Selasa, 07 Desember 2010

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3263

Messages In This Digest (2 Messages)

Messages

1a.

Re: Segenggam Gundah (Ode untuk Para Ayah)

Posted by: "riza almanfaluthi" almanfaluthi@gmail.com

Mon Dec 6, 2010 4:17 am (PST)



Itu tulisannya Bayu Gawtama.
Kebanyakan blog atau situs yang menayangkan tulisan ini tanpa mencantumkan
sumbernya.
Contohnya:
http://kampong.blogdetik.com/2010/08/13/segenggam-gundah-untuk-para-ayah/comment-page-1/#comment-37
dan ini:
http://www.customsnext.com/?neXt=detiltulisan&key=67
yang di atas malah ngaku-ngaku tulisannya habib.
Pak Pramono Dewo diminta pertanggungjawabannya.
:-)

Pada 5 Desember 2010 15.36, ukhti hazimah <ukhtihazimah@yahoo.com> menulis:

>
>
> Saya pernah membaca tulisan ini di sebuah milis lain. Apakah ini tulisan
> Pak Dewo? atau sekadar copas? Kalau copas mungkin lebih baik jika diberikan
> keterangan sumber.
>
> TFS Pak,
> :sinta:
>
> "Keindahan selalu hadir saat manusia berpikir positif"
>
> *|Toko Buku Online| http://parcelbuku.com*
> http://sinthionk.multiply.com <http://sinthionk.multiply.com>|Blog Cerita|<http://jendelakumenatapdunia.blogspot.com/>
> |Blog Resensi| http://jendelakumenatapdunia.blogspot.com<http://jendelakumenatapdunia.blogspot.com>
> YM : SINTHIONK
>
>
>
> --- On *Sat, 12/4/10, pdewo <pdewo@yahoo.com>* wrote:
>
>
> From: pdewo <pdewo@yahoo.com>
> Subject: [sekolah-kehidupan] Segenggam Gundah (Ode untuk Para Ayah)
> To: "Sekolah Kehidupan" <sekolah-kehidupan@yahoogroups.com>
> Date: Saturday, December 4, 2010, 1:46 AM
>
>
>
>
> Segenggam Gundah (Ode untuk Para Ayah)
>
> Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat
> seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah, beras
> sudah habis loh...," ujar isterinya. Suaminya hanya tersenyum dan bersiap
> melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam
> rumah, "Ayah, besok Agus harus bayar uang praktek."
>
> "Iya...," jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi
> bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.
>
> Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam, "Besok beliin
> lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap
> anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah
> kesukaannya itu.
>
> Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, "Jangan lupa, pulang beliin
> susu Nadia ya". Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit
> berkelakar, "Ini, anak siapa minta susunya ke siapa". Saya pun sempat
> berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah
> satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong,
> tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?
>
> Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap
> langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang
> sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si
> kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di
> warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain
> yang kerap membuatnya terlamun.
>
> Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum,
> meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah
> bereskan," meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari
> jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.
>
> Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali
> gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat
> lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan
> rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat,
> bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.
>
> Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil
> menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan
> gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang
> pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang
> Ayah tak pernah terbeli.
>
> Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan
> sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat
> curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu
> dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah?
> Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.
>
> Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan
> Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana,
> lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur tak
> berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah
> dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali
> lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti
> ia tuntaskan.
>
> Sungguh, di antara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan
> sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya
> kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap
> sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama
> pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu
> persatu gundah yang masih ia genggam. Ayah yang ini, masih percaya bahwa
> Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat
> gundah-gundah yang tak pernah usai.
>
> Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus
> menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan
> gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau
> berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak
> dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa
> setelah tertangkap basah mencopet.
>
> Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum.
> Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan
> melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga.
> Barakallah Fiikum...
>
> Pramono Dewo
>
>
>
>

--
http://dirantingcemara.wordpress.com/
2a.

Re: [Catcil] Ketika Mata dan Hati Melihat Berbeda

Posted by: "Yons" kolumnis@gmail.com   freelance_corp

Mon Dec 6, 2010 4:33 am (PST)



Kadang kita memang perlu ya Bang untuk bisa
"Melihat dengan cara yang berbeda"

Dan naik angkutan umum memang kadang kita bisa mendapatkan banyak sekali ispirasi. Ini yang juga saya alami minggu-minggu terakhir ini.

Karena si mio imut di gondol maling, terpaksa saya kembali naik angkutan umum. Alhamdulillah, bersyukur akhirnya saya kesampaian naik bas we di Jakarta ini. 3 kali bro udah naik bas we :-)Yang belum kesampaian naik KRL.

Walau, jujur, naik bas we bener-bener nggak bisa duduk. Mana mungkin bisa duduk kalau di depan ada ibu-ibu atau cewek cakep bergelantungan :-)

intermezo pas ke 3 kali itu sebenere ada gadis cakep banget, saya sempet diajak ngobrol banyak banget, sialnya saya lupa tanya nomer HP nya :-(. Akhirnya kisah "Cintaku mekar di bas we" gak jadi dech. Alah ngomong apa sih gw :-p

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
>
> *Ketika Mata dan Hati Melihat Berbeda*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> Setengah tahun kembali menjadi pekerja kantoran membuat hidup saya berbeda
> daripada waktu-waktu sebelumnya sewaktu masih menjadi penerjemah lepas penuh
> waktu. Salah satunya adalah kesibukan pagi yang berbeda. Jika sebelumnya, di
> pagi hari, saya masih bisa bersantai baca koran dengan segelas teh manis
> hangat di tangan. Atau menemani Alham, anak tunggal saya usia dua tahun,
> bermain bola di halaman depan sambil tersenyum menatap para tetangga
> tergopoh-gopoh berangkat kerja. Kini, saya juga ikut tergopoh-gopoh
> berangkat pagi, mengejar kereta ke kantor. Mungkin ada di antara para
> tetangga yang kini tersenyum menatap saya yang tergopoh-gopoh pergi. Hidup
> memang selalu dan kadang harus berubah.
>
>
>
> Barangkali, seloroh para pengguna kereta, yang tak pernah berubah adalah
> tabiat kereta api di Jakarta. Amat sangat jarang sekali ia tepat waktu.
> Lebih sering terlambat. Dan di pagi berhujan deras itu terjadilah keajaiban
> Tuhan. KRL (Kereta Rel Listrik) Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang
> Bekasi) jurusan Tanah Abang itu datang lebih cepat 10 menit dari jadwal
> semestinya yang pukul 07.50 WIB. Sayangnya saya termasuk yang tak beruntung
> menikmati keajaiban tersebut. Meskipun saya sudah lari *sprint* 200 meter
> untuk mengejar si *Southline Ciliwung* berwarna oranye itu, tetap saja si *
> Ciliwung* meninggalkan saya. Ah, jadi teringat judul film* *lawas, *Pacar
> Ketinggalan Kereta. *Meski tak ada pacar yang menunggu saya di kereta itu.
> Yang ada mantan pacar di rumah yang tentu di jam-jam itu sedang sibuk
> menyuapi Alham sarapan sambil naik odong-odong favoritnya.
>
>
>
> Tapi hidup, terlebih lagi di ibukota, tak boleh menyerah. Sel-sel otak harus
> diputar dan diulur hingga panjang akal jadinya. Setelah memutar otak (tentu
> tidak dalam pengertian sebenarnya), saya memutuskan untuk menuju kantor,
> sebuah firma hukum di bilangan Sudirman, dengan terlebih dulu naik KRL
> jurusan Kota, yang saat itu merapat ke Stasiun Cawang. Karena KRL jurusan
> Tanah Abang – yang sejalur dengan rute ke kantor – baru ada setengah jam
> lagi (tentu di atas kertas, karena praktiknya beda lagi).
>
>
>
> Sesuai rencana, perjalanan ke Kota lancar. Namun rasanya terlalu mudah hidup
> di Jakarta jika terlalu mudah seperti itu adanya. Bus Transjakarta, lazim
> disebut *Busway*, tak muncul-muncul hingga nyaris dua puluh menit. Padahal,
> menuju ke Sudirman, saya harus naik *Busway* dari Kota hingga halte Dukuh
> Atas. Antrean pun mengular hingga ke ujung pintu masuk halte. Duh, kemana ya
> *ahlinye??*
>
>
>
> Syukurlah, ketika saya mulai berdiri terkantuk-kantuk dengan ransel besar di
> dada dan punggung pegal didesak-desak antrean, *Busway* datang. Terpaan
> sejuk hawa dari *air conditioning* menyejukkan badan meski hati masih
> gondok. Terbayang harus mengabsen dengan sistem sidik jari (*finger print*)
> di bawah tatapan teman-teman kantor. Terlambat 1,5 jam *gitu lho*!!
>
>
>
> Setelah merelakan tempat duduk saya kepada seorang ibu-ibu etnis Tionghoa
> yang berpakaian *a la* biksu Shaolin (ia juga berucap,"*Xie xie*."), saya
> berdiri di dekat jendela menatap pemandangan deretan *arcade *khas paduan
> budaya Belanda dan Cina di sepanjang jalan Gajah Mada.
>
>
>
> Selepas Harmoni, ketika *Busway* melambat karena terhalang belasan motor dan
> mobil pribadi di depannya, di bawah halte, tampak seorang gelandangan
> berpakaian kaos lusuh robek-robek berwudhu dengan air kali yang hitam dan
> bau. Dari gerakan wudhunya yang tak beraturan, saya duga ia kurang waras.
> Kemudian si gelandangan, di atas lembaran kardus, melakukan gerakan sholat,
> yang juga berantakan. Namun ia melakukannya dengan khusyuk kendati banyak
> mata tertuju kepadanya. Mungkin tatapan disertai beragam rasa: jijik,
> kasihan atau iba.
>
>
>
> Semula saya bergidik melihat ia berwudhu dengan air kali yang bukan saja tak
> menyucikan tapi juga sangat kotor dan bau. Yang ada dalam hati saya adalah
> betapa malangnya orang itu, yang harus sholat dalam kondisi memprihatinkan
> dan dengan pengetahuan sholat yang terbatas pula.
>
>
>
> Tapi, Allah Maha Adil, si gelandangan rupanya adalah prisma, di mana setiap
> orang dapat melihat keindahannya dalam berbagai sisi yang berbeda.
>
>
>
> Seorang bapak etnis Tionghoa – yang berdasi dan menenteng tas koper – yang
> berdiri di samping saya tampak terkagum-kagum melihat si gelandangan. Ia
> mencolek lengan petugas pengaman busway yang berdiri di depannya. "Eh, kamu
> lihat itu? Hebat ya dia!" puji si *Engkoh*. "Jarang-jarang orang kayak gitu
> di jaman sekarang. Tetap berusaha sholat."
>
>
>
> Saya tertegun. Merasa tertampar dalam hati. Mengapa saya tidak melihat si
> gelandangan dari sisi yang sama seperti yang si *Engkoh* – yang tampaknya
> seorang non-Muslim -- lihat? Mengapa yang saya lihat adalah gelandangan
> malang dan kurang waras yang berusaha sholat? Mengapa bukan seorang hamba
> Allah yang berusaha melaksanakan sholat sunnah Dhuha dengan ikhlas dengan
> segala keterbatasannya?
>
>
>
> Ah, mata dan hati memang kadang melihat berbeda.
>
>
>
> *Sudirman, jelang 1 Muharam 1432 H.*
>
> * *
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> --
> *- Nursalam AR -
> **
> www.kintaka.wordpress.com*
> *
> - Everything's gonna be alright!
> *
> *
> *
>

Recent Activity
Visit Your Group
Sell Online

Start selling with

our award-winning

e-commerce tools.

Group Charity

i-SAFE

Keep your kids

safer online

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web
MARKETPLACE

Be a homeroom hero! Help Yahoo! donate up to $350K to classrooms!


Find useful articles and helpful tips on living with Fibromyalgia. Visit the Fibromyalgia Zone today!


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

Tidak ada komentar: