Selasa, 11 Juni 2013

[daarut-tauhiid] TOGA BIRU

 

  
 
Sekolah Mahal
 
            Di Qatar,
sampai tulisan ini dibuat, belum ada sekolah khusus untuk
orang Indonesia seperti di beberapa negara lain.
 
            Alhamdulillah,
akhirnya saya bisa memasukkan si sulung ke salah satu sekolah yang ada, dan
termasuk ke dalam sekolah yang termasuk ke dalam daftar yang ditanggung
langsung oleh perusahaan.
 
            O iya,
perusahaan saya, dan perusahaan Oil & Gas atau Petrokimia lainnya di Qatar
biasanya menanggung biaya pendidikan hingga anak ke-empat. Fasilitas ini juga
yang menjadi salah satu pertimbangan saya untuk membubuhkan tanda tangan saya
di atas surat penawaran dari perusahaan tempat saya bekerja sekarang.
 
            Biaya
pendidikan di sini super muahhall.
           
            Biaya
pendidikan per bulan sekolah setingkat TK Nol Besar saja bisa mencapai hampir
lima juta rupiah! Padahal sekolah itu bukan termasuk sekolah yang elit, masih
sekolah yang tingkatnya biasa- biasa saja. Salah satu sekolah elit yang ada di
Doha, malah ada yang biaya per bulannya mencapai hampir delapan belas juta
rupiah. Ya, anda tidak salah membaca dan saya juga tidak salah mengetik, delapan
belas juta rupiah per bulan!
           
           
            Di
Indonesia, TK yang paling elit pun tidak akan memungut biaya sebegitu besar,
bahkan bisa membiayai kuliah S2.
 
            Ah,
tapi ya sudahlah, ilustrasi biaya tadi hanya untuk pembuka tulisan saya saja.
 
 
Hari Pertama Sekolah
 
            Langsung
saja ke intinya deh, walau pun pasti
untuk pembaca yang berada di Indonesia masih terkaget- kaget begitu mengetahui
biaya sekolah di sini yang super mahal luar biasa.
 
            Hari
pertama anak saya sekolah adalah hari di mana saya benar- benar merasa menjadi
orang tua yang sesungguhnya. Bahkan perasaan campur aduk antara bangga, taku, khawatir,
perasaan menjadi tua, dan perasaan lain yang bertumpuk dan bercampur di dalam
pikiran dan hati itu sudah muncul sejak hari pendaftaran.
 
            Berlanjut
ke persiapan sekolahnya. Dari mulai membeli seragam, peralatan sekolah, sepatu.
Kami biarkan dia memilih sendiri model dan warna yang dia inginkan untuk
peralatan sekolah. Walau pun ada efek sampingnya juga sih. Adik perempuannya yang baru beranjak dua tahun, ternyata ikut-
ikutan seperti kakaknya. Pada akhirnya hanya satu anak yang sekolah, tapi
belanjaan jadi dua kali lipat, karena si kecil meniru kakaknya dengan
memasukkan benda- benda yang dia inginkan ke dalam kereta belanjaan.
 
            Di
hari pertama itu, perasaan kami berdua sudah campur aduk seperti bubur ayam
yang sudah diaduk, tadinya rapih dengan topping kerupuk, daging ayam suwir, irisan seledri, kacang kedelai yang sudah digoreng
garing, taburan merica, dan sedikit tetelan tulang ayam yang tenggelam di
tengah adonan bubur, dilengkapi dengan sambel super pedas berwarna Jingga
teronggok di sudut salah satu lekukan kerupuk
           
            Gembira,
karena kami akhirnya menaiki salah satu tangga fase kehidupan di dalam
kehidupan berumah tangga, mengantar anak ke sekolah.
 
            Sedih,
karena sejak hari itu dan dua belas tahun, atau mungkin lebih, di hari selain
hari libur kami sudah tidak akan mungkin lagi bisa mendengar canda tawanya di
dalam rumah ketika matahari terbit.
 
            Di
hari itu pula kami bisa membayangkan perasaan orang tua kami ketika dulu
melepas kami di hari pertama sekolah.
 
            Entah apa yang ada dibenaknya,
tapi di benak saya dan istri hanya ada satu perasaan: khawatir.
 
            Khawatirnya
cuma satu, tapihal- hal kami khawatirkan
banyak sekali.
           
            Khawatir
dia tidak akan bisa mengikuti pelajaran di sekolahnya, dan harus mengulang lagi di TK Nol Kecil tahun
depan.
 
            Khawatir
dia tidak akan mengerti gurunya, yang tidak mungkin bisa berbahasa Indonesia.
 
             Eh, tanpa terasa, serasa baru kemarin kami
mengantarkannya ke sekolah.
 
            Serasa
baru kemarin kami dengar tangis dan teriakannya yang masih terdengar sampai
gerbang sekolah, karena tidak ingin ditinggal. Hanya hari pertama sekolah saja
kami boleh mengantarnya sampai ke dalam kelas . Besoknya, kami sudah tidak
boleh melangkah lebih jauh dari garis pintu gedung kelasnya.
 
            Pada
hari pertama itu, gedung anak kelas Reception riuh rendah oleh tangis anak-
anak TK yang tidak ingin ditinggal oleh orang tuanya. Ada yang berteriak-
teriak. Ada yang bertahan sekuat tenaga memegang pintu kelasnya agar tidak
tertutup. Ada yang menangis meraung- raung tak henti- henti. Gedung itu penuh
sesak oleh para orang tua yang khawatir meninggalkan anaknya yang masih
menangis.
 
            "Don't worry Sir, Maam, please leave now. This
is normal. We are used to it already. We will take care of your children!" Ujar gurunya dengan memasang wajah yang sangat manis.
 
            Padahal
di saat yang sama, kaki kanannya sedang menghalangi pintu yang sedang didorong
paksa oleh seorang anak, tangan kirinya memegangi tangan seorang anak laki-
laki yang hendak lari keluar, dan mulutnya langsung berteriak kepada guru yang
lain:
           
            "I need somebody here, please!" 
 
            Karena
dia melihat seorang anak berhasil berlari dari hadangan para guru dan lolos ke
halaman kelas. Ketika dia tidak menemukan orang tuanya di sana, stadium kedua
dimulai untuk anak itu.
 
            Kali
ini aktifitasnya bertambah. Tidak hanya menangis dan meraung- raung, tapi juga
dilengkapi dengan teriakan dan kokosehan (duduk
sambil menendang-nendangkan kaki), dan bahkan ada yang sampai berguling-
guling.
 
            Tadinya
sih kami kira anak kami tidak akan sampai seperti itu.
 
            Eh,
ternyata di dalam kelas ada beberapa anak yang juga sudah mencapai stadium dua.
Padahal, satu kelas yang hanya berisi dua puluh orang anak, dijaga oleh tiga
orang guru.
 
            Ah,
pokoknya seru deh hari pertama itu.
 
            Kalau
di Indonesia kan jauh berbeda kondisinya.
 
            Bukan
hanya anak TK, bahkan seringkali anak sudah berseragam Putih- Merah pun masih
ditunggui oleh Ibunya di kelas.
 
Mungkin hari yang "seru" itu sudah sering
dihadapi oleh para guru, tapi bagi kami yang baru pertama kali mengalami chaos
dan keseruan seperti itu, sangatlah luar biasa.
 
Luar biasa karena pertama kalinya.
 
Dan yang utama, luar biasa menambah lagi
kekhawatiran kami terhadap si sulung yang masih menangis dan berteriak- teriak
ketika kami tinggalkan di dalam.
 
Akhirnya kami tenang- tenangkan saja
pikiran kami. Dan kami serahkan kepada Allah dan gurunya saja.
 
Ternyata periode seperti itu hanya
berlangsung satu atau dua minggu saja.
           
Alhamdulillah, si sulung tidak susah
dibangunkan. Walau pun dengan mata yang masih tertutup, dia tetap bangun untuk
berdoá kala bangun tidur dan beranjak dari tempat tidur mungilnya untuk mandi.
Dan ketika air sudah menyiram tubuhnya yang kini tidak super montok lagi,
langsung segar bugar seketika. Masalahnya paling hanya tidak mau sarapan, tidak
mau sekolah dengan berjuta alasan, atau tidak mau memakai seragam.
 
Alhamdulillah, setelah periode itu berlalu,
kami sendiri yang malah terkaget- kaget dengan perkembangannya.
 
Ternyata kekhawatiran kami tidak terbukti
sama sekali. Dia berhasil beradaptasi dengan hebat di lingkungan yang tadinya
sama sekali asing baginya. Dan lagi dia langsung kami masukkan ke TK Nol Besar,
bukan TK Nol kecil. Pertimbangannya sih ya itu tadi, perusahaan baru menanggung
biaya sekolah anak karyawan di tingkat Nol Besar.
 
            Bayi
super montok itu kini sudah mempelajari tiga bahasa asing: Arab, Inggris, dan Prancis.
Dan setelah term (Catur Wulan atau
semester) pertama, dia sudah mulai cas-cis-cus berbahasa Inggris, dan dia mulai sering protes kalau diajak berbahasa
Indonesia di rumah.
 
            "English, please!" Mulut mungilnya
berucap dan mata belonya semakin besar karena sambil melotot.
 
            Tidak
berbeda jauh sih dengan orang tuanya, sama- sama tiga bahasa.
 
Hanya bahasa yang kami pelajari adalah Indonesia,
Inggris dan Sundanese.
 
Hehehe.
 
Wisuda TK
 
Bayi super montok yang menjadi "mainan"
sehari- hari kami sejak tiba di sini kini sudah tumbuh tinggi, kemarin berbaris
melangkah masuk gedung ke tempat acara wisuda, memakai toga dan seragam kebesaran
kain satin berwarna Biru sambil melambai- lambaikan tangannya yang masih montok
dan pejal itu ke semua orang. Tentu saja bibirnya tidak lupa dia sejajarkan dengan
pipinya yang masih tembem untuk membentuk senyum yang mungkin di masa depan
akan membuat lawan jenisnya kelepek-
kelepek. Hehehe.
 
Dia kemarin dengan lincahnya mentas di
panggung bersama- puluhan teman- teman sekelasnya,  menari dan menyanyikan lagu "Transportation Song" dan "Graduation Song."
 
Dia kemarin sudah berfoto dengan ijazah
pertamanya dengan Toga Biru yang membalut tubuh mungilnya.
 
Padahal bapaknya seumur- umur belum pernah
memakai Toga. Hehehe.
 
            Selamat
ya Nak! Kamu sudah lulus TK!
 
            Kami sangat
bangga kamu berhasil melewati tantangan besar pertama di awal kehidupanmu.
 
             
 
Doha, 11 Juni 2013
www.didaytea.com

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: