Selasa, 28 April 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2617[1 Attachment]

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (15 Messages)

Messages

1.

[OOT] E-Magz GRATIS dari bangaswi.com

Posted by: "Bang Aswi" bangaswi@yahoo.com   bangaswi

Mon Apr 27, 2009 3:11 am (PDT)



Alhamdulillah, akhirnya E-Magz perdana bisa hadir di sini. Sobat baraya dapat men-download Issue #001/April 2009 secara gratis dan dipersilakan untuk menyebarkannya pada siapa pun dan di mana pun. Issue pertama ini akan mengetengahkan pertanyaan, "Kapan sobat baraya pertama kali nge-blog?" pada rubrik Another Words. Ya, kendati sederhana, nge-blog pada akhirnya adalah aktivitas yang sudah mulai banyak memberikan manfaat, tidak hanya untuk pelakunya tetapi juga terhadap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Di luar itu, masih ada rubrik lainnya seperti Berhenti Sejenak, Cycling World, dan Dunia Hitungan. Tertarik?[]

Silakan DOWNLOAD!

Bang Aswi - Pekerja Buku
Blog [http://bangaswi.com/]

2.

(info) Buku Gratis, Praktis Menggunakan Jasa Perbankan Syariah, siap

Posted by: "agussyafii" agussyafii@yahoo.com   agussyafii

Mon Apr 27, 2009 3:12 am (PDT)



(info) Buku Gratis, Praktis Menggunakan Jasa Perbankan Syariah, siapa mau?

Assalamu'alaikum Wr Wb

Dear Sahabat yang Tercinta,

Dalam kurun satu setengah dasawarsa perbankan syariah telah hadir ditanah air dan turut berkontribusi dalam roda perekonomian Indonesia. Secara bertahap namun pasti eksistensi dan peran bank syariah dalam sistem perbankan nasional semakin nampak nyata dengan berbagai pencapaian yang cukup berrarti. Indikator keuangan perbankan syariah, baik pernghimpun dana maupun aspek pembiayaan terus meningkat. Disisi lain kekuatan bank syariah, khususnya pada penerapan nilai-nilai syariah yang sesuai dengan kesajtian insani, aspek keadilan, dan tingkat kemaslahatannya yang nyata dengan kebutuhan perekonomian, makin diyakini dapat mencapau kesejahteraan rakyat yang berkesinambungan dan hakiki.

Itulah sebabnya buku 'Tuntunan Praktis Menggunakan Jasa Perbankan Syariah' yang diterbitkan yang diterbitkan PKES adalah buku tuntunan praktis yang melengkapi ikhtiar Bank Indonesia dalam program akselerasi pengembangan perbankan syariah untuk mencapai pangsa pasar 5% diakhir tahun 2008.

Karena itu mari kita kenali Bank syariah, gunakan jasa layanannya maka anda turut serta dalam upaya pengembangan bank syariah dinegeri ini. Insya alloh..

buku 'Tuntunan Praktis Menggunakan Jasa Perbankan Syariah' Penulis, Ir. H. Muhamad Nadratuzzaman Hosen Ms.,MEc.,Ph.D & Sunarwin Kartika Setiati, diterbitkan PKES, buku ini gratis, bagi teman2 yang berminat, silahkan kirimkan email ke agussyafii@yahoo.com

Wassalam,
agussyafii

3a.

Re: (Inspirasi) Sehari di Situ Gintung

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Mon Apr 27, 2009 7:16 am (PDT)



Hmm..menyentuh sekali,Jenny. Bencana itu memang tak terduga datangnya. Saya
yang pernah beberapa kali ke Situ Gintung -- terakhir kali waktu Milad SK
bulan Juli 2008 -- tak menyangka sama sekali jika tempat itu akan luluh
lantak. Ah, luka itu nyata! Ungkapan ini sungguh mewakili (dan sangat
bernas) akan duka yang ada. Semoga segalanya akan lebih baik, dan ada hikmah
yang tertinggal di sana. Bukan cuma lumpur dan lara.

Jenny, terima kasih ya sudah berbagi dan memberikan refleksi yang menggugah.

Tabik,

Nursalam AR

On 4/27/09, Jenny Jusuf <j3nnyjusuf@yahoo.com> wrote:
>
>
>
> "Ada apa, Mas?"
> "Nggak apa-apa. Tadi saya liat sesuatu. Saya pikir kaki. Taunya bukan."
> "Kaki?"
> "Iya. Kalo bener, mau saya ambil."
> "Hah? Caranya?"
> "Dibuntel."
> "Hah?! Pakai apa?"
> "Ya pakai apa aja, yang ada di sini."
>
> Jawaban terakhir itu membuat saya *mingkem *dan memutuskan untuk tidak
> bertanya lagi. Saya mempercepat langkah sambil terus merunduk, berhati-hati
> agar tidak menginjak paku atau benda tajam yang menyembul dari retakan
> lumpur. Di depan, relawan yang berbaik hati mengajak saya turun ke lokasi
> bencana paling parah di Situ Gintung terus berjalan dengan langkah-langkah
> mantap. Sesekali ia menoleh untuk memastikan saya tidak tertinggal, dan
> sekali-dua kali mengulurkan tangan untuk membantu saya berjalan di atas
> lumpur licin.
>
> Sambil berjalan, ia terus bercerita. Tentang arwah-arwah yang mendatangi
> para relawan dan penduduk setempat untuk memberitahu dimana jasad mereka
> terkubur. Tentang satu keluarga yang tidak mampu menyelamatkan diri sehingga
> mereka semua meninggal di tempat. Tentang seorang laki-laki yang ditugaskan
> keluar kota dan kembali hanya untuk mendapatkan rumahnya telah berubah
> menjadi timbunan puing. Tentang seorang ayah yang anak-istrinya tewas
> mengenaskan. Tentang seorang ibu dan bayinya yang sampai sekarang belum
> ditemukan. Tentang seorang anak yang selamat gara-gara tersangkut di pohon
> nangka, sementara seluruh keluarganya tewas. Tentang seorang tukang bakso
> yang kehilangan istrinya yang sedang mengandung, lantaran pegangannya tak
> cukup kuat untuk menyelamatkan mereka berdua.
>
> Saya mendengarkan sambil membisu. Mendadak saya tak tahu harus mensyukuri
> atau menyesali keputusan saya turun ke lokasi paling parah ini, ditambah
> lagi, kami hanya berdua. Relawan-relawan lain memilih untuk tetap tinggal di
> posko sambil menunggu beberapa rekan menyelesaikan tugasnya. Saya, yang
> sejak awal sudah penasaran ingin menyambangi lokasi, tidak menyia-nyiakan
> ajakan seorang relawan yang sudah khatam setiap inci daerah pusat bencana
> tersebut.
>
> Media cetak dan elektronik telah membuat musibah Situ Gintung tampak lebih
> bombastis –kalau tidak bisa dibilang gigantis— dari kondisi sebenarnya, dan
> tidak sedikit pihak yang memanfaatkan peristiwa yang berdekatan dengan
> Pemilu ini untuk menangguk keuntungan pribadi; namun lepas dari apa pun yang
> saya amati, lepas dari derasnya informasi yang membombardir otak seperti
> senapan mesin, saya menyadari satu hal: luka itu nyata.
>
> Beberapa saat sebelum terapi relaksasi 'Tentram Ikhlas' untuk para korban
> bencana dimulai, koordinator regu kami memberikan pengenalan singkat kepada
> puluhan warga yang berkumpul untuk menerima santunan di sebuah posko. Lima
> menit waktu yang diberikan. Baru semenit ia berbicara –bahkan belum sempat
> menuntaskan kalimatnya— seorang wanita paruh baya yang duduk di pojokan
> sudah berkali-kali menyusut mata dengan kain jarit yang dipakainya. Beberapa
> warga memandanginya dengan nanar. Ada pula yang membisu dengan sorot mata
> hampa. Luka itu ada, dan terlalu nyata untuk diabaikan.
>
> Berjam-jam kemudian, saat terapi berbasis metode Tapas Acupressure
> Technique (TAT) <http://www.tatlife.com/> diberikan kepada sekitar
> delapanpuluh warga, saya terpukau sendiri melihat perubahan rona wajah
> orang-orang yang silih berganti mendatangi posko tempat kami berpraktek.
> Kebanyakan dari mereka masuk dengan ekspresi sarat beban, mata sayu, langkah
> setengah diseret, dan sebagainya. Setelah terapi diberikan, mereka keluar
> dengan air muka yang sama sekali berbeda. Penderitaan itu belum hilang
> sepenuhnya, namun mata mereka tidak lagi hampa. Mereka mampu berjalan lebih
> tegak, dan harapan baru yang bersinar di sana menghangatkan hati saya.
>
> Selama proses, berkali-kali saya merasakan haru yang besar. Terbersit pula
> keinginan untuk mendalami metode terapi sederhana ini<http://www.truenaturehealing.net/Panduan-Klien-TAT.pdf>.
> Siapa tahu kelak saya bisa menggunakannya untuk menolong orang lain, atau
> setidaknya, menolong diri saya sendiri, karena TAT tidak hanya diperuntukkan
> bagi korban bencana. Teknik yang masuk ke Indonesia pada tahun 2006 ini
> dapat digunakan untuk mengatasi berbagai jenis trauma, alergi, masalah
> batin, dan banyak lagi.
>
> Selama proses itu pula, berkali-kali saya membayangkan, apa saja yang telah
> dialami orang-orang tersebut. Apakah mereka kehilangan anggota keluarga?
> Apakah mereka kehilangan rumah? Apakah mereka kehilangan seluruh harta
> benda? Apakah mereka menyaksikan kejadian mengerikan itu dengan mata kepala
> sendiri? Separah apa trauma yang mereka alami?
>
> Salah satu relawan bercerita, seorang bocah mendadak lari terbirit-birit
> ketika melihat air mineral, dan seorang ibu berteriak-teriak ketakutan
> melihat air mengucur dari keran. Musibah itu telah memicu rasa takut yang
> demikian hebat pada air, dan trauma yang ditimbulkannya dapat menyebabkan
> 'kerusakan' yang lebih parah dari sekadar kerugian fisik dan materi.
>
> Melihat dan mendengar itu semua membuat saya berkali-kali membisikkan
> terima kasih; bukan saja karena saya tidak mengalami bencana dan memiliki
> kehidupan yang jauh lebih baik, melainkan karena saya bisa menjadi bagian
> dari rombongan kecil ini. Sekumpulan orang yang tidak berasal dari
> organisasi mana pun, tidak dikomando siapa pun, dan tidak mewakili
> kepentingan pihak mana pun. Yang kami punya hanya niat dan tenaga, dan
> sepenuh hati saya bersyukur diberi kesempatan untuk berada di sana.
>
> -----
>
> Relawan yang memandu saya memperlihatkan lebih banyak lagi reruntuhan dan
> puing, lantas mengajak saya menyeberangi lahan luas. Di ujung lahan ini
> terdapat jalan setapak yang akan kami tempuh untuk kembali ke posko. Nyaris
> tidak ada bangunan utuh di atasnya. Lahan yang dulunya pemukiman padat
> penduduk telah menjadi tanah rata.
>
> Ralat. Lumpur kering rata. Lahan itu tertutup lumpur kering yang meretak
> akibat panas matahari.
>
> "Sekarang *mah* mendingan Mbak, udah bisa buat jalan. Dulu lumpurnya
> basah, kalo nggak pake sepatu bot, nggak boleh masuk ke sini," ujar pemandu
> saya. Saya terdiam. Teringat pada ceritanya sebelum kami berdua sampai ke
> situ. Hingga hari ini, masih ada beberapa warga yang hilang dan diperkirakan
> tewas tertimbun lumpur.
>
> "Ada kemungkinan warga yang belum ketemu itu *ketimbun* di bawah sini?"
> Mendadak tenggorokan saya seret.
>
> Pemandu saya mengangguk. "Bisa jadi. Tapi udah susah dicari, sih…" ia
> berjalan mendahului saya. Perlahan, saya menjejakkan kaki di atas lumpur,
> berusaha mencerna kemungkinan bahwa tanah yang saya pijak masih menyimpan
> jasad-jasad yang belum sempat dievakuasi. Jasad yang dulunya punya nyawa.
> Hidup. Manusia. Seperti saya.
>
> Di bawah sini mungkin ada orang.
> Di sana pernah ada rumah.
> Di situ dulunya kos-kosan tingkat dua...
> ...dan sebulan yang lalu, mereka semua masih ada.
>
> Kaki saya terus melangkah, namun benak saya tidak henti-hentinya melisankan
> begitu banyak hal.
>
> Sesampainya kami di posko, rekan-rekan relawan sudah menunggu untuk
> meninggalkan lokasi. Setelah berpamitan kepada warga setempat, kami berjalan
> beriringan ke tempat parkir.
>
> "Seneng, udah berhasil lihat tempatnya?" Sahabat saya –penggagas kunjungan
> ini sekaligus koordinator regu kami— bertanya sambil nyengir.
>
> "Puas, iya. Seneng, nggak," sahut saya.
>
> Keinginan saya memang kesampaian, namun rasa sakit itu terlalu pekat untuk
> ditanggung berlama-lama. Luka itu ada dimana-mana. Saya merasa 'perih' hanya
> dengan menjejakkan kaki di atas lumpur kering yang pernah mengubur begitu
> banyak orang. Saya bersyukur bisa menyaksikan semuanya dengan mata kepala
> sendiri, namun saya tidak yakin ingin kembali ke puing-puing itu.
>
> "Thanks ya, udah bantuin," celetuk sahabat saya. Entah sudah berapa kali
> ia mengucapkan itu seharian ini. Saya mengiyakan. Namun suara kecil di sudut
> hati saya berbisik, sayalah yang seharusnya berterimakasih.
>
> Waduk yang jebol, bangunan yang luluh lantak, rumah-rumah yang tinggal
> puing dan rangka, lahan berlumpur yang menyimpan begitu banyak duka dan
> cerita perih di bawahnya, para korban yang menanggung derita, sorot wajah
> redup, sinar mata sayu, dan kaki-kaki yang berjalan setengah terseret;
> kepada kalianlah saya berhutang terima kasih. Bukan karena kalian
> menyadarkan betapa beruntungnya saya, melainkan karena kalian telah
> mendekatkan saya kepada hidup.
>
> Tak lama berselang, saya dan sahabat berkendara pulang. Hari semakin sore.
> Mobil melaju perlahan, bersaing mencapai gerbang tol dengan ratusan
> kendaraan lain yang menyemuti jalan. Badan saya mulai berteriak-teriak minta
> istirahat karena malam sebelumnya saya hanya tidur selama tiga jam, namun
> pikiran saya tidak sudi tenang.
>
> Saya duduk tegak, menatap sahabat saya yang sibuk memindahkan persneling.
>
> "Can you imagine, losing everything in one night?"
>
> Retoris. Saya tahu. Saya hanya *harus* mencetuskannya, agar benak saya
> kembali punya cukup ruang untuk memproses berbagai pemikiran yang menyerbu
> silih berganti. Pemikiran yang mengusik dan menantang saya untuk menilik
> kembali daftar prioritas yang selama ini tersusun rapi dalam sel-sel kelabu
> otak saya.
>
> Situ Gintung telah meluluhlantakkan daerah sekitarnya dan menelan korban
> ratusan jiwa. Menyisakan timbunan lumpur setinggi dua meter, bocah-bocah
> yang menangis kehilangan orang tua, suami yang kehilangan istri, ibu yang
> kehilangan anak, dan entah berapa keluarga yang kehilangan tempat berteduh
> dan harta benda. Pada saat yang sama, ia mengajarkan saya untuk mengalir.
>
> Bila umur memang tidak dapat ditebak, bila tidak ada yang bisa menggaransi
> berapa sisa waktu saya di dunia, bila saya tidak pernah tahu kapan
> perjalanan ini akan tiba di ujungnya, bila setiap detik yang berharga ini
> tidak akan bisa diulang kembali, dan bila perpisahan dengan hidup bisa
> menggedor pintu saya kapan saja, barangkali daftar prioritas saya memang
> layak ditata ulang. Dan kali ini, saya tidak menginginkannya tersusun
> rapi-matang-terencana.
>
> I want a journey. A real one. A grand one. It doesn't have to be beautiful,
> but I want it to be real.
>
> Sore itu, saya menggeser beberapa hal yang selama ini bertengger di urutan
> pertama daftar prioritas saya. Bersamaan dengan itu, runtuh pula sebuah
> keyakinan yang selama ini saya genggam erat.
>
> Yang terpenting bagi saya ternyata bukan mengisi hidup dengan hal berguna
> sebanyak-banyaknya. Bukan lagi berpacu dengan waktu untuk memenangkan apa
> yang disebut kesuksesan. Bukan pula menumpuk amal dan kebaikan. Bahkan,
> bukan mengisinya dengan jam-jam ibadah panjang demi selembar tiket emas ke
> Surga.
>
> Yang terpenting bagi saya kini adalah mengalir bersama hidup.
> Sebaik-baiknya. Seutuhnya. Menjalani setiap momen sebagai sesuatu yang baru
> tanpa terus terlempar ke masa lalu dan terseret ke masa depan. Menjelang
> setiap detik sebagai anugerah.
>
> Hidup sepenuh-penuhnya. Itu saja.
>
> Sahabat saya menggeleng, "*No*."
>
> Perlahan, saya merebahkan kepala ke sandaran kursi yang dingin terpapar AC.
> Membiarkan pertanyaan itu tergusur oleh kemacetan Minggu sore dan
> mobil-mobil yang merayap padat. Membiarkannya tergerus tuntas, karena yang
> saya perlukan memang hanya melontarkannya agar hati ini kembali lapang.
>
> I can't, either.
>
> But one thing I know for sure;
> Life is precious. Go with the flow.
>
>
> *ROCK Your Life!*
> *- Jenny Jusuf -*
> *http://jennyjusuf.blogspot.com* <http://jennyjusuf.blogspot.com/>
>
>
>

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
(launching 1 Mei 2009)
3b.

Re: (Inspirasi) Sehari di Situ Gintung

Posted by: "Jenny Jusuf" j3nnyjusuf@yahoo.com   j3nnyjusuf

Mon Apr 27, 2009 8:43 am (PDT)



Terima kasih kembali, Mas Nursalam. Saya sendiri sangat bersyukur diberi kesempatan untuk pergi ke sana dan melihat kondisi yang ada dengan mata sendiri, sekalipun sudah agak terlambat (saya baru menginjakkan kaki di Situ Gintung tiga minggu setelah kejadian).

Meski terdengar klise, saya yakin ada hikmah di balik setiap kejadian. Seremeh atau sedahsyat apa pun. Situ Gintung tidak hanya menyisakan lara; ia menyimpan begitu banyak mutiara dan permata berharga di balik lapisan lumpurnya, seandainya kita cukup peka (dan mau) untuk menemukannya. :-)

Salam,

JJ

ROCK Your Life! - Jenny Jusuf - http://jennyjusuf.blogspot.com

--- On Mon, 4/27/09, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com> wrote:

From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>
Subject: Re: [sekolah-kehidupan] (Inspirasi) Sehari di Situ Gintung
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Monday, April 27, 2009, 10:16 AM

Hmm..menyentuh sekali,Jenny. Bencana itu memang tak terduga datangnya. Saya yang pernah beberapa kali ke Situ Gintung -- terakhir kali waktu Milad SK bulan Juli 2008 -- tak menyangka sama sekali jika tempat itu akan luluh lantak. Ah, luka itu nyata! Ungkapan ini sungguh mewakili (dan sangat bernas) akan duka yang ada. Semoga segalanya akan lebih baik, dan ada hikmah yang tertinggal di sana. Bukan cuma lumpur dan lara.

 
Jenny, terima kasih ya sudah berbagi dan memberikan refleksi yang menggugah.
 
Tabik,
 
Nursalam AR

 
On 4/27/09, Jenny Jusuf <j3nnyjusuf@yahoo. com> wrote:

“Ada apa, Mas?”
“Nggak apa-apa. Tadi saya liat sesuatu. Saya pikir kaki. Taunya bukan.”

“Kaki?”
“Iya. Kalo bener, mau saya ambil.”
“Hah? Caranya?”
“Dibuntel.”

“Hah?! Pakai apa?”
“Ya pakai apa aja, yang ada di sini.”

Jawaban terakhir itu membuat saya mingkem dan memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Saya mempercepat langkah sambil terus merunduk, berhati-hati agar tidak menginjak paku atau benda tajam yang menyembul dari retakan lumpur. Di depan, relawan yang berbaik hati mengajak saya turun ke lokasi bencana paling parah di Situ Gintung terus berjalan dengan langkah-langkah mantap. Sesekali ia menoleh untuk memastikan saya tidak tertinggal, dan sekali-dua kali mengulurkan tangan untuk membantu saya berjalan di atas lumpur licin.

Sambil berjalan, ia terus bercerita. Tentang arwah-arwah yang mendatangi para relawan dan penduduk setempat untuk memberitahu dimana jasad mereka terkubur. Tentang satu keluarga yang tidak mampu menyelamatkan diri sehingga mereka semua meninggal di tempat. Tentang seorang laki-laki yang ditugaskan keluar kota dan kembali hanya untuk mendapatkan rumahnya telah berubah menjadi timbunan puing. Tentang seorang ayah yang anak-istrinya tewas mengenaskan. Tentang seorang ibu dan bayinya yang sampai sekarang belum ditemukan. Tentang seorang anak yang selamat gara-gara tersangkut di pohon nangka, sementara seluruh keluarganya tewas. Tentang seorang tukang bakso yang kehilangan istrinya yang sedang mengandung, lantaran pegangannya tak cukup kuat untuk menyelamatkan mereka berdua.

Saya mendengarkan sambil membisu. Mendadak saya tak tahu harus mensyukuri atau menyesali keputusan saya turun ke lokasi paling parah ini, ditambah lagi, kami hanya berdua. Relawan-relawan lain memilih untuk tetap tinggal di posko sambil menunggu beberapa rekan menyelesaikan tugasnya. Saya, yang sejak awal sudah penasaran ingin menyambangi lokasi, tidak menyia-nyiakan ajakan seorang relawan yang sudah khatam setiap inci daerah pusat bencana tersebut.

Media cetak dan elektronik telah membuat musibah Situ Gintung tampak lebih bombastis â€"kalau tidak bisa dibilang gigantisâ€" dari kondisi sebenarnya, dan tidak sedikit pihak yang memanfaatkan peristiwa yang berdekatan dengan Pemilu ini untuk menangguk keuntungan pribadi; namun lepas dari apa pun yang saya amati, lepas dari derasnya informasi yang membombardir otak seperti senapan mesin, saya menyadari satu hal: luka itu nyata.

Beberapa saat sebelum terapi relaksasi ‘Tentram Ikhlas’ untuk para korban bencana dimulai, koordinator regu kami memberikan pengenalan singkat kepada puluhan warga yang berkumpul untuk menerima santunan di sebuah posko. Lima menit waktu yang diberikan. Baru semenit ia berbicara â€"bahkan belum sempat menuntaskan kalimatnyaâ€" seorang wanita paruh baya yang duduk di pojokan sudah berkali-kali menyusut mata dengan kain jarit yang dipakainya. Beberapa warga memandanginya dengan nanar. Ada pula yang membisu dengan sorot mata hampa. Luka itu ada, dan terlalu nyata untuk diabaikan.

Berjam-jam kemudian, saat terapi berbasis metode Tapas Acupressure Technique (TAT) diberikan kepada sekitar delapanpuluh warga, saya terpukau sendiri melihat perubahan rona wajah orang-orang yang silih berganti mendatangi posko tempat kami berpraktek. Kebanyakan dari mereka masuk dengan ekspresi sarat beban, mata sayu, langkah setengah diseret, dan sebagainya. Setelah terapi diberikan, mereka keluar dengan air muka yang sama sekali berbeda. Penderitaan itu belum hilang sepenuhnya, namun mata mereka tidak lagi hampa. Mereka mampu berjalan lebih tegak, dan harapan baru yang bersinar di sana menghangatkan hati saya.

Selama proses, berkali-kali saya merasakan haru yang besar. Terbersit pula keinginan untuk mendalami metode terapi sederhana ini. Siapa tahu kelak saya bisa menggunakannya untuk menolong orang lain, atau setidaknya, menolong diri saya sendiri, karena TAT tidak hanya diperuntukkan bagi korban bencana. Teknik yang masuk ke Indonesia pada tahun 2006 ini dapat digunakan untuk mengatasi berbagai jenis trauma, alergi, masalah batin, dan banyak lagi.

Selama proses itu pula, berkali-kali saya membayangkan, apa saja yang telah dialami orang-orang tersebut. Apakah mereka kehilangan anggota keluarga? Apakah mereka kehilangan rumah? Apakah mereka kehilangan seluruh harta benda? Apakah mereka menyaksikan kejadian mengerikan itu dengan mata kepala sendiri? Separah apa trauma yang mereka alami?

Salah satu relawan bercerita, seorang bocah mendadak lari terbirit-birit ketika melihat air mineral, dan seorang ibu berteriak-teriak ketakutan melihat air mengucur dari keran. Musibah itu telah memicu rasa takut yang demikian hebat pada air, dan trauma yang ditimbulkannya dapat menyebabkan ‘kerusakan’ yang lebih parah dari sekadar kerugian fisik dan materi.

Melihat dan mendengar itu semua membuat saya berkali-kali membisikkan terima kasih; bukan saja karena saya tidak mengalami bencana dan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik, melainkan karena saya bisa menjadi bagian dari rombongan kecil ini. Sekumpulan orang yang tidak berasal dari organisasi mana pun, tidak dikomando siapa pun, dan tidak mewakili kepentingan pihak mana pun. Yang kami punya hanya niat dan tenaga, dan sepenuh hati saya bersyukur diberi kesempatan untuk berada di sana.

-----

Relawan yang memandu saya memperlihatkan lebih banyak lagi reruntuhan dan puing, lantas mengajak saya menyeberangi lahan luas. Di ujung lahan ini terdapat jalan setapak yang akan kami tempuh untuk kembali ke posko. Nyaris tidak ada bangunan utuh di atasnya. Lahan yang dulunya pemukiman padat penduduk telah menjadi tanah rata.

Ralat. Lumpur kering rata. Lahan itu tertutup lumpur kering yang meretak akibat panas matahari.

“Sekarang mah mendingan Mbak, udah bisa buat jalan. Dulu lumpurnya basah, kalo nggak pake sepatu bot, nggak boleh masuk ke sini,” ujar pemandu saya. Saya terdiam. Teringat pada ceritanya sebelum kami berdua sampai ke situ. Hingga hari ini, masih ada beberapa warga yang hilang dan diperkirakan tewas tertimbun lumpur.

“Ada kemungkinan warga yang belum ketemu itu ketimbun di bawah sini?” Mendadak tenggorokan saya seret.

Pemandu saya mengangguk. “Bisa jadi. Tapi udah susah dicari, sih…” ia berjalan mendahului saya. Perlahan, saya menjejakkan kaki di atas lumpur, berusaha mencerna kemungkinan bahwa tanah yang saya pijak masih menyimpan jasad-jasad yang belum sempat dievakuasi. Jasad yang dulunya punya nyawa. Hidup. Manusia. Seperti saya.

Di bawah sini mungkin ada orang.
Di sana pernah ada rumah.
Di situ dulunya kos-kosan tingkat dua...
...dan sebulan yang lalu, mereka semua masih ada.

Kaki saya terus melangkah, namun benak saya tidak henti-hentinya melisankan begitu banyak hal.

Sesampainya kami di posko, rekan-rekan relawan sudah menunggu untuk meninggalkan lokasi. Setelah berpamitan kepada warga setempat, kami berjalan beriringan ke tempat parkir.

“Seneng, udah berhasil lihat tempatnya?” Sahabat saya â€"penggagas kunjungan ini sekaligus koordinator regu kamiâ€" bertanya sambil nyengir.

“Puas, iya. Seneng, nggak,” sahut saya.

Keinginan saya memang kesampaian, namun rasa sakit itu terlalu pekat untuk ditanggung berlama-lama. Luka itu ada dimana-mana. Saya merasa ‘perih’ hanya dengan menjejakkan kaki di atas lumpur kering yang pernah mengubur begitu banyak orang. Saya bersyukur bisa menyaksikan semuanya dengan mata kepala sendiri, namun saya tidak yakin ingin kembali ke puing-puing itu.

"Thanks ya, udah bantuin,” celetuk sahabat saya. Entah sudah berapa kali ia mengucapkan itu seharian ini. Saya mengiyakan. Namun suara kecil di sudut hati saya berbisik, sayalah yang seharusnya berterimakasih.

Waduk yang jebol, bangunan yang luluh lantak, rumah-rumah yang tinggal puing dan rangka, lahan berlumpur yang menyimpan begitu banyak duka dan cerita perih di bawahnya, para korban yang menanggung derita, sorot wajah redup, sinar mata sayu, dan kaki-kaki yang berjalan setengah terseret; kepada kalianlah saya berhutang terima kasih. Bukan karena kalian menyadarkan betapa beruntungnya saya, melainkan karena kalian telah mendekatkan saya kepada hidup.

Tak lama berselang, saya dan sahabat berkendara pulang. Hari semakin sore. Mobil melaju perlahan, bersaing mencapai gerbang tol dengan ratusan kendaraan lain yang menyemuti jalan. Badan saya mulai berteriak-teriak minta istirahat karena malam sebelumnya saya hanya tidur selama tiga jam, namun pikiran saya tidak sudi tenang.

Saya duduk tegak, menatap sahabat saya yang sibuk memindahkan persneling.

"Can you imagine, losing everything in one night?”

Retoris. Saya tahu. Saya hanya harus mencetuskannya, agar benak saya kembali punya cukup ruang untuk memproses berbagai pemikiran yang menyerbu silih berganti. Pemikiran yang mengusik dan menantang saya untuk menilik kembali daftar prioritas yang selama ini tersusun rapi dalam sel-sel kelabu otak saya.

Situ Gintung telah meluluhlantakkan daerah sekitarnya dan menelan korban ratusan jiwa. Menyisakan timbunan lumpur setinggi dua meter, bocah-bocah yang menangis kehilangan orang tua, suami yang kehilangan istri, ibu yang kehilangan anak, dan entah berapa keluarga yang kehilangan tempat berteduh dan harta benda. Pada saat yang sama, ia mengajarkan saya untuk mengalir.

Bila umur memang tidak dapat ditebak, bila tidak ada yang bisa menggaransi berapa sisa waktu saya di dunia, bila saya tidak pernah tahu kapan perjalanan ini akan tiba di ujungnya, bila setiap detik yang berharga ini tidak akan bisa diulang kembali, dan bila perpisahan dengan hidup bisa menggedor pintu saya kapan saja, barangkali daftar prioritas saya memang layak ditata ulang. Dan kali ini, saya tidak menginginkannya tersusun rapi-matang- terencana.

I want a journey. A real one. A grand one. It doesn’t have to be beautiful, but I want it to be real.

Sore itu, saya menggeser beberapa hal yang selama ini bertengger di urutan pertama daftar prioritas saya. Bersamaan dengan itu, runtuh pula sebuah keyakinan yang selama ini saya genggam erat.

Yang terpenting bagi saya ternyata bukan mengisi hidup dengan hal berguna sebanyak-banyaknya. Bukan lagi berpacu dengan waktu untuk memenangkan apa yang disebut kesuksesan. Bukan pula menumpuk amal dan kebaikan. Bahkan, bukan mengisinya dengan jam-jam ibadah panjang demi selembar tiket emas ke Surga.

Yang terpenting bagi saya kini adalah mengalir bersama hidup. Sebaik-baiknya. Seutuhnya. Menjalani setiap momen sebagai sesuatu yang baru tanpa terus terlempar ke masa lalu dan terseret ke masa depan. Menjelang setiap detik sebagai anugerah.

Hidup sepenuh-penuhnya. Itu saja.

Sahabat saya menggeleng, “No.”

Perlahan, saya merebahkan kepala ke sandaran kursi yang dingin terpapar AC. Membiarkan pertanyaan itu tergusur oleh kemacetan Minggu sore dan mobil-mobil yang merayap padat. Membiarkannya tergerus tuntas, karena yang saya perlukan memang hanya melontarkannya agar hati ini kembali lapang.

I can’t, either.

But one thing I know for sure;
Life is precious. Go with the flow.

ROCK Your Life!
- Jenny Jusuf -
http://jennyjusuf. blogspot. com

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer

0813-10040723
021-92727391
www.nursalam. multiply. com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania. multiply. com aja!

(launching 1 Mei 2009)











4.

Kartini dan Kesadaran Berbahasa

Posted by: "Wildan Nugraha" wildanugraha@yahoo.com   wildanugraha

Mon Apr 27, 2009 12:37 pm (PDT)



Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 19 April 2009
----------------------------------------------------------

Kartini dan Kesadaran Berbahasa

Oleh Wildan Nugraha

LEPAS dari sosoknya yang bagi sementara pihak sangat lekat dengan kepentingan politik etis Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, kesadaran berbahasa Kartini agaknya menjadi salah satu faktor yang membuatnya terus dikenang. Tanggal ulang tahunnya, 21 April, di negeri ini identik dengan namanya; nama seorang perempuan ningrat yang lahir di Jepara pada 1879.

Dalam salah satu suratnya kepada Stella Zeehandelaar, Kartini mengungkapkan bahwa selain bahasa Belanda yang sudah dikuasainya, dia pun ingin pula mahir berbahasa asing lainnya, yakni bahasa Prancis, Inggris, dan Jerman. Bukan karena agar pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulisnya.

Antara lain lewat kesadaran berbahasa itulah Kartini menemukan ketidakberesan dalam masyarakatnya. Meski dikungkung adat, mata Kartini lebar terbuka melihat dunia luas di luar Jepara, teristimewa kepada dunia Barat, dan hal itu menyuburkan daya kritis dalam nuraninya. "Adat sopan santun orang Jawa amat sukar," ujar (Raden Ajeng) Kartini kepada Stella dalam surat bertanggal 18 Agustus 1899.

Tentang feodalisme yang sangat mengakar di lingkungannya Kartini menggambarkan, misal, bila adiknya sedang duduk di kursi dan dia berjalan melewatinya, maka sampai kakaknya berlalu sang adik harus turun duduk di tanah sambil menundukkan kepalanya. Sementara, seorang gadis Jawa yang baik jalannya harus perlahan-lahan dengan langkah yang pendek-pendek seperti siput layaknya. Lalu dalam hal berbahasa pun, Kartini menyadari bahwa bahasa yang bertingkat-tingkat di lingkungannya itu menghadirkan sekat-sekat kemanusiaan: seseorang akan "berdosa" bila memakai bahasa Jawa rendah (ngoko) kepada sembarang orang.

Akan tetapi, Kartini bukan seorang "radikal". Dia tidak lantas membenci kejawaannya. "Boleh jadi seluruh badan kami sudah dijiwai pikiran dan perasaan Eropa; tetapi, darah, darah Jawa yang hidup dan mengalir hangat dalam tubuh kami ini, sekali-kali tidak dapat dihilangkan. Kami merasainya pada harum kemenyan dan semerbak bunga, pada lagu-lagu gamelan, pada irama angin ketika meresak pucuk-pucuk pohon kelapa, pada dekut perkutut, pada waktu batang padi bersiul, saat lesung padi berdentung-dentung," ungkap Kartini dalam satu suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon. Pun, Kartini menghargai orang tua dan kakak-kakaknya dengan menuruti semua adat Jawa dengan tertib. Tapi sebagai sebentuk perlawanan, kata Kartini kepada Stella, "Mulai dari aku ke bawah, kami langgar seluruhnya adat itu."

Salah satu hal yang ditekankan Kartini adalah mengenai pencerahan akal budi, sebuah inti dari pemikiran modern yang tengah berkembang di Eropa pada masa itu, yang membayang kuat di benak Kartini. "Kemajuan peradaban," katanya kepada Nyonya Ovink-Soer, "didapat bila kecerdasan pikiran dan kecerdasan budi sama-sama dimajukan." Lantas, soal mempertinggi derajat budi manusia, Kartini kerap menyoal ihwal kesadarannya dalam berkeyakinan.

Kepada Stella dalam suratnya bertanggal 6 November 1899, misalnya---dan terbaca juga dalam surat-suratnya kepada Nyonya Abendanon---Kartini melihat bahwa kepada masyarakat di tempatnya keteguhan taklid lebih kuat ditanamkan ketimbang keteguhan yang dilandasi kesadaran. Bagaimana mungkin seseorang bisa mencintai keyakinannya bila tidak mengenalnya, ungkapnya. "Orang-orang di sini diajarkan membacanya, tapi tidak diajarkan maknanya," katanya. "Pikirku, itu pekerjaan gila." Banyak lagi Kartni menuliskan kegundahannya mengenai realitas di sekelilingnya yang dengan tersirat dia sandarkan kepada keyakinannya. "Papa orang yang tidak dapat mengerti, bahwa kecuali ada keluhuran dalam derajat dan pangkat, masih ada keluhuran lain yang meniadakan segala-galanya," tulisnya kepada Nyonya Abendanon, 13 Agustus 1900.

Kesadaran berbahasa memang merupakan sesuatu yang penting. Dalam hal Kartini, kesadaran ini tak bisa dilepaskan dari kebiasaannya berkorespondensi dengan sahabat-sahabat penanya. Mungkin kita bisa menganggap semua peristiwa yang dialami seseorang sebagai peristiwa yang acak; dan kebiasaan menulis sebagai salah sebuah upaya merefleksikan peristiwa-peristiwa acak tersebut. Mengutip Bambang Sugiharto (1996), bahasa dapat membantu memperdalam peristiwa-peristiwa acak seseorang lewat refleksi dan dengan mengangkat segala hal partikular ke taraf konsep yang bersifat umum. Deskripsi membantu agar pengalaman menemukan bentuknya; dia dapat mengangkat makna tersembunyi di dalam input indrawi yang acak-acakan saat seseorang mengalami sesuatu peristiwa, dan dengan begitu deskripsilah yang menjadikan seseorang memahami pengalaman, atau yang membuat segala peristiwa acak menjadi "pengalaman".

Bambang Sugiharto mencontohkan, misalnya, pengalaman membaca buku bisa berubah banyak manakala seseorang harus membuat ulasan tentangnya. Tulisan ulasan yang dibuat itu dengan sendirinya akan mengintensifkan pengalaman membaca dengan mengangkatnya ke taraf refleksi. Maka Kartini, bila demikian, dengan surat-suratnya yang luar biasa dia kerjakan, setidaknya jika betul selama empat atau lima tahun terakhir masa hidupnya---dia wafat dalam usia 25 pada 17 September 1904---seakan tidak berhenti melakukan refleksi atas "peristiwa-peristiwa acak" yang didapatkannya sehari-hari.

Gagasan-gagasan kritis Kartini, terutama tentang pentingnya pendidikan, posisi sentral kaum perempuan dalam masyarakat yang beradab, dan nilai-nilai filosofis transendental didapatkan dari kekayaan pergaulan dan bacaannya; hal yang mungkin sukar dia peroleh bila tidak disokong oleh kesadarannya dalam berbahasa. "Bahasa adalah rumah tempat tinggal sang Ada," kata Martin Heidegger (1889-1976). Bila benar, demikian sahut Bambang Sugiharto, maka bahasa adalah rumah bagi pengalaman-pengalaman yang bermakna. Pengalaman yang telah diungkapkan adalah pengalaman yang telah mengkristal, menjadi semacam "substansi" tertentu. Dengan kata lain, pengalaman itu tidak bermakna bila tidak menemukan "rumah"-nya dalam bahasa. Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata bahasa adalah ibarat kerang yang kosong tanpa kehidupan.***

WILDAN NUGRAHA, cerpenis bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung.

Lebih bergaul dan terhubung dengan lebih baik. Tambah lebih banyak teman ke Yahoo! Messenger sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/
5.

yang terlupa..

Posted by: "ifan yudianto" ifanxlv@yahoo.com   ifanxlv

Mon Apr 27, 2009 12:44 pm (PDT)




Nurmi: pernahkah kalian pergi ke jakarta? Kata orang dewasa disana bayak gedung-gedung tinggi! Bayak pula tempat hiburan buat anak-anak seperti kita.
Amin: Jakarta! setauku disana bayak orang cari kerja, mobilnya banyak, bagus-bagus lagi. Gedung MPR/DPR yang megah juga ada di sana, ibukota negara. Belum pernah aku ke sana, tetapi bapakku sering.
Andro: kalau aku..
He he he.. Cuma tau.. bemo.
&lt;senyum andro penuh makna&gt;

6.

HAI ONLINE MINIMUM STAGE # 15

Posted by: "generasi hijau" areby98@yahoo.com   areby98

Mon Apr 27, 2009 12:48 pm (PDT)

[Attachment(s) from generasi hijau included below]

----------------------------to everyone--------------------nitip sedikit-------------------------

Selasa, 28 April 2009
@ Gramedia Majalah Food Hall
Jl. Panjang No 8 A, KB Jeruk Jakarta Barat 11530

PERFOMERS :

1. ECOUTEZ
2. THE RAIN
3. LOCOMOTIV
4. AKERU
5. VERTICAL 138

Jangan sampai kelewatan acara selasaannya HAI ONLINE
dan kepengen band loe manggung di hai online minimum stage, kirim aja profil dan cd nya ke :

Hai Online
Gd Kompas Gramedia Unit 1 Lt 3
Jl. Panjang No 8 A Kb Jeruk, Jakarta Barat 11530

...::Generasi Hijau::..

Attachment(s) from generasi hijau

1 of 1 Photo(s)

7.

Undangan Berpartisipasi Di E-MAGZ

Posted by: "fla cheya" fla_cheya@yahoo.com   fla_cheya

Mon Apr 27, 2009 6:50 pm (PDT)



Assalamualaikum wr wb
 
 
Kami member dari majalah online E-MAGZ CASSOFA yang Insya Allah akan terbit bulan mei mendatang. Majalah online ini gratis dan dapat di download oleh siapapun. Karenanya, bila Anda tidak keberatan, kami bersedia menerima naskah (sifat remaja), baik itu puisi, cerpen, artikel, resensi dsb, yang murni hasil karya Anda. Tentunya, karya yang masuk akan ada penyeleksian.
 
Memang, naskah yang Anda kirim tidak akan mendapat royalty dari kami namun setidaknya tulisan Anda akan banyak dibaca oleh orang lain dan bila ada redaksi yang tertarik dengan tulisan Anda, tidak menolak kemungkinan mereka akan menghubungi Anda. Jadi, secara tidak langsung, majalah online ini Insya Allah dapat menjembatani Anda untuk berdakwah, membuat Anda semakin termotivasi untuk berkarya dan insya Allah nama Anda otomatis akan lebih familiar, kendati tulisan Anda banyak tersebar di mailist-mailist. Bila Anda berminat, nama Anda akan tercantum sebagai kontributor dan akan kami cantumkan pula daftar riwayat hidup Anda.
 
Saya mengharapkan konfirmasi dari Anda. Untuk lebih jelasnya, silahkan menghubungi Flacheya@gmail.com atau Id Ym fla_cheya makasih.
 
Terus Berkarya!!! Hidup dunia Jurnalistik Dan Sastra!!! Amin…
 
Best Regard’s
 
 
Flacheya

8.

[Ruang Kantor] Benarkah Atasan Saya Menyebalkan?

Posted by: "dkadarusman" dkadarusman@yahoo.com   dkadarusman

Mon Apr 27, 2009 7:14 pm (PDT)



Artikel: Benarkah Atasan Saya Menyebalkan?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Dalam situasi krisis seperti saat ini, banyak perusahaan yang menerapkan kebijakan tidak populer. Misalnya, mengurangi beberapa pos pengeluaran penting seperti pemotongan biaya promosi, penundaan kenaikan gaji, dan penghematan lain disana-sini. Karena itu, tidak sedikit karyawan yang naik darah hingga keubun-ubun. Dan tentu saja, cara termudah untuk melampiaskan kekesalan adalah dengan menimpakan semua itu kepada atasannya. Padahal, seringkali atasan tidak berada pada posisi sebagai pengambil keputusan. Yang sebenarnya terjadi adalah; sang atasan tengah berusaha untuk menjadi pemimpin yang baik bagi bawahan sekaligus menjadi karyawan yang baik bagi perusahaan. Jadi, apakah cukup fair untuk memvonis atasan kita sebagai orang yang menyebalkan?

Dalam salah satu episode komik favorit saya digambarkan seorang CEO mengatakan kepada para eksekutif bahwa berdasarkan analisis para ahli ekonomi, krisis keuangan global ini akan berlangsung cukup panjang. "Oleh karena itu," demikian kata Pak CEO "perusahaan harus melakukan 'uji cermat' struktur biaya...."

Mendengar petunjuk bos besar itu, salah seorang eksekutif mengatakan: "Baik Tuan, akan kita lakukan penghematan." Sang CEO tersenyum puas karena 'maksudnya' telah berhasil diterjemahkan oleh sang eksekutif dengan baik. "Lantas," sang eksekutif melanjutkan, "bagaimana dengan bonus dan tunjangan yang biasa kita dapatkan?"

Kemudian Pak CEO bilang; "Ah, sudahlah, kamu jangan menyinggung-nyinggung soal itu ....."

Dialog ini memang berasal dari dunia komik. Namun, kita tahu bahwa dalam konteks dunia bisnis gemerlap gaya Amerika dialog itu mewakili perilaku sebagian pemimpin bisnis kelas dunia yang meneriakkan penghematan kebawah, namun tidak menunjukkan keteladanan dengan kesediaan mengurangi kenikmatan dan beragam gelimang yang memanjakan bagi mereka sendiri. Bahkan, kita tahu bahwa pemerintah dan rakyat Amerika pun geram dengan sikap mereka yang menghambur-hamburkan uang untuk kemewahan para eksekutif puncak padahal pemerintah harus mengeluarkan dana talangan untuk menyelamatkan perusahaan itu dari kebangkrutan.

Sampai disini kita baru saja membahas dua situasi dimana para atasan sama-sama menyerukan penghematan. Namun, atasan pertama melakukannya untuk kepentingan perusahaan supaya semua karyawan mengambil peran dan tanggungjawab untuk melakukan penyelamatan. Sedangkan kisah kedua dari dunia komik adalah atasan yang bersedia melakukan apapun juga demi kebaikan perusahaan asal segala kepentingan dan kenyamanannya tidak terganggu.

Kedua situasi ini bisa menjadi titik tolak bagi kita untuk mencari jawaban atas pertanyaan tadi; "apakah cukup fair untuk memvonis atasan kita sebagai orang yang menyebalkan?"

Yang jelas, ketika atasan menuntut kita untuk melakukan sesuatu dengan memberikan keteladanan; kita melihat ada ketulusan disana. Dan kita tahu bahwa aturan yang dibuat sang atasan tidak hanya berlaku kebawah, melainkan juga kepada dirinya sendiri. Dan jika semua itu dia lakukan demi kepentingan perusahaan, maka sesungguhnya itu juga demi kepentingan kita. Jadi sudah selayaknya kita turut mendukung dan berdiri dibelakang atasan yang seperti itu. 'Tapi, itu kan membuat hidup kita sulit!' Mungkin kita berpikir begitu. Tetapi, memang patut jika kita berbagi kesulitan yang dihadapi perusahaan dengan memikulnya sesuai porsi kita masing-masing. Sebab, jika atasan melakukannya sendirian; akan semakin panjang jarak yang harus ditempuh oleh perusahaan.

Bagaimana jika keputusan atasan kita salah? Memang, tidak setiap niat baik selalu bisa diterjemahkan kepada keputusan atau strategy yang tepat. Namun, jikapun ini terjadi tidak berarti itu menjadi pantas bermuara kepada kebencian kita kepada sang atasan. Mungkin yang diperlukan sesungguhnya adalah dialog bisnis biasa dimana sebagai bawahan kita membantu atasan untuk menemukan solusi terbaik bagi perusahaan. Jadi, ini tidak lebih dari soal perbedaan pendapat yang bisa diselesaikan melalui berbagai kesepakatan. Bukankah antara atasan dan bawahan mesti saling melengkapi dan menyokong satu sama lain untuk kepentingan bersama?

Jika para bawahan ingin disukai atasan maka atasan pun ingin disukai oleh bawahan. Disukai oleh atasan sedikit banyak berpengaruh terhadap hasil appraisal tahunan yang menentukan berapa banyak bonus yang akan kita terima, dan berapa persen kenaikan gaji tahun depan yang layak untuk diusulkan kepada pengambil keputusan. Sebaliknya, disukai oleh bawahan pun sedikit banyak mempengaruhi rapor sang atasan, terutama sekali ketika dilakukan survey tentang kualitas kepemimpinannya. Kadang-kadang atasan kebakaran jenggot karena hasil survey diluar harapannya. Bahkan, tidak jarang mereka kecewa kepada bawahannya karena dengan semua hal yang telah dilakukannya untuk para bawahan, ternyata ratingnya tidak terlampau menggembirakan.

Kecuali ada bukti bahwa atasan menindas kita; sesungguhnya kita tidak memiliki cukup alasan untuk membencinya. Sebab, setiap atasan akan ditanya oleh atasannya yang lebih tinggi; "apa yang kamu perjuangkan untuk para bawahanmu?" Dan pertanyaan itu terus beruntun hingga ke posisi paling tinggi. Karena para stakeholders tahu, bahwa; jika seorang atasan menyia-nyiakan bawahannya, maka kepentingan investasi mereka tengah dipertaruhkan. Jadi, kita perlu menguji mana yang lebih mendekati kebenaran; atasan yang menyebalkan, atau bawahan yang tidak memiliki sense of crisis?

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Mungkin atasan kita memang tidak sempurna. Tetapi, apakah kita juga sudah menjadi bawahan yang bisa diandalkan bagi mereka?

9a.

(catcil) Putri, kenapa tak lagi sekolah?

Posted by: "agussyafii" agussyafii@yahoo.com   agussyafii

Mon Apr 27, 2009 11:29 pm (PDT)



Putri, kenapa tak lagi sekolah?

By: agussyafii

Ada seorang teman bertutur melalui email, yang bercerita Putri salah satu murid TK disekolah kami, putri bukanlah dari keluarga yang berada. Ayahnya seorang pedagang bakmi keliling, ibunya seorang penjual gado-gado. Kerasnya kehidupan membuat mereka harus bekerja keras dengan berbagai problem kehidupan metropolitan. Putri bukanlah anak yang manja. Putri anak yang periang dan tidak merepotkan orang tuanya. Teman-temannya banyak yang suka kepada putri karena baik, rajin dan pandai disekolah.

Ibunya mendaftarkan putri masuk sekolah TK, usianya 5 tahun. Saat itu kami belum tahu bagaimana kondisi perekonomian keluarga putri. kami setarakan putri sama seperti teman-temannya yang lain mengenakan biaya masuk dan SPP. Selama 3 bulan putri sekolah dengan riang dan gembira. Membawa tas dengan roda travel bag yang saat ini populer pada anak-anak seusia putri. Kegembiraan selama disekolah juga bisa dirasakan oleh kami dan para guru. dibidang akademis putri pintar dan cerdas. Putri dengan cepat bisa membaca, menulis dan berhitung. Bacaan qiro'atinya sangat bagus dan lancar. Putri menikmati hari-hari indahnya selama sekolah.

Memasuki bulan keempat, tiba-tiba putri tidak masuk sekolah selama seminggu. Kami para guru dan kepala sekolah terheran, Putri, kenapa tak lagi sekolah? Lalu saya menyuruh kepala sekolah untuk menengok putri, tutur teman saya itu dalam email.

Dua hari kemudian saya mendapatkan kabar putri tidak boleh sekolah karena dilarang oleh ayahnya. Awalnya saya bingung kenapa putri dilarang sekolah. Belakangan saya tahu ternyata putri dilarang sekolah karena ayahnya malu sudah dua bulan tidak membayar SPP. AKhirnya kami membebaskan SPP buat putri.

Keesokan harinya Putri sekolah namun setelah itu tidak masuk lagi selama seminggu. Menurut kabar yang saya terima ayah tidak memperkenankan putri sekolah meskipun telah membebaskannya dari biaya SPP, kamipun tidak bisa berbuat apa-apa.

Seminggu kemudian kami mendengar kabar kabar dukacita bahwa Putri telah berpulang ke Rahmatullah setelah sakit. Dan sakitnya itu disebabkan karena Putri bersikeras ingin sekolah tetapi ayahnya melarang. Putri akhirnya jatuh sakit, tubuh suhunya mengalami panas dan nyawanya tidak bisa diselamatkan.

Astaghfirullahal a'dziin, Ya Alloh Ya Robb, ampunilah kami yang lalai ini, lalai menjaga amanahMu. tutur teman itu dalam email dengan penuh penyesalan. diakhir saya membaca email ini tak kuasa menahan airmata saya yang terus mengalir, membayangkan wajah Putri yang hampir sebaya dengan Hana, putri saya untuk membacakan surah alfatehah semoga Putri bahagia disisi Alloh SWT.

Wassalam,
agussyafii

--
Tulisan ini dalam rangka kampanye program 'Amalia Cinta Bumi (ACIBU) Minggu, tanggal 17 Mei 2009, di Rumah Amalia, Jl. Subagyo Blok ii 1, no.23 Komplek Peruri, RT 001 RW 09, Sudimara Timur, Ciledug. TNG. Program 'Amalia Cinta Bumi (ACIBU)' mengajak. 'Mari, hindari penggunaan kantong plastik berlebihan, bawalah kantong belanja sendiri. Sebab Kantong plastik jenis polimer sintetik sulit terurai- Bila dibakar, menimbulkan senyawa dioksin yang membahayakan- Proses produksinya menimbulkan efek berbahaya bagi lingkungan.' Mari kirimkan dukungan anda pada program 'Amalia Cinta Bumi' (ACIBU) melalui http://agussyafii.blogspot.com atau sms 087 8777 12431

9b.

Bls: [sekolah-kehidupan] (catcil) Putri, kenapa tak lagi sekolah?

Posted by: "reikha lila" reikhalila@yahoo.co.id   reikhalila

Tue Apr 28, 2009 2:07 am (PDT)



salam'

setiap kali saya membuka email dari teman saya terkagum-kagum. di tengah rutinitas kehidupan
jakarta, masih ada harapan dan hembusan oase. apalagi disuguhi tulisan dan catatan mas agussyafi. saya slalu
tersentuh setiap kali membaca. kalo ga salah nebak mas agus banyak bercerita hubungan antara seorang anak (kecil)
dengan orang tuanya, manusia dengan khalikNya. mungkin di situ kita menemukan kejujuran dan keikhlasan.
so terus berkarya mas. ditunggu catatannya.

________________________________
Dari: agussyafii <agussyafii@yahoo.com>
Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Terkirim: Selasa, 28 April, 2009 12:16:04
Topik: [sekolah-kehidupan] (catcil) Putri, kenapa tak lagi sekolah?

Putri, kenapa tak lagi sekolah?

By: agussyafii

Ada seorang teman bertutur melalui email, yang bercerita Putri salah satu murid TK disekolah kami, putri bukanlah dari keluarga yang berada. Ayahnya seorang pedagang bakmi keliling, ibunya seorang penjual gado-gado. Kerasnya kehidupan membuat mereka harus bekerja keras dengan berbagai problem kehidupan metropolitan. Putri bukanlah anak yang manja. Putri anak yang periang dan tidak merepotkan orang tuanya. Teman-temannya banyak yang suka kepada putri karena baik, rajin dan pandai disekolah.

Ibunya mendaftarkan putri masuk sekolah TK, usianya 5 tahun. Saat itu kami belum tahu bagaimana kondisi perekonomian keluarga putri. kami setarakan putri sama seperti teman-temannya yang lain mengenakan biaya masuk dan SPP. Selama 3 bulan putri sekolah dengan riang dan gembira. Membawa tas dengan roda travel bag yang saat ini populer pada anak-anak seusia putri. Kegembiraan selama disekolah juga bisa dirasakan oleh kami dan para guru. dibidang akademis putri pintar dan cerdas. Putri dengan cepat bisa membaca, menulis dan berhitung. Bacaan qiro'atinya sangat bagus dan lancar. Putri menikmati hari-hari indahnya selama sekolah.

Memasuki bulan keempat, tiba-tiba putri tidak masuk sekolah selama seminggu. Kami para guru dan kepala sekolah terheran, Putri, kenapa tak lagi sekolah? Lalu saya menyuruh kepala sekolah untuk menengok putri, tutur teman saya itu dalam email.

Dua hari kemudian saya mendapatkan kabar putri tidak boleh sekolah karena dilarang oleh ayahnya. Awalnya saya bingung kenapa putri dilarang sekolah. Belakangan saya tahu ternyata putri dilarang sekolah karena ayahnya malu sudah dua bulan tidak membayar SPP. AKhirnya kami membebaskan SPP buat putri.

Keesokan harinya Putri sekolah namun setelah itu tidak masuk lagi selama seminggu. Menurut kabar yang saya terima ayah tidak memperkenankan putri sekolah meskipun telah membebaskannya dari biaya SPP, kamipun tidak bisa berbuat apa-apa.

Seminggu kemudian kami mendengar kabar kabar dukacita bahwa Putri telah berpulang ke Rahmatullah setelah sakit.. Dan sakitnya itu disebabkan karena Putri bersikeras ingin sekolah tetapi ayahnya melarang. Putri akhirnya jatuh sakit, tubuh suhunya mengalami panas dan nyawanya tidak bisa diselamatkan.

Astaghfirullahal a'dziin, Ya Alloh Ya Robb, ampunilah kami yang lalai ini, lalai menjaga amanahMu. tutur teman itu dalam email dengan penuh penyesalan. diakhir saya membaca email ini tak kuasa menahan airmata saya yang terus mengalir, membayangkan wajah Putri yang hampir sebaya dengan Hana, putri saya untuk membacakan surah alfatehah semoga Putri bahagia disisi Alloh SWT.

Wassalam,
agussyafii

--
Tulisan ini dalam rangka kampanye program 'Amalia Cinta Bumi (ACIBU) Minggu, tanggal 17 Mei 2009, di Rumah Amalia, Jl. Subagyo Blok ii 1, no.23 Komplek Peruri, RT 001 RW 09, Sudimara Timur, Ciledug. TNG. Program 'Amalia Cinta Bumi (ACIBU)' mengajak. 'Mari, hindari penggunaan kantong plastik berlebihan, bawalah kantong belanja sendiri. Sebab Kantong plastik jenis polimer sintetik sulit terurai- Bila dibakar, menimbulkan senyawa dioksin yang membahayakan- Proses produksinya menimbulkan efek berbahaya bagi lingkungan.' Mari kirimkan dukungan anda pada program 'Amalia Cinta Bumi' (ACIBU) melalui http://agussyafii. blogspot. com atau sms 087 8777 12431

Berselancar lebih cepat. Internet Explorer 8 yang dioptimalkan untuk Yahoo! otomatis membuka 2 halaman favorit Anda setiap kali Anda membuka browser. Dapatkan IE8 di sini!
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer
10a.

[Catcil] Sabar ya Kakak ku Sayang

Posted by: "hariyanty thahir" anty_th@yahoo.com   anty_th

Tue Apr 28, 2009 2:26 am (PDT)



Tangis keras menyambut gendang telinga ketika kutekan tombol YES pada HP ku.

"Anty ...................", panggilnya dengan tangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan.

"Iya kakak, sabar ya", hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

Aku tak punya perbendaharaan lain karena akupun sibuk menata agar suaraku tak ikut bergetar walau tangis mulai luruh dari mataku. Aku tidak mau membawa suasana lebih sedih lagi.

Kuberikan HP ke ibuku dan beliau menangis. Setelah tak lama berbicara, HP di kembalikan kepadaku.

"Doakan agar kakak segera dapat gantinya ya ty", kali ini dengan suara yang sudah lebih tenang.

15 tahun sahabatku ini menunggu tumbuh dan berkembangnya mahluk Allah di dalam rahimnya. Segala upaya sudah mereka lakukan, hanya tinggal bayi tabung saja yang belum. Di saat mereka "istirahat" dari pengobatan, Allah memberikan kehidupan di dalam rahim kanda yang berusia hampir 40 tahun ini.
Subhanallah, betapa bahagia memuncak.

Aku ingat, dengan manjanya sahabat yang sudah seperti kakak kandungku ini bilang ngidam mangga muda dengan bumbu yang pedasss banget. Aku langsung menuju rumahnya usai jam kantor. Walau dia cuma makan sedikit, tapi aku maklum, namanya ibu hamil. Suka lapar mata ^_^

Pekan lalu juga saat aku sedang menuju Pekan Baru, dia menelepon. Minta dibelikan makanan favoritnya. Es teller 77, bakso, dan mie ayam 77.
Aku selalu tertawa kalau ingat bagaimana lahapnya dia jika kami mengunjungi tempat favoritnya itu. Dia ngga malu nambah sampe 2 mangkok.
Akhirnya aku minta temanku untuk membelikan untuknya.

Kanda yang sering meledak – ledak namun sebenarnya sangat baik hati ini begitu mengharapkan kehadiran buah hati.
Semua nasehat dokter dia jalani.
Jadwal terapi yang ketat bertahun – tahun dia turuti dengan disiplin yang tinggi.
Walau terkadang dia merasa takut jika akan ke dokter.
"Sakit sekali di suntik di pusar", ujarnya dengan wajah sedikit meringis.
Namun hampir tak pernah dia absen mengunjungi dokter selama bertahun – tahun.

Setelah semua upaya dilakukan dan selalu gagal, beliau memutuskan untuk mengikuti terapi bayi tabung. Namun dia minta proses dimulai bulan Juni atau July. Karena dia ingin istirahat dulu dan meminta keliling Eropa.

Subhanallah, di saat rehat itulah Allah menitipkan kehidupan ke dalam rahimnya.
Padahal tiket sudah di pesan untuk perjalanan keliling Eropa di akhir April ini.
Bahagia luar biasa hati pasangan ini. Selama 3 bulan kehamilan ini, kanda ku hampir tidak keluar rumah.

Namun Allah ternyata masih menguji kesabaran dan keikhlasan pasangan ini.
Sabtu siang sms nya masuk. "Anty kakak pendarahan. Sekarang dirawat di Gleni. Doakan kakak ya dek".
Tak berselang menit langsung ku telepon dia. Kabar masih menenangkan hati.
"Doanya aja ya dek", pintanya lagi karena aku bilang belum bisa berada di sampingnya. Aku masih di luar kota.

Hanya SMS yang jadi penghubung kami hingga sore kemarin. Senin yang penuh air mata.

Aku terus melantunkan pinta agar Allah memberi kesabaran tak bertepi kepada mereka. Dan aku berharap ada keajaiban sehingga mereka segera bisa mendapatkan pengganti.

Subhanallah, Maha Kuasa Allah terhadap segala sesuatu
Hari ini kupandangi pasien – pasien yang berobat ke kantorku. Betapa di tengah "ketiadaan" , Allah melimpahkan harta yang sangat mewah kepada mereka.
Harusnya syukur selalu terucap dalam hati setiap insan.

Aku teringat akan sebuah pertanyaan:
Lebih baik mana, bersabar atas musibah atau bersyukur atas nikmat.
Dan aku tertegun ketika sebuah jawaban yang luar biasa aku dapatkan :
"Bersyukur atas musibah"

Smoga kanda ku bisa bersyukur tiada batas dan ikhlas tiada tepi.
Mohon doa ...

Medan, 28 April 2009
By : antz

10b.

Re: [Catcil] Sabar ya Kakak ku Sayang

Posted by: "susanti" susanti@shallwinbatam.com

Tue Apr 28, 2009 3:05 am (PDT)



Kak Anty

Saya terhenyak membaca 'besyukur atas musibah' di akhir cerita. Hiks hiks... emang susah ya kayak gitu.
Titip salam untuk kakak tercinta, semoga diberikan ketabahan. Boleh nggak saya ngomong kayak gini; Apa yang terbaik menurut kita, belum tentu yang terbaik menurut Allah, begitu juga sebaliknya?

Buah hati adalah amanah. Kehilangan buah hati juga sebuah amanah.

~Sky~

----- Original Message -----


----------------------------------------------------------

No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.0.238 / Virus Database: 270.12.6/2084 - Release Date: 04/28/09 06:15:00
11a.

(Inspirasi) Akhirnya... = ... Awalnya

Posted by: "teha" teha.sugiyo@toserbayogya.com

Tue Apr 28, 2009 2:46 am (PDT)



Inspirasi

*Pengantar*
Mulai tanggal 1 Mei 2009, saya sudah purnabakti di Toserba YOGYA (PT
Akur Pratama). Jadi saya tidak lagi menggunakan alamat email :
teha.sugiyo@toserbayogya.com. Saya masih dapat dihubungi lewat :
sinarning_rat@yahoo.co.id
Berikut adalah kenangan tertulis yang saya sebarkan kepada seluruh
karyawan perusahaan ritel yang memiliki karyawan tetap sekitar 7.500
orang yang tersebar di wilayah Jawa Barat, DKI dan Jawa Tengah. Bagi
teman-teman di luar komunitas YOGYA Group, mungkin terasa asing, namun
saya berharap ada satu dua hal yang barangkali tersisa untuk dicerna.
Terima kasih.

> *AKHIRNYA ... = ... AWALNYA *
>
>
> /what appears to be the end, may really is a new beginning/
>
> /apa yang nampak sebagai suatu akhir, sesungguhnya adalah suatu awal
> yang baru.. /
>
> Tidak terasa sudah 12 tahun 7 bulan 7 hari saya menjadi bagian dari
> keluarga besar Toserba YOGYA. Terhitung mulai 1 Mei 2009, tugas dan
> karyabakti saya di perusahaan ini sudah purna... Saya tidak lagi
> menjadi bagian dari keluarga besar Toserba YOGYA yang telah
> membesarkan dan mengembangkan pribadi saya...
>
> Sungguh suatu masa yang teramat indah dalam hidup saya, karena dapat
> berkarya bakti sambil mengembangkan diri, berbagi pengalaman,
> menjalani kebersamaan dalam suka dan duka, merajut berbagai impian,
> mewujudkan berbagai harapan untuk membangun kondisi seperti yang
> dirancangkan.
>
> Pada awalnya memang terkesan berat. Hanya dengan 3 orang tenaga
> pelatih dan satu koordinator, pada Divisi Pelatihan (Training) di
> bawah Departemen HRD, kami memulai langkah merenda masa depan
> menaburkan benih-benih pelatihan yang berkaitan dengan usaha bisnis
> eceran. Sebagai orang baru di dunia bisnis eceran, saya merasa adanya
> suatu tantangan, setelah selama dua puluh lima tahun berkutat di dunia
> pendidikan formal, khususnya sekolah. Namun karena keterbukaan sikap
> dari para sahabat yang dengan suka hati berbagi ilmu, saya dapat
> mengikuti derap irama yang diharapkan perusahaan untuk mengembangkan
> sumber daya manusia.
>
> Dengan antusiasme yang tinggi, dibarengi dengan bertambahnya tenaga
> pelatih sampai 14 orang dan jumlah toko 21 cabang pada awal tahun
> 1997, kami mengayun langkah bersama. Sambil mempersiapkan pembukaan
> toko-toko di Semarang, BGI dan Daan Mogot Jakarta, kami pun berbagi
> tugas. Di tengah gelora semangat "45" itu ternyata datang gelombang
> taufan krisis moneter menerpa seluruh penjuru negeri,
> meluluh-lantakkan dunia usaha. Bahkan kerusuhan demi kerusuhan membuat
> seluruh "sivitas akademika" perusahaan harus terus menerus dalam
> kondisi siaga. Sampai akhirnya terjadi juga imbas "bencana" krisis itu
> menimpa perusahaan kita. Dua toko di Jakarta, yaitu CKP dan Daan Mogot
> yang baru selesai pembangunannya, "terbakar". Satu toko di Semarang
> yang berusia 1 tahun, ditutup untuk mengurangi beban yang semakin
> meningkat.
>
> Di tengah karut marut kondisi dan situasi pada waktu itu, kantor kami
> yang semula di Gedung Sunda Mal, pindah ke lantai 5 Sunda 83.
> Pengetatan ikat pinggang pun kami alami. Beberapa teman pindah ke
> cabang, departemen lain, atau
>
> ke perusahaan lain untuk mendapatkan kondisi yang menurut pilihannya
> lebih baik. Kami yang masih bertahan, merasa sangat dihargai karena
> diikutsertakan ambil bagian dalam membantu manajemen untuk mengatasi
> krisis. Di samping tetap menggelar pelatihan demi pelatihan, kami juga
> melakukan safari dari cabang ke cabang, meski dengan cara yang masih
> sangat sederhana.
>
> Tahun 2001, dengan dimandirikannya Departeman Training & Customer
> Relations, arah, sistem dan prosedur pelatihan menjadi semakin jelas
> dan terencana. Tahun demi tahun saya menikmati kesibukan sebagai
> trainer penuh dengan antusias dan sukaria. Terus terang tidak ada
> dukanya, sebab apa yang orang lain anggap suatu kedukaan kami
> menganggapnya sebagai jokes, lelucon, yang membuat kita ger-geran
> menertawakan kekonyolan, dan "kebodohan" diri sendiri. Itu kami
> lakukan dalam menghiasi hari-hari safari keliling cabang untuk
> menghalau kecapekan, keletihan dan rasa malas. Oleh karena itu meski
> kami harus bangun subuh, bahkan sebelumnya harus mempersiapkannya
> dengan lembur, toh, kami menikmati dalam candaria, ketawa-ketawa
> sepanjang perjalanan dari satu cabang ke cabang lain. Apalagi kami
> ditemani oleh pembicara yang tak henti berceloteh sepanjang
> perjalanan, atau kejadian-kejadian konyol seperti: ketinggalan mmp,
> membangunkan seorang driver dengan ketukan pintu, yang menghasilkan
> kisah parodi yang membuat kami tertawa tak kunjung henti.. Semua itu
> membuat perjalanan safari semakin bermakna dalam membangun
> kebersamaan, persaudaraan dan persahabatan.
>
> Jujur saya katakan, dalam bersinggungan dengan sesama rekan kerja,
> sejawat, atau pun teman-teman baik di kantor pusat maupun di cabang,
> ada saja mata ini salah melihat, kuping ini salah mendengar, mulut ini
> salah bicara, dan hati pun salah duga, sehingga muncul gesekan,
> benturan yang berakibat sakit hati, kejengkelan, kegeraman dan
> luka-luka batin. Untuk hal itu semua, dari kedalaman hati yang paling
> murni, saya mohon maaf...
>
> Untuk para sahabat, yang mungkin tidak sependapat dengan saya, - jujur
> saya menyadari bahwa saya tidak dapat memuaskan keinginan setiap
> orang, - juga saya sadar, bahwa tidak semua orang suka atau sependapat
> dengan gaya dan sikap saya, sehingga ada hal-hal yang tidak sesuai,
> tidak sejalan dan tidak berkenan, saya sangat menghargai
> ketidaksependapatan itu. Saya juga mohon maaf. Marilah kita sepakat
> untuk ketidaksepakatan ini. Mari kita jalan dalam kondisi
> masing-masing dengan tetap saling menghargai dan memaafkan.
>
> Pada kesempatan yang indah ini, izinkan saya mengucapkan rasa syukur
> dan terima kasih yang mendalam, kepada pribadi-pribadi yang telah
> menginspirasi dan menumbuhkembangkan saya selama ini:
>
> Sesosok pribadi yang tak pernah menolak saya, tempat saya datang dan
> pergi sesuka hati, tempat saya menumpahkan rasa marah, jengkel, dan
> sakit hati, tempat saya mengadukan segala kesedihan, kekecewaan dan
> kekhawatiran, juga tempat saya menghamburkan diri dalam pelukan
> kebahagiaan dan sukacita ... pribadi yang selalu melindungi, mengayomi
> dan memberikan kekuatan. Bagi saya Ia adalah benteng perlindungan,
> perisai dan gada, sumber kekuatan dan keselamatan Ia yang senantiasa
> menaburkan dan menguatkan iman, harapan dan kasih setia abadi...
> sehingga saya mampu untuk terus-menerus berjuang dan never give up...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang di tengah kesibukannya menelpon saya pada
> suatu siang, mengajak saya bergabung, dan memberi kesempatan
> kepada saya untuk bertumbuh dan berkembang bersama...
>
> *
>
> Untuk orang-orang yang membantu mengawali karir saya di
> perusahaan ini, baik di cabang Buahbatu, Kopo Mas, maupun kantor
> pusat, yang dengan suka hati mengarahkan, mendidik dan membuka
> wawasan saya pada dunia usaha yang harus saya geluti...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang masih saja peduli kepada saya, meskipun
> saya sering tidak memedulikannya, yang mengajak saya berbagi
> pengalaman dalam iman dan harapan, yang dalam kebersamaan
> perjalanan membelah malam dan tidur bersama di sebuah rumah makan...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang setiap pagi dengan ketawa khas dan langkah
> pasti meneriakkan sapaan standar... morning...!
>
> *
>
> Untuk seseorang yang saban Senin pagi hadir dalam
> renungan-renungan pagi yang cerdas, bernas, menyegarkan,
> menghangatkan, menginspirasi dan mengingatkan kembali agar kita
> lebih baik lagi berkarya bakti...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang pertama kali menyebut saya dengan panggilan
> kesayangan, "eyang", yang selanjutnya diikuti oleh teman-teman,
> bahkan dari komunitas lain, sapaan merdu yang mengharukan...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang datang lebih pagi dari yang lain dengan
> langkah-langkah pletak-pletok sepatunya begitu pd, dan saat
> dekat mesin printer, senyum-senyum, kriyap-kriyip,
> mengangguk-angguk kecil sehingga anting-antingnya
> bergoyang-goyang ikut tersenyum...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang meskipun sebagai tenaga paruh waktu tetapi
> tetap menunjukkan kinerja profesional, yang senantiasa
> memberikan komentar positif kepada saya, bahwa saya begitu
> bijak, tetap mau belajar, konsisten di bidang yang memang
> diperlukan saat ini...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang menjadi tetangga sebelah, yang senantiasa
> cool, kalem dengan senyum plengah-plengeh tenang, yang selalu
> membantu meminjamkan buku mutasi karyawan untuk keperluan
> line-up Sayogya....
>
> *
>
> Untuk teman-teman dengan seragam coklat "sawo busuk", yang
> senantiasa senyum dan suka berbagi makan siang bersama, dan yang
> pernah memijati punggung saya dan senantiasa dengan suka hati
> membantu menggandakan fotokopi dan juga sering membuatkan kopi
> atau teh, atau menyajikan sanck di meja kerja...
>
> *
>
> Untuk empat orang kartini yang dengan suka hati turun dari
> kahyangan lantai empat menuju lantai satu agar semangat tetap
> terpadu dalam konsentrasi kerja tanpa ada yang mengganggu...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang selalu mengingatkan saya dengan
> nasihat-nasihatnya agar jangan berpuasa karena nampak tua, yang
> tidak lagi suka dengan sebutan Ulfah Dwiyanti, tetapi lebih suka
> memperkenalkan diri dengan Aura Kasih....
>
> *
>
> Untuk seseorang yang dalam perjuangan tak kunjung henti menerima
> pelimpahan beban-beban administrasi yang masih sempat juga
> pontang-panting pergi ke sana-kemari mencari relasi agar
> "amariza" tumbuh makin menambah kucuran rizki...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang dengan ketawa khasnya senantiasa terbuka
> dan menyatakan siap membantu kelancaran tugas, yang dengan gaya
> ngabodornya memperkenalkan diri sebagai paraji.., eh salah, dewi
> hughes....
>
> *
>
> Untuk seseorang yang memberikan nuansa ceria dengan kecerdasan
> dan ketelitian sambil tak lupa berjingkrak-jingkak, ih kamu
> teh.., ih kamu teh .. jika hati sedang riang gembira...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang tetap dengan teguh, gigih dan tegar
> berusaha bertahan dalam kesulitan dan keruwetan sambil terus
> menghitung hari agar kesulitan terlampaui...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang tidak pernah mengatakan "tidak", selalu
> siap membantu kepada siapa saja tanpa mempertimbangkan kondisi
> dan situasi, sekalipun banyak orang yang disanggupi dalam waktu
> bersamaan, yang senantiasa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
> gatal saat dilanda stres..
>
> *
>
> Untuk seseorang yang senantiasa dengan senang hati meminjamkan
> teleponnya saat saya harus menghubungi para pengajar omdp atau
> teman-teman di cabang luar kota...
>
> *
>
> Untuk seseorang yang dengan penuh tanggung jawab senantiasa
> membantu tugas-tugas menjalankan LPR Griya Perindo, - meski yang
> tercatat sebagai PIC adalah saya, - namun berkat keprigelan dan
> kepeduliannya kepada anak-anak, tugas-tugas itu lancar adanya...
>
> *
>
> Untuk orang-orang yang senantiasa bergelut dengan mengurusi
> pajak-pajak kewajiban perusahaan, juga pajak para karyawan, yang
> dengan suka hati berbagi informasi tentang npwp, tentang cara
> mengisi spt dan info lain tentang kewajiban sebagai warga negara
> yang baik...
>
> *
>
> Untuk orang-orang di kantor pusat (Jl. Soekarno Hatta) yang
> tidak mungkin saya sebutkan satu per satu, yang memiliki kesan
> tersendiri di sudut hati, karena keramahan, keterbukaan,
> kesediaannya membantu dan kerjasamanya yang menyenangkan...
>
> *
>
> Untuk teman-teman di cabang, yang selalu menunjukkan antusiasme
> tinggi, kehangatan persaudaraan dan persahabatan, kepedulian dan
> keramahan takkan terlupa, meski harus menunjukkan kinerja yang
> tetap prima...
>
> *
>
> Untuk teman-teman peserta program MDP maupun OMDP, yang
> senantiasa terbuka untuk menjadi manusia pembelajar, yang dengan
> antusiasme dan riang gembira senantiasa menghiasi hari-hari
> kebersamaan, dengan candaria yang khas, hangat dan penuh
> persaudaraan...
>
> *
>
> Untuk teman-teman peserta program P-4 (baik pendidikan maupun
> pembekalan), angkatan 1-10, yang dengan perjuangan dan dinamika
> yang unik, tidak mudah menyerah dan senantiasa antusias
> meningkatkan kompetensi...
>
> *
>
> Untuk semua saja yang membantu saya dalam menapaki hari demi
> hari merenda masa depan, merajut impian menumbuhkembangkan
> pribadi menjadi seperti sekarang ini... terima kasih... terima
> kasih... terima kasih...
>
> Saya sependapat dengan Mario Teguh, bahwa setiap perhentian adalah
> awal dari perjalanan berikutnya; dan setiap pintu keluar adalah pintu
> masuk ke ruangan yang lain.
>
> Perjalanan karir kita adalah sebuah proses perpindahan dari satu
> perhentian ke perhentian berikutnya. Kita hanya akan segera sampai,
> bila kita menyegerakan sebuah pemberangkatan untuk setiap perhentian.
>
> Mereka yang mencapai hasil banyak, besar dan tinggi, adalah mereka
> yang berhenti saat mereka harus berhenti - tetapi yang segera memulai
> lagi. Sebaliknya, mereka yang lambat dalam mencapai haknya untuk
> berhasil, biasanya adalah orang-orang yang memperlakukan tempat-tempat
> berhenti - sebagai pemberhentian, atau bahkan betul-betul sebagai
> penghentian. Padahal, sebuah tempat berhenti adalah tempat transisi
> antara satu perjalanan ke perjalanan berikutnya. Pada perhentian
> itulah kita harus membangun kesiapan yang lebih baik bagi perjalanan
> berikutnya.
>
> Tugas kita, sebetulnya adalah menghubungkan awal dari sebuah
> perjalanan, ke akhir dari perjalanan itu - dengan kualitas perjalanan
> yang sebaik-baiknya; agar akhir dari perjalanan itu menjadi awal bagi
> perjalanan berikutnya yang lebih mendekatkan kita kepada kecemerlangan
> dan kemuliaan hidup yang kita tuju.
>
> Maka, sebaiknyalah kita merasa tidak pernah sudah sampai.
>
> Hanya orang-orang yang selalu merasa berada dalam perjalanan yang
> berkelanjutan untuk membangun kualitas prima, yang akan tetap berada
> pada puncak-puncak keberhasilan mereka untuk jangka waktu yang lebih
> panjang. Ingat, bahwa keberhasilan bukanlah hanya pencapaian akhir
> dari sebuah perjalanan, tetapi terutama adalah kualitas dari
> perjalanan itu.
>
> Bila kita melangkah keluar dari suatu ruangan, dari sebuah bisnis,
> atau dari sebuah karir; marilah kita pastikan bahwa kita telah
> menyiapkan diri untuk menjadi pribadi yang lebih kuat, yang lebih
> berdampak, dan lebih diperhitungkan di tempat yang baru. Ingat, bahwa
> sebuah pintu keluar adalah pintu masuk ke ruangan yang lain.
>
> Hari ini saya melangkah keluar dari pintu YOGYA Group, karena tugas
> dan karya bakti saya sudah purna, dan hari ini pula saya masuk ke
> pintu lain yang penuh dengan harapan dan impian...
>
> Sekali lagi, banyak terima kasih dan mohon maaf.
>
> Salam penuh persahabatan, persaudaraan dan perdamaian.
>
> YOGYA ... Excellence !
>
> INOVASI ... Yes !
>
> TETAP SEMANGAT ... Yes !
>
>
> Bandung, 28 April 2009
>
> TEHA SUGIYO - Trainer
>
> 08156110345
>
live as if you were to die tomorrow
learn as if you were to live forever
(Mahatma Gandhi)

11b.

Re: (Inspirasi) Akhirnya... = ... Awalnya

Posted by: "Nia Robie'" musimbunga@gmail.com

Tue Apr 28, 2009 3:03 am (PDT)



wah eyang jadinya sekarang aktivitasnya ngapain??
pindah ke bogor aja...
eska bogor sepi yeuh..
:((

salam
nihaw

Pada 28 April 2009 16:40, teha <teha.sugiyo@toserbayogya.com> menulis:

>
>
> In
>
>
>
>
Recent Activity
Visit Your Group
Sitebuilder

Build a web site

quickly & easily

with Sitebuilder.

Group Charity

Food Bank

Feeding America

in tough times

Weight Management Group

on Yahoo! Groups

Join the challenge

and lose weight.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: