Kamis, 27 Mei 2010

[daarut-tauhiid] Agar Kita Tidak Merugi: Tadabbur Surat Al-’Ashr

http://www.dakwatuna.com

Agar Kita Tidak Merugi: Tadabbur Surat Al-'Ashr

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
________________________________


dakwatuna.com - "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran". (Al-Ashr: 1-3)

Surah ini termasuk golongan Makkiyah yang diturunkan sesudah surah
Asy-Syarh dan terdiri dari tiga ayat. Sayyid Quthb memahami aspek
i'jazul Qur'an yang ketara pada surah pendek ini yang memang merupakan
keistimewaan Al-Qur'an. Sebagai contoh misalnya, irama surah ini
menunjukkan satu keserasian dimana pada akhir setiap ayatnya ditutup
dengan huruf "ra". Susunan redaksinya juga indah; berawal dari yang
terpendek hingga yang terpanjang. Hanya dalam tiga ayat, tergambar
dengan gamblang manhaj dan rambu-rambu kehidupan manusia yang
dikehendaki oleh Islam yang berlaku sepanjang zaman dan pada setiap
generasi. Memang hanya ada satu manhaj dan jalan keselamatan dari
kerugian seperti yang dirumuskan dalam surah ini, yaitu iman, amal
shalih, saling menasehati dalam mentaati kebenaran dan saling
menasehati dalam menetapi kesabaran.

Surah ini diawali dengan sumpah. Sumpah Allah dengan salah satu
makhluknya yang terpenting yang menentukan kehidupan manusia, yaitu
waktu, baik seluruhnya maupun sebagiannya. Dalam satu "masa" terdapat
beberapa keadaan; sakit dan sehat, suka dan duka, demikian seterusnya
saling berpasangan. Bahkan dalam sebuah 'waktu' tersimpan segala jenis
peristiwa dan kejadian. Karena keagungan waktu inilah maka Allah
bersumpah dengannya. Dan memang Allah berhak bersumpah dengan apapun
yang dikehendakinya dari seluruh makhlukNya, sedangkan manusia hanya
boleh bersumpah dengan Allah dan nama-nama atau sifatNya yang mulia.

Terdapat banyak pemahaman para ulama tentang maksud 'Al-Ashr' yang
menjadi sumpah Allah dalam surah ini. Hasan Al-Bashri berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan 'Al-Ashr' adalah waktu petang, karena pada
waktu inilah berakhirnya segala aktifitas manusia, sehingga tinggal
menghitung untung dan rugi dari apa yang telah dilakukannya semenjak
pagi hingga waktu petang. Dalam konteks waktu, sebagian ulama
menyimpulkan bahwa biasanya Allah bersumpah dengan waktu dhuha dalam
konteks keberuntungan dan dengan waktu petang dalam konteks kerugian.

Makna lain dari kata 'Al-Ashr' yang masyhur adalah sholat Ashar.
Shalat Ashar merupakan sholat yang utama dan diperintahkan khusus oleh
Allah untuk dipelihara dan dijaga melalui firmanNya: "peliharalah oleh
kalian shalat-shalat kalian dan shalat wushtho, yaitu sholat Ashar".
(2: 238). Bahkan Rasulullah bersabda mengagungkan shalat yang satu ini
dalam salah satu haditsnya: "Barangsiapa yang tertinggal shalat Ashar,
maka ia seolah-olah kehilangan keluarga dan hartanya". Dalam riwayat
lain dinyatakan: "maka sia-sialah semua amalnya". (Diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Imam Ahmad). Disini Al-Biqa'i menemukan
korelasi yang indah antara lafadz 'insan' yang merupakan sebaik-baik
jenis makhluk Allah yang diciptakan dalam sebaik-baik kejadian
(bentuk) dengan lafadz "Ashr" yang merupakan waktu pilihan, ibarat
minuman jus yang dipilah dan diperas dari buah yang segar yang
diistilahkan dalam bahasa Arab 'Ashir.

Secara redaksional, bentuk nakirah (indifinitive) pada lafaz "khusr"
menunjukkan besarnya kerugian yang akan diderita oleh setiap manusia
dan juga untuk menghinakan manusia yang menderita kerugian tesebut,
karena kerugian itu meliputi kebinasaan diri dan usianya. Atau bentuk
nakirah juga menunjukkan umumnya kerugian tersebut. Seperti yang
dinyatakan oleh  Al-Alusi bahwa kerugian yang disebut oleh ayat
bersifat umum mencakup segala jenis kerugian; duniawi maupun ukhrawi.
Seperti kerugian dalam perniagaan, kerja-kerja manusia maupun
pemanfaatan usia yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah
swt. Apalagi bahwa pernyataan Allah tentang kerugian setiap manusia
dalam ayat ini diperkuat dengan dua huruf ta'kid (penegasan), yaitu
Inna yg berarti sesungguhnya dan La yg berarti benar-benar.

Keumuman ayat kedua dapat difahami dari lafadz 'insan' yang didampingi
oleh alif dan lam yang menunjukkan makna yang umum. Meskipun ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan 'manusia' pada ayat ini adalah
segolongan orang kafir seperti Al-'Ash bin Wa'il, Al-Walid bin
Al-Mughirah dan Al-Aswad bin Abdul Muthalib bin Al-Asad, namun tetap
umumnya lafadz lebih kuat daripada khususnya ayat yang terbatas pada
mereka yang telah menerima kerugian. Sehingga siapapun tanpa
terkecuali tidak akan bisa terlepas dari kerugian melainkan jika ia
berpegang teguh dengan ajaran yang terkandung pada ayat terakhir surah
ini, yaitu iman, amal shalih dan saling menasehati untuk menepati
kebenaran serta saling menasehati dalam kesabaran.

Iman dan amal shalih yang menjadi syarat pertama keluar dari kerugian
merupakan dua hal yang saling terkait, ibarat dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan. Artinya tidak berguna dan akan mati iman
seseorang tanpa amal shalih, begitu sebaliknya sia-sialah amal shalih
yang tidak berlandaskan iman. Dari iman berasal setiap cabang kebaikan
dan dengannya terkait setiap buah kebaikan. Oleh karena itu, Al-Qur'an
dengan tegas menghancurkan nilai seluruh amal perbuatan, selagi amal
perbuatan itu tidak didasarkan pada iman yang menjadi pendorong dan
penghubung dengan Sang Maha Wujud. "Dan orang-orang yg kafir, amal
perbuatan mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yg datar, yg
disangka air oleh orang yg dahaga, tetapi bila didatanginya air itu,
dia tdk mendapatinya suatu apapun".(AN-Nur: 39). Secara
impelementatif, Iman adalah gerak dan amal, pembangunan dan pemakmuran
menuju Allah. Ia bukan sesuatu yang pasif, layu dan bersembunyi di
hati nurani. Juga bukan sekedar kumpulan niat yang baik yang tidak
tercermin dalam bentuk perbuatan & gerak.

Ayat yang terakhir dan terpanjang dalam surah ini merupakan gambaran
kepedulian seorang mukmin dengan saudaranya tentang kebaikan. Saling
berpesan dalam kebenaran tentu sangat diperlukan, karena melaksanakan
kebenaran itu butuh bantuan orang lain. Saling berpesan berarti
mengingatkan, memberi dukungan, memotivasi dan menyadarkan. Dan
seseorang tidak akan mungkin mampu melaksanakan kebenaran dan kebaikan
yang sempurna secara personal, tanpa keterlibatan orang lain. Demikian
juga saling berpesan dengan kesabaran sangat diperlukan karena akan
bisa meningkatkan kemampuan, semangat dan perasaan kebersamaan.
Apalagi dalam meyakini, menjalankan dan menyeru kebenaran tadi bisa
jadi akan menghadapi hambatan, rintangan dan tantangan dalam beragam
bentuknya. Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan, "Kesabaran adalah
setengah dari (realisasi) iman seseorang". Disinilah urgensi
kepedulian seorang mukmin dengan suadaranya dalam dua hal yang saling
berkaitan; kebenaran dan kesabaran.

Yang menarik untuk dicermati mengenai tafsir surah ini adalah pendapat
Al-Wahidi dalam kitab tafsirnya Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-Aziz.
Beliau mengemukakan secara spesifik contoh mereka yang telah mendapat
kerugian dan keberuntungan berdasarkan urutan dalam mushaf. Abu jahal
merupakan representasi dari orang yang merugi. Abu Bakar merupakan
sosok yang sesuai dengan implementasi iman. Umar bin Khattab mewakili
orang-orang yang beramal shalih. Utsman bin Affan merupakan contoh
nyata dari mereka yang saling menasehati dalam kebenaran dan Ali bin
Abi Thalib identik dengan golongan yang saling menasehati dalam
kesabaran. Lebih lanjut As-Syanqithi dalam tafsir 'Adhwa'ul Bayan
mengemukakan Mafhum mukhalafah dari setiap ajaran dalam surah ini;
mafhum mukhalafah dari keberuntungan adalah kerugian, yaitu tdk
beriman (kafir), tidak beramal atau beramal buruk, tidak berpesan
dengan kebenaran atau berpesan tetapi dengan kebatilan serta tidak
berpesan dengan kesabaran atau senantiasa berkeluh kesah.

Sungguh setiap kita mendambakan kesuksesan, keberuntungan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Tidak ada jalan dan manhaj
lain melainkan mengamalkan kandungan surah ini secara totalitas
seperti yang pernah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah saw.
Disebutkan bahwa tidaklah dua orang sahabat Rasulullah bertemu,
melainkan salah seorang dari keduanya akan membacakan surah ini
sebelum berpisah, kemudian saling mengucapkan salam dan saling
berjanji serta berkomitmen untuk tetap berpegang teguh dengan iman dan
beramal shalih, saling berjanji untuk senantiasa berpesan dengan
kebenaran dan dengan kesabaran dalam menjalani kehidupan mereka.

http://www.dakwatuna.com/2010/agar-kita-tidak-merugi-tadabbur-surat-al-ashr/


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: