Rabu, 27 Agustus 2008

[daarut-tauhiid] Kisah Nyata : Aku Datang Maisya

Kisah Nyata: Aku Datang Maisya


Aku
telah dilanda keinginan mengebu untuk menikah. Bahkan sudah kujalani semua cara
agar cepat bisa melaksanakan sunah Rasul yang satu ini. Malah aku selalu
mengimpikannya di tiap malam menjelang tidur.


Gadis
yang kuidamkan sejak kecil, bahkan menjadi teman main bersama, ternyata
dinikahi orang lain. Padahal dia sudah ngaji. Sedih juga rasanya. Ada juga yang
aku dapatkan dari orang yang aku kenal baik, dan sudah kujalani "prosedurnya".
Tapi ternyata kandas karena aku dinilai masih terlalu muda untuk menikah.


Akhirnya
, aku kenal dengan seseorang yang sesuai dengan kriteria. Aku mengenalnya
dengan perantaraan teman dekatku. Jujur saja, aku telah mendapat biodatanya,
juga gambaran wajahnya. Langsung saja kukatakan pada teman dekatku bahwa aku
sangat-sangat setuju.


"Eh,
ente (kamu) harus ketemu dulu dan tahu dengan baik siapa dia," kata temanku.

Tapi
kujawab enteng, "Tapi ane (aku) langsung sreg kok".


"Ya
sudah, terserah ente aja lah," sahut temanku sambil geleng-geleng kepala.


Karena
aku yakin pacaran jelas-jelas dilarang dalam Islam sebab hal itu adalah jalan
menuju zina, aku pun tak menjalaninya. Jangankan zina, hal-hal yang akan
mengarahkan kepadanya saja sudah dilarang. Oleh karena itu, aku hanya menunggu
waktu kapan ada pembicaraan awal antara aku dan Maisya (akhwat incaranku itu).
Sabar deh, sementara ikuti saja seperti air mengalir.


Lewat
kurang lebih 2-3 minggu mulailah terjadi pembicaraan antar aku dan Maisya.
Ketika kuberanikan diri memulai pada poin yang penting yaitu mengungkapkan
niatku untuk menikahinya, apa jawabnya? Aku disuruh menghadap murabbinya
(guru/pembimbing).


"Kenapa
tidak ke orang tua Maisya saja?" tanyaku.


"Tidak,
pokoknya akhi (saudara lelaki) harus ketemu dulu sama Murabbi saya." jawabnya.


Aku
baru tahu, ada seorang akhwat ketika ada yang ingin menikahinya disuruh
menghadap Murabbinya, bukan orang tuanya. Padahal, di antara birrul walidain
adalah menjadikan orang tua sebagai orang yang pertama kali diajak diskusi
tentang pernikahan, bukan gurunya, ustadznya, atau siapa pun. Barulah kutahu
itu merupakan kebiasaan akhwat-akhwat tarbiyah (pergerakan).

***

Aku
catat alamat murabbi (MR) yang Maisya sebutkan. Pada hari Ahad kuajak 2 teman
dekatku untuk menemani ke rumah sang MR. Dengan sedikit kesasar akhirnya
sampailah kami di rumahnya. Tapi setelah pencet tombol tiga kali dan
"Assalamu'alaikum" tiga kali tak dibuka, kami pun pulang dengan agak kecewa,
sebab siang itu adalah jam 2, saat matahari sangat terik menyengat.


Kutelepon
Maisya bahwa aku tak bisa ketemu MR-nya. Maisya membolehkanku hanya dengan
menelepon MR. Malam itu juga aku pun menelepon dan alhamdulillah nyambung. Aku
ditanya segala macam yang berkaitan dengan agama. Dari masalah belajar, kerja,
ngaji, tarbiyah, murabbi-ku, ustadz yang sering kuikuti kajiannya, sampai buku-buku
yang sering kubaca. Juga, pertanyaan-pertanyaan tambahan lainnya.


Dengan
polos dan santai kujawab pertanyaan-pertanyaan itu. Yang membuatku heran,
ketika kusebutkan nama ustadz-ustadz yang sering kuikuti kajiannya sampai, nada
MR agak beda dari awal pembicaraan. Terutama ketika kusebutkan kitab-kitab yang
sering


kujadikan rujukan dalam memahami agama. Aku belum tahu kenapa bisa
begitu.


Kuceritakan
pembicaraan itu pada teman dekatku. Ternyata temanku menjawab dengan nada
menyesal.


"Aduh,
kenapa tidak bicarakan dulu denganku. Ente tahu? Kalau akan menikahi akhwat
tarbiyah sedang ente tidak ikut dalam tarbiyah atau liqa' tertentu dan punya
MR, maka ente otomais akan ditolak. Apalagi ente sebutkan nama-nama ustadz,
buku-buku dan para syeikh Timur Tengah, bakalan ditolak deh, itu sudah ma'ruf
(populer)."


"Lho
kan ane jawab jujur, saat ini ane tidak ikut tarbiyah, atau apa namanya tadi,
liqa'? Ya memang aku tak ikut. Ane juga nggak punya MR dong. Oo.., jadi begitu
ya?" aku hanya melongo.

***

Beberapa
hari kemudian, aku dapat telpon dari Maisya yang menjadikan hatiku sedikit
hancur.


"Assalamu'alaikum,
akhi saya sudah mempertimbangkan semuanya, mungkin Allah belum menakdirkan kita
berjodoh. Semoga kita sama-sama mendapatkan yang terbaik untuk pasangan kita,
saya minta maaf, kalau ada kesalahan selama ini, Assalamu'alaikum,"


"Kletuk,
nuut nuut nuut" terdengar suara gagang telpon ditutup dan nada sambung
terputus.


Aku
masih memegang gagang telepon dan hanya bisa melongo mendapat jawaban tersebut.
Kutaruh gagang telpon dengan lunglai. "Astagfirullah," kusebut kata-kata itu
berulang kali. Apa yang harus kuperbuat? Tak tahu harus bagaimana. Tapi sohib
dekatku


yang dari tadi memperhatikanku waktu menelepon nyeletuk .


"Ditolak
ya? Udah deh, kan masih banyak harem (wanita) lain, ngapain ngejar-ngejar
ngapain ngejar-ngejar yang sudah jelas-jelas nolak."


Aku
jawab saja dengan ketus, "Ane belum nyerah, karena ada janggal dalam pemolakan
it, ane belum yakin dia menolak, akan ane coba lagi".


"Udah
deh jangan terlalu PD," sahut sohibku.


Ternyata
bener juga kata temanku itu, jawaban-jawabanku kepada MR menyebabkan aku
ditolak oleh Maisya. Aku dipandang beda manhaj dalam memahami Islam, padahal
yang kusebutkan waktu menjawab pertanyaan tentang buku-buku rujukan adalah
Fathul Majiid, Al-Ushul Al-Tsalatsah, dan kitab-kitab karya Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syeikh Abdul Aziz bin
Baz, Syeikh Muhammad Shalih Utsaimin, yang semuanya aku tahu bahwa mereka
selalu mendasarkan bahasannya kepada dalil-dalil yang shahih.


Hatiku
sudah terlanjur cocok sama Maisya. Jujur aku sudah merasa sreg sekali kalau
Maisya jadi pendamping hidupku. Tapi aku ditolak. "Apa yang harus kuperbuat?"
kataku dalam hati. Menyerah kemudian mencari yang lain? Baru begitu saja kok
nyerah.


Tanpa
sepengetahuan sohibku, kutulis surat ke orangtua Maisya. Yang kutahu bahwa dia
hanya punya ibu. Bapaknya sudah meninggal saat Maisya berumur 8 tahun. Kutulis
surat yang isinya kurang lebih tentang proses penolakan itu. Juga janjiku jika
ditolak oleh ibunya, maka aku akan menerima dan tak akan menghubunginya lagi.


Dengan
penuh harap kukirim surat tersebut, tak disangka ternyata surat itu sampai di
tangan Maisya dan dibacanya. Alamak, kenapa bisa begitu? Untuk beberapa hari
tidak ada respon. Gundah gulana pun datang. Apa yang harus kulakukan?


Kuputuskan
untuk mengirim surat ke Maisya langsung. Semuanya aku ungkapkan dengan bahasa
setengah resmi tapi santai. Aku memang sedikit ndableg. Di penghujung surat
tersebut kukatakan, "Kalau memang Allah takdirkan kita tidak jodoh, saya punya
satu permintaan, tolonglah saya untuk mendapatkan pendamping dari teman-teman
Maisya yang Maisya pandang pas untuk saya, minimal yang seperti Maisya."


Kupikir
Maisya akan "tersungkur" dengan membaca suratku yang panjang lebar. Aku
berpikir seandainya ada orang membaca suratku, pasti akan mengatakan "rayuan
gombal!". Tapi jujur saja, itu berangkat dari hatiku yang paling dalam.


Surat
kedua itu, qadarallah ternyata malah diterima dan dibaca oleh ibu Maisya dan
kakak perempuannya. Nah, dari situkah terjadi kontak antara aku dan
keluarganya. Tak disangka-sangka kudapat telpon dari kakak perempuan Maisya,
Kak Dahlia (tentu saja bukan nama asli). Kak Dahlia menelepon dan memintaku
untuk datang ke rumahnya guna klarifikasi surat tersebut.

***

Seminggu
kemudian kupeniuhi undangan itu. Setelah bertemu dan "sesi tanya-jawab" ,
dengan manggut-manggut akhirnya Kak Dahlia angkat bicara,


"Baiklah,
kakak sudah dengar cerita kamu, saya heran kenapa Maisya menolakmu, ya?


Padahal
menurut hemat kakak, kamu pantas diterima kok".


Hatiku
berbunga-bunga mendengarnya,. Tapi langsung surut lagi karena pernyataan itu datang
dari Kak Dahlia bukan Maisya. Aku sedikit senyum kecut menanggapi omongan kak
Dahlia.


"Begini
aja deh, kamu sekarang pulang dulu. Biar nanti kakak dan Umi yang akan rayu


Maisya. Pokoknya kamu banyak doa aja. Pada dasarnya kami setuju kok sama kamu."


Aku
izin pulang dengan sedikit riang gembira. Mulutku hanya bergumam penuh doa,
semoga Allah mengabulkan cita-citaku. Kira-kira 2 minggu setelah itu kudapat
telpon lagi dari Kak Dahlia agar aku ke rumahnya. Dia bilang aku harus bertemu
langsung dengan Maisya. Hatiku pun berdebar. Dengan sedikit gagap aku iyakan
undangan itu. "Besok deh Kak, insyaAllah saya datang," jawabku.


Aku
duduk di kursi ruang tamu yang sama untuk kedua kalinya. Sedikit basa-basi Kak
Dahlia mengajakku ngobrol tentang hal-hal yang belum ditanyakan pada pertemuan
sebelumya. Kurang lebih 10-15 menit Kak Dahlia memanggil Maisya agar ke ruang
tamu menemuiku. Dadaku berdegub. Inilah saatnya aku nadhar (melihat) bagaimana
rupa Maisya yang sebenarnya. Apa sama seperti yang kubayangkan sebelumnya?


Jangan-jangan tidak sama. Lebih jelek atau bahkan lebih cakep dari aslinya.
Tunggu saja deh.


Tidak
lama kemudian keluarlah sosok makhluk Allah yang bernama Maisya. Aku tetap
menjaga pandanganku. Tapi jujur saja, tak kuasa kucuri pandang untuk yang pertama
kalinya. Bahkan seharusnya untuk acara nadhar biasanya lebih dari mencuri
pandang, karena memang dianjurkan oleh Rasulullah. Tapi bagiku sangat cukup
melihatnya sekali-kali. Aku hanya bisa mengatakan dalam hatiku tentang Maisya,
subhanallah! Aku tak bisa ceritakan kepada pembaca karena itu hanya untukku
saja.


Tak
sadar keringat dingin mengalir dari pelipis. Ada apa gerangan? Kenapa rasanya
agak grogi? Ah, aku harus teguh dan tangguh hadapi semua ini. Obrolan pun mulai
bergulir. Dari mulai pertanyaan-pertanyaan agama secara umum sampai diskusi
tentang kerumahtanggaan. Kurang lebih satu jam aku di rumah itu. Aku pun pamit
sambil memberikan hadiah-hadiah buku-buku kecil tentang agama.


Di
bus kota aku senyum-senyum sendirian. Seakan-akan bus itu adalah bus patas AC
padahal sebenarnya hanya bus ekonomi yang panas dan penuh asap rokok. Tapi
semua itu tidak kurasakan. Kuberdoa semoga rayuan Kak Dahlia berhasil.


Ternyata
benar, beberapa hari kemudian aku ditelepon Maisya, kali ini menanyakan
kelanjutan proses kami kemarin. Kujawab jika dibolehkan akan kuajak keluargaku
di waktu yang kutentukan. Di penghujung pembicaraan, Maisya setuju dengan
tawaranku.


Kutanya
ke sana ke mari tentang barang-barang apa yang pantas dibawa ketika
meng-khitbah seorang wanita. Kubeli sebuah koper kecil dan kuisi dengan
barang-barang seperti bahan pakaian, komestik, sepatu, dan sebagainya. Tak lupa
aku bawakan buah-buahan seadanya. Hal ini sebenarnya sudah kutanyakan kepada
Maisya, tapi Maisya hanya menjawab terserah aku mau bawa apa saja pasti dia
akan terima. Duh…, senangnya.


Sebelumnya
aku lupa, ternyata Maisya masih punya darah Arab dari ibunya. Bahkan, ibunya
punya nasab Arab yang dikenal di Indonesia sebagai Habib (Orang Arab yang
mengaku punya garis nasab langsung dengan Rasulullah). Padahal setahuku
Rasulullah tak punya keturunan laki-laki yang kemudian punya anak. Yang ada
hanya Fatimah yang diperistri oleh Ali bin Abi Thalib. Sedangkan dalam Islam,
darah nasab hanya sah dari garis bapak atau lelaki. Jadi, mungkin yang dimaksud
mereka adalah keturunan dari Ali bin Abi Thalib.


Satu
hal yang perlu diketahui, bahwa dalam adat orang Arab terutama golongan Habaib
atau Habib, wanita mereka pantang dinikahi oleh non Arab. Bahkan, sebagian
mengharamkannya. Alasan yang populer adalah mereka merasa lebih mulia dari
keturunan non Arab. Bahkan, sebagian mengharamkannya. Aku pun harus siap dengan
apa yang akan aku hadapi nanti. Bisa jadi ditolak atau tidak. Dan yang ada di
depan mataku adalah ditolak.


Aku
datang sekeluarga dengan naik Taksi. Aku tidak punya mobil. Dari mana aku punya
mobil sedangkan aku baru bekerja setahun? Sambutan hambar kudapatkan ketika
memasuki ruang tamu. Di situ sudah hadir ibu-ibu yang merupakan keluarga besar
dari ibu Maisya. Anehnya,di acara itu tidak hadir laki-laki dari pihak keluarga
besar Maisya.

Kemudian
acara dilanjutkan dengan saling memberi sambutan. Namun yang kutunggu hanya
momen di mana Maisya menerima lamaranku dari mulutnya sendiri. Saat itu pun
tiba. Dengan agak malu-malu dan terbata-bata Maisya menerima lamaranku.


Diakhir
acara ketika hari penentuan hari "H" dan bentuk acaranya. Ada salah satu dari
anggota keluarga Maisya yang menanyakan uang untuk walimah nanti. Aku hanya
menjawab bahwa hal itu sudah kubicarakan dengan Maisya. Tapi dia memaksaku
untuk menyebutkan jumlahnya. Aku tetap tak mau menyebutkan. Rupanya orang tadi
kecewa berat dengan jawabanku.


Setelah
acara selesai, aku pamit. Sedikit lega kulalui detik-detik mendebarkan. Aku
bersyukur kepada Allah yang meloloskan diriku pada babak berikutnya dalam usaha
mengamalkan sunah Rasulullah yang mulia ini.


Ternyata
ujian belum selesai juga. Maisya didatangi keluarga besarnya dengan membawa
lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Lamaranku ditimpa oleh lamaran orang
lain.


Orang yang akan dijodohkan dengan Maisya masih punya hubungan keluarga.
Mereka datang dengan mobil, membawa makanan banyak sekali, uang lamaran, dan
juga perhiasan.


Apa
yang kubawa kemarin tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang dibawa pelamar
kedua ini. Tapi subhanallah, apa yang Maisya lakukan? Maisya tak mau
menemuinya. Maisya tak menerima lamarannya.


Bahkan
setelah rombongan itu pulang dan meninggalkan bawaan mereka sebagai lamaran
untuk Maisya, apa yang Maisya lakukan? "Kembalikan semua barang bawaannya dan
jangan ada yang menyentuh walau untuk mencicipi makanan, kembalikan dan jangan
ada yang tersisa di rumah ini." Aku dapatkan cerita ini dari kak Dahlia yang
meneleponku.


Mendengar
semua ini, tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku. Padahal aku adalah
lelaki yang selama ini selalu berpantang untuk menangis. Saat itulah aku mulai
yakin bahwa Maisya harus kudapatkan, sekali pun harus menghadapi hal-hal yang
menyakiti hatiku.

***

Beberapa
hari kemudian aku mendapat telepon dari seorang ibu yang mengaku bibi Maisya.
Ketika kutanya namanya dia tak mau menyebutkan. Malah dia nyerocos panjang
lebar tentang acara lamaranku kepada Maisya. Dengan nada sinis dan tinggi dia
mulai merayuku untuk membatalkan lamaranku. "Saya kasih tau ya! Kamu kan baru
bekerja belum satu tahun, belum punya rumah dan mobil. Sedangkan Juli Jajuli
(bukan nama asli) kan sudah punya kerjaan, rumah besar, mobil ada dua. Jadi,
kamu batalkan lamaran. Biar Maisya menerima lamaran Jajuli. Kamu kan bisa cari
yang lain."


Hhh!
Betapa mendidih mendengar ocehan sinis itu. Tapi aku langsung kontrol diri. Aku
jawab dengan suara pelan dan sopan bahwa aku akan terima hal itu dengan ikhlas
tanpa ada paksaan dari siapa pun. Sebelum kudengar langsung dari mulut Maisya,
aku tak akan pernah membatalkan lamaranku. Gubrakkkk!, terdengar suara gagang
telepon dibanting, padahal jawabanku belum selesai.


Suatu
hari di tengah kesibukanku, datanglah seorang wanita sekitar umur 25-30 tahun
ke kantorku. Tanpa permisi dan sopan santun dia menghampiriku, "Kamu yang
melamar Maisya? Kamu tuh ga tahu diri ya? Belum jadi menantu saja sudah
belagu," cerocosnya.

"Mohon
tenang dulu, apa masalahnya? Ayo kita duduk dulu di sini jelaskan dengan
pelan," sambutku dengan sabar.


"Kamu
tuh kalo ngasih alamat yang jelas, biar mudah dicari, saya sudah muter-muter
mencari alamatmu tapi ternyata tidak ketemu-ketemu, apa kamu mau mempermainkan
kami?" tukasnya sambil menunjukkan kartu namaku.


"Apa
tadi ente tidak tanya sama orang-orang?" tanyaku.


"Tidak!"
jawabnya ketus.


"Ya
jelas pasti kesasar, seharusnya ente tanya-tanya dong," sahutku.


"Aaah
udah deh jangan banyak alasan," jawabnya. "Eh aku kasih tau ya, kau tuh jangan
pernah macam-macam dengan keturunan Nabi, kuwalat loh!", ancamnya.


Dengan
sedikit senyum kujawab ancamannnya, "Kalo Nabi punya keturunan seperti ente,
pasti Nabi akan sangat marah pada ente. Wanita kok pakai celana jeans, kaos
ketat, dan tidak berjilbab. Nabi tentu akan malu jika punya keturunan seperti
ente." Wanita itu kabur sambil ngomel-ngomel entah apa yang dia katakan.


Kejadian
itu membuat hatiku semakin was-was dan khawatir. Kalau demikian dengkinya
mereka dengan pernikahanku bersama Maisya, maka bisa jadi mereka akan lebih
jauh lagi dalam memberikan "teror". Akankah mereka menghalangiku sampai
pelaksanaan hari "H"? Wallahu a'lam.


Yang
jelas sebelum aku tanda tangan surat nikah yang disediakan penghulu, maka aku
belum bisa menentukan bahwa Allah takdirkan aku menikahi Maisya. Semuanya bisa
terjadi. Sabarkanlah diriku ya Allah.


Dari
telepon pula aku tahu bahwa Maisya sempat disidang oleh keluarga besarnya untuk
membatalkan pernikahan denganku. Tapi dia lebih memilih akan kabur dari rumah
dan tetap menikah denganku. Padahal keluarganya memberi pilihan: batal nikah
atau putus hubungan keluarga.

***

Undangan
mulai kucetak. Sederhana sekali karena aku memang tidak punya biaya banyak
untuk pernikahan ini. Aku tidak punya saudara di kota tempat Maisya tinggal.
Jadi undangan yang banyak hanya untuk keluarga, tetangga, dan kenalan Maisya.


Hari
H semakin dekat. Persiapan juga semakin matang. Aku terharu lagi ketika
ditanya,


"Akhi siapnya ngasih berapa untuk persiapan ini? Tapi jangan merasa
berat dan terpaksa, kalau tidak ada ya nggak apa-apa." Aku hanya bisa tergagap
menjawabnya. Ku katakan bahwa aku akan mendapat sumbangan dari kantorku tapi
perlu proses untuk cair, jadi sementara aku hanya bisa beri sedikit. Itu pun
sudah kupaksakan pinjam ke sana-sini.


Tapi Maisya menyambut hal itu dengan
tanpa cemberut sedikitpun. Subhanallah.


Panitia
pernikahan dari ikhwan sudah aku siapkan. Aku bertekad bahwa pernikahan ini
harus seislami mungkin, di antaranya memisahkan antara tamu pria dan wanita
walau mungkin akan mendapatkan respon yang bermacam-macam. Aku tak peduli.


Keluarga
Maisya pun tak tinggal diam. Di antara mereka ada yang memintaku agar busana
Maisya pada saat penikahan nanti adalah busana pengantin pada umumnya.
Astaghfirullah, usulan yang sangat berlumuran dosa. Jelas kutolak
mentah-mentah.

Ada
juga yang nyeletuk agar pernikahan kami dihibur dengan orkes atau musik gambus
dan yang sejenisnya. Tapi itu pun aku tolak. Ternyata sampai mendekati hari H
pun aku harus beradu urat syaraf dengan mereka.


Tibalah
saatnya kegelisahanku yang paling dalam. Aku sedang berpikir bagaimana jadinya
jika ada yang mengacaukan pernikahanku. Aku punya seorang saudara marinir. Aku
telepon dia dan kuwajibkan datang. Kalau perlu pakai seragam resmi lengkap. Aku
akan jadikan dia sebagai pengamanan tambahan. Karena pengamanan Allah lebih
kuat, bahkan tidak perlu ada pengamanan tambahan. Itu hanya ikhtiar saja. Malam
hari "H" dia datang dan siap menghadiri acara nikah besoknya.


Aku
minta bantuan teman lamaku untuk mengantarku pakai Kijang. Teman senior
kantorku yang sudah aku anggap orang tuaku juga siap mengantar pakai Panther,
bahkan dialah yang akan memberi sambutan dari pihak mempelai pria.


Dengan
sedikit gemetar dan mata sedikit basah, aku lalui proses ijab kabul yang
sederhana tanpa disertai ritual-ritual yang tidak ada dasarnya seperti sungkem,
injak telor, membasuh kaki, dan sebagainya.


Tangisku
meledak ketika berdua dengan Maisya untuk pertama kalinya. Tangis makin dahsyat
saat aku menghadap ibuku. Kupeluk erat-erat ibuku, kakakku, dan saudara yang
mendampingiku.


Subhanallah,
aku sudah menjadi seorang suami. Aku menjadi kepala keluarga yang didampingi
oleh Maisya yang aku dapatkan dengan "darah dan air mata". Akhirnya kulalui
rumah tangga ini dengan segala bunga rampainya sampai dikaruniai beberapa anak
yang lucu-lucu. Semoga dapat aku lalui kehidupan ini dengan diiringi bimbingan
dari yang Maha membolak balikkan hati, sehingga hatiku tetap teguh dengan
agama-Nya.


Suami
Maisya

Diambil
dari Buku "Semudah Cinta Di Awal Senja" Terbitan Nikah Media Samara

-------------------
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]


[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
mailto:daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: