Kamis, 24 Maret 2011

Re: [daarut-tauhiid] Mohon Pencerahan

pendapat lain mengatakan berbeda dengan ustadz ahmad sarwat,

harta gono gini dikenal dalam syariat islam.

masalah harta gono gini adalah masalah dalam rumah tangga yang tidak
dilakukan pemisahan antara harta suami dan harta istri, sehingga saat
bercerai atau ada kematian (terjadi waris mewarisi) perlu dipisahkan
terlebih dahulu antara mana harta suami dan mana harta istri.

hal tersebut berkaitan dengan :
1. mas kawin
2. penghasilan istri bila ia memiliki usaha dan atau pekerjaan selama
menjalani rumah tangga
3. hak nafkahnya dari suami yang seharusnya menjadi milik istri secara
pribadi yang selama pernikahan (rumah tangga) tidak dipisahkan secara tegas

jadi, terlalu sempit apabila hanya dinilai melalui urusan mas kawin saja.

gono gini tidak berlaku apabila saat berumah tangga telah dilakukan
pemisahan yang tegas antara yang mana harta suami dan yang mana harta istri.

mas kawin yang murah dalam hadits membuka ruang pernikahan yang luas,
sedangkan apabila mas kawin dilakukan seperti yang diceritakan oleh ustadz
ahmad sarwat, maka kemungkinan tertunda bahkan tidak menikah menjadi sangat
besar terjadi di kalangan ekonomi menengah ke bawah.

mas kawin bukanlah jaminan dari suami kepada istrinya.

masalah harta dan nafkah pernikahan ini harus pula dikaitkan dengan masalah
waris yang berkaitan dengan sistem kekerabatan dalam Islam, sehingga tidak
dipahami sempit sebatas adanya mas kawin saja.

kemudian, berkaitan hak asuh anak :
anak yang dipandang belum bisa menentukan sendiri pada dasarnya ikut kepada
ibu.
namun bapak bisa mengambilnya bila bapak bisa menunjukkan kepada pengadilan
bahwa ibu memiliki cacat moral dalam pengasuhan anak, sehingga hakim
memutuskan pengalihan hak asuh dari ibu.


Pada 22 Maret 2011 14:24, suyudi karsohutomo <suyudi_krdw@yahoo.com>menulis:

>
>
> Semoga bermanfaat
>
> [Milis_Iqra] Fwd: [Tauziyah] Suami Istri Cerai, Apa Hak Istri
> ---------- Forwarded message ----------
>
>
> Suami Istri Cerai, Apa Hak Istri : Gono-gini atau Warisan?
> Assalaamu 'alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu,
>
> Ustadz yang berbahagia, saya mau menanyakan tentang hubungan
> suami-isteri yang menyangkut teman saya, di mana teman tersebut
> menanyakan kepada saya tetapi karena saya takut salah maka saya tidak
> memberikan jawabannya.
>
> Pertanyaannya:
>
> 1. Apakah dalam hukum islam ada aturan yang mengatur tentang harta
> gono-gini apabila suami isteri bercerai?
> 2. Bagaimana hukumnya harta warisan? Apakah apabila suami isteri
> bercerai, hartanya bisa langsung di wariskan ke anak-anak sedangkan
> kedua orang tua masih hidup?
> 3. Bagaimana statusnya apabila di atas tanah orang tua (almarhum) yang
> belum di bagi waris kita bangun rumah (suami isteri) tetapi keduanya
> bercerai, apakah tanah/bangunan tersebut bisa dikatakan harta gono gini
> ataupun layak di bicarakan oleh salah satu pihak?
> 4. Bagaimana hukumnya hak asuh anak apabila perceraian kedua suami
> isteri yang disebabkan oleh isteri yang selingkuh tetapi anak lebih
> dekat dengan ibu?
>
> Mohon pak ustadz membantu saya untuk menanggapi pertanyaan saya ini,
> atas kesediaan bapak ustadz saya ucapkan terima kasih.
>
> Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita
> umat islam semuanya. Amin.
>
> Duanrey
>
> Jawaban:
>
> Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
> Al-hamdulillah, wash-shalatu wassalamu 'ala rasulillah, wa ba'du
>
> 1. Harta gono gini dalam arti bahwa harta suami harus dibagi kepada
> istri pada saat perceraian tidak dikenal di dalam Islam. Kalau ada
> memang ingin memberikan sebagian harta, sifatnya hanya anjuran dan bukan
> ketentuan apalagi kewajiban. Yang benar adalah bila seorang suami
> menceraikan isterinya, maka kewajiban untuk memberi nafkah kepada mantan
> isteri dengan sendirinya terputus. Sehingga dalam hal ini, isteri memang
> tidak akan mendapatkan harta apapun dari mantan suaminya, tidak berupa
> gono gini apalagi harta warisan.
>
> Mengapa demikian?
>
> Sebab selama seorang isteri berumah tangga dengan suami, isteri sudah
> mendapatkan banyak harta. Pertama, sejak pertama kali menikah. Pihak
> suami telah dibebankan dengan kewajiban memberi harta berupa mahar. Dan
> kecenderungan masyarakat kita terhadap harta mahar ini agak kurang
> terarah. Sebab banyak orang yang memandang harta mahar atau maskawin ini
> sekedar sebuah simbol belaka. Bahkan ada yang hanya memberi seperangkat
> alat sholat, padahal hartanya berlimpah. Ada juga yang memberi harta
> mahar dengan kesan main-main, yaitu nilainya hanya Rp 2.005 (dua ribu
> lima rupiah).
>
> Padahal di balik kewajiban memberi harta mahar, ada hikmah terpendam
> yang sangat menguntungkan pihak wanita. Pasalnya, sebelum dirinya
> menjadi halal bagi suaminya, suami wajib menyerahkan maskawin yang
> seharusnya masuk akal dan bisa dijadikan seolah sebagai 'harta jaminan'.
> Seharusnya, para wanita menjadikan maskawin ini sebagai 'harta jaminan'
> yang memang bisa menjamin hidupnya, bila dicerai sewaktu-waktu. Tidak
> mengapa bila nilainya memang 'masuk akal' untuk dijadikan sebagai
> jaminan hidup.
>
> Misalnya, maskawin itu berupa rumah kontrakan petak 20 pintu dengan
> nilai setoran Rp 500.000 per bulan. Karena menjadi maskawin, maka semua
> uang setorannya menjadi hak istri. Atau 20 unit sepeda motor yang
> dijadikan ojek dengan setoran sehari Rp 20.000. Sehingga dalam sehari,
> istri akan mendapatkan uang setoran ojek sebesar Rp 400.000,- atau
> sebulan Rp 8.000.000. Nah, maskawin yang seperti ini tentu akan sangat
> masuk akal, bukan? Seorang wanita tidak perlu meributkan harta gono gini
> lagi bila suatu saat tiba-tiba diceraikan oleh suaminya. Sebab
> maskawinnya memang sesuatu yang berharga.
>
> Bolehkah meminta maskawin yang 'masuk akal' seperti itu?
>
> Pada dasarnya setiap wanita berhak untuk menetapkan nilai nominal
> maskawin yang memang menjadi haknya. Bahkan bisa suami belum mampu
> memberikannya secara tunai, Islam mengenal sistem cicilan. Artinya,
> tidak mengapa untuk di tahun pertama pernikahan jumlah motor ojeknya
> baru satu buah, masuk tahun ke dua menjadi 2 buah dan demikian
> seterusnya hingga 20 tahun kemudian lunaslah maskawinnya itu.
>
> Semua itu dengan syarat bila perceraian datang atas inisiatif suami.
> Tetapi kalau keinginan cerai datang dari istri, maka hukumnya menjadi
> khulu'. Dan dalam kasus khlu', semua maskawin yang menjadi jaminan itu
> wwajib dikembalikan kepada suami. Disinilah letak keadilan dalam Islam.
>
> Bukankah ada hadits yang menyebutkan bahwa sebaik-baik mahar adalah yang
> paling murah?
>
> Memang benar demikian, tetapi esensi hadits ini justru ingin menunjukkan
> bahwa seorang wanita yang paling baik itu sama sekali tidak punya
> keinginan atas harta. Sehingga dia rela hanya 'dibayar' dengan murah
> dalam masalah maskawinnnya. Namun hadits ini tidak berarti mewajibkan
> setiap wanita untuk 'menjual murah' nilai maskawinnya. Bahkan ketika
> Khalifah Umar bin Al-Khattab ingin mengambil kebijakan pembatasan nilai
> maksimal maskawin, beliau langsung diingatkan untuk tidak melakukannnya.
> Sebab hak itu memang sepenuhnya milik wanita. Maka khalifah mengurungkan
> niatnya.
>
> 2. Perceraian suami istri tidak akan menyebabkan terjadinya pewarisan
> harta. Sebab diantara syarat pembagian warisan adalah kepastian matinya
> pemilik harta. Dalam hal ini suami masih hidup, jadi tidak mungkin
> hartanya dibagi-bagi sebagai warisan. Bila suatu saat suami meninggal,
> pastilah anak-anak akan mendapat warisan dari ayah mereka. Sementara
> mantan istri yang sudah dicerai, tentu sama sekali tidak punya hak
> apapun dari harta mantan suami. Sebab antara mereka sudah tidak ada
> hubungan apa-apa lagi.
>
> 3. Tanah yang belum dibagi waris tentu bukan hak suami. Kalau pun
> dibolehkan untuk mendirikan rumah, maka harus diperjelas statusnya,
> apakah sewa atau hanya pinjam. Nanti kalau sudah ada pembagian warisan
> yang benar, dan ternyata suami memang mendapatkan jatah berupa tanah
> yang sekarang sudah berdiri rumahnya, berarti masalahnya selesai. Tapi
> kalau ternyata jatah tanah dari warisan itu lebih kecil dari yang
> dipinjamnya saat ini, suami harus membelinya dari saudaranya yang berhak
> atas sebagain tanah itu. Bila saudaranya tidak menerima, terpaksa dia
> harus membongkar sebagian rumahnya atau malah menjual sebagiannya.
>
> 4. Bila anak masih kecil dan secara logika masih belum bisa menentukan
> sikap untuk ikut siapa, maka secara hukum Islam anak itu ikut ibunya.
> Dengan pertimbangan bahwa umumnya seorang anak kecil akan lebih
> membutuhkan ibu ketimbang ayah. Tapi bila bila ibu itu menikah lagi,
> maka anak itu ikut ayahnya. Sebab suaminya yang baru berhak untuk tidak
> menerima ada anak orang lain di rumahnya.
>
> Sedangkan bila anak itu sudah agak besar dan dianggap bisa memilih
> antara ikut ibu atau ayahnya, maka anak itu berhak menentukan sendiri
> hidupnya. Dan kami kita seperti ini pula yang berlaku di dalam hukum
> negara.
>
> Wallahu a'lam bish-shawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa
> barakatuh
> Ahmad Sarwat, Lc.
>
> ________________________________
> From: Aisyah Humaira AK <aisyah_humaira_ak@yahoo.com>
> To: Daarut Tauhiid <daarut-tauhiid@yahoogroups.com>
> Sent: Monday, March 21, 2011 11:10 AM
> Subject: [daarut-tauhiid] Mohon Pencerahan
>
>
>
> Dear Moderator,
> Aku mohon utk post pertanyaan aku ini, mudah2an ada pengalaman ato into yg
> bisa di share-kan ke aku ttg masalah yg Lagi aku hadapi. Mohon maaf bila
> agak panjang.
>
> Ini menyangkut aset/rumah yg 'tergantung' sampai saat ini.
> 1-2tahun pernikahan, kami sepakat mengambil rumah dgn pengajuan Kredit ke
> bank. Kita sepakat utk menggunakan nama aku atas rumah tsb, dgn kondisi saat
> itu aku yg bekerja disini & Lbh mudah dalam hal surat menyurat, suami saat
> itu bekerja di Luar negeri yg agak sulit dalam hal berkas2.
>
> Ternyata pernikahan kami tdk bisa bertahan lama, alhasil kami bercerai stlh
> 3thn pernikahan. Saat di Pengadilan Agama, kami tdk membahas ttg 'harta gono
> gini', karena aku+klrg fikir kita bisa bahas secara kekeluargaan ttg itu.
> Tapi ternyata malah jadi pelik. Apalagi masih ter-sangkut cicilan di bank.
> Walau rmh a/n aku, cicilan di Bank a/n suami & sampai sekarang
> Alhamdulillah beliau masih trs membayar cicilan rmh tsb.
>
> Cuma yg jadi masalah, rmh itu msh a/n aku & suami berharap bisa 'balik
> nama' a/n beliau. Berita terakhir, karena masih ada sangkutan/cicilan ke
> Bank, jadi kami tdk bisa 'balik nama' sampai cicilan rmh tsb lunas. Option
> lain, harus ada pihak ketiga yg se-olah membeli rmh tsb (over credit*) &
> terjual kepada org ketiga tsb. Akhirnya kita pending.
> Tapi berita terbaru, beliau menemukan Notaris yg bisa proces 'balik nama'
> rmh tsb, entah bagaimana ceritanya, aku ikutin saja mau nya, biar cepat
> selesai.
>
> Ada beberapa info simpang siur ttg Harta gono gini ini.. Aku juga agak
> bingung, mana yg benar. Cuma aku juga tdk mau lepas begitu saja, klo memang
> ternyata ada hak aku disitu.
> Yang jadi pertanyaan aku, adakah hukum2 nya ttg pembagian rmh tsb...?
> Baik secara agama atau hukum negara...?
> Terus terang, aku tdk ada andil sama sekali dlm pembelian rmh tsb,
> uang/biaya yg keluar utk rmh tsb 100% suami yg membayar. Cuma karena aku
> istri yg tinggal & ada disini (menempati*) rmh tsb, jadi rmh a/n aku.
>
> Bagaimana menurut para ahli yg ada di milist ini ttg pembagian nya, adakah
> hak buat aku disini...?
> Oh iya, kami tdk memiliki anak di pernikahan kami itu & sampai sekarang aku
> blm mau menikah dulu.
> Mohon pencerahannya baik secara agama & hukum negara.
> Sbelum & sesudah nya, Terima kasih atas info & saran nya...
>
> AISYAH HUMAIRA AK.
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>
>

--
Muhammad Yajid Kalam
Kompleks Megabrata
Jln. Mega Bakti No. 26 Bandung
Tlp. 022 – 7563540
HP : 08121493175
E-mail : yajidkalam@yahoo.com
yajidkalam@gmail.com
http://tafakkurcinta.blogspot.com


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: