen Humor Cabang FLP
> Jakarta pada Maret 2009.*
>
> **
>
> **
>
>
> --
> -Nursalam AR
> Translator & Writer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> YM ID: nursalam_ar
> www.nursalam. multiply. com <http://www.nursalam.multiply.com/>
> www.pensilmania. multiply. com <http://www.pensilmania.multiply.com/>
>
>
> ------------------------------
> Yahoo! Mail Sekarang Lebih Cepat dan Lebih Bersih. Rasakan bedanya!
> <http://id.mail.yahoo.com/>
>
>
>

--
-Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
YM ID: nursalam_ar
www.nursalam.multiply.com
www.pensilmania.multiply.com
9a.

Bls: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Long Road To The Marriage

Posted by: "bujang kumbang" bujangkumbang@yahoo.co.id   bujangkumbang

Fri Jun 12, 2009 7:32 am (PDT)



lengkap sekaleee, Bang!
alhamdulillah akhirnya tulisan ini keluar juga, euy... disini
cukup terharu membacanya...
doakan aye ya Bang biar menyusul
amin!
sukses selalu buat abang!
amin

--- Pada Jum, 12/6/09, Nursalam AR <pensilmania@gmail.com> menulis:

Dari: Nursalam AR <pensilmania@gmail.com>
Topik: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Long Road To The Marriage
Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Cc: eskesuma@yahoo.com
Tanggal: Jumat, 12 Juni, 2009, 4:24 PM

Long Road To The Marriage*

Oleh Nursalam AR

Mencari Cinta

Malam merayap siput. Hujan menderap

Sepi meranggas hati. Dingin mendekap naluri

Mata susah pejam, angan layang liar

Kuraba sisi kasur. Kosong

Kapankah ia berpenghuni?

Hanya Takdir yang tahu

Sebagaimana pengetahuanNya akan rizki dan mati.

(Elegi Lajang, 2002)

Puisi buah karyaku sendiri itulah yang menemani malam-malamku sebagai lajang. Menjadi lajang adalah berada dalam medan daya tarik-menarik antara keinginan dan pilihan. Banyak keinginan namun banyak pula pilihan. Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia."Kadang manusia dihadapkan pada sebuah pilihan dalam hidupnya. Jika tidak memilih saat itu ia tidak mendapat apa-apa." Kurang lebih seperti itu bunyinya.

Ya, memilih! Buat seorang peragu tentu alangkah beratnya. Buat seorang sembrono atau slebor sama juga sulit. Yang berbeda adalah reaksi mereka. Si peragu akan tercenung lama dan kadang menyebalkan banyak orang karena banyaknya waktu untuk memikirkan pilihan yang akan diambil. Si sembrono justru akan tergesa-gesa mengambil pilihan tanpa masak-masak dipikir. Untuk kemudian menyesal. Si peragu juga kerap menyesal karena ia kehilangan momentum. Bukankah segala sesuatu itu indah pada masanya?

"Ih, sudah ditawarin akhwat yang pernah jadi cover girl majalah malah nolak. Kenapa sih?!"

Ini sebetulnya karena minder, ketika seorang kawan menyodorkan pilihan. Subhanallah, cantik nian. Gadis keturunan Arab yatim piatu dari keluarga mapan. Lulusan ITB. Lebih muda dua tahun saja. Hm..kenapa ditolak? Entahlah, aku hanya mengikuti alarm intuisiku saja. Minder seperti kataku? Bisa jadi. Hanya saja aku tidak merasa ada chemistry yang sama dengan sekadar melihat foto saja.

Sebagian temanku hanya tertawa. "Ah, mau nikah aja repot banget!" ledek mereka. Trauma? Mungkin juga. Dulu kakekku, ayah dari bapak, menikah dengan gadis keturunan Arab. Beda status pula. Tapi karena perbedaan status, mereka dipaksa cerai dan meninggalkan seorang anak tunggal: ayahku.

Setelah itu Nek Masenun--sebutanku untuk sang nenek yang tak pernah kulihat fotonya itu--dinikahkan dengan seorang yang "sekufu", setara. Seorang saudagar kaya dari Arab. Pernikahan mereka tak lama, tak berbuah anak. Saat itu di era Jakarta 1930an stereotipe soal etnis Arab yang sangat eksklusif masih sangat kental. Sialnya, kakekku hidup pada zaman itu. Ia hanya penarik perahu tambang alias perahu eretan di Kali Ciliwung. Konon, cerita almarhum ayahku, kakek seorang yang tampan.

Bertemu Cinta, Menanti Jodoh

2007.

Kini saat setidaknya ada sebuah titik cerah ketika seorang gadis bersedia berkomitmen mendampingi hidupku, apakah puisi di awal tulisan ini akan mati riwayatnya? Ternyata tidak.

Beberapa bulan sebelumnya. Jam delapan lewat dua puluh satu menit. Malam.

"Ada pesan dari Mama," ujar gadis manis berjilbab dengan senyum lucu itu.

Aku berdebar. Benakku sibuk menerka kira-kira apa pesan sang Mama setelah kunjunganku malam itu. Ia seorang janda awal lima puluh tahunan yang suaminya wafat hanya berselang dua jam setelah ayahku wafat pada 8 September 2006. Entahlah apakah itu suatu kebetulan yang merupakan pertanda antara aku dan putrinya.

"Apa kata Mama?" sambutku setelah menghela nafas, menguasai diri yang mendadak gugup.

"Tapi jangan marah ya.."

Hm…apalagi nih? Benakku kian sibuk menerka. Ribuan kombinasi probabilitas berseliweran hadir dengan cara permutasi atau mutasi. Rasanya otakku jadi penuh.

"Halo?!"

Ufs! Aku lupa aku sedang bercakap di telepon. Jadi tak mungkin dia mengetahui gundahku hanya melalui mimik wajah.

"Ya, nggak marah kok. Cerita aja," tukasku sok mantap. Padahal deg-degan.

"Bener ya nggak marah?" Suara lembut itu kembali bertanya. Duh, bikin penasaran aja!

"Iya, kagak…" Tuh, keluar deh logat Betawiku!

Tawa kecil di seberang meledak. Kemudian hening. Satu..dua…tiga… Diam-diam hatiku menghitung kapan bom itu meledak.

Si gadis bercerita perihal diskusi keluarganya setelah kunjunganku malam itu. Aku terperangah. Benar, itu bom! Setidaknya demikian yang kurasa. Terkejut, paling tidak karena efek Doffler ledakannya.

"Salam kan orang Betawi? Kamu sudah yakin?"

"Emang kenapa?"

"Orang Betawi kan tukang kawin. Sukses dikit udah kawin lagi. Liat aja teman kakak!"

"Kan nggak semua. Tiap orang beda."

"Itu sekarang waktu dia belum mapan. Coba aja kalo sudah lebih kaya!"

"Sudah-sudah, nanti Mama titip tanya buat Salam apa dia mau poligami nggak. Disampaikan ya!"

Hening.

"Bang, kok diam? Marah ya?" Suara lembut itu terdengar khawatir.

"Nggak. Cuma rada kaget aja."

Aku tersadar mendengar tuturannya soal diskusi seru keluarganya tentang aku. Aku siuman setelah terkena bom itu. Ya, bom stereotipe!

Aku memang berayah-ibu Betawi asli dan tinggal pun sejek bujeg di Jakarta. Sementara si Gadis beribukan asli Lampung dan ayah berdarah Palembang blasteran Cina. Konon dari garis ibunya ada darah Banjarmasin dan Padang. Sangat Indonesia bukan?

Wajar jika muncul stereotipe atau pandangan miring mengenai hubungan kami. Jangankan dengan orang yang sama sekali berbeda suku atau etnis. Dengan seseorang yang punya darah suku yang sama saja muncul stereotipe yang sama. Ia gadis Betawi campuran Sunda. Bisa dikatakan ialah cinta pertamaku. Namun cinta itu kandas tak berakhir mulus. Ibunya menolak lamaranku dengan alasan "belum mapan" dan stereotipe yang melekat pada orang Betawi: "pemalas" dan "tukang kawin". Duh!

Ikhtiarku tak berhenti begitu saja. Ketika ikut sebuah pengajian, melalui murobbi alias guru ngaji, aku mengajukan "proposal" untuk seorang akhwat teman seangkatanku semasa kuliah. Fisiknya biasa saja namun aku kagumi semangat dakwah dan komitmennya dalam beramal. Namun, setelah menunggu jawaban nyaris dua bulan lamanya, ia menolakku—melalui jawaban lisan dari sang murobbiyah—karena dianggap "kurang sholeh". Ah, nasib!

"'Afwan ya, Lam. Sebetulnya si akhwat udah mau. Dia kan seangkatan antum. Jadi tahu kiprah antum di organisasi kampus. Tapi setelah dilacak ternyata antum pernah pacaran ya? Nah, itu poin yang memberatkan. Jadi, atas rekomendasi murobbiyahnya, antum ditolak." Itu jawaban sang akhwat melalui lisan murobbiku.

Saat itu guruku berusaha menyampaikan dengan hati-hati dan empati. Namun apa pun bentuk penyampaiannya, hatiku terlanjur luluh-lantak. Ya Allah, rasanya aku punya stempel dosa di dahi yang tak terhapus. Kisah pertemuan dengan 'cinta pertama' yang sudah beberapa tahun lewat jadi bayang-bayang yang menghambat perjodohanku. Dua ta'aruf berikutnya juga bernasib sama. Bahkan tanpa alasan yang jelas. Ya, sudahlah!

Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Gadis. Awalnya kami sahabat pena selama lima tahun. Tanpa ada tendensi apa-apa. Aku mengenalnya melalui rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam. Karena hobinya membaca, aku sering kirimi ia tulisan-tulisanku. Dan ia seorang kritikus yang baik. Kami mendiskusikannya via telepon dan email. Awalnya tidak ada rasa apa-apa. Hanya saja ia memang teman diskusi yang enak.

"Lam, carikan aku calon istri dong!" pinta seorang kawan. Ia teman SMA-ku dulu. Saat itu kami juga terikat hubungan bisnis.

"Kamu serius?"

Ia mengangguk.

Aku terdiam sejenak. Sebagai penerjemah yang hobi menulis, banyak kenalanku baik pria maupun wanita. Namun kira-kira adakah yang cocok dengan selera sobatku ini?

"Maunya seperti apa?"

Ia pun menuturkan standar gadis yang diinginkannya. Hm…cukup ideal memang. Tapi, bismillah, aku coba.

"Oh ya, coba aja kalian kenalan dulu," ujarku setelah mengusulkan nama Gadis. "Orangnya baik dan enak diajak ngobrol."

"Cantik tidak?"

Deg. Aku tertegun. Cantik? Aku tak pernah mempermasalahkan itu sebelumnya. Aku hanya mengetahuinya dari sebuah foto ukuran 2 x 3 di sebuah majalah. Itu pun tak begitu jelas. Tapi apakah penting?

"Ya, penting dong, Lam," tukas sang kawan ngotot. "Itu syarat penting tuh buat cowok!"

Aku terdiam lagi. "Coba ketemuan aja dulu. Kayaknya cantik kok. Suaranya aja merdu." Ia mengangguk. Dengan garansi dariku ia mau menghubungi Gadis. Aku sudah bertindak sebagai mak comblang yang baik.

Sebulan berlalu. Aku menunggu kabar dari sang kawan. Namun tak juga ada kabar darinya. Lantas sebagai mak comblang aku meneleponnya untuk memastikan keseriusan niatnya. Karena sebagai perempuan, Gadis hanya bisa menunggu to?

"Gimana? Sudah ketemuan kan? Cocok tidak?"

Ia menghela nafas. "Seminggu pertama ngobrol via telepon sih cocok banget. Wawasannya luas dan humoris. Terus janji ketemuan. Sayang orangnya tidak cantik."

Ah, cantik itu memang relatif. Di abad pertengahan, perempuan berbadan gemuk dianggap cantik namun kini justru seakan jadi gambaran momok yang mengerikan bagi perempuan. Perempuan kini ingin langsing seperti gambaran model artis dan selebritis yang dicitrakan media massa. Sudah langsing pun belum tentu jaminan dianggap cantik. Ada syarat lagi untuk wajah: berkulit putih mulus, tanpa jerawat dll.

Karena penasaran, untuk pertama kalinya, aku meminta waktu bertemu dengan Gadis. Aku ingin tahu seperti apa si Gadis sehingga kawanku menolaknya karena alasan tidak cantik. Dan memang benar cantik itu relatif. Atau mungkin karena aku tidak terlalu mempermasalahkan soal fisik?

Benar juga seperti kata artis Syahnaz Haque bahwa orang yang tidak mempermasalahkan soal fisik akan bertemu orang yang berpandangan sama. Pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan berikutnya hingga pertemuan penting pada malam tersebut. Meski awalnya ada keraguan dari ibunya soal status pekerjaanku yang bukan orang kantoran dan soal stereotipe etnis, kami meniatkan 'segala sesuatu akan indah pada waktunya'. Bismillah. Kami pun sedang menghitung hari lamaran atau khitbah.

Meminang dengan Pena

Orang bilang penulis itu tak pernah kehabisan kata. Tapi rasanya tidak juga. Toh, ia juga manusia yang pada suatu titik tertentu dalam hidupnya kehilangan perbendaharaan kata karena gemuruh rasa di dada.

Tidak percaya? Percaya sajalah. Karena aku sendiri yang mengalaminya.

"Katanya suka nulis ya, Mas?" sapa lelaki berkumis berwajah ramah tersebut. Aku tersenyum. Itu pertanyaan keseribu sekian dalam hidupku.

"Saya selalu kagum dengan para penulis. Orang yang bisa menulis berarti berwawasan luas," ujar sang lelaki tersebut. Aku kembali tersenyum. Kali ini kurasa kian lebar. Tapi aku tidak bereaksi lebih lanjut. Bukan apa-apa. Bukan sariawan. Bukan pula sombong. Siang itu tertunai sebuah hajat hidupku: ada gadis yang bersedia menerima lamaranku. Di sebuah rumah asri di batas kota Jakarta. Dan sang lelaki pengagumku itu (semoga tak salah dugaanku) adalah juru bicara dari pihak keluarga sang gadis. Salahkah jika hatiku bergemuruh dan lidah kelu setelah acara itu?

Rasanya aku ingin menyepi, merenungi dan bertakbir. Ada seru di hati: Alhamdulillah, Ya Allah! Ada juga gadis yang menerima lamaranku! Mungkin terlalu remeh buat sebagian orang. Tapi sebagai lajang di penghujung dua puluhan yang tiga kali lamarannya ditolak orang, peristiwa hari ini patutlah dicatat dalam diary istimewa di palung hati terdalam.

"Sudah menulis di mana saja, Mas?" Kembali sang jubir ramah "mengganggu" keasyikanku bertamasya syukur. Aku menarik nafas sejenak. Harus kumulai dari mana? pikirku. Wajah sang jubir dengan kumis a la Roy Suryo terlihat antusias menunggu jawabanku. Ah, berarti pertanyaannya serius, batinku.

"Insya Allah, di akhir tahun ini ada beberapa buku saya yang diterbitkan, Mas," ujarku dengan berupaya mengangkat balok besar yang menghimpit lidah. Mulailah aku bercerita tentang proyek menulisku yang sebenarnya tak seberapa dibandingkan beberapa kawan penulis lain. Tapi untuk yang bukan penulis seperti Mas Bambang, sang jubir, itu sudah cukup mengundang decak kagumnya.

Ah, moga saja itu bukan suara cicak di dinding, batinku. Dan moga saja kepalaku tidak menyundul langit-langit atas decak kagumnya yang sejenak aku curigai sekadar basa-basi. Ah, Nursalam, masih saja kamu tidak percaya diri!

Mas Bambang lantas menjelaskan betapa ia suka membaca dan ingin bisa menulis. Tak lama topik berganti dengan ceritanya tentang buku-buku yang suka dibacanya. Ah, ia pembicara yang baik. Pintar menarik perhatian teman bicara dengan sesuatu yang disukainya lantas menariknya ke dalam topik yang ingin ditujunya. Dan ia melakukannya dengan mulus. Dan aku senang-senang saja. Atau mungkin moodku sedang bagus karena terbayang sebuah senyum gadis berjilbab yang menerima penyematan cincin di jari manisnya oleh salah satu bibiku yang mewakili pihak keluargaku.

Ya, sebuah cincin emas seberat 3,3 gram berkadar 23 karat. Bukan harganya yang terutama--kendati itu juga penting karena saat dibeli harga emas sedang tinggi-tingginya- -tapi karena ia dibeli dengan hasil pena. Ia kubeli dengan tagihan hasil terjemahan yang aku minta lebih awal dari klienku dan hanya dua hari sebelum hari khitbah atau lamaran. Sehari berikutnya berkeliling toko emas di Jatinegara dan Pasar Minggu untuk cari model cincin yang cocok dan terutama pas dengan budget seorang penerjemah pemula yang pas-pasan.

"Emang kamu mau bawa uang seserahan berapa banyak, Lam?" tanya kakak-kakakku beberapa hari menjelang khitbah. Ya, proses khitbah ini hanya disiapkan sepekan. Itu pun hanya total tiga hari bersih siapkan transportasi, undang keluarga besar dan beli cincin. Karena dua pekan penuh aku harus berkutat dengan proyek terjemahan yang memaksaku duduk bekerja dari ba'da subuh hingga subuh lagi. Hingga migren, tamu rutinku, tiga kali menerpa. Duh, begini ya perjuangan orang mau serius nikah, demikian aku membatin menguatkan semangat. Ketika jam telah banyak berlalu namun masih saja tumpukan dokumen kontrak bisnis dengan bahasanya yang "kering" teronggok di samping komputer kreditanku.

"Belum," jawabku tenang. Aku tatap wajah kakakku yang terperangah. Mungkin mereka berpikir aku bercanda. Karena umumnya--dalam tradisi Betawi--khitbah atau lamaran sudah disertai dengan bawaan uang untuk calon istri yang dilamar. Minimal semacam uang muka. Namun, puji syukur bagi Allah yang memudahkan, keluarga sang gadis tidak mensyaratkan itu. Mungkin juga diam-diam tahu tumpukan tagihan utangku--salah satunya karena kegagalan bisnisku di masa lalu yang harus ditebus. Ditambah lenyapnya asset usaha penerjemahanku diterjang banjir pada Februari 2007.

"Yang penting keluarga besar Salam datang," ujar sang Mama. Entahlah apakah beliau iba dengan aku yang yatim piatu, kurus dan berpenghasilan tak tetap yang konon sebagai pelamar "termiskin" di antara sekian banyak pelamar yang berminat dengan anak gadis satu-satunya itu. Ketika aku muncul pertamakali di rumah asrinya beberapa bulan lalu untuk bersilaturahmi, ia terlihat berusaha menyembunyikan kekagetannya ketika aku jawab aku naik angkutan umum. Sejak itu pertanyaan, "Bawa apa ke sini?" tak pernah terluncur dari mulutnya saat silaturahmi- silaturahmi berikutnya. Mungkin beliau sudah maklum jika naik angkutan umum berarti bawa supir, kenek dan para penumpangnya. Komplit.

Belakangan aku ketahui, berdasarkan analisisku dan keterangan dari sumber-sumber tepercaya, salah satu faktor yang membuatku lumayan diterima baik adalah karena aku penulis. Memang strategi awalku adalah menghadiahinya buku-buku atau media cetak yang memuat tulisan-tulisanku. Dan sangat kebetulan sekali salah satu paman sang gadis pernah aktif menulis di majalah kampus dan dalam keluarga besarnya ia cukup dihormati karena posisi "uniknya" itu. Mungkin ini yang namanya hallo effect, renungku dalam suatu kesempatan.

Pertemuanku dengan sang gadis yang kini aku ikat dengan sebuah cincin--demi sebuah momen besar berikut di akhir tahun ini--juga karena pena. Aku mendapati fotonya terpampang pada rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam pada tahun 2000. Entah mengapa aku tergerak untuk menyuratinya. Belum ada rasa saat itu. Semata-mata yang menggerakkanku adalah satu nama tempat yang asing bagiku, tapi menggelitik: PLAJU. Ya, itu tempat kelahiran sang gadis. Yang belakangan kuketahui ia cuma numpang brojol saja di sana karena pekerjaan ayahnya yang harus berpindah-pindah lokasi sebagai karyawan Pertamina.

Ya, karena pingin tahu tentang nama daerah yang seakan berada di penjuru antah berantah itu aku surati dia. Cukup romantis jika dikenang. Di tahun 2000an kami berbalas-balasan surat--meski diselingi dengan email alias ratron--persis seperti tokoh dalam novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijck-nya Buya Hamka menjalin kasih. Tapi saat itu tak ada kata cinta tersurat. Aku yang saat itu berusaha menerapi diri yang lumpuh menulis bertahun-tahun dan tak berani (lagi) mengirimkan tulisan ke media menjadikannya sebagai pembaca pertama dan setia tulisan-tulisanku. Bermula dari pertanyaaan tentang letak Plaju--yang ternyata sebuah kota kecil di Sumatera Selatan--hingga kritik konstruktifnya atas tulisan-tulisanku yang saat itu mayoritas cerita pendek.

Perkawanan via surat berlanjut hingga 2005 tanpa pernah sekalipun ada pernyataan rasa tersurat atau pertemuan tatap muka. Sempat terjeda sebentar beberapa bulan karena kesibukanku. Juga karena aku kehilangan alamat emailnya dan juga nomor kontaknya yang lain pada banjir 2002. Ia pun, entah kenapa bisa sama, kehilangan nomor kontakku. Hingga takdir mempertemukan kembali pada medio 2006. Sekitar dua bulan menjelang kematian ayahku dan papanya yang hanya berselang dua jam pada hari yang sama sekitar nisfu sya'ban.

Takdir juga yang membuatku bernyali menghadap ibundanya. Meski saat itu tersiar kabar sang gadis hendak dijodohkan dengan salah satu sepupu jauhnya yang lulusan S-2 sebuah universitas agama negeri di Jawa Barat, dan seorang PNS pula. Sementara siapa pula aku? Pemuda dari garis keturunan beda etnis yang kendati pernah nyantrik di UI namun tak tuntas dan harus berjuang dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Mulai dari jualan koran, mengajar bahasa Inggris, sekretaris LSM sampai wartawan freelance dan akhirnya penerjemah lepas semata-semata dilakoni demi menyambung nafas kemandirian.

Namun rasanya itu terbayar impas ketika pada suatu titik waktu sang gadis bilang salah satu poin kelebihanku hingga ia tak lagi menolak seperti sekian pinangan yang bertubi-tubi datang sebelumnya adalah karena aku bisa menulis. Dan ia pengagum tulisanku. Ah, amboi, alangkah beruntungnya para penulis jika semua gadis demikian adanya! Namun perjalananku ke depan masih panjang. Jika Allah izinkan maka suatu hari di penghujung tahun ini adalah momentum awal kedewasaanku. Secara pribadi, aku selalu mengukur tingkat kedewasaan seseorang termasuk diriku dari berani tidaknya seorang lelaki berkomitmen serius menikahi perempuan. Semuda apapun sang lelaki, dan seberapa pun mendasarnya tingkat pendidikan atau rejeki yang ada padanya.

Ada suatu keinginan di palung hati yang terdalam bahwa aku ingin menghadiahinya mahar sebuah buku karyaku selayaknya Bung Hatta memberikan mahar buku Pemikiran Yunani yang ditulisnya kepada sang gadis idaman, Rahmi Hatta. Adakah Allah izinkan itu terpenuhi? Wallahu a'lam bisshawwab. Seperti syair lagu rakyat Swahili di pedalaman Afrika, "Hidup adalah perjuangan, dan kalah atau menang adalah urusan Tuhan." Termasuk perjuangan menghadapi kegelisahan tahapan berikutnya pasca pinangan yang diwakili lewat sebuah pertanyaan, "Sudah ada uang berapa untuk resepsi nikah?"

Aku diam-diam tersenyum. Sederet plan A dan B berputar di kepala. Tak heran belakangan migrenku kerap kambuh baik karena kejar setoran atau gangguan kegelisahan tersebut. Namun aku meyakini seperti nasihat ibu calon mertua yang selalu bilang,"Percaya saja pada Tuhan. Kayak tidak punya Tuhan saja!"

Ya, aku percaya pada Tuhan, Mama. Nah, calon istriku, seperti halnya sahabat Nabi yang meminang istrinya dengan sekerat cincin besi, maukah kau menerimaku dengan sebatang pena bertintakan cinta yang diraut dari kayu pohon cita-cita?

Ya, ingin aku bisikkan itu di malam-malam permenunganku dalam penantian. Di antara jeda rehat begadang malam demi mengejar tenggat pekerjaan yang berjatuhan bagai air hujan. Seperti hujan, ia pun bervariasi mulai dari tandus, gerimis hingga hujan deras.

Ya, meminang dengan pena. Hatiku gerimis merincis mengenang kenekatanku sebelum sembilan September yang bersejarah kemarin. Namun belum layak dada bungah sebelum takdir yang lebih kuat mengikat. Akan butuh banyak doa untuk menjemput takdir yang satu itu. Jika sebelum pinangan, aku khusus minta doa dari salah satu teman SMA-ku yang berumroh agar ia mendoakanku di depan Multazam maka kali ini aku butuh doa dari semesta. Seperti sebuah sms bijak dari seorang Teha Sugiyo, sang motivator dari Bandung, "Jika niat dan komitmen sudah dipancangkan maka semesta akan menyambut."

Wahai semesta, sambutlah niat suciku!

Ya Allah yang menguasai semesta, jadikan aku kuat dengan segala titipan kekuatan-Mu yang ada, dan bukan sekadar kenekatan tanpa iman yang berkelana berputus-asa dan tumpas digulung masa!

License To Wed

Mengurus pernikahan itu susah-susah gampang. Seorang teman bilang bahwa pernikahan itu tergantung cara kita memandang. Dipandang susah ya susah, dipandang gampang ya jadinya gampang. Termasuk mengurus administrasi perizinannya. Seperti judul film Warkop DKI: Susah-Susah Gampang. Tapi, lanjut seorang teman yang lain, jika sudah dijalani ya jadi gampang. Seorang pemuda yang sudah khidmat mendengarkan petuahnya jadi rada dongkol sambil membatin,"Ya, iyalah!". Tapi, tak heran, ini masih mengutip kata orang, bahwa orang yang sudah menikah lebih mudah untuk menikah lagi ketimbang lajang –yang notabene miskin ilmu dan pengalaman, dan materi pula—untuk menikah pertamakalinya. Entahlah, terserah percaya atau tidak. Konon, itu teorinya.

Singkat cerita, di suatu sore hari kerja, seorang pemuda dan seorang gadis berjalan kaki ke sebuah Kantor Urusan Agama (KUA) di bilangan Jakarta Selatan yang letaknya mepet dengan Depok, Jawa Barat. Langkah pasangan itu gontai. Plus wajah cemberut. Maklum, mereka habis long march 300 meteran dari ujung jalan utama. Awalnya, waktu mereka bertanya kepada seorang lelaki yang nongkrong di ujung gang setiba turun dari angkot, apa jawab sang lelaki?

"KUA? Dekat kok. Terus lurus aja!"

Dengan husnuzon tinggi, sekaligus mengirit ongkos, keduanya menampik tawaran gerombolan tukang ojek yang sudah dengan baik hati menghangsurkan motor mereka. Kedua sejoli itu berjalan mantap. Mereka terus berjalan dengan asumsi "dekat" adalah sekitar maksimal 50 meter. Mereka berjalan terus. Terus, dan terus, dan kian lama jalan kian panjang bagai coklat Choki-Choki. Alamak! Ini mah sudah kelewatan dari kategori dekat, keduanya membatin sembari berpandangan.

Pasangan itu berhenti sejenak di tepi jalan panjang lurus yang rimbun dan sepi. Mau naik ojek? Kadung jauh betul. Mau jalan? Tidak jelas seberapa "dekat" lagi. Bertanyalah keduanya kepada seorang warga setempat. Setelah bertanya dengan teknik interview yang lebih canggih, didapatlah info bahwa "target operasi" sudah dekat, sekitar 100 meter lagi di ujung tikungan. Alhasil, dengan meneguhkan niat, sampailah mereka di depan sebuah kantor instansi pemerintah yang nyaris tertutup rimbunnya pepohonan. Maklum, KUA yang satu ini tak jauh dari Setu Babakan, pemukiman budaya Betawi yang diresmikan pemda DKI beberapa tahun lalu.

Apakah perjuangan keduanya mencatatkan pernikahan hari itu berhasil?

Jam menunjukkan pukul 14.30 WIB. Para pegawai KUA sebagian sudah terlihat bersantai. Seorang wanita pegawai di meja yang menghadap ke arah pintu tengah memberesi isi tasnya. Namun buku besar di hadapannya masih terbuka lebar. Ah, masih ada kesempatan, batin sang pemuda yang hari itu terpaksa membolos dari jadwal kerjanya di sebuah rumah produksi sitkom untuk mengurusi macam-macam persiapan nikahan mulai dari cetak foto hingga editing kartu undangan.

Setelah si ibu pencatat ramah berbasa-basi, sepasang muda-mudi itu mengutarakan niat untuk mencatatkan pernikahan. Dalam hitung-hitungan mereka, jika jadwal resmi kantor pemerintah sampai pukul 17.00 WIB maka dapatlah mereka mencatatkan jadwal pernikahan sekaligus mendapatkan penghulu untuk hari H nanti. Dengan percaya diri, sang pemuda menyodorkan surat numpang nikah yang diurusnya dengan "jasa" ketua RT, RW, Kelurahan hingga KUA di tempat asalnya.

"Baik. Si Mas sudah lengkap surat-suratnya. Mbak mana suratnya?"

"Surat apa?" tanya si gadis bingung.

Setengah heran, si ibu menjelaskan bahwa tidak hanya pihak laki-laki yang harus mengurus surat numpang nikah tapi pihak perempuan juga harus mengurus surat pengantar nikah. Lebih aneh lagi, mungkin, jika si ibu melihat catatan usia pasangan tersebut yang bisa-bisanya abai dengan pengetahuan "sepele" tersebut. Barangkali si ibu mengurut dada heran sambil membatin, "Pasangan yang aneh."

Sebenarnya si ibu pencatat di KUA bukan orang pertama yang barangkali berucap demikian. Saat pasangan itu hendak melangsungkah khitbah atau lamaran pada September lalu, pihak keluarga juga berkomentar," Duh, pasangan santai!" ketika mereka tahu bahwa semua persiapan termasuk beli cincin hanya dilakukan dalam 2 hari jelang hari pinangan. Keduanya pun cuma senyum cengengesan. Barangkali inilah kesamaan yang menyatukan mereka.

Back to laptop, setelah "gagal" dengan sukses di KUA, sang gadis yang "bermasalah" pun mengurus surat pengantar menikah di RT, RW hingga Kelurahan. Berbagai perjuangan dilalui mulai dari Pak RT yang hanya bisa ditemui pada waktu malam saja (tolong, jangan samakan ia dengan drakula) karena sibuk kerja hingga pegawai kelurahan yang tukang ngebodor (baca: melawak) yang mampu mengetik dua lembar surat dalam 2 jam. Suatu rekor tersendiri bukan? Sang gadis pun maklum karena si pegawai kelurahan bukan penerjemah freelance seperti calon suaminya yang –karena tekanan deadline—bisa terbirit-birit menerjemahkan 10 halaman dalam sejam. Ia pun menunggu dengan, terpaksa, sabar.

Setelah 2 jam lebih sedikit, surat pengantar pun beres. Tanpa periksa lagi, sang gadis menuju rumahnya yang hanya berjarak puluhan meter dari kantor kelurahan yang setia ditungguinya 2 jam tadi. Sang ibu yang menyambut di rumah segera meneliti.

"Lho kok tulisannya begini?"

Si gadis penasaran, dan melongok ke bagian belakang surat yang memuat keterangan: XXXXXX..DAN MENIKAHI SEORANG PEREMPUAN BERNAMA NURSALAM AR (aslinya tulisan itu dengan tulisan tangan berukir khas lulusan SR tahun 50an).

Si gadis mangkel. Ibunya terbahak.

"Jeruk kok makan jeruk?"

Akhir cerita, surat itu berhasil diperbaiki, diiringi riuh tawa sekantor kelurahan, dengan tambahan waktu 30 menit saja. Sang gadis tidak jadi "makan jeruk". Karena sang "perempuan" dalam keterangan surat itu sudah "kembali" ke wujud aslinya. Lelaki tulen. Secara de jure dan de facto.

Dalam catatan pernikahan di KUA, 3 hari kemudian, sang gadis bernama Yuni Meganingrum dan sang pemuda –yang sempat "berubah wujud"—bernama Nursalam AR.

Menikah? Lantas....

Alhamdulillah, di penghujung 2007 tepatnya 23 Desember, di ujung usia 30, aku menikah. Tepatnya, sudah menikah dan kawin. Ini demi menghindari olok-olok zaman SMA dulu.

"Elo mau kawin apa nikah?"

"Emang apa bedanya?"

"Nikah pake surat. Nah, kawin cuma pake urat."

Ketika seorang lelaki menikah, akad nikahnya jelas berbunyi, "Saya terima kawin dan nikahnya fulanah binti fulan." Jelas. Komplit. Tidak ada syak lagi. Ada senyum terkembang bahagia, ada tangis haru pecah dan ada sederet kewajiban yang datang.

Pernikahan sendiri bukanlah sebuah prestasi. Setidaknya itu jawaban pribadiku saat seorang netter, ketika dalam sebuah milis meruyak kontroversi tentang 'pernikahan adalah prestasi', bertanya via email kepadaku. Menikah bukan prestasi, jawabku. Tapi menikah adalah kebutuhan. Entahlah bagaimana raut mukanya di seberang kabel sana saat menerima balasan emailku tersebut yang barangkali dianggapnya "tidak canggih". Puas atau tidak sang penanya, (lagi-lagi) setidaknya itu sebuah kejujuran terhadap diri sendiri.

Obat bagi seorang lelaki yang gampang jatuh cinta – seperti aku, misalnya -- adalah menikah dan memiliki istri -- yang setidaknya menurutnya pribadi -- cantik. Minimal, ia terhindar dari dosa khayalan liar bujang di waktu malam sepi. Terlebih saat dingin hujan menggigit. Yang terutama, membuatnya jadi belajar bagaimana berkomitmen dan terikat pada sebuah hubungan yang ajeg.

Pernikahan bukanlah menyeragamkan perbedaan tetapi justru memahami perbedaan dan mencoba berkompromi. Sepekan pertama pernikahan, aku mendapati kenyataan bahwa aku dan istri tercinta punya kebiasaan tidur yang kontras. Aku suka tidur dengan lampu terang --karena kebiasaan membaca buku sebelum tidur hingga tak jarang buku pun berubah jadi tatakan iler -- dan anti kipas angin (karena aku rentan masuk angin). Namun, Yuni hanya bisa tidur jika lampu dimatikan dan kipas angin wajib menyala. Gerah, katanya. Alhasil, tiga hari dalam sepekan pertama tersebut aku masuk angin dan kurang tidur, karena tak bisa tidur tanpa bacaan pengantar tidur.

Tapi akhirnya titik kompromi tercapai juga setelah terjadi negosiasi. Setelah sebulan lebih. Masuk hari ketigapuluh sekian, lampu kamar tak selalu gelap. Terlebih jika aku harus bekerja di depan komputer atau laptop hingga dini hari.Karena Yuni Meganingrum, istriku, juga mulai belajar memaknai -- dalam arti sebenarnya-- bahwa suaminya tak bisa sepenuhnya "bermetamorfosis sempurna". Ia masih saja makhluk (semi) nokturnal.

Menikah juga konon membuat kaya. Itu kata salah satu buku panduan menikah -- yang banyak aku lahap jauh sebelum menikah -- yang mengutip janji al Qur'an bahwa Allah akan memampukan orang-orang yang menikah. Sementara definisi kaya, seperti halnya sukses, cenderung relatif.

Sebagian kawan -- yang sudah menikah tentunya -- menafsirkannya dalam dimensi material. "Sebelum menikah, ane ga punya apa-apa. Sekarang alhamdulillah sudah punya kendaraan pribadi dan sedikit tabungan." Sobat yang lain memaknainya dalam dimensi spiritual. "Yah, biar belum punya apa yang banyak kami mau tetapi batin saya tenang setelah menikah." Ya, apapun, tak usahlah jadi kontroversi.

Setidaknya, sesuai pengalaman saya sendiri, setelah menikah Anda akan kaya -- dalam artian akan memiliki apa-apa yang belum Anda miliki. Setidaknya memiliki istri atau suami dan kemudian anak, dan bertambah jumlah keluarga besar (ada mertua, saudara ipar) dan tambahan kenalan (teman-teman pasangan kita). Maka, terbentanglah di hadapan Anda, jejaring silaturahim yang luas. Dan Tuhan menjanjikan syarat panjangnya umur dan berlimpahnya rizki adalah silaturahim.

Jadi, kendati panjang dan mungkin berat meniti jalan menuju pernikahan, berteguhlah, Sobat, karena ini jalan kedewasaan, jalan fitrah.

Pengadegan, Juni 2009

Foto-foto: www.nursalam. multiply. com

*) semua bagian tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di milis SK yang artinya Sekolah Kehidupan (SK) adalah bagian tak terlepaskan dari perjalanan jodoh tsb, tempat di mana saya berteduh. Sungguh saya merasa berdosa dan sedih ketika rumah ini terasa sunyi dan kering, antara lain karena saya sendiri sebagai salah satu penghuni tak lagi rajin mengunjungi. Sengaja tulisan ini dikumpulkan dan diposting ulang guna mengenang perjalanan SK jelang milad ke-3 di Bandung Juli nanti.

**) Untuk semua yang berniat, akan, jelang dan sudah menikah, semoga tulisan ini bermanfaat:) . Mari berbagi, mari bercerita! Mari ramaikan rumah kita kembali!

--

-Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
YM ID: nursalam_ar
www.nursalam. multiply. com
www.pensilmania. multiply. com











Lebih bersih, Lebih baik, Lebih cepat - Yahoo! Mail: Kini tanpa iklan. Rasakan bedanya! http://id.mail.yahoo.com
9b.

Re: Bls: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Long Road To The Marriage

Posted by: "Nursalam AR" pensilmania@gmail.com

Fri Jun 12, 2009 10:34 pm (PDT)



Makasih,Yan, Insya Allah saya doakan semoga "keinginan" ente yg satu itu
terkabul:). Tetap semangat, ikhtiar, sholat Hajat dan shodaqoh ya. Kata
orang sih itu cara manjur untuk segala keinginan makbul.

Keep writing, keep fighting!

Tabik,

Nursalam AR

On 6/12/09, bujang kumbang <bujangkumbang@yahoo.co.id> wrote:
>
>
>
> lengkap sekaleee, Bang!
> alhamdulillah akhirnya tulisan ini keluar juga, euy... disini
> cukup terharu membacanya...
> doakan aye ya Bang biar menyusul
> amin!
> sukses selalu buat abang!
> amin
>
> --- Pada *Jum, 12/6/09, Nursalam AR <pensilmania@gmail.com>* menulis:
>
>
> Dari: Nursalam AR <pensilmania@gmail.com>
> Topik: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Long Road To The Marriage
> Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Cc: eskesuma@yahoo.com
> Tanggal: Jumat, 12 Juni, 2009, 4:24 PM
>
> *Long Road To The Marriage**
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
> *Mencari Cinta*
>
> *Malam merayap siput. Hujan menderap*
>
> *Sepi meranggas hati. Dingin mendekap naluri*
>
> *Mata susah pejam, angan layang liar*
>
> *Kuraba sisi kasur. Kosong*
>
> *Kapankah ia berpenghuni?*
>
> *Hanya Takdir yang tahu*
>
> *Sebagaimana pengetahuanNya akan rizki dan mati.*
>
> (*Elegi Lajang*, 2002)
>
> Puisi buah karyaku sendiri itulah yang menemani malam-malamku sebagai
> lajang. Menjadi lajang adalah berada dalam medan daya tarik-menarik antara
> keinginan dan pilihan. Banyak keinginan namun banyak pula pilihan.* *Menurut
> Pramoedya Ananta Toer dalam *Bumi Manusia*."Kadang manusia dihadapkan pada
> sebuah pilihan dalam hidupnya. Jika tidak memilih saat itu ia tidak mendapat
> apa-apa." Kurang lebih seperti itu bunyinya.
>
> Ya, memilih! Buat seorang peragu tentu alangkah beratnya. Buat seorang
> sembrono atau *slebor* sama juga sulit. Yang berbeda adalah reaksi mereka.
> Si peragu akan tercenung lama dan kadang menyebalkan banyak orang karena
> banyaknya waktu untuk memikirkan pilihan yang akan diambil. Si sembrono
> justru akan tergesa-gesa mengambil pilihan tanpa masak-masak dipikir. Untuk
> kemudian menyesal. Si peragu juga kerap menyesal karena ia kehilangan
> momentum. Bukankah segala sesuatu itu indah pada masanya? **
>
> "Ih, sudah ditawarin *akhwat *yang pernah jadi *cover girl* majalah malah
> nolak. Kenapa sih?!"
>
> *Ini s*ebetulnya karena minder, ketika seorang kawan menyodorkan pilihan.
> *Subhanallah*, cantik nian. Gadis keturunan Arab yatim piatu dari keluarga
> mapan. Lulusan ITB. Lebih muda dua tahun saja. Hm..kenapa ditolak?
> Entahlah, aku hanya mengikuti alarm intuisiku saja. Minder seperti kataku?
> Bisa jadi. Hanya saja aku tidak merasa ada *chemistry* yang sama dengan
> sekadar melihat foto saja.
>
> Sebagian temanku hanya tertawa. "Ah, mau nikah aja repot banget!" ledek
> mereka. Trauma? Mungkin juga. Dulu kakekku, ayah dari bapak, menikah dengan
> gadis keturunan Arab. Beda status pula. Tapi karena perbedaan status, mereka
> dipaksa cerai dan meninggalkan seorang anak tunggal: ayahku.
>
> Setelah itu Nek Masenun--sebutanku untuk sang nenek yang tak pernah kulihat
> fotonya itu--dinikahkan dengan seorang yang "*sekufu*", setara. Seorang
> saudagar kaya dari Arab. Pernikahan mereka tak lama, tak berbuah anak. Saat
> itu di era Jakarta 1930an stereotipe soal etnis Arab yang sangat eksklusif
> masih sangat kental. Sialnya, kakekku hidup pada zaman itu. Ia hanya
> penarik perahu tambang alias perahu *eretan* di Kali Ciliwung. Konon,
> cerita almarhum ayahku, kakek seorang yang tampan.
>
> **
>
> *Bertemu Cinta, Menanti Jodoh*
>
> 2007.
>
> Kini saat setidaknya ada sebuah titik cerah ketika seorang gadis bersedia
> berkomitmen mendampingi hidupku, apakah puisi di awal tulisan ini akan mati
> riwayatnya? Ternyata tidak.
>
> Beberapa bulan sebelumnya. Jam delapan lewat dua puluh satu menit. Malam.
>
> �Ada pesan dari Mama,� ujar gadis manis berjilbab dengan senyum lucu itu.
>
> Aku berdebar. Benakku sibuk menerka kira-kira apa pesan sang Mama setelah
> kunjunganku malam itu. Ia seorang janda awal lima puluh tahunan yang
> suaminya wafat hanya berselang dua jam setelah ayahku wafat pada 8 September
> 2006. Entahlah apakah itu suatu kebetulan yang merupakan pertanda antara aku
> dan putrinya.
>
> �Apa kata Mama?� sambutku setelah menghela nafas, menguasai diri yang
> mendadak gugup.
>
> �Tapi jangan marah ya..�
>
> Hm�apalagi nih? Benakku kian sibuk menerka. Ribuan kombinasi probabilitas
> berseliweran hadir dengan cara permutasi atau mutasi. Rasanya otakku jadi
> penuh.
>
> �Halo?!�
>
> Ufs! Aku lupa aku sedang bercakap di telepon. Jadi tak mungkin dia
> mengetahui gundahku hanya melalui mimik wajah.
>
> �Ya, nggak marah kok. Cerita aja,� tukasku sok mantap. Padahal deg-degan.
>
> �Bener ya nggak marah?� Suara lembut itu kembali bertanya. Duh, bikin
> penasaran aja!
>
> �Iya, kagak�� *Tuh*, keluar *deh *logat Betawiku!
>
> Tawa kecil di seberang meledak. Kemudian hening. Satu..dua�tiga� Diam-diam
> hatiku menghitung kapan bom itu meledak.
>
> Si gadis bercerita perihal diskusi keluarganya setelah kunjunganku malam
> itu. Aku terperangah. Benar, itu bom! Setidaknya demikian yang kurasa.
> Terkejut, paling tidak karena efek Doffler ledakannya.
>
> �Salam kan orang Betawi? Kamu sudah yakin?�
>
> �Emang kenapa?�
>
> �Orang Betawi kan tukang kawin. Sukses dikit udah kawin lagi. Liat aja
> teman kakak!�
>
> �Kan nggak semua. Tiap orang beda.�
>
> �Itu sekarang waktu dia belum mapan. Coba aja kalo sudah lebih kaya!�
>
> �Sudah-sudah, nanti Mama titip tanya buat Salam apa dia mau poligami nggak.
> Disampaikan ya!�
>
> Hening.
>
> �Bang, kok diam? Marah ya?� Suara lembut itu terdengar khawatir.
>
> �Nggak. Cuma rada kaget aja.�
>
> Aku tersadar mendengar tuturannya soal diskusi seru keluarganya tentang
> aku. Aku siuman setelah terkena bom itu. Ya, bom stereotipe!
>
> Aku memang berayah-ibu Betawi asli dan tinggal pun *sejek bujeg* di
> Jakarta. Sementara si Gadis beribukan asli Lampung dan ayah berdarah
> Palembang blasteran Cina. Konon dari garis ibunya ada darah Banjarmasin dan
> Padang. Sangat Indonesia bukan?
>
> Wajar jika muncul stereotipe atau pandangan miring mengenai hubungan kami.
> Jangankan dengan orang yang sama sekali berbeda suku atau etnis. Dengan
> seseorang yang punya darah suku yang sama saja muncul stereotipe yang sama.
> Ia gadis Betawi campuran Sunda. Bisa dikatakan ialah cinta pertamaku. Namun
> cinta itu kandas tak berakhir mulus. Ibunya menolak lamaranku dengan alasan
> �belum mapan� dan stereotipe yang melekat pada orang Betawi: �pemalas� dan
> �tukang kawin�. Duh!
>
> Ikhtiarku tak berhenti begitu saja. Ketika ikut sebuah pengajian, melalui
> *murobbi *alias guru ngaji, aku mengajukan �proposal� untuk seorang *
> akhwat* teman seangkatanku semasa kuliah. Fisiknya biasa saja namun aku
> kagumi semangat dakwah dan komitmennya dalam beramal. Namun, setelah
> menunggu jawaban nyaris dua bulan lamanya, ia menolakku�melalui jawaban
> lisan dari sang *murobbiyah*�karena dianggap �kurang sholeh�. Ah, nasib!
>
> �*�Afwan *ya, Lam. Sebetulnya si *akhwat* udah mau. Dia kan seangkatan *
> antum*. Jadi tahu kiprah *antum* di organisasi kampus. Tapi setelah
> dilacak ternyata *antum* pernah pacaran ya? Nah, itu poin yang
> memberatkan. Jadi, atas rekomendasi murobbiyahnya, *antum* ditolak.� Itu
> jawaban sang *akhwat* melalui lisan murobbiku.
>
> Saat itu guruku berusaha menyampaikan dengan hati-hati dan empati. Namun
> apa pun bentuk penyampaiannya, hatiku terlanjur luluh-lantak. Ya Allah,
> rasanya aku punya stempel dosa di dahi yang tak terhapus. Kisah pertemuan
> dengan �cinta pertama� yang sudah beberapa tahun lewat jadi bayang-bayang
> yang menghambat perjodohanku. Dua *ta�aruf *berikutnya juga bernasib sama.
> Bahkan tanpa alasan yang jelas. Ya, sudahlah!
>
> Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Gadis. Awalnya kami sahabat pena
> selama lima tahun. Tanpa ada tendensi apa-apa. Aku mengenalnya melalui
> rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam. Karena hobinya membaca, aku
> sering kirimi ia tulisan-tulisanku. Dan ia seorang kritikus yang baik. Kami
> mendiskusikannya via telepon dan email. Awalnya tidak ada rasa apa-apa.
> Hanya saja ia memang teman diskusi yang enak.
>
> �Lam, carikan aku calon istri dong!� pinta seorang kawan. Ia teman SMA-ku
> dulu. Saat itu kami juga terikat hubungan bisnis.
>
> �Kamu serius?�
>
> Ia mengangguk.
>
> Aku terdiam sejenak. Sebagai penerjemah yang hobi menulis, banyak kenalanku
> baik pria maupun wanita. Namun kira-kira adakah yang cocok dengan selera
> sobatku ini?
>
> �Maunya seperti apa?�
>
> Ia pun menuturkan standar gadis yang diinginkannya. Hm�cukup ideal memang.
> Tapi, *bismillah*, aku coba.
>
> �Oh ya, coba aja kalian kenalan dulu,� ujarku setelah mengusulkan nama
> Gadis. �Orangnya baik dan enak diajak ngobrol.�
>
> �Cantik tidak?�
>
> Deg. Aku tertegun. Cantik? Aku tak pernah mempermasalahkan itu sebelumnya.
> Aku hanya mengetahuinya dari sebuah foto ukuran 2 x 3 di sebuah majalah. Itu
> pun tak begitu jelas. Tapi apakah penting?
>
> �Ya, penting dong, Lam,� tukas sang kawan ngotot. �Itu syarat penting tuh
> buat cowok!�
>
> Aku terdiam lagi. �Coba ketemuan aja dulu. Kayaknya cantik kok. Suaranya
> aja merdu.� Ia mengangguk. Dengan garansi dariku ia mau menghubungi Gadis.
> Aku sudah bertindak sebagai mak comblang yang baik.
>
> Sebulan berlalu. Aku menunggu kabar dari sang kawan. Namun tak juga ada
> kabar darinya. Lantas sebagai mak comblang aku meneleponnya untuk
> memastikan keseriusan niatnya. Karena sebagai perempuan, Gadis hanya bisa
> menunggu *to*?
>
> �Gimana? Sudah ketemuan kan? Cocok tidak?�
>
> Ia menghela nafas. �Seminggu pertama ngobrol via telepon sih cocok banget. Wawasannya
> luas dan humoris. Terus janji ketemuan. Sayang orangnya tidak cantik.�
>
> Ah, cantik itu memang relatif. Di abad pertengahan, perempuan berbadan
> gemuk dianggap cantik namun kini justru seakan jadi gambaran momok yang
> mengerikan bagi perempuan. Perempuan kini ingin langsing seperti gambaran
> model artis dan selebritis yang dicitrakan media massa. Sudah langsing pun
> belum tentu jaminan dianggap cantik. Ada syarat lagi untuk wajah: berkulit
> putih mulus, tanpa jerawat dll.
>
> Karena penasaran, untuk pertama kalinya, aku meminta waktu bertemu dengan
> Gadis. Aku ingin tahu seperti apa si Gadis sehingga kawanku menolaknya
> karena alasan tidak cantik. Dan memang benar cantik itu relatif. Atau
> mungkin karena aku tidak terlalu mempermasalahkan soal fisik?
>
> Benar juga seperti kata artis Syahnaz Haque bahwa orang yang tidak
> mempermasalahkan soal fisik akan bertemu orang yang berpandangan sama.
> Pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan berikutnya hingga pertemuan
> penting pada malam tersebut. Meski awalnya ada keraguan dari ibunya soal
> status pekerjaanku yang bukan orang kantoran dan soal stereotipe etnis, kami
> meniatkan �segala sesuatu akan indah pada waktunya�. *Bismillah*. Kami pun
> sedang menghitung hari lamaran atau khitbah.
>
> *Meminang dengan Pena
> ***
>
> Orang bilang penulis itu tak pernah kehabisan kata. Tapi rasanya tidak
> juga. Toh, ia juga manusia yang pada suatu titik tertentu dalam hidupnya
> kehilangan perbendaharaan kata karena gemuruh rasa di dada.
>
> Tidak percaya? Percaya sajalah. Karena aku sendiri yang mengalaminya.
>
> "Katanya suka nulis ya, Mas?" sapa lelaki berkumis berwajah ramah tersebut.
> Aku tersenyum. Itu pertanyaan keseribu sekian dalam hidupku.
>
> "Saya selalu kagum dengan para penulis. Orang yang bisa menulis berarti
> berwawasan luas," ujar sang lelaki tersebut. Aku kembali tersenyum. Kali ini
> kurasa kian lebar. Tapi aku tidak bereaksi lebih lanjut. Bukan apa-apa.
> Bukan sariawan. Bukan pula sombong. Siang itu tertunai sebuah hajat hidupku:
> ada gadis yang bersedia menerima lamaranku. Di sebuah rumah asri di batas
> kota Jakarta. Dan sang lelaki pengagumku itu (semoga tak salah dugaanku)
> adalah juru bicara dari pihak keluarga sang gadis. Salahkah jika hatiku
> bergemuruh dan lidah kelu setelah acara itu?
>
> Rasanya aku ingin menyepi, merenungi dan bertakbir. Ada seru di hati: *Alhamdulillah,
> Ya Allah! Ada juga gadis yang menerima lamaranku!* Mungkin terlalu remeh
> buat sebagian orang. Tapi sebagai lajang di penghujung dua puluhan yang tiga
> kali lamarannya ditolak orang, peristiwa hari ini patutlah dicatat dalam
> diary istimewa di palung hati terdalam.
>
> "Sudah menulis di mana saja, Mas?" Kembali sang jubir ramah "mengganggu"
> keasyikanku bertamasya syukur. Aku menarik nafas sejenak. *Harus kumulai
> dari mana?* pikirku. Wajah sang jubir dengan kumis *a la* Roy Suryo
> terlihat antusias menunggu jawabanku. *Ah, berarti pertanyaannya serius*,
> batinku.
>
> "Insya Allah, di akhir tahun ini ada beberapa buku saya yang diterbitkan,
> Mas," ujarku dengan berupaya mengangkat balok besar yang menghimpit lidah.
> Mulailah aku bercerita tentang proyek menulisku yang sebenarnya tak seberapa
> dibandingkan beberapa kawan penulis lain. Tapi untuk yang bukan penulis
> seperti Mas Bambang, sang jubir, itu sudah cukup mengundang decak kagumnya.
>
> *Ah, moga saja itu bukan suara cicak di dinding*, batinku. Dan moga saja
> kepalaku tidak menyundul langit-langit atas decak kagumnya yang sejenak aku
> curigai sekadar basa-basi. *Ah, Nursalam, masih saja kamu tidak percaya
> diri!*
>
> Mas Bambang lantas menjelaskan betapa ia suka membaca dan ingin bisa
> menulis. Tak lama topik berganti dengan ceritanya tentang buku-buku yang
> suka dibacanya. *Ah, ia pembicara yang baik*. Pintar menarik perhatian
> teman bicara dengan sesuatu yang disukainya lantas menariknya ke dalam topik
> yang ingin ditujunya. Dan ia melakukannya dengan mulus. Dan aku
> senang-senang saja. Atau mungkin *mood*ku sedang bagus karena terbayang
> sebuah senyum gadis berjilbab yang menerima penyematan cincin di jari
> manisnya oleh salah satu bibiku yang mewakili pihak keluargaku.
>
> Ya, sebuah cincin emas seberat 3,3 gram berkadar 23 karat. Bukan harganya
> yang terutama--kendati itu juga penting karena saat dibeli harga emas sedang
> tinggi-tingginya- -tapi karena ia dibeli dengan hasil pena. Ia kubeli dengan
> tagihan hasil terjemahan yang aku minta lebih awal dari klienku dan hanya
> dua hari sebelum hari *khitbah* atau lamaran. Sehari berikutnya
> berkeliling toko emas di Jatinegara dan Pasar Minggu untuk cari model cincin
> yang cocok dan terutama pas dengan *budget *seorang penerjemah pemula yang
> pas-pasan.
>
> "Emang kamu mau bawa uang seserahan berapa banyak, Lam?" tanya
> kakak-kakakku beberapa hari menjelang khitbah. Ya, proses khitbah ini hanya
> disiapkan sepekan. Itu pun hanya total tiga hari bersih siapkan
> transportasi, undang keluarga besar dan beli cincin. Karena dua pekan penuh
> aku harus berkutat dengan proyek terjemahan yang memaksaku duduk bekerja
> dari *ba'da* subuh hingga subuh lagi. Hingga migren, tamu rutinku, tiga
> kali menerpa. *Duh, begini ya perjuangan orang mau serius nikah*, demikian
> aku membatin menguatkan semangat. Ketika jam telah banyak berlalu namun
> masih saja tumpukan dokumen kontrak bisnis dengan bahasanya yang "kering"
> teronggok di samping komputer kreditanku.
>
> "Belum," jawabku tenang. Aku tatap wajah kakakku yang terperangah. Mungkin
> mereka berpikir aku bercanda. Karena umumnya--dalam tradisi Betawi--khitbah
> atau lamaran sudah disertai dengan bawaan uang untuk calon istri yang
> dilamar. Minimal semacam uang muka. Namun, puji syukur bagi Allah yang
> memudahkan, keluarga sang gadis tidak mensyaratkan itu. Mungkin juga
> diam-diam tahu tumpukan tagihan utangku--salah satunya karena kegagalan
> bisnisku di masa lalu yang harus ditebus. Ditambah lenyapnya asset usaha
> penerjemahanku diterjang banjir pada Februari 2007.
>
> "Yang penting keluarga besar Salam datang," ujar sang Mama. Entahlah apakah
> beliau iba dengan aku yang yatim piatu, kurus dan berpenghasilan tak tetap
> yang konon sebagai pelamar "termiskin" di antara sekian banyak pelamar yang
> berminat dengan anak gadis satu-satunya itu. Ketika aku muncul pertamakali
> di rumah asrinya beberapa bulan lalu untuk bersilaturahmi, ia terlihat
> berusaha menyembunyikan kekagetannya ketika aku jawab aku naik angkutan
> umum. Sejak itu pertanyaan, "Bawa apa ke sini?" tak pernah terluncur dari
> mulutnya saat silaturahmi- silaturahmi berikutnya. Mungkin beliau sudah
> maklum jika naik angkutan umum berarti bawa supir, kenek dan para
> penumpangnya. Komplit.
>
> Belakangan aku ketahui, berdasarkan analisisku dan keterangan dari
> sumber-sumber tepercaya, salah satu faktor yang membuatku lumayan diterima
> baik adalah karena aku penulis. Memang strategi awalku adalah menghadiahinya
> buku-buku atau media cetak yang memuat tulisan-tulisanku. Dan sangat
> kebetulan sekali salah satu paman sang gadis pernah aktif menulis di majalah
> kampus dan dalam keluarga besarnya ia cukup dihormati karena posisi
> "uniknya" itu. Mungkin ini yang namanya *hallo effect*, renungku dalam
> suatu kesempatan.
>
> Pertemuanku dengan sang gadis yang kini aku ikat dengan sebuah cincin--demi
> sebuah momen besar berikut di akhir tahun ini--juga karena pena. Aku
> mendapati fotonya terpampang pada rubrik sahabat pena di sebuah majalah
> Islam pada tahun 2000. Entah mengapa aku tergerak untuk menyuratinya. Belum
> ada rasa saat itu. Semata-mata yang menggerakkanku adalah satu nama tempat
> yang asing bagiku, tapi menggelitik: PLAJU. Ya, itu tempat kelahiran sang
> gadis. Yang belakangan kuketahui ia cuma numpang *brojol *saja di sana
> karena pekerjaan ayahnya yang harus berpindah-pindah lokasi sebagai karyawan
> Pertamina.
>
> Ya, karena pingin tahu tentang nama daerah yang seakan berada di penjuru
> antah berantah itu aku surati dia. Cukup romantis jika dikenang. Di tahun
> 2000an kami berbalas-balasan surat--meski diselingi dengan email alias
> ratron--persis seperti tokoh dalam novel *Tenggelamnya Kapal Vanderwijck*-nya
> Buya Hamka menjalin kasih. Tapi saat itu tak ada kata cinta tersurat. Aku
> yang saat itu berusaha menerapi diri yang lumpuh menulis bertahun-tahun dan
> tak berani (lagi) mengirimkan tulisan ke media menjadikannya sebagai pembaca
> pertama dan setia tulisan-tulisanku. Bermula dari pertanyaaan tentang letak
> Plaju--yang ternyata sebuah kota kecil di Sumatera Selatan--hingga kritik
> konstruktifnya atas tulisan-tulisanku yang saat itu mayoritas cerita pendek.
>
> Perkawanan via surat berlanjut hingga 2005 tanpa pernah sekalipun ada
> pernyataan rasa tersurat atau pertemuan tatap muka. Sempat terjeda sebentar
> beberapa bulan karena kesibukanku. Juga karena aku kehilangan alamat
> emailnya dan juga nomor kontaknya yang lain pada banjir 2002. Ia pun, entah
> kenapa bisa sama, kehilangan nomor kontakku. Hingga takdir mempertemukan
> kembali pada medio 2006. Sekitar dua bulan menjelang kematian ayahku dan
> papanya yang hanya berselang dua jam pada hari yang sama sekitar *nisfu
> sya'ban*.
>
> Takdir juga yang membuatku bernyali menghadap ibundanya. Meski saat itu
> tersiar kabar sang gadis hendak dijodohkan dengan salah satu sepupu jauhnya
> yang lulusan S-2 sebuah universitas agama negeri di Jawa Barat, dan seorang
> PNS pula. Sementara siapa pula aku? Pemuda dari garis keturunan beda etnis
> yang kendati pernah *nyantrik* di UI namun tak tuntas dan harus berjuang
> dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Mulai dari jualan koran,
> mengajar bahasa Inggris, sekretaris LSM sampai wartawan *freelance* dan
> akhirnya penerjemah lepas semata-semata dilakoni demi menyambung nafas
> kemandirian.
>
> Namun rasanya itu terbayar impas ketika pada suatu titik waktu sang gadis
> bilang salah satu poin kelebihanku hingga ia tak lagi menolak seperti sekian
> pinangan yang bertubi-tubi datang sebelumnya adalah karena aku bisa menulis.
> Dan ia pengagum tulisanku. *Ah, amboi, alangkah beruntungnya para penulis
> jika semua gadis demikian adanya!* Namun perjalananku ke depan masih
> panjang. Jika Allah izinkan maka suatu hari di penghujung tahun ini adalah
> momentum awal kedewasaanku. Secara pribadi, aku selalu mengukur tingkat
> kedewasaan seseorang termasuk diriku dari berani tidaknya seorang lelaki
> berkomitmen serius menikahi perempuan. Semuda apapun sang lelaki, dan
> seberapa pun mendasarnya tingkat pendidikan atau rejeki yang ada padanya.
>
> Ada suatu keinginan di palung hati yang terdalam bahwa aku ingin
> menghadiahinya mahar sebuah buku karyaku selayaknya Bung Hatta memberikan
> mahar buku *Pemikiran Yunani *yang ditulisnya kepada sang gadis idaman,
> Rahmi Hatta. Adakah Allah izinkan itu terpenuhi? *Wallahu a'lam bisshawwab
> *. Seperti syair lagu rakyat Swahili di pedalaman Afrika, "Hidup adalah
> perjuangan, dan kalah atau menang adalah urusan Tuhan." Termasuk perjuangan
> menghadapi kegelisahan tahapan berikutnya pasca pinangan yang diwakili lewat
> sebuah pertanyaan, "Sudah ada uang berapa untuk resepsi nikah?"
>
> Aku diam-diam tersenyum. Sederet *plan *A dan B berputar di kepala. Tak
> heran belakangan migrenku kerap kambuh baik karena kejar setoran atau
> gangguan kegelisahan tersebut. Namun aku meyakini seperti nasihat ibu calon
> mertua yang selalu bilang,"Percaya saja pada Tuhan. Kayak tidak punya
> Tuhan saja!"
>
> *Ya, aku percaya pada Tuhan, Mama. Nah, calon istriku, seperti halnya
> sahabat Nabi yang meminang istrinya dengan sekerat cincin besi, maukah kau
> menerimaku dengan sebatang pena bertintakan cinta yang diraut dari kayu
> pohon cita-cita? *
>
> Ya, ingin aku bisikkan itu di malam-malam permenunganku dalam penantian. Di
> antara jeda rehat begadang malam demi mengejar tenggat pekerjaan yang
> berjatuhan bagai air hujan. Seperti hujan, ia pun bervariasi mulai dari
> tandus, gerimis hingga hujan deras.
>
> Ya, meminang dengan pena. Hatiku gerimis merincis mengenang kenekatanku
> sebelum sembilan September yang bersejarah kemarin. Namun belum layak dada
> bungah sebelum takdir yang lebih kuat mengikat. Akan butuh banyak doa untuk
> menjemput takdir yang satu itu. Jika sebelum pinangan, aku khusus minta doa
> dari salah satu teman SMA-ku yang berumroh agar ia mendoakanku di depan
> Multazam maka kali ini aku butuh doa dari semesta. Seperti sebuah sms bijak
> dari seorang Teha Sugiyo, sang motivator dari Bandung, "Jika niat dan
> komitmen sudah dipancangkan maka semesta akan menyambut."
>
> *Wahai semesta, sambutlah niat suciku!*
>
> *Ya Allah yang menguasai semesta, jadikan aku kuat dengan segala titipan
> kekuatan-Mu yang ada, dan bukan sekadar kenekatan tanpa iman yang berkelana
> berputus-asa dan tumpas digulung masa!*
>
> **
>
> *License To Wed***
>
> Mengurus pernikahan itu susah-susah gampang. Seorang teman bilang bahwa
> pernikahan itu tergantung cara kita memandang. Dipandang susah ya susah,
> dipandang gampang ya jadinya gampang. Termasuk mengurus administrasi
> perizinannya. Seperti judul film Warkop DKI: *Susah-Susah Gampang*. Tapi,
> lanjut seorang teman yang lain, jika sudah dijalani ya jadi gampang. Seorang
> pemuda yang sudah khidmat mendengarkan petuahnya jadi rada dongkol sambil
> membatin,�Ya, iyalah!�. Tapi, tak heran, ini masih mengutip kata orang,
> bahwa orang yang sudah menikah lebih mudah untuk menikah lagi ketimbang
> lajang �yang notabene miskin ilmu dan pengalaman, dan materi pula�untuk
> menikah pertamakalinya. Entahlah, terserah percaya atau tidak. Konon, itu
> teorinya.
>
> Singkat cerita, di suatu sore hari kerja, seorang pemuda dan seorang gadis
> berjalan kaki ke sebuah Kantor Urusan Agama (KUA) di bilangan Jakarta
> Selatan yang letaknya mepet dengan Depok, Jawa Barat. Langkah pasangan itu
> gontai. Plus wajah cemberut. Maklum, mereka habis *long march* 300 meteran
> dari ujung jalan utama. Awalnya, waktu mereka bertanya kepada seorang lelaki
> yang nongkrong di ujung gang setiba turun dari angkot, apa jawab sang
> lelaki?
>
> �KUA? Dekat kok. Terus lurus aja!�
>
> Dengan *husnuzon* tinggi, sekaligus mengirit ongkos, keduanya menampik
> tawaran gerombolan tukang ojek yang sudah dengan baik hati menghangsurkan
> motor mereka. Kedua sejoli itu berjalan mantap. Mereka terus berjalan dengan
> asumsi �dekat� adalah sekitar maksimal 50 meter. Mereka berjalan terus.
> Terus, dan terus, dan kian lama jalan kian panjang bagai coklat *
> Choki-Choki*. Alamak! Ini *mah* sudah kelewatan dari kategori dekat,
> keduanya membatin sembari berpandangan.
>
> Pasangan itu berhenti sejenak di tepi jalan panjang lurus yang rimbun dan
> sepi. Mau naik ojek? Kadung jauh betul. Mau jalan? Tidak jelas seberapa
> �dekat� lagi. Bertanyalah keduanya kepada seorang warga setempat. Setelah
> bertanya dengan teknik interview yang lebih canggih, didapatlah info bahwa
> �target operasi� sudah dekat, sekitar 100 meter lagi di ujung tikungan.
> Alhasil, dengan meneguhkan niat, sampailah mereka di depan sebuah kantor
> instansi pemerintah yang nyaris tertutup rimbunnya pepohonan. Maklum, KUA
> yang satu ini tak jauh dari Setu Babakan, pemukiman budaya Betawi yang
> diresmikan pemda DKI beberapa tahun lalu.
>
> Apakah perjuangan keduanya mencatatkan pernikahan hari itu berhasil?
>
> Jam menunjukkan pukul 14.30 WIB. Para pegawai KUA sebagian sudah terlihat
> bersantai. Seorang wanita pegawai di meja yang menghadap ke arah pintu
> tengah memberesi isi tasnya. Namun buku besar di hadapannya masih terbuka
> lebar. Ah, masih ada kesempatan, batin sang pemuda yang hari itu terpaksa
> membolos dari jadwal kerjanya di sebuah rumah produksi sitkom untuk
> mengurusi macam-macam persiapan nikahan mulai dari cetak foto hingga *
> editing* kartu undangan.
>
> Setelah si ibu pencatat ramah berbasa-basi, sepasang muda-mudi itu
> mengutarakan niat untuk mencatatkan pernikahan. Dalam hitung-hitungan
> mereka, jika jadwal resmi kantor pemerintah sampai pukul 17.00 WIB maka
> dapatlah mereka mencatatkan jadwal pernikahan sekaligus mendapatkan penghulu
> untuk hari H nanti. Dengan percaya diri, sang pemuda menyodorkan surat
> numpang nikah yang diurusnya dengan �jasa� ketua RT, RW, Kelurahan hingga
> KUA di tempat asalnya.
>
> �Baik. Si Mas sudah lengkap surat-suratnya. Mbak mana suratnya?�
>
> �Surat apa?� tanya si gadis bingung.
>
> Setengah heran, si ibu menjelaskan bahwa tidak hanya pihak laki-laki yang
> harus mengurus surat numpang nikah tapi pihak perempuan juga harus mengurus
> surat pengantar nikah. Lebih aneh lagi, mungkin, jika si ibu melihat catatan
> usia pasangan tersebut yang bisa-bisanya abai dengan pengetahuan �sepele�
> tersebut. Barangkali si ibu mengurut dada heran sambil membatin, �Pasangan
> yang aneh.�
>
> Sebenarnya si ibu pencatat di KUA bukan orang pertama yang barangkali
> berucap demikian. Saat pasangan itu hendak melangsungkah *khitbah* atau
> lamaran pada September lalu, pihak keluarga juga berkomentar,� Duh, pasangan
> santai!� ketika mereka tahu bahwa semua persiapan termasuk beli cincin hanya
> dilakukan dalam 2 hari jelang hari pinangan. Keduanya pun cuma senyum
> cengengesan. Barangkali inilah kesamaan yang menyatukan mereka.
>
> *Back to laptop*, setelah �gagal� dengan sukses di KUA, sang gadis yang
> �bermasalah� pun mengurus surat pengantar menikah di RT, RW hingga
> Kelurahan. Berbagai perjuangan dilalui mulai dari Pak RT yang hanya bisa
> ditemui pada waktu malam saja (tolong, jangan samakan ia dengan drakula)
> karena sibuk kerja hingga pegawai kelurahan yang tukang *ngebodor* (baca:
> melawak) yang mampu mengetik dua lembar surat dalam 2 jam. Suatu rekor
> tersendiri bukan? Sang gadis pun maklum karena si pegawai kelurahan bukan
> penerjemah *freelance* seperti calon suaminya yang �karena tekanan *
> deadline*�bisa terbirit-birit menerjemahkan 10 halaman dalam sejam. Ia pun
> menunggu dengan, terpaksa, sabar.
>
> Setelah 2 jam lebih sedikit, surat pengantar pun beres. Tanpa periksa lagi,
> sang gadis menuju rumahnya yang hanya berjarak puluhan meter dari kantor
> kelurahan yang setia ditungguinya 2 jam tadi. Sang ibu yang menyambut di
> rumah segera meneliti.
>
> �Lho kok tulisannya begini?�
>
> Si gadis penasaran, dan melongok ke bagian belakang surat yang memuat
> keterangan: XXXXXX..DAN MENIKAHI SEORANG PEREMPUAN BERNAMA NURSALAM AR
> (aslinya tulisan itu dengan tulisan tangan berukir khas lulusan SR tahun
> 50an).
>
> Si gadis mangkel. Ibunya terbahak.
>
> �Jeruk kok makan jeruk?�
>
> Akhir cerita, surat itu berhasil diperbaiki, diiringi riuh tawa sekantor
> kelurahan, dengan tambahan waktu 30 menit saja. Sang gadis tidak jadi �makan
> jeruk�. Karena sang �perempuan� dalam keterangan surat itu sudah �kembali�
> ke wujud aslinya. Lelaki tulen. Secara *de jure* dan *de facto*.
>
> Dalam catatan pernikahan di KUA, 3 hari kemudian, sang gadis bernama Yuni
> Meganingrum dan sang pemuda �yang sempat �berubah wujud��bernama Nursalam
> AR.
>
> *Menikah? Lantas....*
>
> Alhamdulillah, di penghujung 2007 tepatnya 23 Desember, di ujung usia 30,
> aku menikah. Tepatnya, sudah menikah dan kawin. Ini demi menghindari
> olok-olok zaman SMA dulu.
>
> "Elo mau kawin apa nikah?"
>
> "Emang apa bedanya?"
>
> "Nikah pake surat. Nah, kawin cuma pake urat."
>
> Ketika seorang lelaki menikah, akad nikahnya jelas berbunyi, �Saya terima
> kawin dan nikahnya fulanah binti fulan." Jelas. Komplit. Tidak ada syak
> lagi. Ada senyum terkembang bahagia, ada tangis haru pecah dan ada sederet
> kewajiban yang datang.
>
> Pernikahan sendiri bukanlah sebuah prestasi. Setidaknya itu jawaban
> pribadiku saat seorang *netter*, ketika dalam sebuah milis meruyak
> kontroversi tentang 'pernikahan adalah prestasi', bertanya via email
> kepadaku. Menikah bukan prestasi, jawabku. Tapi menikah adalah kebutuhan.
> Entahlah bagaimana raut mukanya di seberang kabel sana saat menerima balasan
> emailku tersebut yang barangkali dianggapnya "tidak canggih". Puas atau
> tidak sang penanya, (lagi-lagi) setidaknya itu sebuah kejujuran terhadap
> diri sendiri.
>
> Obat bagi seorang lelaki yang gampang jatuh cinta � seperti aku, misalnya
> -- adalah menikah dan memiliki istri -- yang setidaknya menurutnya pribadi
> -- cantik. Minimal, ia terhindar dari dosa khayalan liar bujang di waktu
> malam sepi. Terlebih saat dingin hujan menggigit. Yang terutama, membuatnya
> jadi belajar bagaimana berkomitmen dan terikat pada sebuah hubungan yang
> ajeg.
>
> Pernikahan bukanlah menyeragamkan perbedaan tetapi justru memahami
> perbedaan dan mencoba berkompromi. Sepekan pertama pernikahan, aku mendapati
> kenyataan bahwa aku dan istri tercinta punya kebiasaan tidur yang kontras.
> Aku suka tidur dengan lampu terang --karena kebiasaan membaca buku sebelum
> tidur hingga tak jarang buku pun berubah jadi tatakan iler -- dan anti kipas
> angin (karena aku rentan masuk angin). Namun, Yuni hanya bisa tidur jika
> lampu dimatikan dan kipas angin wajib menyala. Gerah, katanya. Alhasil, tiga
> hari dalam sepekan pertama tersebut aku masuk angin dan kurang tidur, karena
> tak bisa tidur tanpa bacaan pengantar tidur.
>
> Tapi akhirnya titik kompromi tercapai juga setelah terjadi negosiasi.
> Setelah sebulan lebih. Masuk hari ketigapuluh sekian, lampu kamar tak selalu
> gelap. Terlebih jika aku harus bekerja di depan komputer atau laptop hingga
> dini hari.Karena Yuni Meganingrum, istriku, juga mulai belajar memaknai --
> dalam arti sebenarnya-- bahwa suaminya tak bisa sepenuhnya "bermetamorfosis
> sempurna". Ia masih saja makhluk (semi) nokturnal.
>
> Menikah juga konon membuat kaya. Itu kata salah satu buku panduan menikah
> -- yang banyak aku lahap jauh sebelum menikah -- yang mengutip janji al
> Qur'an bahwa Allah akan memampukan orang-orang yang menikah. Sementara
> definisi kaya, seperti halnya sukses, cenderung relatif.
>
> Sebagian kawan -- yang sudah menikah tentunya -- menafsirkannya dalam
> dimensi material. "Sebelum menikah, ane ga punya apa-apa. Sekarang
> alhamdulillah sudah punya kendaraan pribadi dan sedikit tabungan." Sobat
> yang lain memaknainya dalam dimensi spiritual. "Yah, biar belum punya apa
> yang banyak kami mau tetapi batin saya tenang setelah menikah." Ya, apapun,
> tak usahlah jadi kontroversi.
>
> Setidaknya, sesuai pengalaman saya sendiri, setelah menikah Anda akan kaya
> -- dalam artian akan memiliki apa-apa yang belum Anda miliki. Setidaknya
> memiliki istri atau suami dan kemudian anak, dan bertambah jumlah keluarga
> besar (ada mertua, saudara ipar) dan tambahan kenalan (teman-teman pasangan
> kita). Maka, terbentanglah di hadapan Anda, jejaring silaturahim yang luas.
> Dan Tuhan menjanjikan syarat panjangnya umur dan berlimpahnya rizki adalah
> silaturahim.
>
> Jadi, kendati panjang dan mungkin berat meniti jalan menuju pernikahan,
> berteguhlah, Sobat, karena ini jalan kedewasaan, jalan fitrah.
> *Pengadegan, Juni 2009*
> Foto-foto: www.nursalam. multiply. com<http://www.nursalam.multiply.com/>
> **) semua bagian tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di milis SK yang
> artinya Sekolah Kehidupan (SK) adalah bagian tak terlepaskan dari perjalanan
> jodoh tsb, tempat di mana saya berteduh. Sungguh saya merasa berdosa dan
> sedih ketika rumah ini terasa sunyi dan kering, antara lain karena saya
> sendiri sebagai salah satu penghuni tak lagi rajin mengunjungi. Sengaja
> tulisan ini dikumpulkan dan diposting ulang guna mengenang perjalanan SK
> jelang milad ke-3 di Bandung Juli nanti.*
> ***) Untuk semua yang berniat, akan, jelang dan sudah menikah, semoga
> tulisan ini bermanfaat:) . Mari berbagi, mari bercerita! Mari ramaikan rumah
> kita kembali!*
>
> **
>
>
>
>
>
>
>
> --
> -Nursalam AR
> Translator & Writer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> YM ID: nursalam_ar
> www.nursalam. multiply. com <http://www.nursalam.multiply.com/>
> www.pensilmania. multiply. com <http://www.pensilmania.multiply.com/>
>
>
> ------------------------------
> Lebih bersih, Lebih baik, Lebih cepat - Yahoo! Mail: Kini tanpa iklan. Rasakan
> bedanya! <http://id.mail.yahoo.com/>
>
>
>

--
-Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
YM ID: nursalam_ar
www.nursalam.multiply.com
www.pensilmania.multiply.com
10a.

Re: Bls: [sekolah-kehidupan] [Donasi Buku] Yuk beramal, yuk, lewat b

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Fri Jun 12, 2009 9:44 am (PDT)



Wa'alaykumussalam wr wb

Iya, Fathiya, sedang kami urus. Saat ini kami juga sedang mengumpulkan donasi buku lagi untuk disalurkan. Harap bersabar :)

Salam

Novi

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Ukhti Fathiya Rahma <ukhti_fathiya@...> wrote:
>
> assalamualaikum wr.wb...
>
> mbak, ini Fathiya di Jombang...
>
> dulu saya pernah meminta donasi berupa buku-buku yang layak baca untuk perpustakaan masjid kami yang baru mulai dirintis.
> sudah ada perkembangan kah??
>
> ditunggu jawabannya ya mbak... terima kasih...
>
> wassalamualaikum.wr.wb
>
> --- Pada Kam, 4/6/09, Dept. Penerbitan SK <penerbitan.eska@...> menulis:
>
> Dari: Dept. Penerbitan SK <penerbitan.eska@...>
> Topik: [sekolah-kehidupan] [Donasi Buku] Yuk beramal, yuk, lewat buku bekas dan baru :) Bagikan
> Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, kabinet-eska@yahoogroups.com
> Tanggal: Kamis, 4 Juni, 2009, 5:42 PM
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Assalamu'alaykum Wr. Wb
>
>
>
> Dear all
>
>
>
> Yuk beramal, yuk...
>
> lewat buku bekas yang kamu punya...
>
> buku baru juga boleh... ;)
>
>
>
> Semuanya diterima, dengan syarat
>
> * tidak berbau SARA,
>
> * tidak berbau pornografi
>
> Diutamakan buku anak dan remaja, bisa juga komik ;)
>
>
>
>
>
> Gimana-gimana?
>
>
>
> Alhamdulillah, pada kepengurusan tahun lalu terkumpul lebih dari 3 juta
> rupiah dan lebih dari 500 buku. Sebagian dana dibelikan buku-buku baru
> dan lainnya sesuai dengan amanah dari donatur.
>
>
>
> Buku-buku yang didonasikan selama ini telah mendukung kegiatan ESKA...
>
> 1. Disumbangkan ke beberapa tempat
>
> - Rumah Cahaya Penjaringan, Jakarta
>
> - Beranda Buku, Bandung
>
> - Baitul Yatim (Portal Infaq), Yogya
>
> - Perpustakaan LAPAS anak Tangerang
>
> - Perpustakaan PUNK Muslim
>
>
>
> 2. Kegiatan Eska seperti hadiah untuk lomba-lomba
>
>
>
> Insya Allah,
>
> dalam rangka milad Eska bulan Juli nanti,
>
> kami akan menyalurkan sebagian donasi buku untuk Taman Bacaan Tobu di Bandung.
>
>
>
>
>
> So, tunggu apa lagi...
>
> cek lemari buku kamu...
>
> yang mungkin sudah kamu baca dan berguna bagi yang lain :)
>
>
>
> cek kocek kamu, apalagi awal bulan gini, banyak diskon pula :D, hehehe
>
>
>
> Donasi bisa dikirimkan ke
>
> Novi Khansa
>
> Kompleks Perumkar DKI
>
> Rt.009/02 Pondok Kelapa
>
> Jak-Tim
>
> 13450
>
>
>
>
>
> atau bisa juga dijemput.
>
>
>
> Donasi dalam bentuk dana, bisa ditransfer ke
>
> rekening BCA 1640311017
>
> a.n Noviyanti Utaminingsih
>
>
>
>
>
> Konfirmasi ke:
>
> Hp. 08121894517
>
> YM. novikhansa
>
> email. novi_ningsih @ yahoo . com [hilangkan spasi]
>
>
>
>
>
>
>
> Donasi dari Anda, sangat berguna bagi mereka :)
>
>
>
> Terima kasih ;)
>
>
>
>
>
>
>
> Wassalammu'alaykum Wr. Wb
>
>
>
>
>
>
>
> --
> Departemen Penerbitan dan Kepustakaan
>
> Sekolah Kehidupan
> Novi Khansa - Ukhti Hazimah - Hamasah Putri - Listya
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Lebih bersih, Lebih baik, Lebih cepat - Yahoo! Mail: Kini tanpa iklan. Rasakan bedanya! http://id.mail.yahoo.com
>

11.

Sekuntum sajak sahut-menyahut Buya Hamka dan M. Natsir

Posted by: "r_widhiatma@yahoo.com" r_widhiatma@yahoo.com   r_widhiatma

Fri Jun 12, 2009 9:48 am (PDT)



Pernah baca sajak Buya Hamka untuk Buya M. Natsir di bawah ini?
Kalo sudah pernah, pernah baca sajak balasan dari M. Natsir untuk Hamka?
Tunggu,  masih ada satu lagi sajak ke-3, balasan Hamka untuk Natsir. Sudah pernah membacanya juga?
Menarik saat menyimak sajak dua orang guru bangsa, founding fathers Indonesia ini.

Berikut ini adalah sajak pertama dalam sekuntum sajak sahut-menyahut antara Buya Hamka & M. Natsir.

Kepada Saudaraku M.Natsir,

Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang di
hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga

Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri di sebelah kananmu
Mikail berdiri di sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir, kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu …… *

HAMKA
Bandung, 19 November 1957

*Sajak ini lahir di Gedung Konstituante Bandung, tanggal
10 November 1957, sesudah ketua fraksi "Masyumi", M. Natsir mengucapkan
pidatonya...

sumber: Capita Selecta, M. Natsir

foto M.Natsir (tengah) bersama Buya Hamka (bertongkat)

Sekuntum Sajak Sahut-Menyahut:
[1] Sajak Buya Hamka untuk M. Natsir,
      November 1957 

[2] "DAFTAR",  sajak balasan M. Natsir untuk Buya Hamka,
      Mei 1959 

[3] "KEPADA PENEGAK KEBENARAN, KEADILAN, DAN KEMAKMURAN",
     sajak balasan berbalas dari Hamka untuk M. Natsir,
     Oktober 1959

silakan lihat di sini

wasalam

wid

12a.

Re: Bls: [sekolah-kehidupan] [Donasi Buku] Yuk beramal, yuk, lewat b

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Fri Jun 12, 2009 9:50 am (PDT)



Aamiin, terima kasih doanya Pak Abdul Aziz :)
ditunggu kiriman bukunya dari rak bukunya :D, hehe

salam

Novi

In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "abdul azis" <abdul_azis80@...> wrote:
>
> Bismillah...
> Saya akan coba cek rak buku dech...
> Ada yang bisa di sumbangkan gak ya?
>
> Moga Allah ridhai program ini...
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Ukhti Fathiya Rahma <ukhti_fathiya@> wrote:
> >
> > assalamualaikum wr.wb...
> >
> > mbak, ini Fathiya di Jombang...
> >
> > dulu saya pernah meminta donasi berupa buku-buku yang layak baca untuk perpustakaan masjid kami yang baru mulai dirintis.
> > sudah ada perkembangan kah??
> >
> > ditunggu jawabannya ya mbak... terima kasih...
> >
> > wassalamualaikum.wr.wb
> >
> > --- Pada Kam, 4/6/09, Dept. Penerbitan SK <penerbitan.eska@> menulis:
> >
> > Dari: Dept. Penerbitan SK <penerbitan.eska@>
> > Topik: [sekolah-kehidupan] [Donasi Buku] Yuk beramal, yuk, lewat buku bekas dan baru :) Bagikan
> > Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, kabinet-eska@yahoogroups.com
> > Tanggal: Kamis, 4 Juni, 2009, 5:42 PM
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > Assalamu'alaykum Wr. Wb
> >
> >
> >
> > Dear all
> >
> >
> >
> > Yuk beramal, yuk...
> >
> > lewat buku bekas yang kamu punya...
> >
> > buku baru juga boleh... ;)
> >
> >
> >
> > Semuanya diterima, dengan syarat
> >
> > * tidak berbau SARA,
> >
> > * tidak berbau pornografi
> >
> > Diutamakan buku anak dan remaja, bisa juga komik ;)
> >
> >
> >
> >
> >
> > Gimana-gimana?
> >
> >
> >
> > Alhamdulillah, pada kepengurusan tahun lalu terkumpul lebih dari 3 juta
> > rupiah dan lebih dari 500 buku. Sebagian dana dibelikan buku-buku baru
> > dan lainnya sesuai dengan amanah dari donatur.
> >
> >
> >
> > Buku-buku yang didonasikan selama ini telah mendukung kegiatan ESKA...
> >
> > 1. Disumbangkan ke beberapa tempat
> >
> > - Rumah Cahaya Penjaringan, Jakarta
> >
> > - Beranda Buku, Bandung
> >
> > - Baitul Yatim (Portal Infaq), Yogya
> >
> > - Perpustakaan LAPAS anak Tangerang
> >
> > - Perpustakaan PUNK Muslim
> >
> >
> >
> > 2. Kegiatan Eska seperti hadiah untuk lomba-lomba
> >
> >
> >
> > Insya Allah,
> >
> > dalam rangka milad Eska bulan Juli nanti,
> >
> > kami akan menyalurkan sebagian donasi buku untuk Taman Bacaan Tobu di Bandung.
> >
> >
> >
> >
> >
> > So, tunggu apa lagi...
> >
> > cek lemari buku kamu...
> >
> > yang mungkin sudah kamu baca dan berguna bagi yang lain :)
> >
> >
> >
> > cek kocek kamu, apalagi awal bulan gini, banyak diskon pula :D, hehehe
> >
> >
> >
> > Donasi bisa dikirimkan ke
> >
> > Novi Khansa
> >
> > Kompleks Perumkar DKI
> >
> > Rt.009/02 Pondok Kelapa
> >
> > Jak-Tim
> >
> > 13450
> >
> >
> >
> >
> >
> > atau bisa juga dijemput.
> >
> >
> >
> > Donasi dalam bentuk dana, bisa ditransfer ke
> >
> > rekening BCA 1640311017
> >
> > a.n Noviyanti Utaminingsih
> >
> >
> >
> >
> >
> > Konfirmasi ke:
> >
> > Hp. 08121894517
> >
> > YM. novikhansa
> >
> > email. novi_ningsih @ yahoo . com [hilangkan spasi]
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > Donasi dari Anda, sangat berguna bagi mereka :)
> >
> >
> >
> > Terima kasih ;)
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > Wassalammu'alaykum Wr. Wb
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > --
> > Departemen Penerbitan dan Kepustakaan
> >
> > Sekolah Kehidupan
> > Novi Khansa - Ukhti Hazimah - Hamasah Putri - Listya
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > Lebih bersih, Lebih baik, Lebih cepat - Yahoo! Mail: Kini tanpa iklan. Rasakan bedanya! http://id.mail.yahoo.com
> >
>

13a.

Re: KCB Versi baru...[Ketika Cucian Berserakan]

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Fri Jun 12, 2009 10:06 am (PDT)



JAdi inget, belum nyuci :D

hehehehe, tapi ga berserakan sih... hehehe

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "abdul azis" <abdul_azis80@...> wrote:
>
> (kejadian ini hampir bersamaan dengan waktu munculnya KCB beneran di bioskop-bioskop, tulisan ini gak ada hubungannya sama sekali dengan Film KCB yang berasal dari novelnya kang Abik, tapi soal Cinta yang berharap Ridha Ilahi, di KCB yang ini juga ada loh....Ikuti kisahnya ya...)
>
> Pemeran Utama : Aa Azis dan Nung
> Sutradara : Siapa ya?
> Diambil dari Novel : Lupa...
>
> =======================
>
> Hari Rabu Maghrib
> Wajah letih dan lelah seperti tak mau pergi dari wajah cantiknya, seberapa banyaknyapun letih dan lelah yang berdiam diwajahnya, tetap saja tidak bisa mengalahkan wajah cantiknya.
>
> Perlahan kudekati, kuusap wajahnya dengan punggung tangan kananku seraya berucap "Apa kabar shalihah, bagaimana hari ini?" dan dengan senyum yang penuh keikhlasan bidadari dunia-akhiratku itu berujar "Alhamdulillah, semua baik2 saja".
>
> Wajah letih nan cantik itu tidak dapat membohongi diriku...
>
> Kulangkahkan kaki menuju ruang tengah, di sana sudah ada adik cantikku yang sedang asyik menonton tipi serta ummi tercinta. Sementara, Bunda dan Qori menuju kamar.
>
> "Zis...zis, capek banget dech Nung (panggilan istriku) itu, Qori gak bisa lepas dari gendongan, klo lepas pasti nangis dan nangisnya itu seperti orang disiksa gitu dech, Ummi jadi kasihan dan bundanya jadi gak bisa ngerjain apa-apa, padahal cucian sudah banyak bangeet"
>
> Hari Kamis Sore
> "Alhamdulillah, sampai kantor agak siang" ucap hati ku, maklum, biasanya sampai rumah jam 19.30-20.00, hari ini sampai rumah berbarengan dengan Adzan Maghrib.
>
> Sementara itu, Qori dan bunda sudah menunggu di depan pintu dengan senyum terbaiknya, tapi Qori, masih ogah senyum, maklum, hari-hari ini kesehatan Qori tidak menentu, panas badannya suka naik turun dan Alhamdulillah, malam ini Qori mau makan juga dengan sop ceker ayam.
>
> Sesaat setelah men-"sun" Qori dan bundanya, saya langsung menuju kamar mandi untuk segera menuju masjid. "Abi ke masjid dulu ya" ucapku ke dua bidadariku yang melepasku dengan penuh senyum.
>
> Sesampainya di rumah setelah sholat Maghrib, bunda Qori melapor, "Bi (maksudnya Abi) cucian belum dijemur tuh, tadi siang gak sempat, karena ....ya Abi taulah"
> Laporan disampaikan dengan wajah cemberut, dan tetap cantiknya gak hilang dan gak habis.
>
> ku balas dengan senyuman, "Nanti abi bantuin ngejemurnya ya, setelah dinner dan Qori Bobo" dan seketika itu juga, wajah cemberutnya berubah bersinar seperti iklan lampu dan kian cerah dengan senyumnya yang teramat manis.
>
> Dan...
> Ketika Qori sudah Bobo, dinnerpun tertunaikan...
> Kami berdua melangkahkan kaki ke lantai dua untuk Menjemur Berjamaah...
>
> Dan...
> Apa yang tampak di lantai dua...
> hanya ada satu yang tampak terlihat oleh mata...
> KETIKA CUCIAN BERSERAKAN...
>
> Dan awal malam itu kami lalui dengan menjemur bersama...
>
> (bersambung...Nantikan pilemnya di bioskop)
>
> Jum'at, 12 Juni 2009
> Ditengah menikmati pelangi keluarga kami
> "Ya Allah ijinkan SABAR, SENYUM dan IKHLAS mewarnai perjalanan keluarga kami"
>
>
> Abi yang mencintai Bunda dan Qori
> :D
>
>
> Sumber judul : dari seorang sahabat
> Sumber gambar : Om Google
> http://cahayarumah.multiply.com/reviews/item/61
>

13b.

Re: KCB Versi baru...[Ketika Cucian Berserakan]

Posted by: "triani retno" retno_teera@yahoo.com

Fri Jun 12, 2009 10:34 pm (PDT)




so sweet.......
jadi ingat waktu baru punya bayi.....

--- On Fri, 6/12/09, novi_ningsih <novi_ningsih@yahoo.com> wrote:

From: novi_ningsih <novi_ningsih@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: KCB Versi baru...[Ketika Cucian Berserakan]
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Friday, June 12, 2009, 10:06 AM

JAdi inget, belum nyuci :D

hehehehe, tapi ga berserakan sih... hehehe

--- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, "abdul azis" <abdul_azis80@ ...> wrote:

>

> (kejadian ini hampir bersamaan dengan waktu munculnya KCB beneran di bioskop-bioskop, tulisan ini gak ada hubungannya sama sekali dengan Film KCB yang berasal dari novelnya kang Abik, tapi soal Cinta yang berharap Ridha Ilahi, di KCB yang ini juga ada loh....Ikuti kisahnya ya...)

>

> Pemeran Utama : Aa Azis dan Nung

> Sutradara : Siapa ya?

> Diambil dari Novel : Lupa...

>

> ============ ========= ==

>

> Hari Rabu Maghrib

> Wajah letih dan lelah seperti tak mau pergi dari wajah cantiknya, seberapa banyaknyapun letih dan lelah yang berdiam diwajahnya, tetap saja tidak bisa mengalahkan wajah cantiknya.

>

> Perlahan kudekati, kuusap wajahnya dengan punggung tangan kananku seraya berucap "Apa kabar shalihah, bagaimana hari ini?" dan dengan senyum yang penuh keikhlasan bidadari dunia-akhiratku itu berujar "Alhamdulillah, semua baik2 saja".

>

> Wajah letih nan cantik itu tidak dapat membohongi diriku...

>

> Kulangkahkan kaki menuju ruang tengah, di sana sudah ada adik cantikku yang sedang asyik menonton tipi serta ummi tercinta. Sementara, Bunda dan Qori menuju kamar.

>

> "Zis...zis, capek banget dech Nung (panggilan istriku) itu, Qori gak bisa lepas dari gendongan, klo lepas pasti nangis dan nangisnya itu seperti orang disiksa gitu dech, Ummi jadi kasihan dan bundanya jadi gak bisa ngerjain apa-apa, padahal cucian sudah banyak bangeet"

>

> Hari Kamis Sore

> "Alhamdulillah, sampai kantor agak siang" ucap hati ku, maklum, biasanya sampai rumah jam 19.30-20.00, hari ini sampai rumah berbarengan dengan Adzan Maghrib.

>

> Sementara itu, Qori dan bunda sudah menunggu di depan pintu dengan senyum terbaiknya, tapi Qori, masih ogah senyum, maklum, hari-hari ini kesehatan Qori tidak menentu, panas badannya suka naik turun dan Alhamdulillah, malam ini Qori mau makan juga dengan sop ceker ayam.

>

> Sesaat setelah men-"sun" Qori dan bundanya, saya langsung menuju kamar mandi untuk segera menuju masjid. "Abi ke masjid dulu ya" ucapku ke dua bidadariku yang melepasku dengan penuh senyum.

>

> Sesampainya di rumah setelah sholat Maghrib, bunda Qori melapor, "Bi (maksudnya Abi) cucian belum dijemur tuh, tadi siang gak sempat, karena ....ya Abi taulah"

> Laporan disampaikan dengan wajah cemberut, dan tetap cantiknya gak hilang dan gak habis.

>

> ku balas dengan senyuman, "Nanti abi bantuin ngejemurnya ya, setelah dinner dan Qori Bobo" dan seketika itu juga, wajah cemberutnya berubah bersinar seperti iklan lampu dan kian cerah dengan senyumnya yang teramat manis.

>

> Dan...

> Ketika Qori sudah Bobo, dinnerpun tertunaikan. ..

> Kami berdua melangkahkan kaki ke lantai dua untuk Menjemur Berjamaah...

>

> Dan...

> Apa yang tampak di lantai dua...

> hanya ada satu yang tampak terlihat oleh mata...

> KETIKA CUCIAN BERSERAKAN.. .

>

> Dan awal malam itu kami lalui dengan menjemur bersama...

>

> (bersambung. ..Nantikan pilemnya di bioskop)

>

> Jum'at, 12 Juni 2009

> Ditengah menikmati pelangi keluarga kami

> "Ya Allah ijinkan SABAR, SENYUM dan IKHLAS mewarnai perjalanan keluarga kami"

>

>

> Abi yang mencintai Bunda dan Qori

> :D

>

>

> Sumber judul : dari seorang sahabat

> Sumber gambar : Om Google

> http://cahayarumah. multiply. com/reviews/ item/61

>











13c.

Re: KCB Versi baru...[Ketika Cucian Berserakan]

Posted by: "rah_ma18" rah_ma18@yahoo.co.id   rah_ma18

Fri Jun 12, 2009 10:35 pm (PDT)



Subhanallah.... Heee.... aku jadi inget waktu ngekost biasalah anak kost... kebiasaan burukku suka numpuk cucian plus ngerendemnya berhari-hari, sampai malu sendiri ma ibu n temen2 kost, aktivitas sehari-hari yang sering bikin diri letih sampai lupa kalau punya cucian.

Aku jadi ngiri sama Kang Abdul salam ya buat Teteh (Istri tercinta) kapan ya aku bisa segera melepas masa lajangku?aku ingin segera merasakan indahnya berumah tangga. Semoga saja. InsyaAllah

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "abdul azis" <abdul_azis80@...> wrote:
>
> (kejadian ini hampir bersamaan dengan waktu munculnya KCB beneran di bioskop-bioskop, tulisan ini gak ada hubungannya sama sekali dengan Film KCB yang berasal dari novelnya kang Abik, tapi soal Cinta yang berharap Ridha Ilahi, di KCB yang ini juga ada loh....Ikuti kisahnya ya...)
>
> Pemeran Utama : Aa Azis dan Nung
> Sutradara : Siapa ya?
> Diambil dari Novel : Lupa...
>
> =======================
>
> Hari Rabu Maghrib
> Wajah letih dan lelah seperti tak mau pergi dari wajah cantiknya, seberapa banyaknyapun letih dan lelah yang berdiam diwajahnya, tetap saja tidak bisa mengalahkan wajah cantiknya.
>
> Perlahan kudekati, kuusap wajahnya dengan punggung tangan kananku seraya berucap "Apa kabar shalihah, bagaimana hari ini?" dan dengan senyum yang penuh keikhlasan bidadari dunia-akhiratku itu berujar "Alhamdulillah, semua baik2 saja".
>
> Wajah letih nan cantik itu tidak dapat membohongi diriku...
>
> Kulangkahkan kaki menuju ruang tengah, di sana sudah ada adik cantikku yang sedang asyik menonton tipi serta ummi tercinta. Sementara, Bunda dan Qori menuju kamar.
>
> "Zis...zis, capek banget dech Nung (panggilan istriku) itu, Qori gak bisa lepas dari gendongan, klo lepas pasti nangis dan nangisnya itu seperti orang disiksa gitu dech, Ummi jadi kasihan dan bundanya jadi gak bisa ngerjain apa-apa, padahal cucian sudah banyak bangeet"
>
> Hari Kamis Sore
> "Alhamdulillah, sampai kantor agak siang" ucap hati ku, maklum, biasanya sampai rumah jam 19.30-20.00, hari ini sampai rumah berbarengan dengan Adzan Maghrib.
>
> Sementara itu, Qori dan bunda sudah menunggu di depan pintu dengan senyum terbaiknya, tapi Qori, masih ogah senyum, maklum, hari-hari ini kesehatan Qori tidak menentu, panas badannya suka naik turun dan Alhamdulillah, malam ini Qori mau makan juga dengan sop ceker ayam.
>
> Sesaat setelah men-"sun" Qori dan bundanya, saya langsung menuju kamar mandi untuk segera menuju masjid. "Abi ke masjid dulu ya" ucapku ke dua bidadariku yang melepasku dengan penuh senyum.
>
> Sesampainya di rumah setelah sholat Maghrib, bunda Qori melapor, "Bi (maksudnya Abi) cucian belum dijemur tuh, tadi siang gak sempat, karena ....ya Abi taulah"
> Laporan disampaikan dengan wajah cemberut, dan tetap cantiknya gak hilang dan gak habis.
>
> ku balas dengan senyuman, "Nanti abi bantuin ngejemurnya ya, setelah dinner dan Qori Bobo" dan seketika itu juga, wajah cemberutnya berubah bersinar seperti iklan lampu dan kian cerah dengan senyumnya yang teramat manis.
>
> Dan...
> Ketika Qori sudah Bobo, dinnerpun tertunaikan...
> Kami berdua melangkahkan kaki ke lantai dua untuk Menjemur Berjamaah...
>
> Dan...
> Apa yang tampak di lantai dua...
> hanya ada satu yang tampak terlihat oleh mata...
> KETIKA CUCIAN BERSERAKAN...
>
> Dan awal malam itu kami lalui dengan menjemur bersama...
>
> (bersambung...Nantikan pilemnya di bioskop)
>
> Jum'at, 12 Juni 2009
> Ditengah menikmati pelangi keluarga kami
> "Ya Allah ijinkan SABAR, SENYUM dan IKHLAS mewarnai perjalanan keluarga kami"
>
>
> Abi yang mencintai Bunda dan Qori
> :D
>
>
> Sumber judul : dari seorang sahabat
> Sumber gambar : Om Google
> http://cahayarumah.multiply.com/reviews/item/61
>

13d.

Re: KCB Versi baru...[Ketika Cucian Berserakan]

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Sat Jun 13, 2009 5:28 am (PDT)



Begitulah romantikanya dunia rumah tangga:). Terlebih jika sudah punya bayi.
Tapi, Insya Allah, awalnya Ketika Cucian Berserakan (KCB) tapi ujungnya KCB
KCB (Ketika Cucian Berserakan Kulihat Cinta Bersemi),hehe...Kan KCB juga
bakal ada sekuelnya tuh:).

An inspiring story, Mas Abdul Aziz. Jelas bukan Abdul Salam:).

Tabik,
Nursalam AR
-yang juga bukan Abdul Salam-;p

On 6/13/09, rah_ma18 <rah_ma18@yahoo.co.id> wrote:
>
>
>
> Subhanallah.... Heee.... aku jadi inget waktu ngekost biasalah anak kost...
> kebiasaan burukku suka numpuk cucian plus ngerendemnya berhari-hari, sampai
> malu sendiri ma ibu n temen2 kost, aktivitas sehari-hari yang sering bikin
> diri letih sampai lupa kalau punya cucian.
>
> Aku jadi ngiri sama Kang Abdul salam ya buat Teteh (Istri tercinta) kapan
> ya aku bisa segera melepas masa lajangku?aku ingin segera merasakan indahnya
> berumah tangga. Semoga saja. InsyaAllah
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> "abdul azis" <abdul_azis80@...> wrote:
> >
> > (kejadian ini hampir bersamaan dengan waktu munculnya KCB beneran di
> bioskop-bioskop, tulisan ini gak ada hubungannya sama sekali dengan Film KCB
> yang berasal dari novelnya kang Abik, tapi soal Cinta yang berharap Ridha
> Ilahi, di KCB yang ini juga ada loh....Ikuti kisahnya ya...)
> >
> > Pemeran Utama : Aa Azis dan Nung
> > Sutradara : Siapa ya?
> > Diambil dari Novel : Lupa...
> >
> > =======================
> >
> > Hari Rabu Maghrib
> > Wajah letih dan lelah seperti tak mau pergi dari wajah cantiknya,
> seberapa banyaknyapun letih dan lelah yang berdiam diwajahnya, tetap saja
> tidak bisa mengalahkan wajah cantiknya.
> >
> > Perlahan kudekati, kuusap wajahnya dengan punggung tangan kananku seraya
> berucap "Apa kabar shalihah, bagaimana hari ini?" dan dengan senyum yang
> penuh keikhlasan bidadari dunia-akhiratku itu berujar "Alhamdulillah, semua
> baik2 saja".
> >
> > Wajah letih nan cantik itu tidak dapat membohongi diriku...
> >
> > Kulangkahkan kaki menuju ruang tengah, di sana sudah ada adik cantikku
> yang sedang asyik menonton tipi serta ummi tercinta. Sementara, Bunda dan
> Qori menuju kamar.
> >
> > "Zis...zis, capek banget dech Nung (panggilan istriku) itu, Qori gak bisa
> lepas dari gendongan, klo lepas pasti nangis dan nangisnya itu seperti orang
> disiksa gitu dech, Ummi jadi kasihan dan bundanya jadi gak bisa ngerjain
> apa-apa, padahal cucian sudah banyak bangeet"
> >
> > Hari Kamis Sore
> > "Alhamdulillah, sampai kantor agak siang" ucap hati ku, maklum, biasanya
> sampai rumah jam 19.30-20.00, hari ini sampai rumah berbarengan dengan Adzan
> Maghrib.
> >
> > Sementara itu, Qori dan bunda sudah menunggu di depan pintu dengan senyum
> terbaiknya, tapi Qori, masih ogah senyum, maklum, hari-hari ini kesehatan
> Qori tidak menentu, panas badannya suka naik turun dan Alhamdulillah, malam
> ini Qori mau makan juga dengan sop ceker ayam.
> >
> > Sesaat setelah men-"sun" Qori dan bundanya, saya langsung menuju kamar
> mandi untuk segera menuju masjid. "Abi ke masjid dulu ya" ucapku ke dua
> bidadariku yang melepasku dengan penuh senyum.
> >
> > Sesampainya di rumah setelah sholat Maghrib, bunda Qori melapor, "Bi
> (maksudnya Abi) cucian belum dijemur tuh, tadi siang gak sempat, karena
> ....ya Abi taulah"
> > Laporan disampaikan dengan wajah cemberut, dan tetap cantiknya gak hilang
> dan gak habis.
> >
> > ku balas dengan senyuman, "Nanti abi bantuin ngejemurnya ya, setelah
> dinner dan Qori Bobo" dan seketika itu juga, wajah cemberutnya berubah
> bersinar seperti iklan lampu dan kian cerah dengan senyumnya yang teramat
> manis.
> >
> > Dan...
> > Ketika Qori sudah Bobo, dinnerpun tertunaikan...
> > Kami berdua melangkahkan kaki ke lantai dua untuk Menjemur Berjamaah...
> >
> > Dan...
> > Apa yang tampak di lantai dua...
> > hanya ada satu yang tampak terlihat oleh mata...
> > KETIKA CUCIAN BERSERAKAN...
> >
> > Dan awal malam itu kami lalui dengan menjemur bersama...
> >
> > (bersambung...Nantikan pilemnya di bioskop)
> >
> > Jum'at, 12 Juni 2009
> > Ditengah menikmati pelangi keluarga kami
> > "Ya Allah ijinkan SABAR, SENYUM dan IKHLAS mewarnai perjalanan keluarga
> kami"
> >
> >
> > Abi yang mencintai Bunda dan Qori
> > :D
> >
> >
> > Sumber judul : dari seorang sahabat
> > Sumber gambar : Om Google
> > http://cahayarumah.multiply.com/reviews/item/61
> >
>
>
>

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
14a.

Re: [etalase] Segera Terbit Buku Baru: "Bela Diri For Muslimah" oleh

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Fri Jun 12, 2009 10:09 am (PDT)



Mbak Lia dan Mas Fiyan
selamat ya :)

waah, mantabh, deh :)

sukses buat launchingnya... :)

salam

Novi

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Lia Octavia <liaoctavia@...> wrote:
>
> SEGERA TERBIT!
>
> BELA DIRI FOR MUSLIMAH: Siapa Bilang Perempuan Makhluk Lemah
>
> Penulis: Lia Octavia, Erawati Tf, Astri Taat, Fiyan Arjun
> Penyunting: Taufan E Prast
> Penata Letak: Lian Kagura
> Desain Sampul: Tri Widyatmaka
> Jumlah Halaman: 160 hlm
> Harga : Rp. 26.000,-
>
>
> review menyusul ^_^
>
> http://lingkarpena.multiply.com/
>

15.

Re: Ketika Cinta Ditolak

Posted by: "eko muchayat" emuchayat@yahoo.com   emuchayat

Fri Jun 12, 2009 10:35 pm (PDT)



Wassalamualaikum,terimakasih mbak Nazhimah, Mbak lia, Mbak Novi... semoga ada manfaatnya. Salam kenal kalau main2 ke cilegon. Silahkan mampir ke rumah. halah...

tapi ini yang kasi semangat dan testimni kok cuma mbak2.
tadinya saya pikir akan ada yang kmentar dari lelaki sesama ksatria...
"ayo brther maju terus...!!" atau..
"Ayolah gitu aja nyerah, saya bahkan lebih parah, bro..."
atau "Bro, hubungi aku aja. aku punya link banyak....'

but its ok. Salam untuk semua....

rgds,
muchayat
085920086601

Posted by: "nazhimah7989"
nazhimah7989@yahoo.co.id
 

nazhimah7989



Sun Jun 7, 2009 8:14 pm (PDT)

hehehehe ^_^

Afwan bukan bermaksud tertawa di atas penderitaan orang lain. Tapi cara
Mas Eko "Mendramatisir" situasinya kocak banget. hehehehe

Syukrn ya Mas buat Artikelnya, lumayan buat siap2 menghadapi penolakan (walah maju saja belum) hahahaha ^_^

Posted by: "Lia Anggraini"
ao_zora90@yahoo.co.id
 

ao_zora90



Sun Jun 7, 2009 8:15 pm (PDT)

assalamualaikum. .

kirain KCB (ketika cinta bertasbih), eh ternyata berbeda ^^

yup, always posรƒ¬tive thinking! ambil sisi hikmah dari kejadian ini ya
kak! yakinlah bahwa Allah pasti memberi pengganti yg lbh baik dr calon
kakak yg sebelumnya. Allah selalu mempunyai rahasia terindah bwt
hamba-Nya.

La tahzan, ya kak! msh bnyk kok wanita yg baik didunia ini.

btw, blh tau nggak udh berapa lama nunggunya kak?

salam kenal,

lia ^^

Posted by: "novi_ningsih"
novi_ningsih@yahoo.com
 

novi_ningsih



Mon Jun 8, 2009 2:15 am (PDT)

Nice Article :)

hehehe... dari awal baca kok kayaknya lebai, terus baca, eh... seru, dan endingnya oke, deh...

Semangat...

ga kalah deh sama KCB, hehehe

Salam

Novi

16.

Jasa Penerbitan Buku dari HM Publishing

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Sat Jun 13, 2009 6:49 am (PDT)



Anda seorang penulis yang ingin menerbitkan buku?
Anda salah satu anggota dari sebuah perkumpulan/komunitas yang ingin menerbitkan kumpulan tulisan bersama?
Atau Anda seorang tokoh yang ingin menerbitkan buku biografi, buku sejarah keluarga, atau sebuah buku diary?

Wujudkanlah keinginan Anda tersebut! Karena kurang puas rasanya jika tulisan Anda hanya tersimpan dalam file atau malah hanya tersimpan dalam angan-angan. Dengan menerbitkan karya Anda, maka buah pikiran Anda bisa dibaca banyak orang, menjadi bukti eksistensi, sekaligus mengabadikan kreativitas Anda dalam sebuah BUKU.

Bagi Anda yang memiliki naskah yang menurut Anda menarik, maka bisa mengirimkan ke penerbit, dan apabila diterima, maka karya Anda akan segera diterbitkan.

Namun bagaimana jika naskah Anda ternyata tidak lolos terbit, padahal Anda yakin benar naskah Anda bagus dan layak untuk diterbitkan.
Putus asa?

Ada banyak jalan agar naskah Anda bisa diterbitkan, salah satunya adalah dengan menerbitkan secara indie (menerbitkan sendiri). Apakah untuk mewujudkan ini, Anda bingung? Kami siap membantu!

Kami menawarkan jasa penerbitan indie/self-publishing bagi siapa saja yang ingin menerbitkan buku.
Jasa yang kami tawarkan adalah:
1.Penyuntingan naskah
2.Lay-out/tata letak isi
3.Pembuatan sampul (cover)
4.Pengurusan ISBN. Kalau ingin dijual sendiri, maka ISBN tidak perluk. ISBN diperlukan jika buku akan dijual di toko buku – tapi sekarang ada juga beberapa toko buku yang menerima buku tanpa ISBN.
5.Pencetakan buku dan wrapping plastik sehingga siap dijual.
(Anda bisa memilih sampai langkah mana Anda membutuhkan jasa kami)

Apakah Anda ragu untuk menerbitkan karya Anda sendiri?
Perhatikanlah hal-hal berikut:

1.Anda bisa menerbitkan buku sendiri berapapun eksemplarnya sesuai kemampuan/keinginan Anda.
2.Anda bisa memasarkan sendiri kepada teman-teman komunitas, atau memasarkannya di internet (melalui milis atau toko buku online).
3.Jika Anda mempunyai uang yang cukup, Anda bisa menerbitkan dalam eksemplar yang memadai, dan kami bisa menghubungkan Anda dengan pihak percetakan maupun pihak distributor. Di sini Anda bisa menjadi pihak penulis dan penerbit sekaligus. Dan tentunya, semua keuntungan dari buku Anda akan menjadi milik Anda sepenuhnya.
4.Anda ingin tahu proses (how to) penerbitan buku Anda sendiri? Kami akan memberitahukannya pada Anda, bahkan Anda bisa saja mendampingi proses tersebut untuk belajar bersama-sama.

So, tunggu apalagi? Segera wujudkan mimpi Anda menjadi penulis dan buku Anda dibaca banyak orang! Ukirlah nama Anda di sampul buku dan di hati dunia!

Hubungi:
HM Publishing
Alamat Gg. Manggis IV No. 2, RT/RW 07/04,
Tanjungduren Selatan, Grogol Petamburan, Jakarta Barat
CP. Catur S.
Mobile: 081 325 494 096
Telp: (021) 5644157
Email: halamanmoeka@gmail.com

Atau cabang kami:
CP. Rudi G (08138492184)
Email: ornacy_clime09@yahoo.com
Perum. Griya Banjarwangi Blok 3/No.1 RT/RW 01/07
Banjarwangi, Ciawi, Bogor

17.

Bls: [sekolah-kehidupan] Re: [etalase] Segera Terbit Buku Baru: "Bel

Posted by: "bujang kumbang" bujangkumbang@yahoo.co.id   bujangkumbang

Sat Jun 13, 2009 7:02 am (PDT)



makacih ya Mbak Novi dan Mbak Retno atas ucapannya
ini juga berkat semua anak2 eska kok ....
thanks ya....
moga kita saling memberi support...
amin

--- Pada Sab, 13/6/09, novi_ningsih <novi_ningsih@yahoo.com> menulis:

Dari: novi_ningsih <novi_ningsih@yahoo.com>
Topik: [sekolah-kehidupan] Re: [etalase] Segera Terbit Buku Baru: "Bela Diri For Muslimah" oleh Lia Octavia, Erawati Tf, Astri Taat, Fiyan Arjun
Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Tanggal: Sabtu, 13 Juni, 2009, 12:09 AM

Mbak Lia dan Mas Fiyan

selamat ya :)

waah, mantabh, deh :)

sukses buat launchingnya. .. :)

salam

Novi

--- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, Lia Octavia <liaoctavia@ ...> wrote:

>

> SEGERA TERBIT!

>

> BELA DIRI FOR MUSLIMAH: Siapa Bilang Perempuan Makhluk Lemah

>

> Penulis: Lia Octavia, Erawati Tf, Astri Taat, Fiyan Arjun

> Penyunting: Taufan E Prast

> Penata Letak: Lian Kagura

> Desain Sampul: Tri Widyatmaka

> Jumlah Halaman: 160 hlm

> Harga : Rp. 26.000,-

>

>

> review menyusul ^_^

>

> http://lingkarpena. multiply. com/

>











Mulai chatting dengan teman di Yahoo! Pingbox baru sekarang!! Membuat tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah. http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/
18.

[ Catcil ] Reuni Keluarga, Ultah Gaya Baru

Posted by: "hariyanty thahir" anty_th@yahoo.com   anty_th

Sat Jun 13, 2009 10:52 am (PDT)



Salah satu keajaiban dunia maya. Malam ini tiba - tiba saja Wawe (panggilan tuk kakak perempuan dlm bahasa Nias_seharusnya Gaa lawe)meng add ID YM ku.Lalu masuklah sepupu - sepupu ku yang lain.Seruuuuu banget.
Lama tak bersua membuat kangenku sedikit terbayar.

Obe sedang tugas di Surabaya, Wawe di Semarang, Hilda di Jakarta. Dan malam ini kami confrence sampai hari dah berganti sambil merayakan Ulang Tahun Wawe yang ke 39. Met Ultah Wawe ^_^

Obe yang baru menyelesaikan kuliahnya di ITB ini sangat dan teramat narsis plus kocak banget. Jika dia ada, maka suasana akan selalu ceria.Sudah hampir 5 tahun aku tak bertemu dengannya. Ternyata konyol nya ngga pernah hilang ^_^
Dia adik terkecil dari Wawe yang sering di panggil dengan sebutan Aci obe. Aci adalah plesetan dari kata Sakhi yg berarti anak paling kecil.

Hilda baru 2 bulan lalu bertemu denganku karena dia melakukan Tour Of Sumatera dengan suaminya. "Merayakan kebebasan kak", katanya yang saat itu memilih resign dari Jabatan Manager HRD di sebuah perusahaan Farmasi di Jakarta.Dan tadi dia mengabarkan bahwa dia sudah kembali bekerja, menjadi dosen seperti profesi awalnya.

Kandaku yang paling care dengan keluarga ini bernama Yenny. Tapi kami memiliki panggilan unik - WAWE -
Mengingat Wawe, aku selalu terpesona. Dia yang dulunya cuek banget dengan keluarga menjadi pribadi yang sangat mengayomi. Khususnya setelah mamanya yang adik kandung ibuku itu meninggal dan papa terkena stroke. Padahal masih ada Sa-a (panggilan utnuk Laki-laki tertua), namun Wawe memiliki peran yang luar biasa.

Dia mengambil alih semua tanggung jawab dan mengerjakan semua dengan baik. Di sela-sela tugasnya yang padat bahkan sering keluar kota, dia sangat memperhatikan keluarga. Pekan lalu saja ketika tau aku sakit, dia langsung menelepon ibuku dan benar - benar meminta agar aku di jaga ketat. Dia juga sering menahan ibuku di Jakarta karena dia menganggap ibuku seperti mama nya.

Walau ibu di Jakarta tanpa kami, dia tidak pernah menelantarkan ibuku. Bahkan dia lebih berhati - hati karena harus menjaga ke halal an makanan untuk ibuku. Ya, kami memang tidak se agama, karena hanya ibuku yang muallaf. Namun semua itu tidak menghalangi kasih sayang diantara kami semua.

Hari ini, 14 Juni, Wawe berulang tahun. Sebenarnya aku tidak ingat, namun keajaiban teknologi yang memberitahukan aku. Dan entah mengapa pula tanpa di rencanakan kami ber 4 bisa OL. Dan jadilah malam ini begitu ceria. Melepas rindu walau hanya di dunia Maya dan tentunya merayakan ULTAH nya Wawe.Indah sekali ^_^

"Wawe terharu ...", ucapnya saat kami mengucapkan selamat dan banyak doa untuknya.
"Kangen Kak Irvan ...",tambahnya lagi. Suaminya memang tidak bersamanya karena Wawe sedang tugas di Semarang dan baru besok akan kembali ke Jakarta. jadilah ledekan - ledekan kami melarutkan rasa kangennya ^_^

Itulah kami, keluarga yang berbeda keyakinan namun bisa tetap bersatu dalam kasih sayang. Dan rasa sayang diantara kami benar - benar murni dan terasa sangat indah. Smoga keindahan ini tetap terjaga ....

Terima kasih sudah membaca tulisan kecil ini ^_^

Salam
Anty

Recent Activity
Visit Your Group
Biz Resources

Y! Small Business

Articles, tools,

forms, and more.

Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Yahoo! Groups

Small Business Group

Share experiences

with owners like you

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: