Kamis, 28 Mei 2009

[daarut-tauhiid] KETULUSAN SEORANG GURU



Hidup, tak
selamanya bisa memilih. Itulah yang dirasakan Pak Mahmud, seorang guru,
bahkan kini menjadi kepala sekolah salah satu sekolah agama di
Cengkareng, Jakarta Barat. Ia seperti hidup di antara dua dunia yang
sangat berbeda,

menjadi guru di satu saat, dan karena alasan ekonomi menjadi pemulung sampah di saat lain.
Inilah potret nyata kehidupan guru di tanah air.
Matahari perlahan mulai menampakan sinarnya, dan pagi kembali datang.
Akupun kembali membuka lembaran hidup dari gubukku yang sederhana ini.
Namaku Mahmud. seperti hari-hari sebelumnya, di pagi buta, aku sudah
melangkahkan kaki pergi mengajar di sekolah Madrasah Sanawiyah
Safinatul Husnah, tak jauh dari tempatku tinggalku di Jalan Bambu
Larangan RT 03 RW 05 Cengkareng Barat, Jakarta Barat, jadi aku cukup
berjalan kaki untuk ke sana.Sudah 32 tahun aku menekuni profesi ini,
persisnya sejak aku berusia 14 tahun. Ya, sejak muda, aku memang
bercita-cita menjadi guru, profesi yang pekerjaannya sangat mulia
menurutku. Apalagi kini aku dipercaya menjadi kepala sekolah. Aku
senang, pengabdianku telah berbuah manis.
Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah, apalagi menjadi kepala sekolah.
Tanggungjawabnya sangat besar, tak hanya harus mampu menjadi teladan
tapi juga harus menyiapkan bekal mutu dan moral bagi murid-murid kami,
generasi penerus bangsa ini. Karena itu hampir setiap upacara sekolah,
saat menjadi inspektur upacara, aku coba tanamkan nilai-nilai luhur itu.
Meski menjadi kepala sekolah, aku tetap mengajar, matematika dan ppkn,
pendidikan pancasila dan kewarganegaraan. jujur, Ada dua alasan mengapa
aku tetap melakukannya. Pertama karena aku memang senang mengajar. Aku
juga tak ingin ilmu matematika yang kudapat dari Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta menjadi tak terpakai. Dan kedua,
karena alasan ekonomi. Aku masih membutuhkannya sebagai sumber
tambahan. image
Menjadi guru, sekali lagi, memang sangat berat, setidaknya sampai saat
ini. Penghasilan yang didapatkan, sangat tak sebanding dengan karya
kami untuk bangsa ini. Tapi aku, dan juga mereka yang telah memilih
pekerjaan ini tak boleh mundur. Ada tanggung jawab besar di pundak kami.
Berkumpul dengan keluarga adalah saat terindah dalam hidupku. Bersama
mereka aku bisa melupakan semua persoalan yang membebaniku, terutama
setiap kali melihat senyum di wajah Jumiati, isteriku. Maklum, sudah
dua tahun terakhir ini dia sakit-sakitan, dan aku terus memikirkannya.
Sebagai kepala rumah tangga, beban di pundakku sebenarnya sangat berat.
Ibarat bangunan, aku tak ubahnya seperti tiang yang harus berdiri
kokoh, jika tak ingin seluruh bangunan roboh. Bukan maksudku berkeluh
kesah, tapi penghasilanku sebagai guru, meski kini telah menjadi kepala
sekolah, sangatlah kecil. Aku buka saja, penghasilanku dari sekolah
sekitar 500 ribu rupiah. Bisa apa dengan uang itu dengan harga
kebutuhan yang terus naik sekarang ini. Belum lagi aku harus membiayai
sekolah anak-anakku.
Itulah sebabnya, di luar profesi guru, diam-diam aku menjadi pemulung,
mengais rezeki di antara tumpukan sampah di belakang rumahku. Saat
menjadi pemulung, yang terbayang hanya wajah anak isteriku. Mereka
membutuhkan kehidupan dariku. Rasa lelah, lapar, coba aku singkirkan.
Tak ada gunanya pula aku mengeluh, karena inilah jalan hidupku.
Hasilnya juga lumayan buat memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga.
Aku sadar, keputusanku ini tidak semua menyukainya, terutama dari
mereka yang merasa pekerjaan ini tak pantas dilakukan seorang guru
sepertiku. Bahkan tak jarang aku menerima cibiran. Mereka seperti tak
mau mengerti, isteriku sudah dua tahun menderita sakit kanker otak, dan
aku belum juga mampu membiayai operasi untuknya.
Jumiati, isteri, adalah segalanya bagiku. Tak mampu kugambarkan
bagaimana besar artinya dia buatku. 22 tahun ia dengan setia
mendampingiku, tak ada bandingan, walau kini ia sedang tak berdaya
karena sakit yang ia derita.
Sejak isteri divonis menderita kanker otak dua tahun lalu, fikiranku
memang tak tenang. Permintaan beberapa murid untuk diajar les tambahan,
terpaksa tak bisa dipenuhi, aku tak bisa konsentrasi, Jumiati begitu
berarti buat kami. Selagi sempat aku selalu ingin berada dekatnya,
menikmati kebersamaan dengannya. Aku tak sanggup membayangkan
kehilangan dia.
Begitupun dengan ketiga anakku, mereka bak matahariku, sumber
kekuatanku, karena mereka pula aku ikhlas menjalani kerasnya hidup ini.
Si sulung, Hidayatul Aulia, telah lulus SMA, aku terharu ketika ia
memutuskan tak kuliah, memberi jalan buat kedua adiknya meneruskan
sekolahnya.
Yang kedua Ridwan Abimanyu, saat ini sedang kuliah di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah jurusan perbandingan agama, aku sangat
bangga melihat semangat belajarnya. Lalu si bungsu Mirma Yunita, baru
masuk pesantren dekat rumahku. Aku ingin kehidupan mereka kelak, lebih
baik dari kami orang tuanya.
Lingkungan tempat tinggal kami, sebenarnya tidak mendukung. Kotor dan
tak baik buat kesehatan, paling tidak itulah yang kami sekeluarga
rasakan. Tak hanya isteriku yang sakit, ketiga anakkupun sebenarnya
mengalami gangguan kesehatan. Tapi kami memang tak punya pilihan. image
Hidup ini memang sebuah perjalanan, penuh liku dan terjal. Andai saja
aku punya pilihan, ingin rasanya aku pindah ke lingkungan yang lebih
baik. Kadang aku seperti berkhayal, membayangkan kehidupan yang lebih
baik. Tinggal di lingkungan yang bersih, memiliki rumah yang memadai.
Dan, ah..sudahlah, aku sudah melupakan impianku diangkat menjadi
pegawai negeri, walau kadang obsesi itu masih saja kerap melintas di
benakku.
Kini semua kupasrahkan kepada Tuhan. Bagiku, Tuhan telah berbuat yang
terbaik untukku. Walau begitu, aku kerap mengadukan semua keluh kesahku
kepadanya, aku menemukan kedamaian saat merasa dekat dengannya.

Sumber :http://pakzam.blogguru.net

NB : Bagaimana dengan guru-guru kita sekarang? bagaimana nasib mereka? Marilah kita doakan mereka agar selalu berada di bawah lindungan Allah Ta'ala.

MY BLOG PRIENDAH.WORDPRESS.COM

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: