Messages In This Digest (2 Messages)
- 1a.
- Re: [Catcil] Berguru dari Wahyu From: novi_ningsih
- 2a.
- Re: [Ngaku Eska for Milad ke-3] Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama From: patisayang
Messages
- 1a.
-
Re: [Catcil] Berguru dari Wahyu
Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com novi_ningsih
Fri Jun 19, 2009 2:15 am (PDT)
Belum lama aku merasa kecewa dengan beberapa teman atau sahabatku. Aku merasa mereka telah salah kaprah kepada diriku. Aku bela, tapi dia marah. Aku berkorban, lagi-lagi tak mengerti. Ketika aku bermasalah, bukannya memberi kuping untuk mendengar, tapi lebih memilih untuk men-judge. KEcewa hingga menangis-nangis. Ada saja hal sensitif yang membuat aku ingin marah dan marah... tapi sedih karena aku merasa aku adalah sahabatnya. Aku merasa mengenalnya dengan baik. Aku merasa dia harus menyadari hingga banyak lagi, sampai akhirnya aku sadar... aku belum benar-benar mengenalnya, memahaminya dan salah jg karena aku menempatkan dia sesuai dengan frame di otakku.
Hmmm, tulisan mas nur jadi teguran buatku untuk lebih memahami orang-orang di sekitarku :) termasuk kepada sahabatku sendiri :)
Keren...
cap dua jempol untuk Bintang eska 1 :P
salam
Novi
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , Nursalam AR <nursalam.ar@com ...> wrote:
>
> *Berguru dari Wahyu*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
> * *
>
> Ia lelaki tinggi besar usia 40-an berkulit hitam. Tongkrongannya garang.
> Maklum, sebagaimana pengakuannya kepadaku, ia bekas preman semasa mudanya.
> Setelah berkeluarga dan terlebih lagi punya anak tiga, ia insyaf dan memilih
> pekerjaan yang halal. Meskipun sebagai makelar jasa penerjemahan. Boleh
> dibilang ia salah satu kolega bisnisku.
>
>
>
> Aku tidak tahu siapa nama lengkapnya. Aku memanggilnya Pak Wahyu. Singkat
> saja. Sesingkat kunjungannya setiapkali ia datang ke kantorku. Ya, kantorku
> adalah rumahku. Saat itu, sejak sebelum menikah dan masih tinggal bersama
> orangtuaku, dan hingga kini aku adalah penerjemah *freelance*, yang khusus
> menerjemahkan dokumen-dokumen hukum seperti akte notaris dan kontrak bisnis.
> Sebagai penerjemah yang belum memiliki sertifikat *sworn translator *atau
> penerjemah bersumpah, kehadiran Pak Wahyu yang menjadi penghubung antara
> biro penerjemahan atau perusahaan dengan penerjemah sangat membantuku yang
> memutuskan terjun bebas sebagai penerjemah *freelance *selepas bekerja di
> sebuah griya produksi terkemuka.
>
>
>
> Biasanya ia datang siang hari dengan jaket hitam khasnya. Mengetuk pintu
> dengan ketukan yang lebih mirip gedoran berulangkali dan uluk salam,
> yang kontras dengan posturnya, yang sangat pelan. Alhasil lebih kentara
> ketukan khasnya yang terdengar. Awalnya kami kaget, bahkan ayahku sempat
> mengeluh. Tapi lama-lama kami terbiasa dan menjadikan gaya ketukan Pak Wahyu
> itu sebagai penanda kehadirannya.
>
>
>
> Yang tidak aku sukai, jika ia punya waktu luang dan mau
> *ngobrol*berlama-lama, adalah kebiasaannya merokok. Di keluargaku saat
> itu memang
> hanya ayahku yang perokok. Itu pun dibarengi protes dari anak-anaknya
> termasuk aku. Beliau pun mengurangi konsumsi rokoknya. Tapi, dengan Pak
> Wahyu, entah mengapa aku sungkan menegurnya. Faktor hubungan bisnislah yang
> membatasi. Inilah susahnya.
>
>
>
> Namun lebih banyak hal yang aku suka dari sosok Pak Wahyu. Ia jujur. Saking
> jujurnya bahkan ia tak segan-segan memperlihatkan isi dompetnya jika klien
> lambat memberikan *fee*. Atau saat pembayaran kepadaku lewat dari yang ia
> janjikan.
>
>
>
> "Bener, Lam," ujarnya dengan logat Betawi yang medok,"Belom bayar tuh
> orang!" Tak jarang ia curhat soal hubungan dengan para kliennya.
> Ujung-ujungnya, ia berpesan,"Diem-diem aje ye,Lam. Ini elo aja yang tau. Ga
> enak gue nanti!"
>
>
>
> Juga soal keluarganya. Soal anak-anaknya yang mulai masuk kuliah dengan
> permasalahan biayanya. Hingga istrinya yang turut membantu ekonomi rumah
> tangga dengan menjadi makelar pengurusan KTP di kelurahan. Aku pun jadi
> pendengar yang baik. Termasuk untuk cerita-ceritanya betapa ia bekerja
> gila-gilaan dari pagi hingga sering tengah malam. Tanpa bermaksud rasis, ia
> sering berujar,"Gue ini orang Betawi, Lam, tapi kerja kayak orang Jawa!"
> Kepercayaan diri dan optimismenya memang hal lain yang aku sukai.
>
>
>
> Tapi yang paling aku sukai adalah saat Pak Wahyu datang tak hanya dengan
> dokumen yang akan diterjemahkan. Jika di setang motornya tergantung kantong
> plastik hitam, itu pemandangan yang menyenangkan. Biasanya berupa bingkisan
> kue-kue jajanan pasar seperti kue cincin, bika ambon dan dadar gulung
> bikinan istrinya. Patut kuakui istri Pak Wahyu adalah pembuat kue jempolan.
> Sama seperti almarhumah ibuku.
>
>
>
> Hingga, pada Agustus 2005, selepas Subuh aku mendapat kabar bahwa Pak Wahyu
> meninggal dunia. Langsung dari istrinya sendiri. Padahal sehari sebelumnya
> ia masih datang ke rumahku untuk membayar terjemahan. Ia juga bilang bahwa
> hari itu ia bakal pulang malam karena akan menagih piutang honor terjemahan
> pada klien yang bermasalah.
>
>
>
> Tak berapa lama ponselku berdering. Ada telepon dari Pak Mul. Ia mengajak
> barengan melayat ke rumah Pak Wahyu. Pak Mul adalah pemilik biro
> penerjemahan, yang juga kolega Pak Wahyu. Aku yang memperkenalkan Pak Wahyu
> kepada Pak Mul.
>
>
>
> "Mas Salam, sudah lama kenal Pak Wahyu?" tanya Pak Mul di belakang kemudi
> mobilnya. Saat itu kami dalam perjalanan menuju rumah duka.
>
>
>
> "Setahun lebih kayaknya," jawabku sambil merapatkan jaket. Pagi itu dingin
> dan muram.
>
>
>
> "Sudah tahu dong rumahnya," tukas Pak Mul. Rupanya Pak Mul juga belum
> mengetahui alamat rumah Pak Wahyu.
>
>
>
> Aku tercekat. "Belum pernah ke sana, Pak." Aku memang tak pernah bertanya
> tentang alamat rumah kepada Pak Wahyu.
>
>
>
> Ketika Pak Mul mengontak istri Pak Wahyu via ponselnya untuk menanyakan
> alamat, aku terbenam dalam perenungan yang menggelisahkan.
>
>
>
> Ternyata, selama setahun lebih berhubungan bisnis dengan Pak Wahyu, aku
> tidak mengenal betul siapa dirinya. Berkunjung ke rumahnya pun baru sekali
> itu justru pada hari kematiannya. Entah mengapa, selama setahun kemarin, aku
> merasa tak perlu mengenal banyak siapa dan apa urusan kolega bisnisku
> tersebut. Pak Wahyu memang banyak curhat soal keluarganya. Namun aku tak
> banyak bercerita soal diriku dan keluargaku. Bagiku, hubungan kami *is as
> business as usual, *hanya sebatas bisnis. Tidak lebih.
>
>
>
> Padahal tiga bulan sebelumnya saat aku memperkenalkan Pak Wahyu ke Pak Mul,
> aku dengan yakin mengatakan bahwa aku mengenal Pak Wahyu dan menjamin bahwa
> ia orang yang dapat diandalkan untuk urusan jasa penerjemahan termasuk
> mengurus perizinan dokumen-dokumen terjemahan bersumpah ke departemen
> terkait seperti kantor imigrasi dan departemen kehakiman.
>
>
>
> *Apakah aku sahabat yang baik bagi Pak Wahyu?*
>
> * *
>
> *Apakah aku sudah mengenal Pak Wahyu?*
>
>
>
> Khalifah Umar bin Khattab biasa melakukan investigasi terhadap setiap
> kandidat pejabat yang akan diangkatnya.
>
>
>
> "Dia orang hebat wahai *Amirul Mukminin*," ujar salah seorang kenalan
> kandidat pejabat yang dinominasikan oleh sang khalifah.
>
>
>
> Khalifah Umar tidak percaya begitu saja. Ia lantas bertanya,"Apakah kamu
> pernah bermalam bersamanya?"
>
>
>
> "Tidak."
>
>
>
> "Apakah kamu pernah menempuh perjalanan jauh (*safar*) bersamanya?"
>
>
>
> "Belum."
>
>
>
> "Apakah kamu pernah memberinya amanah untuk ditunaikan?"
>
>
>
> "Tidak pernah."
>
>
>
> Khalifah Umar bin Khattab kemudian menyimpulkan,"Kalau begitu kamu belum
> mengenalnya."
>
>
>
> Ya, di pagi muram empat tahun lalu, aku banyak belajar dari Pak Wahyu. Belajar
> mengenal makna sahabat; belajar tentang silaturahim; belajar tentang
> kejujuran dan kerja keras, dan belajar tentang semangat dan optimisme.
>
>
>
> Peristiwa kematiannya pun mengajarkan satu hal tersendiri. Menurut sang
> istri, di malam jelang wafatnya, Pak Wahyu pulang larut malam dalam kondisi
> basah kuyup kehujanan sehabis menagih piutang pada salah satu klien. Jelang
> Subuh, ia mengeluh pusing dan matanya gelap. Tak lama kemudian Pak Wahyu
> meninggal dunia. Saat kubuka kain penutup jenazah, senyumnya damai dan wajah
> hitamnya terlihat lebih cerah berseri.
>
>
>
> Satu hal itu adalah betapa kematian dapat menjemput kita kapan pun, di mana
> pun dan dalam kondisi apapun baik didahului sakit atau datang tiba-tiba.
> Nah, sudahkah kita siap dijemputnya?
>
>
>
> *Jakarta**, 18 Juni 2009*
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> --
> -"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
> Nursalam AR
> Translator & Writer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> www.nursalam.multiply. com
> YM ID: nursalam_ar
> Facebook: nursalam ar
> Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
> ke www.pensilmania.multiply. com aja!
>
- 2a.
-
Re: [Ngaku Eska for Milad ke-3] Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama
Posted by: "patisayang" patisayang@yahoo.com patisayang
Fri Jun 19, 2009 3:35 am (PDT)
Ugik, untung aku baca ini tadi pertama kali di rumah temenku, via hape. coba kalau di rumah sendiri. Bakal nangis bombay beneran n bikin Ais kelabakan. Secara ingat ketemu dirimu pas milad 1 di Kuningan.
Yap, 'tertimonimu' memang tak berlebihan. Akupun jatuh cinta pada pandangan pertama setelah join. Waktu itu terkompori oleh postingan Pak Sinang di milist penulislepas.
Ya juga, bahwa semua itu ada pasang surutnya. Tapi dari semua milist, Eska rasanya pantas disebut rumah, tempat dimana kita kembali menyandarkan lelah.
salam,
Indar
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , Sugeanti Madyoningrum <ugikmadyo@.com ..> wrote:
>
> Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama
> By Sugeanti Madyoningrum
>
> Saya dulu sempat sebel, waktu Mas Nursalam mengajak saya gabung di
> milist Sekolah Kehidupan. Lama-lama saya jadi penasaran. Setelah
> sekian kali ajakannya saya abaikan (saya lupa tepatnya) akhirnya saya
> ikut bergabung. Begitu gabung hua saya jatuh cinta pada pandangan
> pertama *kedip-kedip gaya kelilipan sok centil*. Memang waktu Mas
> Salam cerita, saya bisa belajar nulis di milist ini. Saya pikir milist
> ini sama dengan milist-milist kepenulisan yang lain. ternyata
> saudara-saudara bukan sulap bukan sihir bukan juga kibulan
> *teriak-teriak pakai megaphone* dipilih.. dipilih semua barangnya
> istimewa HAH? Lah kok nglantur. Gak kok. Disini emang semua
> `barangnya' istimewa. Eh.. eh.. tulisannya maksudnya *merona mode on*.
>
> Bukan tulisan sekedar tulisan tapi potongan hikmah yang terserak
> dalam kehidupan. Dan dituliskan langsung oleh para pelakunya.
> Orisinal, deretan huruf yang disusun dengan kekuatan hati. Apalagi
> waktu awal-awal gabung saya dalam kondisi jatuh bangun. Malam nangis
> mulu sampe bantal basah *aslinya sih keileran*, setiap bangun pagi
> mata bengkak *sebenarnya sih matanya bintitan*. Tulisan di milist ini
> berasa kayak vitamin penambah semangat. Kadang juga bisa sebagai air
> dingin di tengah padang pasar. Tak jarang seperti hujan di tengah
> kemarau panjang cie suit suit halah :P. selain itu ada tulisan yang
> lucu-lucu, jadi berasa malu aja klo senyum-senyum sendiri di depan
> monitor. Apalagi waktu itu saya belum punya sambungan internet di
> rumah. Masih numpang di kantor. Walhasil suka salting kalau baca
> tulisan yang mengharukan sampai menitikkan air mata. Padahal udah
> berusaha keras jangan sampe ketahuan temen kalau pas ngelap air mata
> tetep aja, tiba-tiba ada yang mendekat sambil menepuk-nepuk bahu.
> "Sabar ya Gik. Ya gitu itu laki-laki. Jangan dipikirin."
> "Iya. Hiks.. hiks.." nyusut air mata belek-an. "Memang cinta..
> deritanya tiada akhir" halah. malah ngelantur.
>
> Hingga pada suatu saat ditawari untuk jadi penjaga gawang alias
> Moderator. Saya banyak belajar dari para senior. Para suhu moderator
> yang sabar dan gak pelit ilmu. Saya jadi lebih paham menghadapi
> berbagai kepribadian aneh para `psikopat' di dunia maya. *Iih.. serem
> amat sih psikopat. Hiperbola nih kayaknya*. Saya jadi lebih mengerti
> kapan harus mengeluarkan kartu merah atau kartu kuning. Meski kadang
> kala gemes kalau ada yang bandel gak taat aturan. Berasa penegn
> langsung ketemu trus kilikin tuh orang sampe lemes biar gak bisa
> online lagi :D. Tapi ada senengnya juga. Saya jadi punya banyak teman.
> Anggota milist suka ada yang japri. Meski awalnya hanya bertanya
> tentang seluk beluk milist, pada akhirnya kita jadi bersahabat.
>
> Selain dari email `kecelakaan', dari milist ini saya juga mendapatkan
> teman-teman baru. Teman yang seru. Saya selalu mengulum senyum kalau
> ingat kopdar pertama kali pas milad 1 SK. Di milist ini jangan pernah
> Tanya umur karena umur kita semua sama. 20 lebih dikit. Meskipun ada
> yang kayaknya sih lebih setengah abad *aku gak nyebut Eyang Teha ato
> pak Sinang loh ya. Piss Pak hehe*. Semua masih muda-muda gak ada yang
> namanya tua. Gak percaya? Ikut milad SK juli nanti. Tapi menurut saya
> sih yang paling seru persahabatan para bidadari. Perkumpulan para
> lajang cantik de SK. Kalau malam pada online. Bikin conference,
> curhat-curhatan nangis Bombay sambil ngikik. Nah loh nangis Bombay kok
> smabil ngikik. Nah itulah kejaiban persahabatan kita. Untung para
> operator telfon lagi mabok, kita bisa tenang SMSan atau
> telfon-telfonan ampe kuping panas *kayaknya ESIA perlu kita kasih
> award nih hihihi*. Meski ada yang di Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya
> dan Malang *meski cuman sebentar* jarak kita seperti selemparan batu
> saja. Meski sempat gundah karena merasa sendirian di Surabaya.
> Akhirnya satu persatu sahabat SK Surabaya bermunculan. Huaaa seneng
> banget. apalagi kita punya Mak (Ibu-bahasa Jawa) yang bener-benar
> berperan seperti Ibu bagi kita de lajangs. Mak Siwi pokok-e TOP dah.
>
> Saya menyebutnya sebagai persahabatan dan persaudaraan yang sudah
> kabur batasnya. Melebur menjadi sebuah ikatan yang kuat menggenggam
> satu sama lain. bila salah satu mengalami duka, yang lain berebut
> untuk menyediakan bahunya sebagai sandaran. Bila salah satu sedang
> bahagia, yang lain juga turut bersorak gembira meski nun jauh tak
> tampak mata, tapi terasa getarannnya. Perlahan namun pasti saya pun
> semakin mencintai milist ini. Layaknya dalam mencinta, kadang timbul
> kesal, bosan atau benci. Ketika rasa itu muncul, saya berusaha
> melepaskan pegangan dan memilih untuk berpaling. Disatu sisi ada
> kelegaan tapi disisi yang lain ada rasa yang hilang. Sebuah rasa yang
> telah lama melekat. Kemudian saya sadar sudah tak ada lagi. Yang
> tinggal adalah kerinduan. Rindu akan cinta yang sudah terlanjur
> melekat erat. Saya pun selalu kembali. Meski hanya sekedar mengintip
> malu-malu sambil membaca tulisan teman-teman. Cinta itu kembali hadir.
> Cinta yang sama seperti ketika saya jatuh cinta pada pandangan
> pertama. Bahkan kadang lebih membara ketika rindu itu meruah ketika
> lama tak bersua.
>
Need to Reply?
Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.
MARKETPLACE
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Individual | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar