Selasa, 22 Maret 2011

Re: [daarut-tauhiid] Mohon Pencerahan

 

Semoga bermanfaat

[Milis_Iqra] Fwd: [Tauziyah] Suami Istri Cerai, Apa Hak Istri
---------- Forwarded message ----------
 
 
Suami Istri Cerai, Apa Hak Istri : Gono-gini atau Warisan?
Assalaamu 'alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu,

Ustadz yang berbahagia, saya mau menanyakan tentang hubungan
suami-isteri yang menyangkut teman saya, di mana teman tersebut
menanyakan kepada saya tetapi karena saya takut salah maka saya tidak
memberikan jawabannya.

Pertanyaannya:

1. Apakah dalam hukum islam ada aturan yang mengatur tentang harta
gono-gini apabila suami isteri bercerai?
2. Bagaimana hukumnya harta warisan? Apakah apabila suami isteri
bercerai, hartanya bisa langsung di wariskan ke anak-anak sedangkan
kedua orang tua masih hidup?
3. Bagaimana statusnya apabila di atas tanah orang tua (almarhum) yang
belum di bagi waris kita bangun rumah (suami isteri) tetapi keduanya
bercerai, apakah tanah/bangunan tersebut bisa dikatakan harta gono gini
ataupun layak di bicarakan oleh salah satu pihak?
4. Bagaimana hukumnya hak asuh anak apabila perceraian kedua suami
isteri yang disebabkan oleh isteri yang selingkuh tetapi anak lebih
dekat dengan ibu?

Mohon pak ustadz membantu saya untuk menanggapi pertanyaan saya ini,
atas kesediaan bapak ustadz saya ucapkan terima kasih.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita
umat islam semuanya. Amin.

Duanrey

Jawaban:

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Al-hamdulillah, wash-shalatu wassalamu 'ala rasulillah, wa ba'du

1. Harta gono gini dalam arti bahwa harta suami harus dibagi kepada
istri pada saat perceraian tidak dikenal di dalam Islam. Kalau ada
memang ingin memberikan sebagian harta, sifatnya hanya anjuran dan bukan
ketentuan apalagi kewajiban. Yang benar adalah bila seorang suami
menceraikan isterinya, maka kewajiban untuk memberi nafkah kepada mantan
isteri dengan sendirinya terputus. Sehingga dalam hal ini, isteri memang
tidak akan mendapatkan harta apapun dari mantan suaminya, tidak berupa
gono gini apalagi harta warisan.

Mengapa demikian?

Sebab selama seorang isteri berumah tangga dengan suami, isteri sudah
mendapatkan banyak harta. Pertama, sejak pertama kali menikah. Pihak
suami telah dibebankan dengan kewajiban memberi harta berupa mahar. Dan
kecenderungan masyarakat kita terhadap harta mahar ini agak kurang
terarah. Sebab banyak orang yang memandang harta mahar atau maskawin ini
sekedar sebuah simbol belaka. Bahkan ada yang hanya memberi seperangkat
alat sholat, padahal hartanya berlimpah. Ada juga yang memberi harta
mahar dengan kesan main-main, yaitu nilainya hanya Rp 2.005 (dua ribu
lima rupiah).

Padahal di balik kewajiban memberi harta mahar, ada hikmah terpendam
yang sangat menguntungkan pihak wanita. Pasalnya, sebelum dirinya
menjadi halal bagi suaminya, suami wajib menyerahkan maskawin yang
seharusnya masuk akal dan bisa dijadikan seolah sebagai 'harta jaminan'.
Seharusnya, para wanita menjadikan maskawin ini sebagai 'harta jaminan'
yang memang bisa menjamin hidupnya, bila dicerai sewaktu-waktu. Tidak
mengapa bila nilainya memang 'masuk akal' untuk dijadikan sebagai
jaminan hidup.

Misalnya, maskawin itu berupa rumah kontrakan petak 20 pintu dengan
nilai setoran Rp 500.000 per bulan. Karena menjadi maskawin, maka semua
uang setorannya menjadi hak istri. Atau 20 unit sepeda motor yang
dijadikan ojek dengan setoran sehari Rp 20.000. Sehingga dalam sehari,
istri akan mendapatkan uang setoran ojek sebesar Rp 400.000,- atau
sebulan Rp 8.000.000. Nah, maskawin yang seperti ini tentu akan sangat
masuk akal, bukan? Seorang wanita tidak perlu meributkan harta gono gini
lagi bila suatu saat tiba-tiba diceraikan oleh suaminya. Sebab
maskawinnya memang sesuatu yang berharga.

Bolehkah meminta maskawin yang 'masuk akal' seperti itu?

Pada dasarnya setiap wanita berhak untuk menetapkan nilai nominal
maskawin yang memang menjadi haknya. Bahkan bisa suami belum mampu
memberikannya secara tunai, Islam mengenal sistem cicilan. Artinya,
tidak mengapa untuk di tahun pertama pernikahan jumlah motor ojeknya
baru satu buah, masuk tahun ke dua menjadi 2 buah dan demikian
seterusnya hingga 20 tahun kemudian lunaslah maskawinnya itu.

Semua itu dengan syarat bila perceraian datang atas inisiatif suami.
Tetapi kalau keinginan cerai datang dari istri, maka hukumnya menjadi
khulu'. Dan dalam kasus khlu', semua maskawin yang menjadi jaminan itu
wwajib dikembalikan kepada suami. Disinilah letak keadilan dalam Islam.

Bukankah ada hadits yang menyebutkan bahwa sebaik-baik mahar adalah yang
paling murah?

Memang benar demikian, tetapi esensi hadits ini justru ingin menunjukkan
bahwa seorang wanita yang paling baik itu sama sekali tidak punya
keinginan atas harta. Sehingga dia rela hanya 'dibayar' dengan murah
dalam masalah maskawinnnya. Namun hadits ini tidak berarti mewajibkan
setiap wanita untuk 'menjual murah' nilai maskawinnya. Bahkan ketika
Khalifah Umar bin Al-Khattab ingin mengambil kebijakan pembatasan nilai
maksimal maskawin, beliau langsung diingatkan untuk tidak melakukannnya.
Sebab hak itu memang sepenuhnya milik wanita. Maka khalifah mengurungkan
niatnya.

2. Perceraian suami istri tidak akan menyebabkan terjadinya pewarisan
harta. Sebab diantara syarat pembagian warisan adalah kepastian matinya
pemilik harta. Dalam hal ini suami masih hidup, jadi tidak mungkin
hartanya dibagi-bagi sebagai warisan. Bila suatu saat suami meninggal,
pastilah anak-anak akan mendapat warisan dari ayah mereka. Sementara
mantan istri yang sudah dicerai, tentu sama sekali tidak punya hak
apapun dari harta mantan suami. Sebab antara mereka sudah tidak ada
hubungan apa-apa lagi.

3. Tanah yang belum dibagi waris tentu bukan hak suami. Kalau pun
dibolehkan untuk mendirikan rumah, maka harus diperjelas statusnya,
apakah sewa atau hanya pinjam. Nanti kalau sudah ada pembagian warisan
yang benar, dan ternyata suami memang mendapatkan jatah berupa tanah
yang sekarang sudah berdiri rumahnya, berarti masalahnya selesai. Tapi
kalau ternyata jatah tanah dari warisan itu lebih kecil dari yang
dipinjamnya saat ini, suami harus membelinya dari saudaranya yang berhak
atas sebagain tanah itu. Bila saudaranya tidak menerima, terpaksa dia
harus membongkar sebagian rumahnya atau malah menjual sebagiannya.

4. Bila anak masih kecil dan secara logika masih belum bisa menentukan
sikap untuk ikut siapa, maka secara hukum Islam anak itu ikut ibunya.
Dengan pertimbangan bahwa umumnya seorang anak kecil akan lebih
membutuhkan ibu ketimbang ayah. Tapi bila bila ibu itu menikah lagi,
maka anak itu ikut ayahnya. Sebab suaminya yang baru berhak untuk tidak
menerima ada anak orang lain di rumahnya.

Sedangkan bila anak itu sudah agak besar dan dianggap bisa memilih
antara ikut ibu atau ayahnya, maka anak itu berhak menentukan sendiri
hidupnya. Dan kami kita seperti ini pula yang berlaku di dalam hukum
negara.

Wallahu a'lam bish-shawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa
barakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.

________________________________
From: Aisyah Humaira AK <aisyah_humaira_ak@yahoo.com>
To: Daarut Tauhiid <daarut-tauhiid@yahoogroups.com>
Sent: Monday, March 21, 2011 11:10 AM
Subject: [daarut-tauhiid] Mohon Pencerahan

 
Dear Moderator,
Aku mohon utk post pertanyaan aku ini, mudah2an ada pengalaman ato into yg bisa di share-kan ke aku ttg masalah yg Lagi aku hadapi. Mohon maaf bila agak panjang.
 
Ini menyangkut aset/rumah yg 'tergantung' sampai saat ini.
1-2tahun pernikahan, kami sepakat mengambil rumah dgn pengajuan Kredit ke bank. Kita sepakat utk menggunakan nama aku atas rumah tsb, dgn kondisi saat itu aku yg bekerja disini & Lbh mudah dalam hal surat menyurat, suami saat itu bekerja di Luar negeri yg agak sulit dalam hal berkas2.
 
Ternyata pernikahan kami tdk bisa bertahan lama, alhasil kami bercerai stlh 3thn pernikahan. Saat di Pengadilan Agama, kami tdk membahas ttg 'harta gono gini', karena aku+klrg fikir kita bisa bahas secara kekeluargaan ttg itu. Tapi ternyata malah jadi pelik. Apalagi masih ter-sangkut cicilan di bank.
Walau rmh a/n aku, cicilan di Bank a/n suami & sampai sekarang Alhamdulillah beliau masih trs membayar cicilan rmh tsb.
 
Cuma yg jadi masalah, rmh itu msh a/n aku & suami berharap bisa 'balik nama' a/n beliau. Berita terakhir, karena masih ada sangkutan/cicilan ke Bank, jadi kami tdk bisa 'balik nama' sampai cicilan rmh tsb lunas. Option lain, harus ada pihak ketiga yg se-olah membeli rmh tsb (over credit*) & terjual kepada org ketiga tsb. Akhirnya kita pending.
Tapi berita terbaru, beliau menemukan Notaris yg bisa proces 'balik nama' rmh tsb, entah bagaimana ceritanya, aku ikutin saja mau nya, biar cepat selesai.
 
Ada beberapa info simpang siur ttg Harta gono gini ini.. Aku juga agak bingung, mana yg benar. Cuma aku juga tdk mau lepas begitu saja, klo memang ternyata ada hak aku disitu.
Yang jadi pertanyaan aku, adakah hukum2 nya ttg pembagian rmh tsb...?
Baik secara agama atau hukum negara...?
Terus terang, aku tdk ada andil sama sekali dlm pembelian rmh tsb, uang/biaya yg keluar utk rmh tsb 100% suami yg membayar. Cuma karena aku istri yg tinggal & ada disini (menempati*) rmh tsb, jadi rmh a/n aku.
 
Bagaimana menurut para ahli yg ada di milist ini ttg pembagian nya, adakah hak buat aku disini...?
Oh iya, kami tdk memiliki anak di pernikahan kami itu & sampai sekarang aku blm mau menikah dulu.
Mohon pencerahannya baik secara agama & hukum negara.
Sbelum & sesudah nya, Terima kasih atas info & saran nya...

AISYAH  HUMAIRA  AK.

[Non-text portions of this message have been removed]

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: