Senin, 24 Mei 2010

[daarut-tauhiid] Pengalaman Ustadz Syamsi Ali di New York, 26.04.2010

 

----- Forwarded Message ----

From: A Taufik <taufik_ham@yahoo.co.uk>
To: PM3 <pengajian-muenchen@yahoogroups.com>; IIC Hamburg <iic-ev@yahoogroups.com>
Sent: Sun, May 23, 2010 12:52:51 PM
Subject: [iic-ev] Fw: Pengalaman Ustadz Syamsi Ali di New York, 26.04.2010

Penderitaan Mereka adalah Inspirasi
Hidayah
M. Syamsi Ali
Dua minggu lalu, selepas jum'at saya
menemukan secarik kerta di atas meja kantor saya di Islamic Cultural
Center of New York. Isinya kira-kira berbunyi 'I have been trying to
reach you but never had a good luck! Would you please call me back?
Karen'.

Berhubung karena berbagai kesibukan
lainnya, saya menunda menelpon balik Karen higga dua hari lalu. 'Oh….thank you so much for getting back to me!', jawabnya ketika saya
perkenalkan diri dari Islamic Center of New York. 'I am really sorry
for delaying to call you back', kata saya, sambil menanyakan siapa
dan apa latar belakang sang penelpon.
'Hi, I am sorry! My name is Karen
Henderson, and I am a professor at the NYU (New York University)',
katanya.
'And so what I can do for you?'
tanyaku. Dia kemudian menanyakan jika saya ada beberapa menit untuk
berbicara lewat telpon. 'Yes, certainly I have, just for you,
professor!' candaku. 'Oh.. that is so kind of you!',
jawabnya.
Karen
kemudian bercerita panjang mengenai dirinya, latar belakang keluarganya, profesinya, dan bahkan status sosialnya.
'I am a
professor teaching sociology at the New York University', demikian
dia memulai. Namun menurutnya lagi, sebagai sosiolog, dia tidak saja
mengajar di universitas tapi juga melakukan berbagai penelitian di
berbagai tempat, termasuk luar negeri. Karen sudah pernah mengunjungi
banyak negara untuk tujuan penelitiannya, termasuk dua negara yang
justeru disebutnya sebagai sumber inspirasi. Yaitu Pakistan dan
Afghanistan.
'I spent more
than 3 years in those countries, and mostly in villages', katanya. 'During those three years, I have a lot memories about the people. They are
simply amazing', lanjutnya.
Tidak terasa Karen berbicara di telpon
hampir 20 menit. Sementara saya hanya mendengarkan dengan serius dan
tanpa menyela sekalipun. Selain karena cara Karen berbicara sangat
menarik, informative dan disampaikan dalam bahasa yang jelas, saya
menjadi lebih tertarik mendengar. Mungkin karena dia adalah seorang
professor, jadi dalam berbicara dia sangat sistimatis dan eloquent.
'Karen, that
is a very interesting story. I am sure what you did experience in
Pakistan I did as well. I lived in Pakistan 7 years, and had an
opportunity to visit many of those areas you did mention', kataku.
'But what did
you want to tell me out this story?', tanyaku lagi
Nampaknya Karena menarik napas, lalu
menjawab. Tapi kali ini dengan suara lembut dan agak lamban. 'Sir, I
wanted to know further Islam, the religion of those people. They are
sweet people, and I think I have inspired by them in many ways',
katanya.
Tapi karena waktu yang tidak terlalu
mengizinkan untuk saya banyak berbicara lewat telpon, saya meminta Karen untuk datang ke Islamic Center keesokan harinya (Sabtu lalu). Diapun
menyetujui dan disepakatilah pukul 1:30 siang, persis jam ketika saya
mengajar di kelas khusus non Muslim, Islamic Forum for non Muslims.

Keesokan harinya, Sabtu, saya tiba agak
telat. Sekitar pukul 12 siang saya tiba, dan pihak security menyampaikan bahwa dari tadi ada seorang wanita menunggu saya. 'She is the mosque' (maksudnya di ruang shalat wanita). Saya segera meminta security untuk
memanggil wanita tersebut ke kantor untuk menemui saya.

Tak lama kemudian datangnya seorang
wanita dengan pakaian ala Asia Selatan (India Pakistan). Sepasang
shalwar dan Gamiz, lengkap dengan penutup kepala ala kerudung Benazir
Bhutto. 'Hi, sorry for coming earlier! I can wait at the mosque, if
you are still busy with other things', kata wanita baya umur 40-an
tahun itu. Dia jelas Amerika berkulit putih, kemungkinan keturunan
Jerman.

'Not at all,
professor! I am free for you', jawabku sambil tersenyum. 'Have your seat, but let me go around the school for five minutes',
mintaku untuk sekedar melihat-lihat weekend school program hari itu.

Setelah selesai melihat-lihat beberapa
kelas pada hari itu, saya kembali ke kantor. 'I am sorry Professor!', sapaku. 'Please do call me by name, Karen!', pintanya sambil
tersenyum. 'You know, I like to address people respectfully, and I
really did not know how to address you', kataku. 'In some
countries, people love to be known with their professional title. But I
know Americans are not', lanjutku sambil ketawa kecil.

Kita kemudian hanyut dalam pembicaraan
dalam berbagai hal, mulai dari isu hangat tentang kartun Nabi Muhammad
SAW di sebuah komedi kartun Amerika, hingga kepada asal usul Karen itu
sendiri. 'I am a Jew by birth. My Parents are Jews, but you know,
especially my father, he doesn't believe in the religion any more',
katanya. Bahkan menurutnya, ayahnya itu seringkali menilai konsep tuhan
sebagai sekedar alat repression (menekan) sepanjang sejarah manusia.

Namun menurut Karen, walaupun tidak
percaya agama dan mengaku tidak percaya tuhan, ayahnya masih juga
merayakan hari-hari besar Yahudi, seperti Hanukkah, Sabbath, dll. 'These celebrations, as most Jews do, are no more than heritage traditions', jelasnya. 'Judaism is think not a religion, in the sense that it is
more about culture and family', sambungnya lagi.

Dalam hatiku saya mengatakan bahwa semua itu bukan baru bagi saya. Sekitar 60 persen atau lebih Yahudi di
Amerika Serikat adalah dari kalangan sekte 'Reform' (Pembaharu). Mereka
ini ternyata telah melakukan reformasi mendasar dalam agama mereka,
termasuk dalam hal-hal akidah atau keyakinan. Sekte Reform misalnya sama sekali tidak percaya lagi kepada kehidupan akhirat. Saya masih teringat dalam sebuah diskusi di gereja Marble Collegiate tahun lalu tentang
konsep kehidupan. Pembicaranya adalah saya dan seorang Pastor dan Rabbi
dari Central Synagogue Manhattan. Ketika kita telah sampai kepada isu
hari Akhirat, Rabbi tersebut mengaku tidak percaya.

Tiba-tiba salah seorang hadirin yang
juga murid muallaf saya keturunan Rusia berdiri dan bertanya 'And so, if you don't believe in the life after death, why you have to go to
your synagogue, worship, wearing yarmukka, giving charity, etc.? Why do
you think it is necessary to be honest, be helpful to others? And why we have to avoid things we must avoid?', tanyanya panjang lebar.
Sang Rabbi hanya tersenyum dan menjawab
singkat 'we do all those because that what we have to be and do'.

Mendengar jawaban sang Rabbi, semua
hadirin hanya tersenyum, dan bahkan banyak yang tertawa.

Kembali ke Karen, kita kemudian hanyut
dalam dialog tentang konsep kebahagiaan. Menurutnya, sebagai seorang
sosiolog, dia telah melakukan banyak penelitian dalam berbagai hal yang
berkaitan dengan bidangnya. Pernah ke Amerika Latin, Afrika, beberapa
negara Eropa, dan juga Asia, termasuk Asia Selatan. 'But one thing I
have to tell, those Pakistanis and Afghanis are simply amazing people', katanya. 'What really amazed about them?' tanyaku.

'Many, their
religiosity and commitment to the religion, among others. But I think
the most amazing about them is their strength and enduring in nature in
their daily life', katanya panjang lebar. 'I am amazed how these
people are so strong and looking happy despite the very challenging life that they are in', jelasnya lagi.

Saya tidak pernah menyangka kalau Karen
tiba-tiba meneteskan airmata di tengah-tengah pembicaraan kami. Dia
seorang professor yang senior, walau masih belia dalam umur. Tapi juga
pengalamannya yang luar biasa, menjadikan saya lebih banyak mendengar.
Di tengah-tengah membicarakan 'kesulitan hidup' orang-orang Afghanistan
dan Pakistan, khususnya di daerah pegunungan-pegunung an, dia meneteskan airmata tapi sambil melemparkan senyum. 'I am sorry, I am very
emotional with this story?', katanya.

Segera saya ambil kendali. Saya
bercerita tentang konsep kebahagiaan menurut ajaran Islam. Bahkan
berbicara panjang lebar tentang kehidupan dunia sementara, dan bagaimana Islam mengajarkan kehidupan akhirat itu sendiri. 'No matter how do
you live your life here, it is temporary and unfulfilling. There must be some where, sometime where we will live eternally and all dreams and
wishes will be fulfilled', jelasku. 'This belief gives us an
immense strength and determination to live our lives at fullest, no
matter how circumstances may surround that life itself'.

Tanpa terasa adzan Dhuhr dikumandangkan. Saya pun segera berhenti berbicara. Nampaknya Karen paham bahwa ketika
adzan didengarkan maka kita seharusnya mendengarkan dan menjawab.
Mungkin dia sendiri tidak paham apa yang seharusnya diucapkan, tapi dia
tersenyum ketika saya meminta maaf berhenti berbicara.

Setelah adzan saya melanjutkan sedikit,
lalu saya tanya kepada Karen. 'And so, what really makes you calling
me the other day?'

'I want to
tell you that my mind constantly remember those people. My memory
reminds me about how they happy are, while we Americans with all this
fancy life, lacking of happiness..!', katanya seolah marah.
'And so
what makes you contacting me? I mean why do you have to come and discuss with me?' pancingku lagi.

Karen merubah posisi duduknya, tapi
nampak sangat serius lalu berkata 'I've thought this for long time.
But I really don't know what to do and how to proceed it. I wanted to
become a Muslim!', katanya mantap.

Saya segera menjelaskan bahwa untuk
menjadi Muslim itu sebenarnya sangat mudah. Yang susah adalah proses
menemukan hidayah. Jadi nampaknya anda sudah melalui prose situ, dan
kini sudah menuju kepada jenjang akhir. 'My question to you is are
you really convinced that this is the religion that you believe to be
the Truth?', kataku lagi.
'Yes, certainly
no doubt!', jawabnya tegas.

Saya segera memanggil salah seorang guru weekend school wanita untuk mengajarkan kepada Karen mengambil wudhu.
Ternyata dia sudah bisa wudhu dan shalat, hanya belum hafal
bacaan-bacaan shalat tersebut.

Selepas shalat Dhuhur, Karen saya tuntun melafalkan 'Ash-hadu an laa ilaaha illa Allah wa ash-hadu anna
Muhammadan Rasul Allah', dengan penuh khusyu' dan diikuti pekikan
takbir ratusan jama'ah yang hadir.

Hanya doa yang menyertai semoga Karen
Henderson dijaga dan dikuatkan dalam iman, tumbuh menjadi pejuang Islam
di bidangnya sebagai professor ilmi-ilmu social di salah satu
universitas bergengsi di AS. Amin!
New York, 26 April 2010

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: