Jumat, 29 Mei 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2651

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (9 Messages)

Messages

1.

(Catcil) Tidak bertindak karena takut salah

Posted by: "rahmad nurdin" rahmad.aceh@gmail.com   rahmadsyah_tcc

Thu May 28, 2009 4:59 am (PDT)



Assalamu'alaikum wr.wb

Salam bahagia untukmu shahabat. Semoga detik perjalanan sang waktu terus
membawa kita menuju stasiun-stasiun kebahagiaan. Setiap halte yang telah
kita singgahi semakin menguatkan keyakinan, menempuh kehidupan penuh
keberanian. Menggapai bintang keberhasilan yang kita nantikan.

Izinkan aku berbagi di ruang mulia ini. Suatu perasaan penyadaran diri. Akan
kesilapan pemahaman seorang manusia dimasa lalu. Barangkali engkaupun pernah
dijamu oleh nya. Yang sebagian kisah perjalanannya juga pernah aku alami.
Mudah-mudahan kita dapat mengambil hikmah dari perjalanannya.

Mungkin pernah dalam karir yang sedang kau ukir. Dihadang tantangan untuk
menjadikanmu lebih besar dan jauh bijaksana dari sebelumnya. Namun, ada
pergolakan disana. Selimut keraguan menutupi keberanianmu untuk melangkah.
Aku tau shahabat. *Beratnya langkahmu karena ketakutan menciptakan
kesalahan. Tidak bergeraknya karir dan perjuangan disebabkan keinginan
menjauh dari malu. Engkau merasa malu jika melakukan kesalahan. *

Bisa jadi juga dalam pembangunan hubungan. Engkau merasa kehadiranmu disuatu
komunitas akan menjadi beban bagi mereka. Amanah sebagi pimpinan engkau
tolak, karena khawatir akan meruntuhkan organisasi itu. Sungguh besar rasa
takutmu. Engkau menganggap, orang yang kamu kasihi akan menderita dan sedih
jika berdamping denganmu. Mungkin juga engkau berfikir, keberadaanmu
pengecil rezeki ayah dan ibumu. Sehingga engkau merasa lari dari kehidupan
mereka, atau mungkin keputusan bunuh diri itu jalan keluarnya.

Shahabatku yang hebat…

Mari kita sadari. *Pada kemungkinan-kemungkinan itu, Allah lahirkan
keturunan darinya yang bernama dualitas*. Dan ia selalu lahir berdua,
kembaran. Sukses-Gagal, Siang-Malam, Salah-Benar, Sedih-Bahagia,
Jatuh-bangkit dan suadaranya yang lain. Oleh karena itu, *Mungkin itu sering
berubah menjadi "Bisa".*

Fahamilah, Berhentinya langkah tindakanmu disebabkan oleh perasaan takut
(akan menyedihkan, menjatuhkan, mengurangi, dan mederita) itu, *Telah
mengubur rasa KEBERANIAN mu untuk memantaskan* (Kebahagiaan, membangun,
menambah, menyenangkan, dan menghormati). Oleh karena itu, mari kita ambil
keputusan memantaskan diri menjadi pribadi-pribadi pemungkin "Bisa". *Bisa
membahagiakan, membangun, mendidik, mensejahterakan, mengkayakan, memajukan,
mengembangkan, dan menghebatkan.*

Selama jurusan perjalanan yang kita pilih adalah Jalur Ketuhanan, maka kita
akan ditolongNya. Pak Mario Teguh dalam salah satu quote nya memberi
pandangannya ; *Jalan-jalan kebaikan itu adalah jalan-jalan Tuhan. Barang
siapa berjalan dengannya maka sebenarnya dia sedang berjalan dengan Tuhan.*

* *

Dan Bukankah kita tau

"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa,"

*(QS. Al Hajj : 40)*

"dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan
rasul-rasul-Nya. Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha
kuat lagi Maha Perkasa."

*(QS. Al Hadid : 25)*

* *

"Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu."

* (QS. Muhammad : 7)*

* *

* *

Karena kita terlahir sebagai

"Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah…" *(QS.
Ali Imran 110).*

*Dan sebaik-baiknya manusia yang memberi manfaat kepada sesama*

Shahabat tatkala engkau takut bertindak karena takut salah, maka engkau
telah mengabaikan kesempatan melakukan benar. Maka pastikanlah kita memihak
kepada peluang (Tindakan) "Benar, baik, selamat, sukses dan bahagia".
Wallahu'alam
Bogor 26 mei 2009
--
RAHMADSYAH
Practitioner NLP I 081511448147 I Motivator & Trauma Therapist
www.rahmadsyah.co.cc I YM ; rahmad_aceh
2a.

Re: [sekolah-kehidupan] Opini : Dimana Anda "Memancing" Reje

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Thu May 28, 2009 3:56 pm (PDT)



Tulisan yang menggugah, Pak (atau Bu?) Made. Cukup membuat saya berpikir out
of the box pagi ini. Thanks for sharing:). Salam kenal ya.

Tabik,

Nursalam AR

On 5/28/09, __MadeTeddyArtiana__ <made.t.artiana@gmail.com> wrote:
>
>
>
>
>
>
>
> *Dimana Anda "Memancing" Rejeki Selama Hidup ?*
> Pada sebuah kesempatan pulang kampung ke Bali, aku menyempatkan diri untuk
> menjenguk rumah baru kakak ku. Rumah berarsitektur Bali yang unik, dengan
> dua buah kolam ikan. Satu di depan yang dihuni oleh para Koi, yang lain
> dibelakang. Ini incaranku. Kolam untuk perut. Pancing, goreng, buat sambal
> dan…. sikaaaaattt..
>
>
>
> Tetapi walaupun memancing di kolam sendiri, ternyata perkara ini tidak
> semudah perkiraanku. Sudah sepuluh menit aku bengong disini. Aku dan bambu
> kecil melengkung ini. Namun belum ada seekor bayi ikanpun berhasil diseret
> keluar. Agak memalukan memang. Ikan-ikan ini sepertinya tidak dapat
> dipandang sebelah mata.
>
>
>
> "Coba perhatikan umpannya", teriak ayahku sambil tersenyum. Tak tahan
> menonton adegan itu lama-lama. Umpan ? Oke..saran yang patut didengar.
> Kuangkat pancingku keluar dari air. Ternyata ia benar. Cacing pucat, yang
> bergantung loyo itu sudah bergeser dari mata pancing. Mata kailnya tidak
> tersamar lagi, ujung runcingnya terlihat jelas menyeruak keluar. Pantaslah.
> Ikan manapun tidak akan dengan sengaja menggigit besi itu tanpa alasan.
> Kecuali kedua matanya jereng.
>
>
>
> "Perlu kesabaran dan kreatifitas…", kata ayahku untuk kedua kalinya.
> Hasilnya mulai tampak ketika aku menuruti nasehat itu. *Strike !!* Seekor
> ikan berukuran sedang berhasil kudapatkan. Satu persatu, besar dan kecil,
> walau kadang ada yang terlepas. Keadaan yang tadinya menjemukan kini berubah
> jadi asyik.
>
>
>
> Sepuluh-limabelas menit berlalu, sekonyong-konyong sejumput pemikiran
> singgah. Bagai sebuah wangsit dari Mbah Jambrong penghuni alam antah
> berantah. Sebuah pertanyaan naïf. Apakah rejeki dalam hidup seperti ini
> juga. Seperti memancing ikan di kolam sendiri. Biar kuperjelas maksudku.
> Seperti rejeki yang sudah ada ketika kita lahir kedunia, ikan-ikanpun sudah
> tersedia disini. Satu-satunya yang diperlukan adalah menjemputnya. Menjemput
> yang sudah ada.
>
>
>
> Tetapi persoalannya memancing ikan di kolam sendiri tentu berbeda dengan
> memancing ikan bersama-sama orang lain di sebuah pemancingan ikan. Yang satu
> adalah *one to one*, yang lain *many to one*. Yang satu merupakan urusan
> pribadi masing-masing pemancing dengan kolamnya sendiri, yang lain keroyokan
> menjarah satu-satunya kolam yang ada. *It's doesn't' take a genius* untuk
> menyadari, bahwa memancing di kolam pemancingan melibatkan satu kata yang
> kadang memunculkan benci tapi rindu. Persaingan. Benci ketika kita jadi
> korban dan rindu ketika kita adalah pemenangnya. Sebuah candu.
>
>
>
> Dan hal ini menjadi mengerucut. Apakah memancing rejeki dalam hidup seperti
> memancing sendiri di kolam pribadi ataukah memancing disebuah tempat
> pemancingan ? Bagaimana jika seandainya yang benar adalah yang pertama.
> Bahwa perkara rejeki sebenarnya adalah seperti memancing di kolam sendiri. ?
> Dengan kata lain setiap orang –begitu ia lahir kedunia- memiliki kolamnya
> sendiri-sendiri. Anda ya Anda, saya ya saya. Kita tidak berkuasa menyerobot
> rejeki milik orang lain. Tidak ada persaingan. Tidak ada pertempuran. Yang
> perlu dibangun adalah kerja sama. Dengan kata lain, sebarkan ilmu memancing
> Anda kepada yang lain, siapa tahu itu berguna untuk mereka memancing dikolam
> mereka masing-masing !
>
>
>
> Mungkinkah peta rejeki dalam hidup ini, tidak seperti kelihatannya. Tak
> terhitung jumlah dokter, dosen, pengacara, photographer, bisnisman, jamu
> gendong, tukang koran dan lain sebagainya. Jumlah mereka tidak terlalu
> penting. Segalanya cukup untuk semua. Sebuah refleksi dari eksistensi
> Sang Kahlik yang tidak terbatas pula. Pencipta yang bertanggung jawab.
>
>
>
> Jika wangsit Mbah Jamrong benar, berarti selama ini TUHAN diatas sana
> pastilah menutup wajah dengan kedua tangan beliau. Malu hati. Manusia yang
> diharapkan dapat membanggakan, untuk kesekian kalinya kembali mempermalukan
> Nya dihadapan balatentara surga. Pastilah Beliau, sudah begitu sering
> mengirimkan para malaikat untuk memberitahu kita sebuah kebenaran tentang
> rahasia hidup. Tetapi bagaikan berbicara dengan batu, ilmu itu kita abaikan.
> Manusia terlalu sibuk dengan kebenarannya sendiri. Lebih bebal dari seekor
> keledai beban. Berarti juga, iblis dan setan-setan kecil keponakannya telah
> begitu lama menyoraki kita. Mereka berhasil menyakinkan kita betapa tidak
> cukupnya segala sesuatu dalam hidup ini. Karena itu harus diperebutkan,
> harus saling meliciki, harus saling menjegal.
>
>
>
> Jika ini benar berarti teori-teori cerdas Blue Ocean Strategy dan segala
> jurus memanangkan "pertempuran rejeki" akan segera menjadi penghuni tempat
> sampah. Menggelikan.
>
>
>
> Itu juga berarti perjalanan hidup tiga puluh tahun ini, aku lalui dengan
> begitu bodoh. Betapa tidak dalam perjalanan hidupku, begitu sering aku
> merasa terancam akan keberadaan "pemancing-pemancing lain". Ketakutan akan
> diserobot, kadang begitu menguasaiku, sehingga hidup ini berubah tidak lagi
> indah.
>
>
>
> Seperti kata pepatah tua : "Sebuah kebohongan jika cukup keras disuarakan,
> oleh banyak orang dari waktu ke waktu lambat laun akan dipercaya sebagai
> sebuah kebenaran." Keluarga memunculkan ide itu kepermukaan. Lembaga
> pendidikan membakukan dan masyarakat memeliharanya. Lengkap sudah. Paradigma
> lomba pemancingan mungkin sudah demikian berurat akar, sehingga kita sudah
> malas mencerna dan dengan sagar menelan bulat-bulat semua itu.
>
>
>
> Aku tentunya terlalu beliau untuk memutuskan mana paradigma yang benar.
> Begitu banyak orang tua bijak yang sudah mengarungi hidup ini. Tetapi
> merekapun belum tentu tahu kebenaran sejati tentang peta rejeki didunia ini.
>
>
>
> Mungkin hidup akan membuka rahasianya kepada kita kalau saja kita mau
> mendengar. Jika saja kita dengan rendah hati meminta petunjuk kepada DIA,
> yang menciptakan dunia ini dan segala isinya. Teringat sebuah kalimat yang
> sering berkumandang ditelinga tentang : TUHAn adalah seperti prasangka
> hamba-hambanya, atau dalam sebuah bahasa lain : Jadilah kepadamu menurut
> iman mu !! Jangan-jangan bukan hidup yang mempermainkan kita, tetapi kita
> para pencipta permainan. Yang mempersulit hidup yang sebenarnya simple nan
> indah ini, yang kemudian jatuh kedalam permainan kita sendiri.
>
>
>
>
>
> *"Life is one big road with lots of signs. So when you riding through the
> ruts, don't complicate your mind. **Flee from hate, mischief and jealousy.
> Don't bury your thoughts, put your vision to reality. Wake Up and Live!**"
> **
> **(Bob Marley)*
>
>
>
>

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
3.

Re: [sekolah-kehidupan] Opini : Dimana Anda “Memancingâ€

Posted by: "suhadi hadi" abinyajundi@yahoo.com   abinyajundi

Thu May 28, 2009 6:57 pm (PDT)



bener mas Nur, ini bukan saja tulisan yang menggugah tapi sekalgus juga melecut diri
dan mengingatkan kita untuk senantiasa tidak diam  dalam menjemput rezeki
seperti halnya pagi ini, Alhamdulillah saya telah berhasil menjemput rezeki
7 buah kerupuk 3 dimensi merk kennie  deluxe yang saya tawarkan berhasil dibeli seorang kawan
atau ada temen eska lain yang beli atau mau jadi reseller untuk menjemput rezeki?silahkan hubungi saya
he..he..sorry kang Dani eska jadi ajang jualan lagi nih...

salam
suhadi-sidoarjo
--- On Thu, 5/28/09, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com> wrote:

From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>
Subject: Re: [sekolah-kehidupan] Opini : Dimana Anda “Memancing” Rejeki Selama Hidup ?
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Cc: made.t.artiana@gmail.com
Date: Thursday, May 28, 2009, 6:55 PM

Tulisan yang menggugah, Pak (atau Bu?) Made. Cukup membuat saya berpikir out of the box pagi ini. Thanks for sharing:). Salam kenal ya.


Tabik,

Nursalam AR

On 5/28/09, __MadeTeddyArtiana_ _ <made.t.artiana@ gmail.com> wrote:

Dimana Anda “Memancing” Rejeki Selama Hidup ?Pada sebuah kesempatan pulang kampung ke Bali, aku menyempatkan diri untuk menjenguk rumah baru kakak ku. Rumah berarsitektur Bali yang unik, dengan dua buah kolam ikan. Satu di depan yang dihuni oleh para Koi, yang lain dibelakang. Ini incaranku. Kolam untuk perut. Pancing, goreng, buat sambal dan…. sikaaaaattt. .











4.

[Catatan Kaki]Kelabakan Menatap Esok Hari

Posted by: "Anwar Holid" wartax@yahoo.com   wartax

Thu May 28, 2009 7:48 pm (PDT)



[HALAMAN GANJIL]

Kelabakan Menatap Esok Hari
--Anwar Holid

Mendengar selintas tentang kampanye dan jumlah kekayaan para calon presiden Indonesia beserta wakilnya malah membuat aku menoleh pada kondisi terakhir diri sendiri. Kepalaku sulit membayangkan kekayaan mereka seperti apa wujud aslinya, persis karena aku tak pernah menyaksikan kekayaan segigantik itu. Alangkah menyedihkan pengalaman kehidupan ekonomiku selama ini. Begitu hina.

Sudah beberapa hari ini aku kehabisan uang, bingung mau berutang pada siapa. Tabunganku sudah ludes kembali. Kemarin aku datang ke seorang teman dengan harapan bisa pinjam uang sekitar 500 ribu, ternyata dia dan kawan-kawannya juga tengah kesulitan menalangi seorang tua yang tengah sakit-sakitan dan butuh perawatan intensif. Kondisinya lebih gawat dari aku.

"Untuk periksa ke dokter sih, ada. Tapi buat obatnya masih belum ada," kata temanku. Orang tua itu konon mantan wakil rakyat Indonesia di masa lalu. Aku pernah beberapa kali ngobrol dengan orang tua itu. Jadi aku pun hanya bisa tersenyum menghadapi kondisi yang sama-sama sulit.

Beberapa minggu lalu aku dapat email dari seorang teman di kota budaya, dia kesulitan mendapat uang untuk melanjutkan kontrak rumahnya. Aku sengaja membiarkan email dia, karena tak bisa berbuat apa-apa. Tadinya aku berharap ada transfer masuk dari klien untuk sisa pembayaran kerja lama, tapi nggak datang juga. Aku sudah kontak orang bersangkutan, sms tidak dibalas.

Keadaan terdesak ini membuat kepalaku selalu menuju ke harta para calon presiden. Alangkah kaya mereka, jumlahnya fantastik. Sementara aku di sini kelabakan mencari utangan, untuk beli sayur dan lauk pauk, bayar ini-itu, ongkos sana-sini, sulit konsentrasi kerja, dan akhirnya hanya bisa kirim sms bernada getir ke seorang teman yang biasanya lebih jenaka: APA ARTINYA ORANG KALAU DIA GAGAL MENCARI UANG? Kasar.

**
Aku juga warga negara Indonesia, punya KTP, kemarin ikut pemilu, bayar retribusi dan pajak, bahkan kini sudah punya NPWP. Apa artinya itu semua, bila aku toh tetap merasa sendirian harus berjuang untuk mendapatkan nafkah bagiku sekeluarga, nggak ada tuh peran pemerintah dalam menjamin kesejahteraan sosialku. Aku jadi merasa sangat dilecehkan oleh uang dan politik dan pemerintahan dan segala sistem sosial yang mungkin nggak ada hubungannya dengan aku semua.

Kalau aku nanti mencontreng salah satu dari tiga pasangan itu, memang apa pengaruhnya? Kalau juga abstain, memang apa ada dampaknya? Kondisi ini membuat aku merasa absurd. Kekayaan keenam orang itu tak menetes sedikit pun kepada orang seperti aku, yang dari kejauhan dan sekilas-sekilas tertoleh oleh peristiwa politik. Mending aku bersiap-siap tegang nonton laga Manchester United versus Barcelona FC di Roma dalam duel final Liga Champions 2008/09. Lebih seru tentu saja.

Setelah mikir-mikir cari utangan, aku teringat target-target ekonomi yang belum tercapai. Aku sudah lama belum juga bisa bikin sertifikat untuk sepetak tanah di lahan sempit, belum bisa bikin asuransi pendidikan buat anak bungsu, belum sedikit pun menabung untuk bayar asuransi pendidikan si sulung tahun ini. Wah, sial, aku jadi kasar. Frustrasi mudah membuat aku hilang kendali.

Sering aku bertanya: bagaimana calon presiden dan wakilnya bisa sekaya itu? Apa yang telah mereka lakukan sampai bisa mengumpulkan kekayaan sebanyak itu? Bisnis apa yang mereka operasikan? Strategi macam apa yang mereka jalankan agar bisa sesukses itu? Apa mereka mempraktikkan ilmu Robert Kiyosaki? Menyewa Brian Tracy agar terus bersemangat kerja? Menyerahkan pengelolaan uang pada Warren Buffett? Menghabiskan buku-buku manajemen tingkat dunia? Punya tim hebat tiada tara? Kerja sama seperti apa yang mereka tanda tangani hingga nilai kekayaannya begitu luar biasa bagi rakyat jelata seperti aku ini? Atau malah mereka menggadaikan kekayaan negara dan mengutip imbalan dari sana?

Aku tertekan karena merasa terinjak untuk mengais sedikit saja. Gila. Aku optimistik, tapi terhadang. Di satu sisi ada orang punya kekayaan melimpah ruah sampai rasanya sulit dipercaya, di sisi lain ada orang iri hati karena merasa begitu sulit mendapatkan sejumlah porsi untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Hidup macam apa yang aku alami ini? Apa aku kurang kerja keras, kurang profesional, kurang smart, bodoh, sial, kurang melayani, kurang ambisius? Kalau per hari ini aku bandingkan dengan keadaan keuanganku yang rata dengan tanah, rasanya aku mau putus asa setiap kali mendengar kata capres, cawapres, kampanye, janji politik, pemilihan presiden. Apa hubungan semua itu dengan aku?

Aku mulai dihinggapi tanda-tanda frustrasi. Kesulitan untuk mendapat nafkah sedikit saja sampai memaksa aku mengeluh seakan sudah sekarat. Keterlaluan. Apa aku sudah terobsesi dan buta oleh kekayaan? Bagaimana bila faktanya aku memang kesulitan? Tiap hari uang dicetak dan diedarkan, tapi alangkah sulit aku dapatkan sisa-sisanya. Sementara di tempat tertentu, sejumlah angka disimpan, disiapkan untuk membayar iklan di media massa, tim sukses, alat kampanye, membentuk citra, minta dukungan, menjamin logistik, menggalang massa, menyiarkan propaganda, mengklaim pekerjaan, bahkan mungkin juga uang tutup mulut dan demi menutupi kebusukan.

Di saat aku sulit begini, politik dan pemerintahan seperti kehilangan relevansi dengan kehidupan sehari-hari. Setelah kemarin secara gratis memberi suara untuk wakil rakyat asing dari partai tertentu yang jelas tak punya komitmen apa pun dengan konstituennya, segera para peserta pemilu itu ribut soal kekuasaan dan koalisi. Mana pernah mereka kembali membicarakan janji-janji politik dan kesejahteraan, bagaimana mewujudkan semua itu. Rupanya mereka merasa baru bisa bekerja untuk rakyat dan negara bila punya kuasa.

Andai salah satu dari kandidat yang aku pilih itu gagal atau berhasil jadi presiden, apa akan mengubah keadaanku? Mungkin tidak. Jadi kenapa juga aku harus ikut merasa terlibat dengan gegap gempita kampanye? Aku bukan bagian dari tim sukses, bukan kerabat, bukan kenalan, tak terikat secara emosional dan personal dengan mereka. Aku hanyalah sasaran tembak, dibidik agar percaya pada salah satu kontestan, yang jangankan peduli pada kehidupan kesejahteraanku, bersimpati pada kondisiku saja tidak. Mending aku konsentrasi lagi menyelesaikan kerja-kerjaku yang tercecer. Menata diri lebih baik.

Tapi ini juga sukar, karena pikiranku melayang-layang memikirkan harta benda orang, yang suka atau tidak, akan jadi presiden di negara tempat aku tinggal, selama lima tahun ke depan. Wajarkah bila aku malah berprasangka berapa kekayaan yang akan mereka dulang selama memerintah, sementara aku juga harus bekerja sendiri memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga? Punya presiden atau tidak, hidupku toh begini saja. Semua tergantung dari usaha dan jerih payahku sendiri.

Dengan kekayaan sebesar itu, sudikah mereka juga benar-benar berkorban bagi warga negara, apalagi yang memilih serta menyerahkan kepercayaan dan harapannya? Menyisihkan sebagian buat menambal jalan berlubang, memperbaiki got di RW-ku yang selalu jebol kala hujan deras, maukah mereka? Ikut menyelesaikan utang warga, menolong orang yang kehilangan mata pencaharian, atau daya tawarnya rendah. "Kamu harus bisa membedakan mana uang pribadi dan anggaran dari negara," demikian kira-kira jawaban sopan mereka.

Ha ha... ilusi demokrasi. Aku berharap pemerintah ikut menyelesaikan masalah warga negara sebagai pribadi; padahal mereka juga sibuk dengan urusan masing-masing. Urusan yang lebih besar, katanya. Yaitu urusan negara, urusan sosial, utang luar negeri. Bedanya, sementara mereka tetap bisa mengambil sebagian untuk uang saku sendiri, aku di sini kelabakan menatap esok hari.[]2:34 PM 5/26/2009

Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: wartax@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.gramedia.com
http://www.mizan.com
http://halamanganjil.blogspot.com

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones

5a.

Re: (catcil) Cahaya Dibalik Derita

Posted by: "yudhi mulianto" yudhi_sipdeh@yahoo.com   yudhi_sipdeh

Thu May 28, 2009 7:49 pm (PDT)




Ceritanya mas Agus Singkat tapi padat langsung menuju akar masalah :-)

"Setiap penderitaan merupakan tersingkapnya cahaya kehidupan dibalik semua penderitaan".

"Keikhlasan dan kepasrahan kepada Alloh SWT yang telah membuat kami sekeluarga menjadi kuat".

Setuju banget Mas Agus :-)

Hidup jadi terasa lebih ringan, dan kita bisa menikmati hidup ini dengan penuh rasa syukur kepada Allah.

Salam untuk keluarga ya Mas :-)

yudhi

6.

[Cerpen]KEPUTUSAN IBU

Posted by: "Zakiyatuzzahra Kiki" qq_zahr2007@yahoo.co.id   qq_zahr2007

Fri May 29, 2009 12:42 am (PDT)




Miliser SK........ pa kabarnya? Oya.... kasih masukan di cerpenku ini ya...... Udah kalau mau dikuliti gak pa-pa kok, abis blm sempet nyunting .... Lagian biasanya abiz dikuliti jadi bagus.... contohnya wayang kulit tuch.... ^_^gak nyambung ya...... :-p
**********

KEPUTUSAN IBU

By: Zakyzahra

 

Masih seperti beberapa hari
sebelumnya, ibu sama sekali tidak menyentuh makanan yang tersaji. Ibu hanya
akan minum atau makan sepotong tahu saat benar-benar ingin. Aku dan Ida sudah
kehabisan akal untuk membujuknya. Kalau begini terus, ibu bisa jatuh sakit.

 

“Aku benar-benar makin merasa
bersalah, mbak,” kata Ida di tengah ketermanguanku. Ia sudah menenteng
keranjang plastik untuk belanja. Ridlo, bungsunya yang baru berusia empat tahun
tampak jongkok menunggui seekor kucing yang menikmati sarapan pagi di depan
pintu dapur. Sementara keempat kakaknya sedang bersekolah.

 

Sejak tiga hari lalu aku di sini
atas permintaannya. Ida sangat mengkhawatirkan kondisi ibu sejak mbak-mbak dan
masku meributkan keputusannya yang dianggap tidak adil. Hanya aku dan mbak
Tarmi saja yang bisa menerima dengan legawa.

 

“Gak ada yang salah, Id. Yang ada
itu ego yang menutup hati untuk melihat kemauan ibu,” kataku agak jengah. Sudah
berulang kali Ida mengatakan hal serupa. Dan setiap kali pula aku berusaha
membuatnya berhenti melakukannya. Tapi pagi ini aku mengerti, Ida mungkin
sangat terpukul atas perlakuan saudara-saudaranya. Apalagi sebelum ibu membuat
keputusan, ibu sudah menanyakan pendapatnya. Ia berusaha untuk menolaknya,
karena pasti akan menimbulkan konflik dengan yang lain. Apapun alasan ibu, Ida
tetap keberatan.

 

“Aku benar-benar bingung mbak
kalau pada akhirnya ibu begini. Apalagi ibu tidak jelas maunya bagaimana.
Setiap kali aku tanya, ibu cuma bilang supaya aku gak banyak bertanya. Kan bingung aku,
mbak….?”

 

Kulihat gurat kesedihan pada wajah
adikku yang sudah bertekad untuk menemani ibu sejak tiga tahun lalu. Keputusannya
sudah bulat sejak suaminya memutuskan untuk bercerai dan menikahi perempuan
lain. Akhirnya, ia bersama lima
anaknya pindah kembali ke desa dengan berbagai pertimbangan. Setidaknya, ia
bisa dengan tenang membesarkan anak-anak dengan kehidupan yang lebih sederhana.
Dan yang tidak kalah membahagiakan adalah ia dapat merawat ibu yang sudah
lanjut usia.

 

Saat itu ibu juga terpukul dengan
nasib Ida. Aku juga semula tidak setuju Ida pulang ke kampung. Karena pasti
akan menjadi beban bagi ibu. Bagaimana pun ibu tidak akan bisa begitu saja
tidak memikirkan Ida dengan kelima anaknya yang masih kecil. Empat diantaranya
memerlukan biaya untuk sekolah.

 

Tapi setelah aku berembug dengan
suami dan beberapa saudara, kami pun sepakat menerima permintaan Ida. Apalagi
Warti yang selama ini menjaga ibu, berencana akan mengikuti suaminya yang
tengah merintis usaha kecil di luar kota.
Ya, sejak saat itu kami semua mempercayakan perawatan ibu pada Ida. Untuk
meringankan bebannya, aku, mbak Is dan mas Darmawan membantu biaya sekolah
anak-anak Ida.

 

Syukurlah, Ida cukup cekatan
untuk mempelajari kehidupan bertani. Ladang seluas hampir enam ratus meter
persegi, yang semula ditanami pohon kelapa, berangsur-angsur diubahnya menjadi
lahan yang lebih produktif. Semula hanya seratus meter yang ia ubah menjadi
lahan sayur dan berbagai kebutuhan dapur yang cocok di tanah semacam itu. Ia
memberikan pohon-pohon kelapa kepada dua orang tetangga yang membantunya
menebang dan mempersiapkan lahan itu selama beberapa hari.

 

Dengan tangannya yang dingin, Ida
mulai menanamkan beberapa benih, mulai dari kebutuhan bumbu dapur hingga
sayur-mayur. Bersama dengan tiga anaknya yang sudah besar, ia mengemasnya untuk
dijual ke pedagang sayur keliling dan pasar. Semula semua hasilnya ia berikan
ke ibu. Tapi kemudian ibu mempercayakan semua untuk dikelola Ida.

 

Ladang pohon kelapa itu berubah
sedikit demi sedikit karena kegigihan Ida. Bahkan Ida bisa mengajak beberapa
perempuan tetangga untuk turut mengolah sehingga menambah penghasilan mereka.
Ibu luar biasa terhibur, karena rumah tidak lagi sepi.

 

Sampai disini, aku sama sekali
tidak melihat hal yang membuat hati kami tidak nyaman. Pada kenyataannya, ibu
selalu sehat. Anak-anak Ida justru membuat ibu terlihat bergairah. Ketika aku
berkunjung di beberapa kesempatan, terus terang, aku merasa sedikit iri, tapi
sekaligus merasa bersalah. Aku, keluargaku dan anak-anakku belum bisa membuat
ibu sebahagia itu. Aku benar-benar bersyukur. Hingga tak ada yang membuat
hatiku berat untuk menyisihkan sebagian pendapatanku untuk membantu Ida.

 

Dan ketika ibu memutuskan untuk
menghibahkan lahan itu semuanya pada Ida, spontan aku menerimanya tanpa
menanyakan alasan ibu. Karena aku tahu Ida pantas menerimanya. Ini lah percik
kejengkelan di hati ibu ketika menyadari tidak semua anaknya mengerti apa yang
menjadi maksudnya.

 

Bahkan mbak Is yang semula turut
membantu Ida, sekarang menudingnya macam-macam. Sebaliknya, mbak Tarmi yang
hidupnya pas-pasan, berulang kali minta maaf karena tidak bisa membantu ibu dan
Ida, justru bisa legawa.

 

Alasan mba Is dan yang lain, toh
Ida juga sudah menerima tanah warisan sepuluh tahun lalu, saat ibu memutuskan
untuk segera membaginya sebelum Tuhan tiba-tiba memanggilnya. Dua tahun
kemudian, Ida menjual bagiannya. Aku hanya menduga kalau saat itu ia sangat
membutuhkan uang. Bisa dipahami, Ida paling gengsi kalau harus minta bantuan
siapapun, meski kepada saudaranya sekali pun.

 

Lalu apa yang menjadi alasan ibu
memberikan lahan itu pada Ida? Apa karena Ida yang menemani ibu? Bukankah
selama ini Ida juga mendapatkan bantuan dari saudara-saudaranya? Apalagi, lahan
itu sumber penghasilan ibu satu-satunya. Mengapa harus diberikan ke Ida? Apa
karena ia janda beranak lima?
Apa dia kelak tidak sanggup lagi mencari suami yang akan menopang kehidupan
mereka? Atau ada hal lain?

 

Keterlaluan…….. Ibu hanya bisa
menangis ketika semua pertanyaan itu dengan teganya disampaikan mbak Is dan mas
Wisnu bertubi-tubi. Hingga mereka bertanya tentang “letak keadilan” ibu. Ida ta
berhasil menghentikan kalimat mereka yang sangat menyakitkan bagi ibu dan
dirinya. Tapi ibu diam…… Tak ada sepatah kata penjelasan pun kecuali,”Itu yang
ingin ibu lakukan.”

 

Itu terjadi sepuluh hari lalu,
dan aku hanya bisa mendengar cerita dari Ida tanpa bisa berbuat sesuatu saat
itu. Sejak saat itu, ibu sering menangis, menyendiri, menarik diri dari
keceriaan bersama anak-anak Ida. Ibu lebih banyak mengurung diri di kamar dan
tadarus berjam-jam. Saat satu persatu saudara-saudara ingin berkunjung, ibu
benar-benar tidak mau bertemu.

 

“Paling-paling, ngomongin soal
keputusanku,” kata ibu pada Ida. Ya, hanya pada Ida ibu masih mau berbicara.
Itu pun tidak banyak.

 

Ida mulai cemas saat ibu sudah
mulai jarang makan. Ia memaksaku untuk datang membujuk ibu. Kabar itu membuatku
khawatir. Syukurlah suami dan anak-anak mengijinkanku menemani ibu untuk
beberapa hari.

 

Selama tiga hari ini, aku juga
berusaha berbicara dengan saudara-saudaraku meski hanya lewat telepon. Karena
ibu melarang mereka datang kalau hanya untuk mempermasalahkan keputusan ibu.
Mereka sebenarnya juga merasa khawatir dengan kondisi ibu. Tapi hati mereka
merasa sakit atas sikap ibu. Mbak Triana malah ngomongnya ngelantur
kemana-mana. Berbagai tudingan dan tuduhan pun mulai ditujukan ke Ida. Bukan
hanya itu, anggapan kalau aku sok pahlawan, sok kaya dan gak butuh harta,
mencari muka di hadapan ibu…… owwww…… makin memperuwet masalah.

 

Hingga wajar hal ini juga membuat
Ida merasa berada dalam ruang sempit yang gelap tanpa udara. Ibu menjadi
seperti ini karena keputusan yang berhubungan dengan dia. Lama aku terdiam
sampai kudengar isak Ida……

 

“Sudahlah, Id….. Kamu percaya
sama aku, kalau semuanya akan segera normal kembali. Aku janji akan membantu
ibu menjernihkan masalah ini,” ucapku segera. Aku tak mau ibu, Ridlo dan
anak-anak Ida lainnya melihatnya bersedih. Diakui atau tidak, Ida lah tempat
seisi rumah ini bersandar.

 

“Aku hanya mau kamu tegar seperti
sebelumnya,” kataku segera saat melihat Ida mau mengatakan sesuatu. Ida
menyusut air mata yang tak lagi bisa dibendung.

 

 

*********

 

 

Sore itu aku dan beberapa saudara
sepakat bertemu di rumah Diyah. Hanya mas Darmawan dan Warti yang tidak bisa
hadir. Tapi mereka berjanji akan menerima segala keputusan bersama.

 

Suasana sudah terasa kaku sejak
awal satu persatu mereka datang. Yang ada hanya basa-basi tidak tulus. Aku bisa
merasakan hati dan pikiran mereka yang berputar-putar mencari tahu apa yang
bakal aku utarakan, karena akulah yang mengundang mereka. Sengaja pula aku
minta Diyah mau rumahnya menjadi tempat pertemuan ini, karena ibu tidak
menginginkan anak-anaknya menginjakkan kaki ke rumahnya kalau masih
mempermasalahkan hal yang sama.

 

Sungguh di luar nalarku, tak satu
pun yang menanyakan tentang ibu. Tak ada keheranan dan niat ingin tahu, mengapa
sampai aku menginap beberapa hari di rumah ibu dan meminta kami berkumpul hari
ini juga. Hal itu membuatku geram…… hingga tak bisa kubendung.

 

“Apakah sudah tidak ada ibu di
dalam pikiran mbak-mbak, mas Wisnu dan kamu Diyah, sampai-sampai mulut kalian
semua berat untuk menanyakan kabar ibu,” ungkapku dengan nada berat menahan
kesal.

 

“Sudah lah Yas, langsung to
the point saja. Kita sudah tahu kalau ibu gak mau bertemu kami lagi,”
sergah mas Wisnu tak kalah kesal.

 

“Mas Wisnu gak gusar dengan
larangan ibu itu?”

 

“Kita hanya menunggu sampai
amarah ibu reda, Yas. Itu saja. Bukan berarti kita gak cemas,” mbak Is
menimpali. Rasanya, ingin aku menangkis segala kalimat mereka yang jelas tanpa
pengetahuan sedikit pun tentang ibu.

 

Dengan terbata-bata, aku
menceritakan keadaan ibu, kesedihan Ida, alasanku dan Warti menerima keputusan
ibu. Tak kuberi jeda sedikit pun yang membuat mereka bisa menyelaku. Aku mulai
kuliti penilaian mereka terhadap ibu dan Ida, terhadap waris dan hibah,
terhadap sebidang lahan, terhadap nasib dan syukur, terhadap hati yang tak lagi
tajam menangkap harapan sang ibu……

 

“Apakah ibu pernah menanyakan
mengapa satu diantara kita tak sudi bersamanya meniti hari tuanya? Lupakah
kita, ibu terlalu banyak berkata “ya ibu setuju saja, ibu merestui, ibu berdo’a
untukmu”. Ibu berusaha dengan keras memahami diri kita. Mengapa tidak bisa kita
melakukan hal yang sama. Memahami ibu!” Aku mulai mendengar suara isak yang
pelan tertahan. Kutahan hasratku untuk mencari siapa yang mulai luruh dari
benteng ego.

 

“Kita terlalu pandai untuk ibu.
Karena itu, ibu terlalu bangga atas diri kita. Tapi tahukah kalian, ibu saat
ini sangat dan teramat kecewa. Sekiranya ibu bisa menahan rasa gusarnya
terhadap keputusan kita, mengapa kita tidak juga berbuat hal yang sama??
Kurasa, tiga tahun bersama dengan Ida, ibu menemukan banyak hal yang
melandasinya memutuskan hibah itu. Ladang dan rumah yang ditempati itu punya
ibu. Akan di kemanakan atau diberikan kepada siapa, tidak perlu ibu meminta
pendapat kita. Bukankah hal yang sama juga kita lakukan terhadap harta milik
kita? Apa yang ibu lakukan sepuluh hari lalu adalah memberi tahu kita tentang
hibah itu. Agar kelak tidak menimbulkan fitnah. Bukan menanyakan pendapat
kita……”

 

Mataku memang seakan menatap
tajam mereka satu persatu, tapi sungguh…… sebenarnya tatapanku kosong, menyatu
dengan hati yang perih membayangkan kondisi ibu. Isak demi isak itu menyeruak
di tengah kata-kataku yang tak bersela.

 

Tiba-tiba hpku berbunyi. Ida… Ia
memintaku segera pulang. Ibu menanyakan aku terus-menerus. Ida cemas.

 

Badanku menggigil karena bayangan
yang aku takutkan. Aku meminta mereka tetap tinggal dan merembugkan sendiri apa
yang baru saja aku sampaikan. Kukatakan kalau ibu mencariku.

 

“Kita ke rumah ibu saja
sekarang,” Diyah memintanya.

 

“Jangan. Ida tidak menceritakan
kondisi ibu sekarang. Daripada malah memperburuknya, lebih baik kalian tunggu
kabar dariku.”

 

Aku bergegas pulang.

 

Ida segera memintaku ke kamar
ibu. Ibu terbaring lemah di tempat tidur. Begitu melihat kedatanganku, beliau
berusaha tersenyum. Oh….Tuhan, aku melihatnya begitu cantik meski usianya sudah
lewat delapan dasawarsa. Putih dan pasi akibat beberapa hari ta tersentuh
makanan.

 

“Ibu kenapa?” Ibu hanya
menggelengkan kepala sambil tetap tersenyum. Tangan kanannya berusaha menyapu
wajahku.

 

“Dari mana?”

 

“Rumah Diyah, bu. Silaturahim
aja.” Ibu mengedipkan matanya seakan menyetujui apa yang kulakukan.

 

“Ibu mau apa?” Nafas ibu
terdengar berat.

 

“Sing rukun,” katanya
pendek.

 

Sayup-sayup terdengar adzan
Maghrib. Ibu menatap langit-langit dan menggerak-gerakkan bibirnya menyambut
lantunan panggilan Allah. Air mataku berlinang, demikian juga Ida. Begitu serua
itu berakhir, tangan ibu menyentuh pembaringan di sisi kanan kiri. Tayamum……
Ibu menyelesaikan shalat maghrib dengan berbaring. Kami berdua masih terus di
sisinya.

 

“Bu, aku mau shalat dulu ya. Biar
Ida di sini dulu,” kataku. Tangan kiri ibu meraihku. Sambil tersenyum ibu
mengatakan lagi,”Sing rukun.” Hatiku seperti dihantam batu penindih
Bilal……

 

“Ibu masih marah?” tanyaku pelan.
Dengan lemah ibu melambaikan tangan kanannya.

 

“Gak marah lagi kan sama putra-putra ibu?” tanyaku kembali
berusaha meyakinkan diri. Ibu mengedipkan matanya. Ooooh……… batu itu bagai
menggelinding menghantam tonggak penyumbat mata air. Sontak tonggak itu roboh
dan menyemburlah air yang membuatku terasa segar dan bersyukur……

 

“Aku mau shalat dulu ya, bu,”
kataku tak sabar….. Ya, aku akan segera memberi kabar mereka yang masih
menunggu di rumah Diyah. Belum lagi aku memencet nomor Diyah, kudengar tangis
Ida dari dalam kamar ibu......

 

 

Tulungagung, 29 Mei 2009

Aku teramat sangat mencintaimu, ibu……..

Untuk para bunda …… salam ta’zimku……

Aku dedikasikan bagi “senior citizen” negeri ini…..

 

__________________________________________________________
Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/
7.

OOT: Sekarang Buku Saya Dapat Diperoleh Secara Gratis

Posted by: "dkadarusman" dkadarusman@yahoo.com   dkadarusman

Fri May 29, 2009 12:42 am (PDT)



OOT: Sekarang Buku Saya Dapat Diperoleh Secara Gratis

Dear Bapak/Ibu,

Mulai saat ini buku "Belajar Sukses Kepada Alam" versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara gratis dalam bentuk ebook. Semoga dengan cara ini semakin banyak yang dapat membacanya. Anda dapat berkontribusi dengan cara mengirimkan kembali naskah buku ini kepada orang-orang yang Anda percaya dapat mengambil hikmah darinya. Jika Anda tertarik, silakan kirimkan email japri ke bukudadang@yahoo.com dengan memperkenalkan diri Anda beserta alamat email kantor dan alamat email personal (yahoo atau gmail) karena alamat email kantor mungkin tidak akan dapat menerima ukuran filenya.

Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
www.dadangkadarusman.com

8.

Beasiswa S2 ICAS Jakarta

Posted by: "Icas Jakarta" icas.jakarta@yahoo.com   icas.jakarta

Fri May 29, 2009 1:38 am (PDT)





ICAS Jakarta, yang merupakan cabang dari ICAS London UK
, bekerjasama dengan Universitas Paramadina membuka penerimaan mahasiswa
baru untuk program studi "Islamic Philosophy (Filsafat
Islam)", dan "Islamic Mysticism
(Tasawuf)".

Masa
Pendaftaran  : 2 Maret - 28 Mei 2009

Tes Tertulis            : 29 Mei
2009, pukul 09.00 WIB

Tes Wawancara     : 29 - 30 Mei 2009, pukul 13.30 - Selesai

Biaya Pendaftaran : Rp 150.000

Sebagai wujud kepedulian ICAS Jakarta terhadap upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa, ICAS Jakarta juga memberikan BEASISWA bagi yang memenuhi syarat.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi :

Plaza Pondok Indah III, Blok F5,

Jln. TB SImatupang, Jakarta
Selatan

Telp.     :  (021) 7651534 u.p. Mr. Max atau Mrs.
Rintis

Fax.      :  (021) 7651601

E-Mail :  info@icas-indonesia.org,
icas.jakarta@yahoo.com

Contact Person
:  Max  (  081385446785,  99174815,  32959478 )

atau, kunjungi :

Website : http://www.icas-indonesia.org atau http://www.icas.ac.id

atau, bergabunglah ke facebook group FALSAFATUNA

 

9.

[Ruang Musik] Now And Forever - Carole King

Posted by: "Lia Octavia" liaoctavia@gmail.com   octavialia

Fri May 29, 2009 3:11 am (PDT)



Teman-teman, aku merasa akhir-akhir ini kita semua disibukkan dengan urusan
kita masing-masing yang memang sedang meminta porsinya untuk diurus dan
diperhatikan oleh kita semua. Keluarga, sanak famili, pekerjaan, dan diri
sendiri.
Sehingga tidak heran bila Kang Dani sempat menyebut postingan di milis kita
ini sedang "agak mendingin". Tentunya semua ada bagiannya, semua ada
waktunya. Bila saat ini kita semua disibukkan oleh berbagai aktifitas yang
membuat teman-teman jarang memosting tulisan atau jarang bertemu secara
offline, tentunya kita semua sedang belajar melalui berbagai peristiwa yang
kita alami dari berbagai aktifitas kita.

Pada hari Jumat di akhir pekan ini, saya hendak membagi sebuah lagu yang
bagus untuk disimak. Judulnya Now And Forever. Sebuah kenyataan bahwa kita
semua adalah murid sekaligus guru di sekolah kita yang tercinta ini, pada
saat ini. And together we lit up the world...

Enjoy the song.. ^_^

Salam
Lia

http://apresiasipuisi.multiply.com/music/item/13/Now_and_Forever

NOW AND FOREVER
By Carole King

Now and forever, you are a part of me
And the memory cuts like a knife
Didn't we find the ecstasy, didn't we share the daylight
When you walked into my life

Now and forever, I'll remember
All the promises still unbroken
And think about all the words between us
That never needed to be spoken

We had a moment, just one moment
That will last beyond a dream, beyond a lifetime
We are the lucky ones
Some people never get to do all we got to do
Now and forever, I will always think of you

Didn't we come together, didn't we live together
Didn't we cry together
Didn't we play together, didn't we love together
And together we lit up the world

I miss the tears, I miss the laughter
I miss the day we met and all that followed after
Sometimes I wish I could always be with you
The way we used to do
Now and forever, I will always think of you
Now and forever, I will always be with you
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Yahoo! Groups

Mom Power

Just for moms

Join the discussion

Group Charity

California Pet

Rescue: Furry

Friends Rescue

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: