Nyanyian Telah Membuatku Lalai dari-Nya
Imam Asy Syafi'i mengatakan, "Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang
tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja
yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak."
(Talbis Iblis, 283)
Hidup di akhir zaman, siapa saja tidak lepas dari lantunan suara musik
atau nyanyian. Mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang
sangat gandrung terhadap lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar
lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap harinya. Itulah yang
juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari
"gitar" dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah
mengenalkannya dengan Al-Haq (penerang Al Qur'an dan As Sunnah), dia pun
perlahan-lahan menjauhi berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia pun
mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu dengan Kalamullah (Al Qur'an) yang
semakin membuat dirinya mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Allah.
Lalu apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada Kalamullah dan
meninggalkan nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman
ilmu. Dengan ilmu syar'i yang dia dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai
sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur'an dan Hadits yang
membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai
meninggalkannya perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan kalam-kalam para
ulama, dia semakin jelas dengan hukum keharamannya.
Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan dan juga
perkataan para ulama masa silam mengenai hukum nyanyian. Mungkin kita
adalah di antara orang-orang yang gandrung. Semoga dengan mengetahui hal
ini, Allah membuka hati kita dan memberi hidayah pada kita seperti yang
didapatkan si fulan tadi. Allahumma a'in wa yassir (Ya Allah, tolonglah
dan mudahkanlah)
Beberapa Ayat Al Qur'an yang Membicarakan "Nyanyian"
[Pertama] Nyanyian dikatakan sebagai "lahwal hadits" (perkataan yang tidak
berguna)
Allah Ta'ala berfirman,
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab
yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia
berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya,
seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah
padanya dengan azab yang pedih." (QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan
bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan "
lahwal hadits" dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang
dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu
Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsiran ayat
tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa' Al Bakri
–rahimahullah-
mengenai tafsiran ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu 'anhu-
mengatakan, "Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah
(sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia." Beliau menyebutkan makna
tersebut sebanyak tiga kali. (Lihat Jami'ul Bayan fii Ta'wilil Qur'an,
20/127).
Begitu pula tafsiran yang sama dikatakan oleh Mujahid, Sa'ib bin Jubair,
'Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang
dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang). (Zaadul Maysir, Ibnul
Jauziy, 5/105).
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, "Lahwal hadits adalah
segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa
berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran."
Lalu Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa
tafsiran yang paling bagus untul makna lahwal hadits adalah nyanyian.
Inilah pendapat para sahabat dan tabi'in. (Lihat Fathul Qadir, 5/483)
Jika ada yang mengatakan, "Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat,
bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?"
Maka cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa
sebagai hujjah bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam (derajat marfu'). Simaklah perkataan Ibnul Qayyim
setelah menjelaskan penafsiran mengenai "lahwal hadits" sebagai berikut,
"Al Hakim Abu 'Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan
bahwa seharusnya setiap yang haus akan ilmu mengetahui bahwa tafsiran
sahabat –di mana para sahabat-lah yang menyaksikan turunnya wahyu- menurut
Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam. Di tempat lainnya beliau mengatakan bahwa menurutnya tafsiran
sahabat tentang suatu ayat sama statusnya dengan hadits marfu' (yang
sampai pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam)." Lalu Ibnul Qayyim
mengatakan, "Walaupun itu adalah tafsiran sahabat, tetap tafsiran mereka
lebih didahulukan daripada tafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya,
mereka adalah umat yang paling mengerti tentang maksud dari ayat yang
diturunkan oleh Allah karena Al Qur'an turun di masa mereka hidup."(Lihat
Ighatsatul Lahfan, 1/240)
Jadi, jelaslah bahwa makna lahwal hadits dengan nyanyian patut kita terima
karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
[Kedua] Orang-orang yang bernyanyi disebut "saamiduun"
Allah Ta'ala berfirman,
"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka bersujudlah
kepada Allah dan sembahlah (Dia)." (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud saamiduun?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini
berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut "ismud lanaa" dan
maksudnya adalah: "Bernyanyilah untuk kami". Pendapat ini diriwayatkan
dari 'Ikrimah dan Ibnu 'Abbas. (Lihat Zaadul Maysir, 5/448)
'Ikrimah mengatakan, "Mereka biasa mendengarkan Al Qur'an, lalu mereka
malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas)." (
Ighatsatul Lahfan, /258)
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan "nyanyian" adalah
suatu yang dicela dalam Al Qur'an.
Perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian
[Hadits Pertama]
Bukhari membawakan dalam Bab "Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain
namanya" sebuah riwayat dari Abu 'Amir atau Abu Malik Al Asy'ari telah
menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang
menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok
orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang
yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata,
'Kembalilah kepada kami esok hari.' Kemudian Allah mendatangkan siksaan
kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah
sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat." (Diriwayatkan
oleh Bukhari secara mu'allaq dengan lafazh jazm/ tegas).
Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram. Hadits di atas
dishahihkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul
Lahfan (1/259). Begitu pula hal yang sama dikatakan oleh An Nawawi, Ibnu
Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-
Memang ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti
pendapat beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan cacatnya
hadits di atas, sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka
mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi' (terputus) karena Al Bukhari
tidak me-maushul-kan sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah
hal ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnul Qayyim:
Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin 'Ammar dan beliau
betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa
Hisyam berkata, maka itu sama saja dengan perkataan Al Bukhari langsung
dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam,
tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan lafazh tegas (jazm). Jika
beliau mengatakan dengan lafazh jazm (tegas), maka sudah pasti beliau
mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena
begitu banyak orang yang meriwayatkan dari Hisyam dan dia adalah guru
yang sudah sangat masyhur. Sedangkan Al Bukhari adalah hamba yang sangat
tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan)
Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut
dengan kitab shahih, yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah
(dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih menurut Al Bukhari,
lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih[?]
Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu'allaq (di bagian awal
sanad ada yang terputus). Namun di sini beliau menggunakan lafazh jazm
(pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia berkata) dan bukan
tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah
diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, "
Qoola: qoola Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam [dia mengatakan
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ...]", maka itu
sama saja beliau nengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, maka hadits ini
tetaplah shahih dan bersambung karena dilihat dari jalur lainnya,
sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya. (Lihat Ighatsatul Lahfan,
1/259-260)
[Hadits Kedua]
Dari Abu Malik Al Asy'ari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
"Sungguh, akan ada orang-orang dari ummatku yang meminum khamr, mereka
menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan
suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan
mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi." (HR. Ibnu Majah dan Ibnu
Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
[Hadits Ketiga]
Dari Nafi' –bekas budak Ibnu 'Umar-, beliau mengatakan,
Ibnu 'Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu
beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau
pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu 'Umar berkata, "Wahai Nafi', apakah
kamu masih mendengar suara tadi?" Aku (Nafi') berkata, "Iya, aku masih
mendengarnya."
Kemudian Ibnu 'Umar terus berjalan, lalu aku berkata, "Aku tidak
mendengarnya lagi."
Barulah setelah itu Ibnu 'Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan
kembali ke jalan itu lalu berkata, "Beginilah aku melihat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang
pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi." (HR. Ahmad. Syaikh Syu'aib
Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dari dua hadits pertama dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang
akan menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada
yang menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan
kisah Ibnu 'Umar bersama Nafi'. Ibnu 'Umar mencontohkan bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu
menjauhi dari mendengar musik, sehingga hal ini menunjukkan bahwa musik
itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu 'Umar tadi
hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik tatkala mendengar suara
nyanyian atau alat musik, namun tidak berdosa. Maka cukup kami katakan
sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah),
"Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya
yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan
menutup jalan agar tidak mendengarnya."
(Majmu' Al Fatawa, 11/567)
Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)
Ibnu Mas'ud mengatakan, "Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati
sebagaimana air menumbuhkan sayuran."
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanyakan tentang nyanyian lalu beliau
menjawab, "Aku melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau
mendengarnya." Lalu orang yang bertanya tadi mengatakan, "Apakah nyanyian
itu haram?" Al Qasim pun mengatakan,"Wahai anak saudaraku, jika Allah
telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah
meletakkan 'nyanyian'[?]"
'Umar bin 'Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan
anaknya, isinya adalah: "Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh
anak-anakku dari budi pekertimu adalah kebencianmu pada nyanyian. Karena
nyanyian itu berasal dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku
mengetahui dari para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan
alat musik serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam
hati sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri
dengan meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang
memiliki kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati."
Fudhail bin Iyadh mengatakan, "Nyanyian adalah mantera-mantera zina."
Adh Dhohak mengatakan, "Nyanyian itu akan merusak hati dan akan
mendatangkan kemurkaan Allah."
Yazid bin Al Walid mengatakan, "Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari
mendengar nyanyian karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu,
menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras
yang bisa membuatmu mabuk kepayang. ... Ketahuilah, nyanyian itu adalah
pendorong seseorang untuk berbuat zina." (Lihat Talbis Iblis, 289)
Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
Imam Abu Hanifah membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai
suatu perbuatan dosa. (Lihat Talbis Iblis, 282)
Imam Malik bin Anas pun melarang nyanyian dan melarang mendengarkannya.
Sampai-sampai Imam Malik mengatakan, "Barangsiapa membeli budak lalu
ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka
hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat 'aib." (Talbis Iblis,
284)
Imam Asy Syafi'i mengatakan, "Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang
tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja
yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak."
(Talbis Iblis, 283)
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, "Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan
dalam hati dan aku pun tidak menyukainya." (Talbis Iblis, 280)
Bila Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga
sekali, beliau mengatakan,
"Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang
tidak disyari'atkan, maka pasti dia akan kurang bersemangat dalam
melakukan hal-hal yang disyari'atkan dan bermanfaat. Hal ini jauh berbeda
dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang
disyari'atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan
manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan
semakin sempurna."
Lalu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Oleh karena itu, banyak
sekali orang yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan
semula adalah untuk menata hati. Maka pasti karena maksudnya, dia akan
semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur'an. Bahkan
sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya." (Iqtidho' Ash Shiroth
Al Mustaqim, 1/543)
Jadi perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul
Islam) memang betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu
gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan dengan nyanyian "Islami" (yang
disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah untuk menata hati. Namun
sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena
hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru' (disyariatkan) dan bukan
dengan hal-hal yang tidak masyru' yang membuat kita sibuk dan lalai dari
kalam Robbul 'alamin yaitu Al Qur'an.
Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya'ir,
Syaikhul Islam mengatakan,
"Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan
santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, maka mereka pasti tidak akan
begitu merindukan lantunan suara Al Qur'an. Mereka pun tidak begitu senang
ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala
mendengar Al Qur'an dibanding dengan mendengar bait-bait sya'ir (nasyid).
Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur'an, hatinya pun menjadi lalai,
begitu pula dengan lisannya akan sering keliru." (Majmu' Al Fatawa,
11/567)
Sebagai penutup, kami hanya katakan bahwa pengganti nyanyian dan musik
adalah dengan mendengarkan Al Qur'an karena inilah yang disyari'atkan dan
inilah yang bisa menata dan menghidupkan hati. Jika seseorang meninggalkan
musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
"Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah
akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik." (HR. Ahmad.
Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang
membaca risalah ini.
Washallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi ajma'in.
Walhamdulillahi robbil 'alamin.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
------------
ABN AMRO Bank N.V. is a subsidiary undertaking of The Royal Bank of Scotland Group plc. This message (including any attachments) is confidential and may be privileged. If you have received it by mistake please notify the sender by return e-mail and delete this message from your system. Any unauthorised use or dissemination of this message in whole or in part is strictly prohibited. Please note that e-mails are susceptible to change. ABN AMRO Bank N.V, which has its seat at Amsterdam, the Netherlands, and is registered in the Commercial Register under number 33002587, including its group companies, shall not be liable for the improper or incomplete transmission of the information contained in this communication nor for any delay in its receipt or damage to your system. ABN AMRO Bank N.V. (or its group companies) does not guarantee that the integrity of this communication has been maintained nor that this communication is free of viruses, interceptions or interference.
------------
____________
This email has been scanned by the MessageLabs Email Security System.
For more information please visit http://www.messagel
____________
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================

Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar