Senin, 03 Juni 2013

[daarut-tauhiid] Komitmen Ketiga

 

Komitmen Ketiga
 
"Bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya
kebodohan." (Imam
Syafi'i)
 
 
            Ada
salah satu penyesalan terbesar di dalam hidup saya. Ketika saya memutuskan
untuk berhenti
kuliah.
           
            Sampai
hari ini, saya masih merasa nyaman dan aman dengan alibi, bahwa saya memilih
untuk mengorbankan kuliah saya demi mendapatkan gaji puluhan kali lipat, demi
melunasi hutang- hutang saya, demi membahagiakan orang tua saya, demi impian
saya untuk segera menikah, dan masih banyak lagi.
           
            Saya
memilih untuk berhenti kuliah, karena banyak sekali SKS yang harus saya ambil
untuk setidaknya bisa mengerjakan Tugas Akhir.
           
            Dan
baru hari ini, saya menyadari ternyata, alasan- alasan itu tidak terlalu kuat.
           
            Penyebab
utama saya tidak pernah berhasil menyelesaikan kuliah saya sebenarnya karena
komitmen belajar saya yang lemah. Berjuta alasan telah saya buat untuk menjadi
alibi kelemahan saya dalam berkomitmen untuk belajar.
 
Lemah
Komitmen
 
            Di
kampus saya yang pertama, hanya ada tiga orang yang berstatus karyawan. Semua
mahasiswa yang lainnya adalah mahasiswa reguler. Karena di kampus saya yang
pertama belum ada kelas karyawan.
 
            Selama
tiga tahun lebih belajar di sana, sangat jelas terlihat, komitmen mereka jauh
lebih hebat dan kuat dari saya.
           
            Padahal
saya sudah merasa berjuang dan berusaha luar biasa untuk bisa mengikuti jadwal
kuliah reguler.
 
            Durasi
shift saya di pabrik yang pertama adalah delapan jam. Dengan jadwal 6-2, dua
hari kerja pagi jam delapan malam, dua hari kerja siang jam empat sore, dua
hari kerja malam jam dua belas malam.
 
            Beberapa
kali saya berada di luar rumah saya lebih dari dua puluh empat jam. Bayangkan
saja, saya pernah kuliah dari pagi sampai sore. Sorenya harus berangkat bekerja
shif siang. Eh, ternyata saya harus lembur sampai shift malam, dan pulang kerja
besok paginya.
 
            Padahal
besok paginya ada beberapa jadwal kuliah yang tidak bisa ditinggalkan.
 
            Walhasil,
hari itu saya terpaksa numpang mandi di tempat kosan teman kuliah yang dekat
kampus dan sore harinya sudah harus berangkat lagi bekerja shift siang.
           
            Tapi
perjuangan seperti itu ternyata masih kurang dibanding kedua teman saya itu.
            Mereka
hampir tidak pernah melewatkan setiap kelas atau praktek yang diikuti. Padahal
jadwal kerja mereka hampir sama dengan saya. Tapi nilai- nilai mereka lumayan
bagus, tidak sampai seperti saya yang harus mengulang Kalkulus 1 sampai tiga
kali.
 
            Mereka
sering tinggal lebih lama di perpustakaan kampus sekedar untuk mendiskusikan
tugas dan prosedur praktek.
 
            Tidak
seperti saya yang kadang- kadang hanya mengandalkan keberuntungan dan kecepatan
membaca saya, di beberapa mata kuliah, saya dengan hanya muncul satu atau dua
kali di kampus, tiba- tiba hadir lagi ketika UTS dan UAS. Parah.
 
Padahal mereka berdua
lebih tua dari saya. Bahkan, sampai ada yang paling tua di antara kita, sudah
beranak dua, malah disangka dosen ketika masuk kelas pertama kali. Ya jelas
saja, dia tampangnya memang agak sangar, dengan kumis dan brewok di wajahnya, tidak
ada seorang pun di dalam kelas itu yang menyangka dia adalah mahasiswa semester
pertama?
 
            Saya
memutuskan untuk pindah kuliah dari kampus itu karena saya pindah kerja yang
jam kerjanya normal, bukan shift. Tidak mungkin lagi saya bisa menghadiri kelas
mahasiswa reguler dari pagi hingga sore.
 
Kampus Dua
 
            Di kampus saya yang kedua, saya
mengambil kelas malam khusus karyawan. Dan ditambah hari Sabtu atau Minggu jika
ada praktek.
 
            Ternyata
jauh lebih melelahkan.
           
            Hampir
setiap hari badan ceking saya hampir selalu terasa remuk redam kehabisan
tenaga.
           
            Saya
bekerja di perusahaan Jepang yang notabene sangat sibuk. Dari jam delapan pagi
sampai jam lima sore, hampir tidak ada jam istirahat selain jam makan siang dan
waktu sholat.
 
            Belum
lagi kalau sering terpaksa lembur karena pekerjaan yang belum selesai.
 
            Hampir
setiap hari saya pulang menjelang tengah malam. Saya bekerja di daerah Anyer,
ngekos di Cilegon, tapi kuliah di Serang. Sekedar menghabiskan waktu di
perjalanan saja sudah sangat melelahkan.
 
            Hampir
setiap kali masuk kuliah tubuh terasa tidak nyaman, karena gerah, badan terasa cepel (lengket) dan masih memakai
seragam kerja. Ketika mahasiswa lain di kelas berpakaian rapi jali dan harum,
saya masuk kelas dalam keadaan kucel kumel kuleuheu (dekil), dan sedikit bau apek. Saya pun tahu diri untuk tidak mengambil
tempat duduk di depan, sehingga terpaksa harus duduk mojok di sudut kelas.
 
            Pernah
suatu malam, ketika saya baru saja selesai kuliah tiba- tiba diminta untuk
datang ke pabrik karena ada masalah. Hanya saya yang bisa datang, karena orang
lab yang lain sedang cuti dan tidak bisa datang.
           
            Walhasil,
dengan seragam yang sama dengan yang tadi pagi, dan dengan tubuh yang sudah
terasa lengket penuh dengan garam dari keringat yang mengering saya harus
berangkat lagi ke tempat kerja. Dan kembali bekerja lagi sampai pagi.
           
            Dua
semester awal saya masih bisa memaksa diri untuk mengikuti pola hidup seperti
itu.
           
            Tapi
setelah itu akhirnya saya mulai menyerah, saya menyerah dengan komitmen saya
yang kedua untuk bisa menyelesaikan kuliah saya.
           
            Kuliah
mulai jarang. Sampai puncaknya ketika uang SPP juga mulai tidak terbayar. Biaya
kuliah di kampus saya yang baru ini hampir tiga kali lipat lebih mahal dari
kampus yang sebelumnya yang sudah berstatus Universitas Negeri. Kampus ke dua
ini kampus swasta yang kampus pusatnya ada di Jakarta.
 
            Ada
tiga teman satu angkatan saya di kampus yang terakhir, pada akhirnya bisa menyusul
saya ke Qatar, tapi mereka berhasil menyelesaikan kuliahnya.
 
            Bedanya
mereka dengan saya, ya itu tadi, masalah komitmen. Walaupun mereka bekerja di
waktu yang sama dengan saya, sibuknya sama dengan saya. Mereka bahkan lebih
sibuk karena mengambil jurusan Teknik Kimia, tidak sesibuk jurusan Teknik
Industri yang saya ambil.
           
            Toh,
pada akhirnya mereka lulus juga.
           
            Dan
pada akhirnya juga, mereka bisa menyusul saya ke bekerja di luar negeri.
           
Hampir dapat dipastikan,
peluang mereka untuk mengembangkan karir di perusahaannya lebih terbuka lebar. Dengan
posisi saya yang sekarang, dan latar belakang pendidikan yang hanya lulusan
SMK, perkembangan karir yang paling mungkin ya hanya sekedar promosi naik
Grade. Diperlukan kualifikasi yang lebih untuk menjadi level yang lebih tinggi,
bahkan di posisi yang ada di departemen yang lain,  pendidikan setingkat sarjana menjadi syarat
yang hampir mutlak.
           
            Secara
gelar akademis, tentu saja tidak ada gelar apa pun yang saya dapat, karena sama
sekali tidak lulus. Secara keilmuan pun, ilmu yang saya dapat dari kuliah di
jurusan Teknik Industri hanya sedikit sekali dibanding lamanya kuliah yang
delapan semester.
 
            Pengorbanan
energi dan uang, serta perjuangan saya bertahun- tahun seolah- olah menguap
habis begitu saja ketika saya memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah.
           
            Memang sih ada alasan yang kuat, karena saya
tidak melewatkan kesempatan yang mungkin hanya sekali seumur hidup untuk bisa
bekerja ke luar negeri.
 
           
Komitmen Ketiga
 
            Di
pertengahan tahun dua ribu sepuluh, untuk ketiga kalinya saya berkomitmen untuk
kuliah lagi. Kali ini saya memilih jurusan Manajemen, di Universitas Terbuka.
Selain karena tidak ada jurusan teknik, pertimbangan bahwa jurusan Teknik
Industri memiliki banyak mata kuliah yang sama dengan Manajemen juga menjadi
faktor penentu.
           
            Alhamdulillah,
kali ini hampir tidak ada kendala.
 
            Tidak
ada kendala masalah biaya, karena UT tergolong murah.
           
            Tempat
ujian dekat dengan rumah saya.
           
            Semua
buku kuliah yang saya perlukan sampai lulus sudah saya beli sejak awal masa
pendaftaran.
           
            Dan
justru karena tidak ada kendala ini, diri saya dituntut untuk memiliki komitmen
yang lebih kuat agar bisa menyelesaikannya. Sekarang usaha dan pengorbanan saya
tidak terlalu berat,. Tidak seperti ketika saya kuliah di Cilegon- Serang dulu.
Semuanya membutuhkan perngorbanan yang sangat besar. Dari biaya kuliah, ongkos
bolak- balik Cilegon- Serang, kelelahan yang luar biasa ketika sepulang bekerja
seharian, harus langsung kuliah sampai jam sebelas malam, dan tiba di rumah menjelang
tengah malam. Dan ongkos bolak- balik ke Jakarta ketika harus ada praktek.
           
            Saya
bisa berhenti kapan saja, karena hampir tidak ada beban dan pengorbanan apa
pun.
 
            Belajar
di Universitas terbuka kali ini lebih menantang, terutama dari sisi komitmen
dan penguatan disiplin diri.
 
            Ada
tugas online yang harus saya kerjakan setiap minggu selama delapan minggu. Ada
forum diskusi, ada tugas makalah. Yang berbeda hanya semuanya bisa saya
kerjakan di rumah. Rata- rata saya mengambil 20 SKS satu semester. Jauh lebih
singkat dari yang saya perkirakan sebelumnya.
 
Alhamdulillah, tidak
terasa sudah lebih dari 100 SKS yang sudah saya tempuh dari 144 SKS yang ada.
 
Saya akan merasa malu luar
biasa jika kali ini kuliah saya tidak sampai selesai juga.
           
            Insyaallah,
semoga Allah menguatkan komitmen saya, agar saya bisa melanjutkan kuliah saya
ke jenjang yang lebih tinggi. Jika sudah menyelesaikan tahap ini, tentunya akan
memudahkan saya untuk mengambil Master Degree di jurusan yang lain.
 
            Walau
pun jurusan yang saya pilih kali ini adalah "Jurusan Sejuta Umat", yaitu
jurusan manajemen, yang secara kasat mata jelas- jelas tidak akan banyak
membantu untuk pengembangan karir saya di tempat bekerja sekarang, tapi saya
mempunyai keyakinan.
           
            Ini
Déjà vu.
 
            Di
buku pertama saya, "Oase Kehidupan Dari Padang Pasir", tulisan pertamanya
adalah "Dialog Lima Belas Juta", yang menceritakan pengalaman saya yang sedikit
dicibir karena telah mengumpulan buku senilai lima belas juta. Yang pada
akhirnya, dengan pertolongan Allah, buku- buku itulah yang telah mengantarkan
saya bekerja di luar negeri.
 
            Seperti
itu juga pilihan saya untuk kuliah kali ini. Saya yakin, dengan izin Allah, di
masa depan, setiap detik yang saya habiskan, setiap riyal uang yang saya
bayarkan, setiap kalori energi saya yang terbakar ketika belajar, di masa depan
akan Allah ganti dengan sesuatu yang dahsyat.
 
            Insyaallah!       
 
Doha, 3 Juni 2013
www.didaytea.com

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: