Kamis, 02 Desember 2010
Azyumardi Azra
Tidak diragukan lagi, toleransi dan kerukunan antaragama-atau
persisnya antarumat beragama-sering terganggu karena usaha penyebaran
agama yang agresif. Penyebaran agama tidak terlarang di Tanah Air.
Meski demikian, pemerintah telah menetapkan agar penyebaran agama
tidak menjadikan individu dan masyarakat yang telah memeluk agama
tertentu sebagai target pengalihan agama-apalagi secara agresif dengan
menggunakan cara-cara yang tidak pantas; menggunakan segala cara dan
bahkan tipu daya. Jika ini terjadi, tidak bisa lain, ketegangan dan
bahkan konflik sulit dielakkan dan tidak jarang membuat sulit aparat
keamanan.
Argumen yang tidak baru ini sesuai dengan analisis dan kesimpulan
policy briefing International Crisis Group (ICG) yang diumumkan pekan
silam (24/11/2010). Bertajuk 'Indonesia: Christianisation and
Intolerance', ICG menyimpulkan, serangkaian kejadian yang melibatkan
penggunaan kekerasan antarumat beragama di Bekasi terkait kasus gereja
dan jemaat Kristen HKBP sejak 2008 dan meningkat pada pertengahan 2010
merupakan backlash (reaksi balik) kalangan umat Islam terhadap
evangelisasi gereja Protestan fundamentalis yang terus meningkat di
Jawa Barat, khususnya di Bekasi. Ketakutan dan kemarahan kalangan
Islam memberikan justifikasi kepada kelompok-kelompok yang disebut ICG
sebagai 'fundamentalis' untuk melakukan mobilisasi massa (Muslim) dan
melakukan kekerasan terhadap gereja atau jemaat denominasi Kristen
tertentu.
Seperti dilaporkan ICG, Jawa Barat merupakan wilayah yang sangat cepat
pertumbuhannya bagi Kristen evangelis. Mengutip keterangan seorang
petinggi PGI, laporan ICG menyebut organisasi-organisasi besar
evangelis dengan dukungan dana asing menjadikan Jawa Barat dan Banten
sebagai target. Sebab, jika Kristenisasi sukses di kedua provinsi ini,
mereka mendapatkan pijakan lebih kuat di ibu kota negara, Jakarta.
Pertumbuhan itu juga terkait dengan dana besar, khususnya dari AS bagi
organisasi dan gereja evangelis guna melakukan evangelisasi di Jakarta
dan sekitarnya-Propinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten.
Laporan ICG juga menyebut beberapa organisasi evangelis yang sangat
aktif di wilayah ini. Ada 'Joshua Project' yang menjadikan suku Sunda
sebagai target khusus karena penduduk Kristennya kurang dua persen.
Kemudian, Lampstad (Beja Kabuhangan), didirikan seorang misionaris
Amerika pada 1969, yang memusatkan misinya pada 'evangelisme dan
penanaman gereja di antara orang-orang Sunda Jawa Barat'.
Selanjutnya, Partners International yang berpusat di Spokane,
Washington, yang dengan mitra lokalnya, mendukung Visi Indonesia
1:1:1, yaitu satu gereja di satu desa dalam satu generasi. Untuk
mencapai tujuan ini, Partners International bekerja melalui
Evangelical Theological Seminary of Indonesia (ETSI) yang memiliki
sekitar 30 cabang di seluruh Indonesia.
Lalu, ada pula organisasi Campus Crusade for Christ yang berbasis di
Orlando, Florida, dengan cabang lokalnya, Lembaga Pelayanan Mahasiswa
Indonesia (LPMI). Lembaga ini pernah menimbulkan kehebohan ketika
dalam kegiatan pelatihan mereka pada Desember 2006 di Batu, Malang,
seorang pendeta meletakkan Alquran di lantai dan meminta peserta
pelatihan mengelilinginya untuk mengusir 'roh jahat' di dalamnya.
Pendeta dan beberapa peserta pelatihan tersebut kemudian ditahan Polri
atas alasan penodaan (blasphemy) terhadap Alquran dan Islam. Menurut
laporan ICG, LPMI juga aktif di wilayah Jawa Barat.
Organisasi-organisasi evangelis yang berkomitmen mengkristenkan
orang-orang Islam mendirikan apa yang disebut laporan ICG sebagai
'shops' ('toko'), termasuk di Bekasi. Di wilayah Bekasi, ada Yayasan
Mahanaim yang disebut-sebut terkaya dan teraktif. Ada pula Yayasan
Bethmidrash Talmiddin pimpinan seorang Kristen yang awalnya Muslim,
yang mewajibkan setiap tamatan sekolahnya mengkristenkan sedikitnya
lima Muslim. Dalam evangelisasinya, yayasan ini menggunakan kaligrafi
Arab pada sampul buklet, seolah-olah isinya tentang Islam.
Pendekatan dan cara-cara tidak fair-yang banyak sekali macamnya-bisa
diduga menimbulkan kegusaran umat Muslimin sehingga mendorong
organisasi dan kelompok Islam melakukan apa yang disebut laporan ICG
sebagai 'fight back'-perlawanan balik. Di antaranya yang paling aktif
adalah DDII, KOMPAK, FUI, FPI, Forum Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB),
GP, Persis dan banyak lagi.
Dengan perkembangan ini, tidak heran kalau tensi dan ketegangan antara
kedua pihak meningkat, yang bahkan menjadi kekerasan. Seperti
disimpulkan ICG, 'Kristenisasi memiliki potensi mendorong peningkatan
ekstremisme dan menyatukan (apa yang disebut ICG sebagai) 'nonviolent
and violent Islamists'.
Karena itu, jika toleransi dan kerukunan antarumat beragama dapat
terjaga di Indonesia, patutlah penyiaran agama dilakukan dengan tetap
mempertimbangkan sensitivitas agama dan sosial; tidak dengan cara-cara
yang menimbulkan keberatan, kegusaran, dan bahkan kemarahan pihak
lain. Meski kemarahan itu punya dasar, tetap saja tidak ada
justifikasi untuk terjerumus ke dalam kekerasan; cara-cara damai
tetaplah harus ditempuh.
sumber:
http://koran.republika.co.id/koran/0/124279/Kristenisasi_dan_Toleransi
---
lampiran: artikel International Crisis Group (www.crisisgroup.org)
http://www.crisisgroup.org/en/regions/asia/south-east-asia/indonesia/B114-indonesia-christianisation-and-intolerance.aspx
Indonesia: Christianisation and Intolerance
Asia Briefing N°114
24 Nov 2010
OVERVIEW
Religious tolerance in Indonesia has come under increasing strain in
recent years, particularly where hardline Islamists and Christian
evangelicals compete for the same ground. Islamists use
Christianisation�Ea term that generally refers both to Christian
efforts to convert Muslims and the alleged growing influence of
Christianity in Muslim-majority Indonesia �Eas a justification for
mass mobilisation and vigilante attacks. The tensions brought about by
these clashing fundamentalisms are nowhere clearer than in Bekasi, a
suburb of Jakarta, where a series of disputes since 2008 over church
construction, alleged mass conversion efforts and affronts to Islam
have led in some cases to violence. The Indonesian government needs a
strategy to address growing religious intolerance, because without
one, mob rule prevails. Local officials address each incident only
when it gets out of hand and usually by capitulating to whoever makes
the most noise. Every time this happens, the victors are emboldened to
raise the stakes for the next confrontation.
Christian-Muslim tensions have increased in Indonesia for several reasons:
-Failure of the government to prevent or effectively prosecute
incitement and intimidation against religious minorities.
-Growth of Islamic vigilante organisations and various like-minded
coalitions that have become a public order menace.
-Aggressive evangelical Christian proselytising in Muslim strongholds.
-Effective devolution of power through decentralisation to local
authorities, even on issues such as religious affairs which are
supposed to be the preserve of the central government.
-Reluctance to prosecute hate speech�Epartly out of confusion over
acceptable limits on legitimate free expression.
-Lack of any serious effort to promote tolerance as a national value.
The incidents in Bekasi exemplify some of the dynamics involved.
Islamist organisations like the Indonesian Islamic Propagation Council
(Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, DDII) and Islamic Student Movement
(Gerakan Pemuda Islam, GPI) have long been active there, both with a
strongly anti-Christian streak. Islamic Defenders Front (Front Pembela
Islam, FPI) has had a strong presence for the last decade, and recent
years have seen the formation of a variety of anti-apostasy
coalitions. Bekasi also has a well-entrenched salafi jihadi community,
and Jemaah Ansharut Tauhid (JAT), the organisation established by the
radical cleric Abu Bakar Basyir in 2008, held its inaugural ceremony
at the dormitory for Mecca-bound pilgrims there.
On the Christian side, several evangelical organisations committed to
converting Muslims have also set up shop in Bekasi, some funded
internationally, others purely home-grown. Yayasan Mahanaim, one of
the wealthiest and most active, is particularly loathed by the
Islamist community because of its programs targeting the Muslim poor.
Another, Yayasan Bethmidrash Talmiddin, run by a Muslim convert to
Christianity, uses Arabic calligraphy on the cover of its booklets,
suggesting they are Islamic in content, and requires every student at
its school as a graduation requirement to convert five people.
While officials and legislators talk of the need for religious
harmony�E there is a sense that this can be legislated or even
imposed, rather than requiring sustained time and effort to understand
how tensions have grown and developing programs designed to reduce
them. Interfaith dialogues are not the answer; with a few exceptions,
they are often little more than feel-good talk-fests that do not
grapple with real problems.
Among the many reasons for developing a strategy to curb communal
tensions, one deserves particular attention: the issue of
Christianisation�Emay be driving non-violent and violent extremists
together. Until recently, the attachment of salafi jihadis �Ethe
violent extremists �Eto a more internationalist agenda led them to
generally steer clear of local anti-apostasy�Eactivists. But the loss
of other local drivers for recruitment, particularly the end of
sectarian violence in Poso, Central Sulawesi, has made
Christianisation more attractive as a rallying cry. In Palembang,
South Sumatra in 2008, a fugitive Singaporean member of Jemaah
Islamiyah (JI) recruited members of an anti-apostasy group called
FAKTA by first persuading them that murder, rather than non-violent
advocacy, was the only way to stop Christian proselytisation. And in
September 2010, dozens of Acehnese on trial for taking part in a
terrorist training camp cited as one of their motivations concern over
Christianisation in Aceh.
Terrorist networks in Indonesia have grown substantially weaker and
more divided over the last five years, but systematic exploitation of
the fear that Christians are making inroads on Islam might bring them
new followers, including from among the vigilantes that they have
hitherto largely shunned.
Jakarta/Brussels, 24 November 2010
------------------------------------
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar