Jumat, 25 Maret 2011

[daarut-tauhiid] Gubernur Yang Miskin

 

Pada
suatu kesempatan, Umar -rodhiallahu'anhu- mengumpulkan penduduk kota
Hims di suatu tempat guna mendengar secara langsung kesaksian mereka
tentang kinerja para staf pemerintahan disana. Setelah
mereka bekumpul, beliau -rodhiallahu'anhu- melontarkan pertanyaan,

"Wahai penduduk Hims, bagaimana pendapat kalian mengenai kinerja gubernur kalian?" 

Mereka
menjawab, "Wahai amirul mukminin, ada empat hal yang kami keluhkan
tentang gubernur kami. Adapun yang pertama, dia baru keluar dari
rumahnya untuk melayani kami dikala matahari sudah tinggi, dan itu
terjadi setiap hari"

"Benar-benar keterlaluan",kata Umar menanggapi keluhan mereka.

Keluhan pertama ini membuat tekanan darah beliau meningkat, pertanda rasa marah dan kecewa mulai menghampiri dirinya.

"Lalu apa lagi?",tanyanya.

"Yang kedua, apabila malam tiba,
dia tidak mau melayani siapapun", jawab mereka.

"Ini juga sudah kelewatan",tanggapnya.

Keluhan kedua ini membuatnya semakin kecewa.

"Lalu apa lagi?",tanyanya lebih lanjut.

"Yang ketiga, dalam satu bulan, ada satu hari dimana dia tidak melayani kami sama sekali",jawab mereka.

"Ini sudah tidak wajar",kata Umar -rodhiallahu'anhu- yang makin bertambah kecewa.

"Lalu apa lagi?" tanyanya kembali.

"Yang keempat, saat bertugas dia sering mendadak pingsan tak sadarkan diri", jawab mereka.

Keempat
keluhan ini
benar-benar mengganggu perasaan Umar. Pasalnya, Sa'id bin 'Amir adalah
salah satu sahabat Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasalam- yang
terpercaya. Umar sangat mengetahui reputasinya selama ini. Rasanya tidak
mungkin dia berbuat demikian kecuali ada alasan kuat yang mendorongnya.
Akhirnya, dia memanggil Sa'id bin 'Amir sang gubernur guna dimintai
keterangan mengenai keluhan-keluhan penduduk Hims atas kinerjanya selama
ini. Tidak tanggung-tanggung, dia memanggilnya dan mengadilinya
langsung dihadapan penduduk kota.

Sebelum
memulai sesi pengadilan, Umar sempat melantunkan doa,"Ya Allah,
Janganlah kau jadikan penilaianku selama ini terhadap dirinya meleset". 

Walaupun
kritikan-kritikan pedas yang tidak menyenangkan hati tadi datang
bagaikan hujan anak panah, namun di sudut hatinya Umar masih menyimpan
prasangka baik terhadap
Sa'id. Tidak mungkin penilainnya terhadap sahabat yang satu ini
meleset. Pasti ada alasan kuat yang membuatnya bertingkah demikian.

"rakyat Hims sekalian… coba sebutkan keluhan-keluahan kalian tadi", kata Umar memulai persidangan.

"dia baru keluar dari rumahnya untuk melayani kami dikala matahari sudah tinggi", jawab mereka.

"Sa'id, apa pembelaanmu?",tanyanya.

"wahai
amirul mukminin, Demi Allah, sebenarnya aku benci mengatakan hal ini,
namun apa daya, aku akan mengatakannya demi membela diri",jawab Sa'id.
"Aku tidak memiliki pembantu di rumah. Setiap pagi aku membuat sendiri
adonan roti untuk keluargaku, kemudian aku juga yang memanggangnya
hingga matang. Setelah semuanya selesai, aku lantas berwudhu kemudian
keluar
melayani mereka",lanjutnya.

Mendengar
jawaban Sa'id tersebut hati Umar mulai terobati. Ternyata benar,
penilaiannya selama ini tidak meleset, dia berbuat demikian bukan karena
dorongan rasa malas dan ingin bersantai-santai. Kejujuranlah yang
mendorongnya. Karena sifat jujur dan amanahnya itulah dia tidak berani
mengambil uang rakyat sepeserpun untuk kepentingan pribadi. Oleh sebab
itulah dia tetap hidup miskin dan tidak memiliki pembantu. Kalausaja dia
tidak jujur dan amanah, tentu sekarang dia sudah hidup nyaman
dikelilingi para pelayan.

"lantas apa lagi?",Tanya Umar kepada rakyat Hims.

"apabila malam tiba dia tidak mau melayani siapapun" jawab mereka.

"apa pembelaanmu, Sa'id?"

"lagi-lagi
aku benci untuk menjawabnya, tapi apa boleh buat, aku terpaksa akan
menjawabnya demi membela diri", Jawab Sa'id. "aku telah mengorbankan
waktu siangku demi melayani mereka, jadi sudah sewajarnya bila waktu
malamku aku khususkan untuk bermunajat kepada Allah ta'ala".

Untuk
kedua kalinya, jawaban Sa'id bagaikan semilir angin yang mengusir hawa
panas dari hati Umar. Memang beginilah seharusnya perilaku orang-orang
solih tamatan madrasah Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasalam-. Mereka
tidak memandang urusan dunia yang membuat mereka super sibuk sebagai
uzur untuk melalaikan hak-hak Allah ta'ala.

Kesemrawutan
problem sehari-hari, gejolak hidup yang tak lekas pergi, hiruk pikuk
alam fana ini, serta beribu urusan yang lalu lalang di kepala mereka,
semua itu akan mereda begitu malam tiba, berganti dengan nuansa khusyu'
berbalut alunan senandung al- qur'an. Rintihan lirih ketika bermunajat,
isak tangis karena takut akhirat, berpadu dengan tasbih dan istighfar
hingga penghujung malam, itu semua menjadi melodi tak terpisahkan dari
kehidupan malam mereka. Andaisaja kita bisa menyaksikan langsung rupa
mereka di pagi hari, niscaya kita akan melihat wajah-wajah berhiaskan
garis-garis hitam membujur dari mata hingga pipi. Itulah bekas banjir
air mata, saking banyaknya mereka menangis hingga aliran air mata
meninggalkan bekas seperti parit di wajah.

"apalagi?",Tanya Umar melanjutkan sidang.

"dalam satu bulan, ada satu hari dimana dia tidak melayani kami sama sekali",jawab mereka.

"apa pembelaanmu, Sa'id?"

"wahai
amirul mukminin, aku tidak memiliki
pelayan yang mencucikan pakaianku, dan juga aku tidak memiliki pakaian
lain selain yang menempel di badanku ini. Oleh karenanya, aku mencuci
pakaianku ini satu kali dalam sebualan. Pada hari itu aku mencucinya,
kemudian aku menungguinya hingga mengering pada sore hari", jawab Sa'id.

"apalagi?", lanjut Umar kepada penduduk Hims.

"dia sering sekali mendadak pingsan tak sadarkan diri", jawab mereka.

"apa tanggapanmu, Sa'id?"

"wahai
amirul mukminin, aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri
bagaimana Khubaib Al-anshory menemui ajalnya", jawab Sa'id.

"Ketika
itu aku masih dalam keadaan musyrik. Aku menyaksikan orang-orang kafir
Quraisy mencincang tubuhnya
hidup-hidup seraya berkata,"wahai Khubaib! Apa kau rela andaisaja
Muhammad menggantikan posisimu sekarang ini?". Khubaib menjawab,"demi
Allah, jangankan posisiku sekarang, sedikit pun aku tak rela Muhammad
tertusuk duri sementara aku duduk di rumah bersama anak dan istriku".
Setiap kali aku mengingat peristiwa itu, aku selalu dirundung
penyesalan. Menyesal karena aku tidak menolongnya. Menyesal karena aku
ketika itu bukan termasuk golongan orang beriman. Aku khawatir,
jangan-jangan Allah ta'ala tidak akan mengampuni dosaku itu. Itulah yang
membuat sering pingsan".

Mendengar
jawaban-jawaban Sa'id diatas, hati Umar berbunga-bunga. "segala puji
bagi Allah yang tidak menjadikan penilaianku terhadap dirinya meleset",
kalimat itulah itulah yang spontan terlontar dari lisannya. Betapa
bahagia dia, ternyata tudingan-tudingan penduduk Hims tehadap orang
kepercayaannya ini hanya salah paham
belaka.

Seusai
sidang, Umar memerintahkan salah seorang pegawainya mengirimkan
sekantung uang sejumlah seribu dinar ke rumah Sa'id seraya berpesan,
"wahai Sa'id, gunakanlah uang ini untuk membantu keperluan hidupmu". 

Sesampai
di rumah, istri Sa'id berkata, "Alhamdulillah, akhirnya kita bisa
membeli budak pelayan, sehingga engkau tidak perlu lagi kerepotan".

"Wahai
istriku, aku punya usul lain", tanggap Sa'id. "Kita investasikan uang
ini di tangan orang-orang. Lalu, jika suatu saat nanti kita dalam
kondisi terdesak membutuhkan uang, baru kita ambil laba dari investasi
ini. Bagaimana menurutmu?",usulnya.

"wah, setuju sekali", jawab sang istri spontan.

Istrinya
tidak menyadari maksud Sa'id yang sebenarnya. Gambaran yang ada di
benaknya, Sa'id akan menanamkan modal pada beberapa pedagang. Dengan
begitu, seribu dinar tadi akan berkembang dan semakin banyak, dan
menjadi tabungan yang bisa diambil sewaktu-waktu saat kebutuhan
mendesak. Padahal maksud Sa'id yang sesungguhnya, dia ingin
menyedekahkan seribu dinar itu kepada fakir miskin. Yang nantinya pada
hari kiamat, dimana manusia dalam kondisi sangat terdesak membutuhkan
amal soleh, sedekah seribu dinar tadi akan sangat menolong mereka.

Tanpa
pikir panjang, Sa'id langsung keluar dan memanggil salah seorang
kepercayaanya. Lalu, seribu dinar tadi dibagi-bagi dalam beberapa
kantung kecil.

"kantung
yang ini, tolong berikan kepada janda-janda miskin di kabilah fulan,
yang ini, berikan kepada fakir miskin di kabilah fulan, yang ini,
berikan kepada keluarga fulan yang sedang terkena musibah", perintah
Sa'id. Begitulah seterusnya, hingga yang tersisa tinggal beberapa keping
uang dinar.

Lantas ia pulang dan memberikan sisa uang tadi kepada istrinya."gunakan sisa uang ini untuk memenuhi kebutuhan kita", katanya.

"Lho, kau kemanakan uang uang seribu dinar tadi?", tanya sang istri keheranan.

"kita
akan mengambil uang itu suatu saat nanti, di saat kita dalam keadaan
sangat terdesak", jawabnya sambil berlalu menuju tempat kerjanya.

Semoga rahmat Allah ta'ala selau tercurah kepada pemimpin-pemimpin semacam ini.

Disarikan dari buku: Shifatus Shofwah, karya Imam Ibnul Jauzi –rohimahullahu- halaman
254-247

(Dikutip dengan penyesuaian dari tulisan Holy Trooper dengan judul "Si Gubernur Miskin")

---
Syaikhul_Muqorrobin  
BatikTen Owner
http://batikten.multiply.com

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: