Rabu, 17 Juni 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2672

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (25 Messages)

1a.
Re: [Catcil] Virus Matre From: novi_ningsih
1b.
Re: [Catcil] Virus Matre From: Jojo_Wahyudi@manulife.com
1c.
Re: [Catcil] Virus Matre From: Nursalam AR
1d.
Re: [Catcil] Virus Matre From: Nursalam AR
1e.
Re: [Catcil] Virus Matre From: Nursalam AR
1f.
Re: [Catcil] Virus Matre From: patisayang
1g.
Re: [Catcil] Virus Matre From: patisayang
1h.
Re: [Catcil] Virus Matre From: Rini Agus Hadiyono
1i.
Re: [Catcil] Virus Matre From: Nursalam AR
1j.
Re: [Catcil] Virus Matre From: Nursalam AR
1k.
Re: [Catcil] Virus Matre From: Nursalam AR
1l.
Re: [Catcil] Virus Matre From: Rini Agus Hadiyono
1m.
Re: [Catcil] Virus Matre From: interaktif
1n.
Re: [Catcil] Virus Matre From: Nursalam AR
1o.
Re: [Catcil] Virus Matre From: Nursalam AR
2a.
Re: (Catcil) Interaksi Kopi From: patisayang
2b.
Re: (Catcil) Interaksi Kopi From: sismanto
3a.
Re: Shift Malam From: hariyanty thahir
4a.
Re: [Maklumat] Tak Sabar Menunggu JULI!!! From: abdul azis
5a.
[Bahasa] Bini Belanda From: Nursalam AR
5b.
[Bahasa] Bini Belanda From: Nursalam AR
5c.
Re: [Bahasa] Bini Belanda From: suhadi hadi
5d.
Re: [Bahasa] Bini Belanda From: Syafaatus Syarifah
5e.
Re: [Bahasa] Bini Belanda From: Siwi LH
6.
[Rampai] Lentera Masih Kecil From: Kang Dani

Messages

1a.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Tue Jun 16, 2009 3:31 am (PDT)



hehehehe, seru
TFS, ngena abis, penampilan seolah sudah menyihir ya? hehe, padahal ga tahu ada apa di dalamnya :D
Teringat, ketika aku dan temanku harus datang ke sebuat Bank gede banget. Masjidnya aja gede, apalagi bank-nya :D
Kami yang saat itu ingin bertemu seorang bapak, karyawan bank tersebut yang ingin menerbitkan buku berpakaian serapi mungkin, tapi ternyata tetap saja... "gembel" yang dipandang sebelah mata :D. Gimana ga gembel, nyari tempatnya aja muter-muter... pake acara menelusuri gedung dan halaman yang luas... Alhamdulillah, klien tak pake acara mandang "cover" ,hehe

Ga hanya sekali, waktu ke beberapa kantor pun sama... tetap gembel, ga tahu kenapa.. :D Lebih keliatan berpenampilan a la mahasiswa dibanding seorang profesional :D.

Sementara di tempat lain, mau gembel, kek, mau pake sendal jepit, kek, yang penting kerjaan beres :D

Nyambung, ga sih sama tulisan mas nur? :D
di lingkup kerjaku, ga gitu meratiin sama penampilan, jadi kadang ya cuek aja, walau liat kondisi :D. Kantor klien itu di mana? Kalau di gedung tinggi, ya ga bakalan datang pakai sandal jepit :D *itu aja yang bedain, lho :D

Duh, isitghfat, jauhkan segala virus apapun itu dari hati ini, aamiin...

salam

Novi

-- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
>
> *Virus Matre*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> Siang itu, dua tahun lalu, aku menunggunya di teras sebuah mesjid di
> bilangan Jakarta Selatan. Tak jauh letaknya dari rumah orang tuaku di
> kawasan Kalibata. Juga tak jauh dari tempat pertemuan perdana kami di sebuah
> *mall*, yang juga di kawasan Kalibata. Tak jauh letaknya namun jauh
> perbedaannya. Mengapa?
>
>
>
> Pada pertemuan perdana, di sebuah *mall* yang sejuk dan nyaman, kami bertemu
> di sebuah restoran waralaba internasional. Dengan gaya eksekutif muda,
> dipertegas dengan sedan anyar yang dikemudikannya, sang kawan
> mempersilakanku memesan menu. Nampaknya ia cukup familiar dengan restoran
> tersebut. Aku sendiri memesan menu – yang jarang aku pesan yang ternyata
> berukuran besar dan tak habis dalam satu sesi perbincangan – dan kami
> berbincang soal naskah dan sastra. Ia memang seorang manajer penerbitan di
> sebuah penerbitan besar. Dan kami berkenalan lewat sebuah situs di mana ia
> mengontakku untuk sebuah *appointment* setelah membaca salah satu tulisanku.
> Ujung dari pertemuan yang menyenangkan itu --- sebab siapa yang tak senang
> ditraktir? – adalah janjinya untuk mempelajari naskahku untuk diterbitkan di
> tempatnya bekerja. Aku pun mulai merenda harapan. Aku yakin, dengan kesan
> profesionalisme yang ditunjukkannya, naskahku bakal diterbitkan segera.
>
>
>
> Dua bulan kemudian, ia kembali mengontakku. Kali ini dengan sebuah kabar
> mengejutkan: ia berhenti dari perusahaan penerbitan tersebut. Kabar baik: ia
> sedang merintis penerbitan baru dan naskahku akan diterbitkan lewat
> penerbitannya tersebut. Meski sensasi harapannya jadi terasa berbeda, aku
> tetap mmengiyakan. OK. Dan kami sepakat bertemu beberapa hari kemudian. Ya,
> di sebuah mesjid. Kendati agak terasa aneh karena jauh berbeda dari tempat
> pertemuan awal, aku lagi-lagi mengiyakan. *Tak apa, barangkali sekadar
> mampir di mesjid*, pikirku.
>
>
>
> Tepatlah siang terik itu aku menunggunya. Telat sejam dari janjinya, sang
> kawan datang. Tidak dengan kemeja dan celana panjang bahan *a la* orang
> kantoran, tapi dengan kaus oblong dan *blue jeans*. Tidak bermobil, tapi
> dengan menumpang angkutan umum. Dengan tas ransel besar di punggung, kesan
> lelah terpancar betul yang diperkuat dengan keringat membasahi wajah dan
> bajunya. *Inikah sang mantan manajer kini?* Menyelinap lintasan tersebut di
> benakku yang berupaya beradaptasi dengan segala kondisi kontras yang ada.
>
>
>
> "Maaf, Mas, maklumlah saya baru merintis usaha. Jadi betul-betul dari nol,"
> seakan memahami bahasa kalbuku, ia berujar,"Yang kemarin itu mobil kantor.
> Insya Allah sebentar lagi ada motor. Jadi saya tidak perlu terjebak macet
> seperti sekarang."
>
>
>
> Aku tersipu malu seperti kucing ketahuan hendak mencuri ikan di dapur.
> Dengan berusaha memperbaiki *mindset* tentang citra awal sang kawan, aku
> terlibat perbincangan serius tapi santai dengannya soal rencana kami.
> Serius, karena berkisar soal penerbitan naskah. Santai, karena sambil *
> selonjor* di teras mesjid yang dihibur dengan sepoi-sepoi angin jam dua
> siang. Tapi tetap saja kesan pertemuan perdana dan pertemuan kedua sungguh
> jauh berbeda. Ibarat wisata kuliner, rasanya tak lagi *semaknyus* dulu.
>
>
>
> Singkat cerita, pertemuan berakhir dengan suatu kesepakatan. Tapi karena
> banyak hal rencana penerbitan itu gagal. Aku pun, sayangnya, kehilangan
> nomor kontak atau email sang kawan `mantan manajer' itu sejak ponselku rusak
> berat. *No regret* – meminjam judul biografi Wimar Witoelar yang ditulis
> Fira Basuki – bagiku namun aku mendapat pengalaman batin baru yang
> mencerahkan sekaligus mengkhawatirkanku. Hikmah ini pun baru aku sadari
> setelah nyaris setahun usia pertemuan kami.
>
>
>
> Sebagai manusia beradab, aku percaya kata pepatah `*don't judge the book by
> its cover'*. Jangan menilai orang dari sekadar penampilan. Namun, dalam
> praktiknya, berpakaian rapi itu penting untuk menarik kesan dan perhatian.
> Meski aku yakin sang kawan sudah menganggap akrab diriku sehingga ia pun
> berpakaian *casual *saat itu. Itu hal yang mencerahkan. Yang
> mengkhawatirkanku adalah --- ini lagi-lagi sebuah lintasan di benak – betapa
> aku mendapati diriku terjebak pada *mindset* yang terbentuk pada pertemuan
> perdana. Dan betapa susah mengubahnya ketika ada citra lain yang ditampilkan
> pada pertemuan kedua. Aku lantas bertanya-tanya, ini yang mengkhawatirkan,
> apakah virus *matre* sudah menjangkitiku? *Self-defense mechanism* dalam
> diriku bekerja otomatis: *Tidak! Itu hal wajar, Salam*. Tapi suara batin
> yang lain berujar lugas,"*Ya, kamu sudah kena jangkit virus matre. Lihatlah,
> betapa kamu menganggap beda kawanmu hanya dari penampilan yang berbeda."*
>
>
>
> Aku tercenung. *Benar juga ya*, batinku. Jika aku tidak kena virus *matre*,
> baik sadar atau tidak, aku tentu tetap punya gambaran positif yang sama akan
> kawanku itu. *Inna lillahi wa inna ilahi roji'un. *
>
>
>
> Teringatlah aku akan sebuah kisah Nasrudin Hoja, seorang sufi kocak dari
> Turki, di salah satu buku yang pernah aku baca.
>
>
>
> Alkisah, di sebuah pesta pernikahan, Nasrudin Hoja datang dengan baju lusuh.
> Dengan tenang, setelah menyalami pengantin dan keluarga, ia menuju hidangan
> yang disediakan. Naas, tuan rumah mengusirnya karena menganggap sang sufi
> tidak berpakaian dengan layak. Nasrudin pulang dengan dongkol. Kemudian ia
> kembali lagi dengan baju paling bagus yang ia miliki. Tanggapan *sohibul
> hajat *pun sangat berbeda.
>
>
>
> "Silakan, ambil makanan sesukamu!" ia menyilakan dengan penuh senyum.
>
>
>
> "Baiklah," jawab sang sufi. Nasrudin pun mendekati hidangan dan memasukkan
> sebanyak-banyaknya makanan ke dalam bajunya sambil berujar,"Hai baju, inilah
> jatahmu. Nikmati sepuas-puasnya!"
>
>
>
> Sahabat, begitu banyak virus di dunia yang menyerang, mulai dari H5N1 (virus
> flu burung) hingga H1N1 (virus flu babi) yang amat kita takuti
> keberadaannya. Tapi lebih banyak lagi virus hati, mulai dari `virus merah
> jambu', `virus *riya*' hingga `virus *matre*' yang mungkin menyusup halus
> tanpa kita sadari. Dan, ironisnya, mungkin kita santai-santai saja
> menyikapinya.
>
>
>
> Sampai di sini, aku mulai memahami – dengan pemahaman yang lebih kaya --
> mengapa Rasulullah SAW men-*dawam*-kan (membiasakan) beristighfar 70 kali
> sehari. Ya, istighfar akan membersihkan hati dari serbuan `virus' hati
> bermuatan gen-gen dosa.
>
>
>
> *Jakarta**, 16 Juni 2009*
>
>
>
>
>
>
>
>
> --
> -"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
> Nursalam AR
> Translator & Writer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> www.nursalam.multiply.com
> YM ID: nursalam_ar
> Facebook: nursalam ar
> Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
> ke www.pensilmania.multiply.com aja!
>

1b.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "Jojo_Wahyudi@manulife.com" Jojo_Wahyudi@manulife.com

Tue Jun 16, 2009 4:07 am (PDT)



Subhanallah
Mas Salam, sungguh tulisan Mas sudah menusuk qalb-ku
Betapa sering saya juga berlaku hal spt itu, dan ini sering terjadi
tertipu oleh (lebih tepatnya terkena virus matre) mindset pada pandangan
pertama.
Betapa saya tidak bisa menerima ketika seorang kawan yg dulu begitu sukses
dgn mobil & sopir pribadi,
lalu saat terakhir bertemu dia hanya menggunakan KRL, ekonomi pula
Saya tidak bisa menerima kenyataan itu, dan parahnya saya tidak berusaha
menegurnya
padahal saya yakin dia adalah sahabat yg dulu sangat sukses & mentraktirku
berbuka puasa bersama di restaurant mewah.
Astagfirullah, ternyata saya juga telah terkena virus yg lebih berbahaya
dari H1N1.


Inna lillahi wa inna ilahi roji´un.





Makasih Mas Salam, sudah mengingatkan bahwa saya sdh terkena virus
berbahaya itu


Semoga Allah bisa segera mengangkatnya

salam,

Jojo Wahyudi
1c.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Jun 16, 2009 6:24 am (PDT)



Sinta, kalau ingin tahu, cerita-cerita kocak berhikmah dari Nasrudin Hoja
ada 3 jilid diterbitkan Gema Insani Press (sekitar tahun 1995-an) dengan
judul HUMOR SUFI. Jika dianalogikan, ia seperti Abu Nuwas (lebih populer di
Asia Tenggara sebagai Abunawas). Bedanya Abu Nuwas adalah penasihat Khalifah
Harun Al Rashid dari Dinasti Fathimiyyah di Baghdad, Irak. Sementara Effendi
(gelar kehormatan untuk ulama di Turki) Nasrudin Hoja dari Turki. Beberapa
riwayat mengatakan ia berasal dari Karbala, Irak. Sebagian bilang dari
Bukhara, Uzbekistan,sedaerah dengan periwayat hadis, Bukhori. Wallahu a'lam
bisshawwab. Tapi, makamnya yang paling banyak dikunjungi adalah di Turki.
Meski ada juga makam lain di Irak yang juga diklaim sebagai makam Nasrudin
Hoja. Hmm..begini enaknya jadi orang bijak dan populer, banyak diklaim di
mana-mana:).

Yup, ulasanmu jitu sekali. Mata memang berperan kuat. Dari sinilah pemahaman
kata-kata bijak "mata jendela jiwa" bisa ditelusuri.

Terima kasih.

Tabik,

Nursalam AR

On 6/16/09, ukhti hazimah <ukhtihazimah@yahoo.com> wrote:
>
>
>
> cerita sufinya kocak banget, sukses bikin ketawa disela-sela penatnya
> kerjaan. Soal virus matre, mata emang sering ingin ikutan nimbrung untuk
> memberi penilaian. Jadi kalo mata lebih kuat memberi penilaiannya, slogan
> don't jugde book it's cover gak bakal ngaruh.
>
> TFS Mas Salam ^^
>
> :sinta:
>
> "Keindahan selalu hadir saat manusia berpikir positif"
>
> BloG aKu & buKu
> http://jendelakumenatapdunia.blogspot.com
>
> BloG RaMe-RaMe
> http://sinthionk.multiply.com
>
> BloG PenGuMPuL CataTaN
> http://sinthionk.rezaervani.com
>
> YM : SINTHIONK
>
>
>
> --- On *Tue, 6/16/09, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>* wrote:
>
>
> From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>
> Subject: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Virus Matre
> To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, flpdki@yahoogroups.com,
> fkmui96@yahoogroups.com, "penuliz Lepaz" <penulislepas@yahoogroups.com>,
> "Forum Lingkar" <Forum_LingkarPena@yahoogroups.com>
> Date: Tuesday, June 16, 2009, 8:05 AM
>
> *Virus Matre*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
>
>
>

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
1d.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Jun 16, 2009 6:32 am (PDT)



Justru komentarmu nyambung banget, Nov, alias 'klik' dengan tulisanku. Iya
sih, yang penting adalah menyesuaikan dengan sikon tertentu. Tapi, ini kan
hubungan dua hati yang dua arah. Kita tidak bisa mengontrol apa yang
dibisikkan hati seseorang ketika melihat penampilan kita. Nah, faktor
'pembiasaan' kita yang terbiasa dengan 'materialisme' (kecenderungan pada
tampilan fisik dll) yang kerap membuat kita kurang menghargai orang dari
sisi 'dalam'-nya. Kan kita sering tuh terkaget-kaget, misalnya, kalau lihat
ada direktur yang penampilannya sangat sederhana, atau dia bantu-bantu
bersihkan mejanya sendiri. Komentar yang lazim keluar,biasanya,"Ih, direktur
kok nyapu!" dan lain sebagainya.

Makasih ya, Jeng, komentarmu 'menggairahkan',haha...Thanks juga sudah
'memaksa' daku bangun dari 'koma' menulis. Yup, semangat!!

Tabik,

Nursalam AR

On 6/16/09, novi_ningsih <novi_ningsih@yahoo.com> wrote:
>
>
>
> hehehehe, seru
> TFS, ngena abis, penampilan seolah sudah menyihir ya? hehe, padahal ga tahu
> ada apa di dalamnya :D
> Teringat, ketika aku dan temanku harus datang ke sebuat Bank gede banget.
> Masjidnya aja gede, apalagi bank-nya :D
> Kami yang saat itu ingin bertemu seorang bapak, karyawan bank tersebut yang
> ingin menerbitkan buku berpakaian serapi mungkin, tapi ternyata tetap
> saja... "gembel" yang dipandang sebelah mata :D. Gimana ga gembel, nyari
> tempatnya aja muter-muter... pake acara menelusuri gedung dan halaman yang
> luas... Alhamdulillah, klien tak pake acara mandang "cover" ,hehe
>
> Ga hanya sekali, waktu ke beberapa kantor pun sama... tetap gembel, ga tahu
> kenapa.. :D Lebih keliatan berpenampilan a la mahasiswa dibanding seorang
> profesional :D.
>
> Sementara di tempat lain, mau gembel, kek, mau pake sendal jepit, kek, yang
> penting kerjaan beres :D
>
> Nyambung, ga sih sama tulisan mas nur? :D
> di lingkup kerjaku, ga gitu meratiin sama penampilan, jadi kadang ya cuek
> aja, walau liat kondisi :D. Kantor klien itu di mana? Kalau di gedung
> tinggi, ya ga bakalan datang pakai sandal jepit :D *itu aja yang bedain, lho
> :D
>
> Duh, isitghfat, jauhkan segala virus apapun itu dari hati ini, aamiin...
>
> salam
>
> Novi
>
> -- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
> >
> > *Virus Matre*
> >
> > *Oleh Nursalam AR*
> >
> >
> >
> > Siang itu, dua tahun lalu, aku menunggunya di teras sebuah mesjid di
> > bilangan Jakarta Selatan. Tak jauh letaknya dari rumah orang tuaku di
> > kawasan Kalibata. Juga tak jauh dari tempat pertemuan perdana kami di
> sebuah
> > *mall*, yang juga di kawasan Kalibata. Tak jauh letaknya namun jauh
> > perbedaannya. Mengapa?
> >
> >
> >
> > Pada pertemuan perdana, di sebuah *mall* yang sejuk dan nyaman, kami
> bertemu
> > di sebuah restoran waralaba internasional. Dengan gaya eksekutif muda,
> > dipertegas dengan sedan anyar yang dikemudikannya, sang kawan
> > mempersilakanku memesan menu. Nampaknya ia cukup familiar dengan restoran
> > tersebut. Aku sendiri memesan menu – yang jarang aku pesan yang ternyata
> > berukuran besar dan tak habis dalam satu sesi perbincangan – dan kami
> > berbincang soal naskah dan sastra. Ia memang seorang manajer penerbitan
> di
> > sebuah penerbitan besar. Dan kami berkenalan lewat sebuah situs di mana
> ia
> > mengontakku untuk sebuah *appointment* setelah membaca salah satu
> tulisanku.
> > Ujung dari pertemuan yang menyenangkan itu --- sebab siapa yang tak
> senang
> > ditraktir? – adalah janjinya untuk mempelajari naskahku untuk diterbitkan
> di
> > tempatnya bekerja. Aku pun mulai merenda harapan. Aku yakin, dengan kesan
> > profesionalisme yang ditunjukkannya, naskahku bakal diterbitkan segera.
> >
> >
> >
> > Dua bulan kemudian, ia kembali mengontakku. Kali ini dengan sebuah kabar
> > mengejutkan: ia berhenti dari perusahaan penerbitan tersebut. Kabar baik:
> ia
> > sedang merintis penerbitan baru dan naskahku akan diterbitkan lewat
> > penerbitannya tersebut. Meski sensasi harapannya jadi terasa berbeda, aku
> > tetap mmengiyakan. OK. Dan kami sepakat bertemu beberapa hari kemudian.
> Ya,
> > di sebuah mesjid. Kendati agak terasa aneh karena jauh berbeda dari
> tempat
> > pertemuan awal, aku lagi-lagi mengiyakan. *Tak apa, barangkali sekadar
> > mampir di mesjid*, pikirku.
> >
> >
> >
> > Tepatlah siang terik itu aku menunggunya. Telat sejam dari janjinya, sang
> > kawan datang. Tidak dengan kemeja dan celana panjang bahan *a la* orang
> > kantoran, tapi dengan kaus oblong dan *blue jeans*. Tidak bermobil, tapi
> > dengan menumpang angkutan umum. Dengan tas ransel besar di punggung,
> kesan
> > lelah terpancar betul yang diperkuat dengan keringat membasahi wajah dan
> > bajunya. *Inikah sang mantan manajer kini?* Menyelinap lintasan tersebut
> di
> > benakku yang berupaya beradaptasi dengan segala kondisi kontras yang ada.
> >
> >
> >
> > "Maaf, Mas, maklumlah saya baru merintis usaha. Jadi betul-betul dari
> nol,"
> > seakan memahami bahasa kalbuku, ia berujar,"Yang kemarin itu mobil
> kantor.
> > Insya Allah sebentar lagi ada motor. Jadi saya tidak perlu terjebak macet
> > seperti sekarang."
> >
> >
> >
> > Aku tersipu malu seperti kucing ketahuan hendak mencuri ikan di dapur.
> > Dengan berusaha memperbaiki *mindset* tentang citra awal sang kawan, aku
> > terlibat perbincangan serius tapi santai dengannya soal rencana kami.
> > Serius, karena berkisar soal penerbitan naskah. Santai, karena sambil *
> > selonjor* di teras mesjid yang dihibur dengan sepoi-sepoi angin jam dua
> > siang. Tapi tetap saja kesan pertemuan perdana dan pertemuan kedua
> sungguh
> > jauh berbeda. Ibarat wisata kuliner, rasanya tak lagi *semaknyus* dulu.
> >
> >
> >
> > Singkat cerita, pertemuan berakhir dengan suatu kesepakatan. Tapi karena
> > banyak hal rencana penerbitan itu gagal. Aku pun, sayangnya, kehilangan
> > nomor kontak atau email sang kawan `mantan manajer' itu sejak ponselku
> rusak
> > berat. *No regret* – meminjam judul biografi Wimar Witoelar yang ditulis
> > Fira Basuki – bagiku namun aku mendapat pengalaman batin baru yang
> > mencerahkan sekaligus mengkhawatirkanku. Hikmah ini pun baru aku sadari
> > setelah nyaris setahun usia pertemuan kami.
> >
> >
> >
> > Sebagai manusia beradab, aku percaya kata pepatah `*don't judge the book
> by
> > its cover'*. Jangan menilai orang dari sekadar penampilan. Namun, dalam
> > praktiknya, berpakaian rapi itu penting untuk menarik kesan dan
> perhatian.
> > Meski aku yakin sang kawan sudah menganggap akrab diriku sehingga ia pun
> > berpakaian *casual *saat itu. Itu hal yang mencerahkan. Yang
> > mengkhawatirkanku adalah --- ini lagi-lagi sebuah lintasan di benak –
> betapa
> > aku mendapati diriku terjebak pada *mindset* yang terbentuk pada
> pertemuan
> > perdana. Dan betapa susah mengubahnya ketika ada citra lain yang
> ditampilkan
> > pada pertemuan kedua. Aku lantas bertanya-tanya, ini yang
> mengkhawatirkan,
> > apakah virus *matre* sudah menjangkitiku? *Self-defense mechanism* dalam
> > diriku bekerja otomatis: *Tidak! Itu hal wajar, Salam*. Tapi suara batin
> > yang lain berujar lugas,"*Ya, kamu sudah kena jangkit virus matre.
> Lihatlah,
> > betapa kamu menganggap beda kawanmu hanya dari penampilan yang berbeda."*
> >
> >
> >
> > Aku tercenung. *Benar juga ya*, batinku. Jika aku tidak kena virus
> *matre*,
> > baik sadar atau tidak, aku tentu tetap punya gambaran positif yang sama
> akan
> > kawanku itu. *Inna lillahi wa inna ilahi roji'un. *
> >
> >
> >
> > Teringatlah aku akan sebuah kisah Nasrudin Hoja, seorang sufi kocak dari
> > Turki, di salah satu buku yang pernah aku baca.
> >
> >
> >
> > Alkisah, di sebuah pesta pernikahan, Nasrudin Hoja datang dengan baju
> lusuh.
> > Dengan tenang, setelah menyalami pengantin dan keluarga, ia menuju
> hidangan
> > yang disediakan. Naas, tuan rumah mengusirnya karena menganggap sang sufi
> > tidak berpakaian dengan layak. Nasrudin pulang dengan dongkol. Kemudian
> ia
> > kembali lagi dengan baju paling bagus yang ia miliki. Tanggapan *sohibul
> > hajat *pun sangat berbeda.
> >
> >
> >
> > "Silakan, ambil makanan sesukamu!" ia menyilakan dengan penuh senyum.
> >
> >
> >
> > "Baiklah," jawab sang sufi. Nasrudin pun mendekati hidangan dan
> memasukkan
> > sebanyak-banyaknya makanan ke dalam bajunya sambil berujar,"Hai baju,
> inilah
> > jatahmu. Nikmati sepuas-puasnya!"
> >
> >
> >
> > Sahabat, begitu banyak virus di dunia yang menyerang, mulai dari H5N1
> (virus
> > flu burung) hingga H1N1 (virus flu babi) yang amat kita takuti
> > keberadaannya. Tapi lebih banyak lagi virus hati, mulai dari `virus merah
> > jambu', `virus *riya*' hingga `virus *matre*' yang mungkin menyusup halus
> > tanpa kita sadari. Dan, ironisnya, mungkin kita santai-santai saja
> > menyikapinya.
> >
> >
> >
> > Sampai di sini, aku mulai memahami – dengan pemahaman yang lebih kaya --
> > mengapa Rasulullah SAW men-*dawam*-kan (membiasakan) beristighfar 70 kali
> > sehari. Ya, istighfar akan membersihkan hati dari serbuan `virus' hati
> > bermuatan gen-gen dosa.
> >
> >
> >
> > *Jakarta**, 16 Juni 2009*
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > --
> > -"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
> > Nursalam AR
> > Translator & Writer
> > 0813-10040723
> > 021-92727391
> > www.nursalam.multiply.com
> > YM ID: nursalam_ar
> > Facebook: nursalam ar
> > Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
> > ke www.pensilmania.multiply.com aja!
> >
>
>
>

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
1e.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Jun 16, 2009 6:38 am (PDT)



Amin, allahumma amin.

Mas Jojo, membaca komentar Anda, saya terharu dan gembira. Terharu, karena,
alhamdulillah,tulisan saya bisa membantu orang bermuhasabah diri. Moga itu
jadi catatan amal kebajikan buat saya kelak. Gembira, karena rasanya inilah
"jiwa' milis SK ketika satu sharing cerita dari satu sahabat dikomentari
(atau dilengkapi) dengan sharing cerita yang lain dari sahabat-sahabat yang
lain. Inilah yang saya rindukan beberapa bulan belakangan.

Betul, Mas, Insya Allah, kita sama-sama beristighfar. Dan dari cerita Mas
Jojo sepertinya cerita Anda malah lebih 'kuat' daripada cerita saya ini.
Insya Allah, hikmahnya pun akan lebih terasa. Ditunggu ya sharing ceritanya
yang lain.

Salam kenal,

Nursalam AR

On 6/16/09, Jojo_Wahyudi@manulife.com <Jojo_Wahyudi@manulife.com> wrote:
>
>
>
> Subhanallah
> Mas Salam, sungguh tulisan Mas sudah menusuk qalb-ku
> Betapa sering saya juga berlaku hal spt itu, dan ini sering terjadi
> tertipu oleh (lebih tepatnya terkena virus matre) mindset pada pandangan
> pertama.
> Betapa saya tidak bisa menerima ketika seorang kawan yg dulu begitu sukses
> dgn mobil & sopir pribadi,
> lalu saat terakhir bertemu dia hanya menggunakan KRL, ekonomi pula
> Saya tidak bisa menerima kenyataan itu, dan parahnya saya tidak berusaha
> menegurnya
> padahal saya yakin dia adalah sahabat yg dulu sangat sukses & mentraktirku
> berbuka puasa bersama di restaurant mewah.
> Astagfirullah, ternyata saya juga telah terkena virus yg lebih berbahaya
> dari H1N1.
>
>
> Inna lillahi wa inna ilahi roji'un.
>
>
>
>
>
> Makasih Mas Salam, sudah mengingatkan bahwa saya sdh terkena virus
> berbahaya itu
>
>
> Semoga Allah bisa segera mengangkatnya
>
> salam,
>
> Jojo Wahyudi
>
>

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
1f.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "patisayang" patisayang@yahoo.com   patisayang

Tue Jun 16, 2009 8:45 am (PDT)



Kayaknya cerita ttg teman mantan manajer ini pernah dipost juga ya Lam? Aku kan membaca hampir semua tulisanmu. Maknyus. hehehe...
Kalo aku mandang, bukannya virus matre, hanya mengikuti persepsi. kata pepatah Jawa, ajining raga ana ing busono. terjemah bebasnya, kita dinilai (baca: kompetensinya) orang berdasarkan penampilan.

salam,
Indar

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
>
> *Virus Matre*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> Siang itu, dua tahun lalu, aku menunggunya di teras sebuah mesjid di
> bilangan Jakarta Selatan. Tak jauh letaknya dari rumah orang tuaku di
> kawasan Kalibata. Juga tak jauh dari tempat pertemuan perdana kami di sebuah
> *mall*, yang juga di kawasan Kalibata. Tak jauh letaknya namun jauh
> perbedaannya. Mengapa?
>
>
>
> Pada pertemuan perdana, di sebuah *mall* yang sejuk dan nyaman, kami bertemu
> di sebuah restoran waralaba internasional. Dengan gaya eksekutif muda,
> dipertegas dengan sedan anyar yang dikemudikannya, sang kawan
> mempersilakanku memesan menu. Nampaknya ia cukup familiar dengan restoran
> tersebut. Aku sendiri memesan menu – yang jarang aku pesan yang ternyata
> berukuran besar dan tak habis dalam satu sesi perbincangan – dan kami
> berbincang soal naskah dan sastra. Ia memang seorang manajer penerbitan di
> sebuah penerbitan besar. Dan kami berkenalan lewat sebuah situs di mana ia
> mengontakku untuk sebuah *appointment* setelah membaca salah satu tulisanku.
> Ujung dari pertemuan yang menyenangkan itu --- sebab siapa yang tak senang
> ditraktir? – adalah janjinya untuk mempelajari naskahku untuk diterbitkan di
> tempatnya bekerja. Aku pun mulai merenda harapan. Aku yakin, dengan kesan
> profesionalisme yang ditunjukkannya, naskahku bakal diterbitkan segera.
>
>
>
> Dua bulan kemudian, ia kembali mengontakku. Kali ini dengan sebuah kabar
> mengejutkan: ia berhenti dari perusahaan penerbitan tersebut. Kabar baik: ia
> sedang merintis penerbitan baru dan naskahku akan diterbitkan lewat
> penerbitannya tersebut. Meski sensasi harapannya jadi terasa berbeda, aku
> tetap mmengiyakan. OK. Dan kami sepakat bertemu beberapa hari kemudian. Ya,
> di sebuah mesjid. Kendati agak terasa aneh karena jauh berbeda dari tempat
> pertemuan awal, aku lagi-lagi mengiyakan. *Tak apa, barangkali sekadar
> mampir di mesjid*, pikirku.
>
>
>
> Tepatlah siang terik itu aku menunggunya. Telat sejam dari janjinya, sang
> kawan datang. Tidak dengan kemeja dan celana panjang bahan *a la* orang
> kantoran, tapi dengan kaus oblong dan *blue jeans*. Tidak bermobil, tapi
> dengan menumpang angkutan umum. Dengan tas ransel besar di punggung, kesan
> lelah terpancar betul yang diperkuat dengan keringat membasahi wajah dan
> bajunya. *Inikah sang mantan manajer kini?* Menyelinap lintasan tersebut di
> benakku yang berupaya beradaptasi dengan segala kondisi kontras yang ada.
>
>
>
> "Maaf, Mas, maklumlah saya baru merintis usaha. Jadi betul-betul dari nol,"
> seakan memahami bahasa kalbuku, ia berujar,"Yang kemarin itu mobil kantor.
> Insya Allah sebentar lagi ada motor. Jadi saya tidak perlu terjebak macet
> seperti sekarang."
>
>
>
> Aku tersipu malu seperti kucing ketahuan hendak mencuri ikan di dapur.
> Dengan berusaha memperbaiki *mindset* tentang citra awal sang kawan, aku
> terlibat perbincangan serius tapi santai dengannya soal rencana kami.
> Serius, karena berkisar soal penerbitan naskah. Santai, karena sambil *
> selonjor* di teras mesjid yang dihibur dengan sepoi-sepoi angin jam dua
> siang. Tapi tetap saja kesan pertemuan perdana dan pertemuan kedua sungguh
> jauh berbeda. Ibarat wisata kuliner, rasanya tak lagi *semaknyus* dulu.
>
>
>
> Singkat cerita, pertemuan berakhir dengan suatu kesepakatan. Tapi karena
> banyak hal rencana penerbitan itu gagal. Aku pun, sayangnya, kehilangan
> nomor kontak atau email sang kawan `mantan manajer' itu sejak ponselku rusak
> berat. *No regret* – meminjam judul biografi Wimar Witoelar yang ditulis
> Fira Basuki – bagiku namun aku mendapat pengalaman batin baru yang
> mencerahkan sekaligus mengkhawatirkanku. Hikmah ini pun baru aku sadari
> setelah nyaris setahun usia pertemuan kami.
>
>
>
> Sebagai manusia beradab, aku percaya kata pepatah `*don't judge the book by
> its cover'*. Jangan menilai orang dari sekadar penampilan. Namun, dalam
> praktiknya, berpakaian rapi itu penting untuk menarik kesan dan perhatian.
> Meski aku yakin sang kawan sudah menganggap akrab diriku sehingga ia pun
> berpakaian *casual *saat itu. Itu hal yang mencerahkan. Yang
> mengkhawatirkanku adalah --- ini lagi-lagi sebuah lintasan di benak – betapa
> aku mendapati diriku terjebak pada *mindset* yang terbentuk pada pertemuan
> perdana. Dan betapa susah mengubahnya ketika ada citra lain yang ditampilkan
> pada pertemuan kedua. Aku lantas bertanya-tanya, ini yang mengkhawatirkan,
> apakah virus *matre* sudah menjangkitiku? *Self-defense mechanism* dalam
> diriku bekerja otomatis: *Tidak! Itu hal wajar, Salam*. Tapi suara batin
> yang lain berujar lugas,"*Ya, kamu sudah kena jangkit virus matre. Lihatlah,
> betapa kamu menganggap beda kawanmu hanya dari penampilan yang berbeda."*
>
>
>
> Aku tercenung. *Benar juga ya*, batinku. Jika aku tidak kena virus *matre*,
> baik sadar atau tidak, aku tentu tetap punya gambaran positif yang sama akan
> kawanku itu. *Inna lillahi wa inna ilahi roji'un. *
>
>
>
> Teringatlah aku akan sebuah kisah Nasrudin Hoja, seorang sufi kocak dari
> Turki, di salah satu buku yang pernah aku baca.
>
>
>
> Alkisah, di sebuah pesta pernikahan, Nasrudin Hoja datang dengan baju lusuh.
> Dengan tenang, setelah menyalami pengantin dan keluarga, ia menuju hidangan
> yang disediakan. Naas, tuan rumah mengusirnya karena menganggap sang sufi
> tidak berpakaian dengan layak. Nasrudin pulang dengan dongkol. Kemudian ia
> kembali lagi dengan baju paling bagus yang ia miliki. Tanggapan *sohibul
> hajat *pun sangat berbeda.
>
>
>
> "Silakan, ambil makanan sesukamu!" ia menyilakan dengan penuh senyum.
>
>
>
> "Baiklah," jawab sang sufi. Nasrudin pun mendekati hidangan dan memasukkan
> sebanyak-banyaknya makanan ke dalam bajunya sambil berujar,"Hai baju, inilah
> jatahmu. Nikmati sepuas-puasnya!"
>
>
>
> Sahabat, begitu banyak virus di dunia yang menyerang, mulai dari H5N1 (virus
> flu burung) hingga H1N1 (virus flu babi) yang amat kita takuti
> keberadaannya. Tapi lebih banyak lagi virus hati, mulai dari `virus merah
> jambu', `virus *riya*' hingga `virus *matre*' yang mungkin menyusup halus
> tanpa kita sadari. Dan, ironisnya, mungkin kita santai-santai saja
> menyikapinya.
>
>
>
> Sampai di sini, aku mulai memahami – dengan pemahaman yang lebih kaya --
> mengapa Rasulullah SAW men-*dawam*-kan (membiasakan) beristighfar 70 kali
> sehari. Ya, istighfar akan membersihkan hati dari serbuan `virus' hati
> bermuatan gen-gen dosa.
>
>
>
> *Jakarta**, 16 Juni 2009*
>
>
>
>
>
>
>
>
> --
> -"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
> Nursalam AR
> Translator & Writer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> www.nursalam.multiply.com
> YM ID: nursalam_ar
> Facebook: nursalam ar
> Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
> ke www.pensilmania.multiply.com aja!
>

1g.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "patisayang" patisayang@yahoo.com   patisayang

Tue Jun 16, 2009 9:00 am (PDT)



"Gembira, karena rasanya inilah
> "jiwa' milis SK ketika satu sharing cerita dari satu sahabat dikomentari
> (atau dilengkapi) dengan sharing cerita yang lain dari sahabat-sahabat yang
> lain. Inilah yang saya rindukan beberapa bulan belakangan."-->
Nursalam, pengakuan terjujurmu ini sungguh membuatku terharu.
Ya, mendekati ultah Eska ketiga, rasanya inilah yang kucari, yang beberapa bulan lalu tak kutemui.
Inilah yang membedakan Eska dengan milist lainnya. Hiks, terharu.

sala,
Indar

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
>
> Amin, allahumma amin.
>
> Mas Jojo, membaca komentar Anda, saya terharu dan gembira. Terharu, karena,
> alhamdulillah,tulisan saya bisa membantu orang bermuhasabah diri. Moga itu
> jadi catatan amal kebajikan buat saya kelak. Gembira, karena rasanya inilah
> "jiwa' milis SK ketika satu sharing cerita dari satu sahabat dikomentari
> (atau dilengkapi) dengan sharing cerita yang lain dari sahabat-sahabat yang
> lain. Inilah yang saya rindukan beberapa bulan belakangan.
>
> Betul, Mas, Insya Allah, kita sama-sama beristighfar. Dan dari cerita Mas
> Jojo sepertinya cerita Anda malah lebih 'kuat' daripada cerita saya ini.
> Insya Allah, hikmahnya pun akan lebih terasa. Ditunggu ya sharing ceritanya
> yang lain.
>
> Salam kenal,
>
> Nursalam AR
>
>
> On 6/16/09, Jojo_Wahyudi@... <Jojo_Wahyudi@...> wrote:
> >
> >
> >
> > Subhanallah
> > Mas Salam, sungguh tulisan Mas sudah menusuk qalb-ku
> > Betapa sering saya juga berlaku hal spt itu, dan ini sering terjadi
> > tertipu oleh (lebih tepatnya terkena virus matre) mindset pada pandangan
> > pertama.
> > Betapa saya tidak bisa menerima ketika seorang kawan yg dulu begitu sukses
> > dgn mobil & sopir pribadi,
> > lalu saat terakhir bertemu dia hanya menggunakan KRL, ekonomi pula
> > Saya tidak bisa menerima kenyataan itu, dan parahnya saya tidak berusaha
> > menegurnya
> > padahal saya yakin dia adalah sahabat yg dulu sangat sukses & mentraktirku
> > berbuka puasa bersama di restaurant mewah.
> > Astagfirullah, ternyata saya juga telah terkena virus yg lebih berbahaya
> > dari H1N1.
> >
> >
> > Inna lillahi wa inna ilahi roji'un.
> >
> >
> >
> >
> >
> > Makasih Mas Salam, sudah mengingatkan bahwa saya sdh terkena virus
> > berbahaya itu
> >
> >
> > Semoga Allah bisa segera mengangkatnya
> >
> > salam,
> >
> > Jojo Wahyudi
> >
> >
>
>
>
> --
> -"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
> Nursalam AR
> Translator & Writer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> www.nursalam.multiply.com
> YM ID: nursalam_ar
> Facebook: nursalam ar
> Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
> ke www.pensilmania.multiply.com aja!
>

1h.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "Rini Agus Hadiyono" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Tue Jun 16, 2009 6:03 pm (PDT)



Sependapat dengan Nopi, aku sangat bersyukur memperoleh lingkungan pekerjaan yang 'bebas' berpenampilan asalkan masih sopan.
Aku pribadi bila berhadap-hadapan dengan orang atau kenalan baru, lebih sering mengamati air mukanya. Khususnya ekspresi ketika mengatakan sesuatu. Apalagi sorot mata, sama sekali nggak bisa bohong tuh.

Mungkin ini bukan virus matre, tapi virus sok cenayang ya..hehehe..

1i.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Jun 16, 2009 6:39 pm (PDT)



Wah, kalo cerita yang satu ini belum pernah aku posting atau re-write,Mbak.
Mungkin itu cerita 'mantan manajer' yang lain. Temanku kan banyak yg
manajer,huehehe...*judulnya 'temjer' (baca: teman manajer)*

Makasih untuk sumbangan pepatah Jawanya. Lumayan menambah perbendaharaan
kata:).

Tabik,
Nursalam AR

On 6/16/09, patisayang <patisayang@yahoo.com> wrote:
>
>
>
> Kayaknya cerita ttg teman mantan manajer ini pernah dipost juga ya Lam? Aku
> kan membaca hampir semua tulisanmu. Maknyus. hehehe...
> Kalo aku mandang, bukannya virus matre, hanya mengikuti persepsi. kata
> pepatah Jawa, ajining raga ana ing busono. terjemah bebasnya, kita dinilai
> (baca: kompetensinya) orang berdasarkan penampilan.
>
> salam,
> Indar
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
> >
> > *Virus Matre*
> >
> > *Oleh Nursalam AR*
> >
> >
> >
> > Siang itu, dua tahun lalu, aku menunggunya di teras sebuah mesjid di
> > bilangan Jakarta Selatan. Tak jauh letaknya dari rumah orang tuaku di
> > kawasan Kalibata. Juga tak jauh dari tempat pertemuan perdana kami di
> sebuah
> > *mall*, yang juga di kawasan Kalibata. Tak jauh letaknya namun jauh
> > perbedaannya. Mengapa?
> >
> >
> >
> > Pada pertemuan perdana, di sebuah *mall* yang sejuk dan nyaman, kami
> bertemu
> > di sebuah restoran waralaba internasional. Dengan gaya eksekutif muda,
> > dipertegas dengan sedan anyar yang dikemudikannya, sang kawan
> > mempersilakanku memesan menu. Nampaknya ia cukup familiar dengan restoran
> > tersebut. Aku sendiri memesan menu – yang jarang aku pesan yang ternyata
> > berukuran besar dan tak habis dalam satu sesi perbincangan – dan kami
> > berbincang soal naskah dan sastra. Ia memang seorang manajer penerbitan
> di
> > sebuah penerbitan besar. Dan kami berkenalan lewat sebuah situs di mana
> ia
> > mengontakku untuk sebuah *appointment* setelah membaca salah satu
> tulisanku.
> > Ujung dari pertemuan yang menyenangkan itu --- sebab siapa yang tak
> senang
> > ditraktir? – adalah janjinya untuk mempelajari naskahku untuk diterbitkan
> di
> > tempatnya bekerja. Aku pun mulai merenda harapan. Aku yakin, dengan kesan
> > profesionalisme yang ditunjukkannya, naskahku bakal diterbitkan segera.
> >
> >
> >
> > Dua bulan kemudian, ia kembali mengontakku. Kali ini dengan sebuah kabar
> > mengejutkan: ia berhenti dari perusahaan penerbitan tersebut. Kabar baik:
> ia
> > sedang merintis penerbitan baru dan naskahku akan diterbitkan lewat
> > penerbitannya tersebut. Meski sensasi harapannya jadi terasa berbeda, aku
> > tetap mmengiyakan. OK. Dan kami sepakat bertemu beberapa hari kemudian.
> Ya,
> > di sebuah mesjid. Kendati agak terasa aneh karena jauh berbeda dari
> tempat
> > pertemuan awal, aku lagi-lagi mengiyakan. *Tak apa, barangkali sekadar
> > mampir di mesjid*, pikirku.
> >
> >
> >
> > Tepatlah siang terik itu aku menunggunya. Telat sejam dari janjinya, sang
> > kawan datang. Tidak dengan kemeja dan celana panjang bahan *a la* orang
> > kantoran, tapi dengan kaus oblong dan *blue jeans*. Tidak bermobil, tapi
> > dengan menumpang angkutan umum. Dengan tas ransel besar di punggung,
> kesan
> > lelah terpancar betul yang diperkuat dengan keringat membasahi wajah dan
> > bajunya. *Inikah sang mantan manajer kini?* Menyelinap lintasan tersebut
> di
> > benakku yang berupaya beradaptasi dengan segala kondisi kontras yang ada.
> >
> >
> >
> > "Maaf, Mas, maklumlah saya baru merintis usaha. Jadi betul-betul dari
> nol,"
> > seakan memahami bahasa kalbuku, ia berujar,"Yang kemarin itu mobil
> kantor.
> > Insya Allah sebentar lagi ada motor. Jadi saya tidak perlu terjebak macet
> > seperti sekarang."
> >
> >
> >
> > Aku tersipu malu seperti kucing ketahuan hendak mencuri ikan di dapur.
> > Dengan berusaha memperbaiki *mindset* tentang citra awal sang kawan, aku
> > terlibat perbincangan serius tapi santai dengannya soal rencana kami.
> > Serius, karena berkisar soal penerbitan naskah. Santai, karena sambil *
> > selonjor* di teras mesjid yang dihibur dengan sepoi-sepoi angin jam dua
> > siang. Tapi tetap saja kesan pertemuan perdana dan pertemuan kedua
> sungguh
> > jauh berbeda. Ibarat wisata kuliner, rasanya tak lagi *semaknyus* dulu.
> >
> >
> >
> > Singkat cerita, pertemuan berakhir dengan suatu kesepakatan. Tapi karena
> > banyak hal rencana penerbitan itu gagal. Aku pun, sayangnya, kehilangan
> > nomor kontak atau email sang kawan `mantan manajer' itu sejak ponselku
> rusak
> > berat. *No regret* – meminjam judul biografi Wimar Witoelar yang ditulis
> > Fira Basuki – bagiku namun aku mendapat pengalaman batin baru yang
> > mencerahkan sekaligus mengkhawatirkanku. Hikmah ini pun baru aku sadari
> > setelah nyaris setahun usia pertemuan kami.
> >
> >
> >
> > Sebagai manusia beradab, aku percaya kata pepatah `*don't judge the book
> by
> > its cover'*. Jangan menilai orang dari sekadar penampilan. Namun, dalam
> > praktiknya, berpakaian rapi itu penting untuk menarik kesan dan
> perhatian.
> > Meski aku yakin sang kawan sudah menganggap akrab diriku sehingga ia pun
> > berpakaian *casual *saat itu. Itu hal yang mencerahkan. Yang
> > mengkhawatirkanku adalah --- ini lagi-lagi sebuah lintasan di benak –
> betapa
> > aku mendapati diriku terjebak pada *mindset* yang terbentuk pada
> pertemuan
> > perdana. Dan betapa susah mengubahnya ketika ada citra lain yang
> ditampilkan
> > pada pertemuan kedua. Aku lantas bertanya-tanya, ini yang
> mengkhawatirkan,
> > apakah virus *matre* sudah menjangkitiku? *Self-defense mechanism* dalam
> > diriku bekerja otomatis: *Tidak! Itu hal wajar, Salam*. Tapi suara batin
> > yang lain berujar lugas,"*Ya, kamu sudah kena jangkit virus matre.
> Lihatlah,
> > betapa kamu menganggap beda kawanmu hanya dari penampilan yang berbeda."*
> >
> >
> >
> > Aku tercenung. *Benar juga ya*, batinku. Jika aku tidak kena virus
> *matre*,
> > baik sadar atau tidak, aku tentu tetap punya gambaran positif yang sama
> akan
> > kawanku itu. *Inna lillahi wa inna ilahi roji'un. *
> >
> >
> >
> > Teringatlah aku akan sebuah kisah Nasrudin Hoja, seorang sufi kocak dari
> > Turki, di salah satu buku yang pernah aku baca.
> >
> >
> >
> > Alkisah, di sebuah pesta pernikahan, Nasrudin Hoja datang dengan baju
> lusuh.
> > Dengan tenang, setelah menyalami pengantin dan keluarga, ia menuju
> hidangan
> > yang disediakan. Naas, tuan rumah mengusirnya karena menganggap sang sufi
> > tidak berpakaian dengan layak. Nasrudin pulang dengan dongkol. Kemudian
> ia
> > kembali lagi dengan baju paling bagus yang ia miliki. Tanggapan *sohibul
> > hajat *pun sangat berbeda.
> >
> >
> >
> > "Silakan, ambil makanan sesukamu!" ia menyilakan dengan penuh senyum.
> >
> >
> >
> > "Baiklah," jawab sang sufi. Nasrudin pun mendekati hidangan dan
> memasukkan
> > sebanyak-banyaknya makanan ke dalam bajunya sambil berujar,"Hai baju,
> inilah
> > jatahmu. Nikmati sepuas-puasnya!"
> >
> >
> >
> > Sahabat, begitu banyak virus di dunia yang menyerang, mulai dari H5N1
> (virus
> > flu burung) hingga H1N1 (virus flu babi) yang amat kita takuti
> > keberadaannya. Tapi lebih banyak lagi virus hati, mulai dari `virus merah
> > jambu', `virus *riya*' hingga `virus *matre*' yang mungkin menyusup halus
> > tanpa kita sadari. Dan, ironisnya, mungkin kita santai-santai saja
> > menyikapinya.
> >
> >
> >
> > Sampai di sini, aku mulai memahami – dengan pemahaman yang lebih kaya --
> > mengapa Rasulullah SAW men-*dawam*-kan (membiasakan) beristighfar 70 kali
> > sehari. Ya, istighfar akan membersihkan hati dari serbuan `virus' hati
> > bermuatan gen-gen dosa.
> >
> >
> >
> > *Jakarta**, 16 Juni 2009*
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > --
> > -"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
> > Nursalam AR
> > Translator & Writer
> > 0813-10040723
> > 021-92727391
> > www.nursalam.multiply.com
> > YM ID: nursalam_ar
> > Facebook: nursalam ar
> > Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
> > ke www.pensilmania.multiply.com aja!
> >
>
>
>

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
1j.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Jun 16, 2009 6:42 pm (PDT)



Berarti kalo ketemu Rinurbad harap siap-siap aja dipelototin ya:). Mata
jendela jiwa ya,Rin?

Kalo daku cenanyang, gelarnya Ki Salam dong;p.

tabik,

Nursalam AR

On 6/17/09, Rini Agus Hadiyono <rinurbad@yahoo.com> wrote:
>
>
>
> Sependapat dengan Nopi, aku sangat bersyukur memperoleh lingkungan
> pekerjaan yang 'bebas' berpenampilan asalkan masih sopan.
> Aku pribadi bila berhadap-hadapan dengan orang atau kenalan baru, lebih
> sering mengamati air mukanya. Khususnya ekspresi ketika mengatakan sesuatu.
> Apalagi sorot mata, sama sekali nggak bisa bohong tuh.
>
> Mungkin ini bukan virus matre, tapi virus sok cenayang ya..hehehe..
>
>
>

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
1k.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Jun 16, 2009 6:57 pm (PDT)



Hehe..iya,Mbak, itu yang aku rindukan juga beberapa bulan
belakangan...Memang tak pas untuk membandingkan tapi rasanya suasana jelang
Milad ke-3 Juli nanti di Bandung lebih 'anyep' (bhs Betawi nih) daripada 2
milad sebelumnya. Yah, waktu berjalan, kita juga berubah.

Tabik,

Nursalam AR

On 6/16/09, patisayang <patisayang@yahoo.com> wrote:
>
>
>
> "Gembira, karena rasanya inilah
> > "jiwa' milis SK ketika satu sharing cerita dari satu sahabat dikomentari
> > (atau dilengkapi) dengan sharing cerita yang lain dari sahabat-sahabat
> yang
> > lain. Inilah yang saya rindukan beberapa bulan belakangan."-->
> Nursalam, pengakuan terjujurmu ini sungguh membuatku terharu.
> Ya, mendekati ultah Eska ketiga, rasanya inilah yang kucari, yang beberapa
> bulan lalu tak kutemui.
> Inilah yang membedakan Eska dengan milist lainnya. Hiks, terharu.
>
> sala,
> Indar
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
> >
> > Amin, allahumma amin.
> >
> > Mas Jojo, membaca komentar Anda, saya terharu dan gembira. Terharu,
> karena,
> > alhamdulillah,tulisan saya bisa membantu orang bermuhasabah diri. Moga
> itu
> > jadi catatan amal kebajikan buat saya kelak. Gembira, karena rasanya
> inilah
> > "jiwa' milis SK ketika satu sharing cerita dari satu sahabat dikomentari
> > (atau dilengkapi) dengan sharing cerita yang lain dari sahabat-sahabat
> yang
> > lain. Inilah yang saya rindukan beberapa bulan belakangan.
> >
> > Betul, Mas, Insya Allah, kita sama-sama beristighfar. Dan dari cerita Mas
> > Jojo sepertinya cerita Anda malah lebih 'kuat' daripada cerita saya ini.
> > Insya Allah, hikmahnya pun akan lebih terasa. Ditunggu ya sharing
> ceritanya
> > yang lain.
> >
> > Salam kenal,
> >
> > Nursalam AR
> >
> >
> > On 6/16/09, Jojo_Wahyudi@... <Jojo_Wahyudi@...> wrote:
> > >
> > >
> > >
> > > Subhanallah
> > > Mas Salam, sungguh tulisan Mas sudah menusuk qalb-ku
> > > Betapa sering saya juga berlaku hal spt itu, dan ini sering terjadi
> > > tertipu oleh (lebih tepatnya terkena virus matre) mindset pada
> pandangan
> > > pertama.
> > > Betapa saya tidak bisa menerima ketika seorang kawan yg dulu begitu
> sukses
> > > dgn mobil & sopir pribadi,
> > > lalu saat terakhir bertemu dia hanya menggunakan KRL, ekonomi pula
> > > Saya tidak bisa menerima kenyataan itu, dan parahnya saya tidak
> berusaha
> > > menegurnya
> > > padahal saya yakin dia adalah sahabat yg dulu sangat sukses &
> mentraktirku
> > > berbuka puasa bersama di restaurant mewah.
> > > Astagfirullah, ternyata saya juga telah terkena virus yg lebih
> berbahaya
> > > dari H1N1.
> > >
> > >
> > > Inna lillahi wa inna ilahi roji'un.
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > Makasih Mas Salam, sudah mengingatkan bahwa saya sdh terkena virus
> > > berbahaya itu
> > >
> > >
> > > Semoga Allah bisa segera mengangkatnya
> > >
> > > salam,
> > >
> > > Jojo Wahyudi
> > >
> > >
> >
> >
> >
> > --
> > -"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
> > Nursalam AR
> > Translator & Writer
> > 0813-10040723
> > 021-92727391
> > www.nursalam.multiply.com
> > YM ID: nursalam_ar
> > Facebook: nursalam ar
> > Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
> > ke www.pensilmania.multiply.com aja!
> >
>
>
>

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
1l.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "Rini Agus Hadiyono" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Tue Jun 16, 2009 10:26 pm (PDT)



Gyahaha, Salam..kalau lawan jenis sih nggak dipelototin kali..apalagi suami orang, takuuut digampar bininya.
Soalnya aku sendiri nggak suka suamiku dipelototin perempuan lain:)

Peace ah, selamat berkarya.

Rinurbad

1m.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "interaktif" diifaa_03@yahoo.com   diifaa_03

Tue Jun 16, 2009 10:52 pm (PDT)



tulisan mas salam seakan meyadarkanku kembali, memang penampilan tidak selalu menjanjikan seperti apa orang itu sebenarnya. tetapi kadang yang namanya manusia tu kesan pertama tu ada pada apa yang tampak duluan, meski kadang berbuntut kekecewaan. so belajar ilmu hati menjadi penting agar kita tidak terkena virus- virus yang menjerumuskan  pada penyesalan yang tiada akhir. thanks, tulisan yang mencerahkan ...salam wiwik H. --- On Tue, 16/6/09, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com> wrote:

From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Virus Matre
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, flpdki@yahoogroups.com, fkmui96@yahoogroups.com, "penuliz Lepaz" <penulislepas@yahoogroups.com>, "Forum Lingkar" <Forum_LingkarPena@yahoogroups.com>
Date: Tuesday, 16 June, 2009, 3:05 PM

Virus Matre

Oleh Nursalam AR

 
Siang itu, dua tahun lalu, aku menunggunya di teras sebuah mesjid di bilangan Jakarta Selatan. Tak jauh letaknya dari rumah orang tuaku di kawasan Kalibata. Juga tak jauh dari tempat pertemuan perdana kami di sebuah mall, yang juga di kawasan Kalibata. Tak jauh letaknya namun jauh perbedaannya. Mengapa?

 
Pada pertemuan perdana, di sebuah mall yang sejuk dan nyaman, kami bertemu di sebuah restoran waralaba internasional. Dengan gaya eksekutif muda, dipertegas dengan sedan anyar yang dikemudikannya, sang kawan mempersilakanku memesan menu. Nampaknya ia cukup familiar dengan restoran tersebut. Aku sendiri memesan menu - yang jarang aku pesan yang ternyata berukuran besar dan tak habis dalam satu sesi perbincangan - dan kami berbincang soal naskah dan sastra. Ia memang seorang manajer penerbitan di sebuah penerbitan besar. Dan kami berkenalan lewat sebuah situs di mana ia mengontakku untuk sebuah appointment setelah membaca salah satu tulisanku. Ujung dari pertemuan yang menyenangkan itu --- sebab siapa yang tak senang ditraktir? - adalah janjinya untuk mempelajari naskahku untuk diterbitkan di tempatnya bekerja. Aku pun mulai merenda harapan. Aku yakin, dengan kesan profesionalisme yang ditunjukkannya, naskahku bakal diterbitkan segera.

 
Dua bulan kemudian, ia kembali mengontakku. Kali ini dengan sebuah kabar mengejutkan: ia berhenti dari perusahaan penerbitan tersebut. Kabar baik: ia sedang merintis penerbitan baru dan naskahku akan diterbitkan lewat penerbitannya tersebut. Meski sensasi harapannya jadi terasa berbeda, aku tetap mmengiyakan. OK. Dan kami sepakat bertemu beberapa hari kemudian. Ya, di sebuah mesjid. Kendati agak terasa aneh karena jauh berbeda dari tempat pertemuan awal, aku lagi-lagi mengiyakan. Tak apa, barangkali sekadar mampir di mesjid, pikirku.

 
Tepatlah siang terik itu aku menunggunya. Telat sejam dari janjinya, sang kawan datang. Tidak dengan kemeja dan celana panjang bahan  a la orang kantoran, tapi dengan kaus oblong dan blue jeans. Tidak bermobil, tapi dengan menumpang angkutan umum. Dengan tas ransel besar di punggung, kesan lelah terpancar betul yang diperkuat dengan keringat membasahi wajah dan bajunya. Inikah sang mantan manajer kini? Menyelinap lintasan tersebut di benakku yang berupaya beradaptasi dengan segala kondisi kontras yang ada.

 
"Maaf, Mas, maklumlah saya baru merintis usaha. Jadi betul-betul dari nol," seakan memahami bahasa kalbuku, ia berujar,"Yang kemarin itu mobil kantor. Insya Allah sebentar lagi ada motor. Jadi saya tidak perlu terjebak macet seperti sekarang."

 
Aku tersipu malu seperti kucing ketahuan hendak mencuri ikan di dapur. Dengan berusaha memperbaiki mindset tentang citra awal sang kawan, aku terlibat perbincangan serius tapi santai dengannya soal rencana kami. Serius, karena berkisar soal penerbitan naskah. Santai, karena sambil selonjor di teras mesjid yang dihibur dengan sepoi-sepoi angin jam dua siang. Tapi tetap saja kesan pertemuan perdana dan pertemuan kedua sungguh jauh berbeda. Ibarat wisata kuliner, rasanya tak lagi semaknyus dulu.

 
Singkat cerita, pertemuan berakhir dengan suatu kesepakatan. Tapi karena banyak hal rencana penerbitan itu gagal. Aku pun, sayangnya, kehilangan nomor kontak atau email sang kawan `mantan manajer´ itu sejak ponselku rusak berat. No regret - meminjam judul biografi Wimar Witoelar yang ditulis Fira Basuki - bagiku namun aku mendapat pengalaman batin baru yang mencerahkan sekaligus mengkhawatirkanku. Hikmah ini pun baru aku sadari setelah nyaris setahun usia pertemuan kami.

 
Sebagai manusia beradab, aku percaya kata pepatah `don´t judge the book by its cover´. Jangan menilai orang dari sekadar penampilan. Namun, dalam praktiknya, berpakaian rapi itu penting untuk menarik kesan dan perhatian. Meski aku yakin sang kawan sudah menganggap akrab diriku sehingga ia pun berpakaian casual saat itu. Itu hal yang mencerahkan. Yang mengkhawatirkanku adalah --- ini lagi-lagi sebuah lintasan di benak - betapa aku mendapati diriku terjebak pada mindset yang terbentuk pada pertemuan perdana. Dan betapa susah mengubahnya ketika ada citra lain yang ditampilkan pada pertemuan kedua. Aku lantas bertanya-tanya, ini yang mengkhawatirkan, apakah virus matre sudah menjangkitiku? Self-defense mechanism dalam diriku bekerja otomatis: Tidak! Itu hal wajar, Salam. Tapi suara batin yang lain berujar lugas,"Ya, kamu sudah kena jangkit virus matre. Lihatlah, betapa kamu menganggap beda kawanmu hanya dari penampilan yang berbeda."

 
Aku tercenung. Benar juga ya, batinku. Jika aku tidak kena virus matre, baik sadar atau tidak, aku tentu tetap punya gambaran positif yang sama akan kawanku itu.  Inna lillahi wa inna ilahi roji´un.

 
Teringatlah aku akan sebuah kisah Nasrudin Hoja, seorang sufi kocak dari Turki, di salah satu buku yang pernah aku baca.

 
Alkisah, di sebuah pesta pernikahan, Nasrudin Hoja datang dengan baju lusuh. Dengan tenang, setelah menyalami pengantin dan keluarga, ia menuju hidangan yang disediakan. Naas, tuan rumah mengusirnya karena menganggap sang sufi tidak berpakaian dengan layak. Nasrudin pulang dengan dongkol. Kemudian ia kembali lagi dengan baju paling bagus yang ia miliki. Tanggapan sohibul hajat pun sangat berbeda.

 
"Silakan, ambil makanan sesukamu!" ia menyilakan dengan penuh senyum.
 
"Baiklah," jawab sang sufi. Nasrudin pun mendekati hidangan dan memasukkan sebanyak-banyaknya makanan ke dalam bajunya sambil berujar,"Hai baju, inilah jatahmu. Nikmati sepuas-puasnya!"

 
Sahabat, begitu banyak virus di dunia yang menyerang, mulai dari H5N1 (virus flu burung) hingga H1N1 (virus flu babi) yang amat kita takuti keberadaannya. Tapi lebih banyak lagi virus hati, mulai dari `virus merah jambu´, `virus riya´ hingga `virus matre´ yang mungkin menyusup halus tanpa kita sadari. Dan, ironisnya, mungkin kita santai-santai saja menyikapinya.

 
Sampai di sini, aku mulai memahami - dengan pemahaman yang lebih kaya -- mengapa Rasulullah SAW men-dawam-kan (membiasakan) beristighfar 70 kali sehari. Ya, istighfar akan membersihkan hati dari serbuan `virus´ hati bermuatan gen-gen dosa.

 
Jakarta, 16 Juni 2009

 
 
 

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -

Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam. multiply. com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?

ke www.pensilmania. multiply. com aja!















New Email addresses available on Yahoo!
Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
1n.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Jun 16, 2009 11:55 pm (PDT)



Sip, baguslah:). Jadi yang dipelototin cuma yang cewek-cewek aja
kan?Syerem...

Peace euy,

Nursalam AR

On 6/17/09, Rini Agus Hadiyono <rinurbad@yahoo.com> wrote:
>
>
>
> Gyahaha, Salam..kalau lawan jenis sih nggak dipelototin kali..apalagi suami
> orang, takuuut digampar bininya.
> Soalnya aku sendiri nggak suka suamiku dipelototin perempuan lain:)
>
> Peace ah, selamat berkarya.
>
> Rinurbad
>
>
>

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
1o.

Re: [Catcil] Virus Matre

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Jun 16, 2009 11:57 pm (PDT)



Yup, penampilan memang tak selalu sama dengan apa yang ada di dalam. Belajar
ilmu hati tentu penting dengan segala praktiknya.

Makasih ya!

Nursalam AR

On 6/17/09, interaktif <diifaa_03@yahoo.com> wrote:
>
>
>
> tulisan mas salam seakan meyadarkanku kembali, memang penampilan tidak
> selalu menjanjikan seperti apa orang itu sebenarnya. tetapi kadang yang
> namanya manusia tu kesan pertama tu ada pada apa yang tampak duluan, meski
> kadang berbuntut kekecewaan. so belajar ilmu hati menjadi penting agar kita
> tidak terkena virus- virus yang menjerumuskan pada penyesalan yang tiada
> akhir.
>
> thanks, tulisan yang mencerahkan ...
>
> salam
>
> wiwik
>
>

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
2a.

Re: (Catcil) Interaksi Kopi

Posted by: "patisayang" patisayang@yahoo.com   patisayang

Tue Jun 16, 2009 8:32 am (PDT)



Hehe..iya Lam. Ini rencana mau nerusin bab novel, ternyata belum klik. Ya udah, nulis apa aja yang terlintas di kepala. Ndilalah, topik yang lagi hangat kok ttg kopi organik yang dipamerin temanku. So, meluncur saja semua cerita itu.
Met berakrab ria sama si hitam manis itu ya. Salam buat Yuni n si kecil.

salam,
Indar

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
>
> Lagi-lagi tentang kopi. Seingatku, beberapa kali di milis ini dirimu menulis
> tentang kopi ya,Mbak? Sepertinya ini tulisan yang ketiga. Benar-benar
> pecinta kopi sejati euy. Tapi, rekomendasi, coba deh kopi merek baru dari
> produsen yang semula hanya produksi permen kopi. Ternyata rasanya lumayan
> maknyus.Ini buatku, yang pecandu teh (kalau kopi, itu karena aku 'ketularan'
> dari istri yang penggemar kopi) lho. Karena dia pake gula Jawa atau gula
> merah alias brown sugar. Meski awalnya aku lebih favorit sama kopi susu atau
> yang mocca.
>
> Ah, menarik bincang-bincang tentang kopi di pagi hari.
>
> Have a coffee time:)
>
> Tabik,
>
> Nursalam AR
>
>
> On 6/16/09, INDARWATI HARSONO <patisayang@...> wrote:
> >
> >
> >
> > *Interaksi Kopi*
> >
> >
> >
>

2b.

Re: (Catcil) Interaksi Kopi

Posted by: "sismanto" siril_wafa@yahoo.co.id   siril_wafa

Tue Jun 16, 2009 4:28 pm (PDT)



Tak pikir kopi hanya jadi temen kesendirian saja mbak, ternyata mbak membungkusnya menjadi cerita yang menarik. jadi semakin pingin ngopi lagi iki....:)

SIS

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, INDARWATI HARSONO <patisayang@...> wrote:
>
>
>
>

3a.

Re: Shift Malam

Posted by: "hariyanty thahir" anty_th@yahoo.com   anty_th

Tue Jun 16, 2009 10:15 pm (PDT)



^_^ Mas Nur anggota EA ya ...
Salam wirausaha nya itu loh, hehee

Smoga sukses deh buat usaha nya
Tu ... mas ifan ngga sendirian kan?
Ayo semangat ...

salam
-anty - yg slalu kangen Batam ^_^

4a.

Re: [Maklumat] Tak Sabar Menunggu JULI!!!

Posted by: "abdul azis" abdul_azis80@yahoo.com   abdul_azis80

Tue Jun 16, 2009 11:43 pm (PDT)



Salam kenal mba Eva...
Moga kita bersama dapat belajar dan saling memberi kebaikan

Abdul azis
www.abdulazis.com
www.cahayarumah.multiply.com
www.tokoqori.multiply.com

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, evawani suryani <eva_wani@...> wrote:
>
> Hi...salam kenal, saya baru gabung nih di milis sekolah kehidupan ini dan saya seneng sekali baca tulisan-tulisan kalian, ternyata ada ya kisah bahagia dalam kenyataan, saya pikir cuma ada dalam dongeng aja habis selama ini saya selalu melihat kehidupan yang menyedihkan melulu, baik temen saya, tetangga saya, bahkan keluarga saya sendiri,
> duh saya seneng banget mendapati hal yang lain, mungkin kalo suatu saat saya mendapat hal yang menyenangkan saya juga akan ceritakan pada kalian semua,
> salam.
>
> --- On Mon, 6/15/09, abdul azis <abdul_azis80@...> wrote:
>
> From: abdul azis <abdul_azis80@...>
> Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [Maklumat] Tak Sabar Menunggu JULI!!!
> To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Date: Monday, June 15, 2009, 2:49 AM
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Serius apa seh?
>
>
>
> --- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, "hariyanty thahir" <anty_th@ > wrote:
>
> >
>
> > Deuh mas Azis, jadi serius nih tampaknya
>
> > Ya iya lah takut ma Allah ^_^
>
> >
>
> >
>
> > Salam
>
> > anty
>
> >
>

5a.

[Bahasa] Bini Belanda

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Wed Jun 17, 2009 12:01 am (PDT)



*Bini Belanda*

*Oleh Nursalam AR*

Siapa yang suka ditraktir?

Pasti banyak yang mengacungkan jari. Bahkan mungkin sambil
teriak-teriak,"Saya! Saya!"

Tapi, sudah pernah tahu traktir ala Belanda?

Konon orang Belanda dikenal paling kikir di kalangan bangsa-bangsa Eropa.
Tak heran, dalam bahasa Inggris, ada istilah "*go dutch*", yang artinya
bayar masing-masing. Jadi, jangan ge-er dulu, jika kekasih Anda saat makan
siang di restoran bilang,"*Let's go Dutch*." Itu bukan berarti ia mengajak
Anda tamasya ke Belanda. Tetapi artinya ia *bokek*, dan minta Anda membayar
pesanan Anda sendiri. Nah, inilah yang disebut *Dutch Treat*, yang secara
harfiah diterjemahkan sebagai "traktir ala Belanda".

Bukti kekikiran Belanda juga tercermin dari gaya penjajahan yang
dilakukannya terhadap koloni-koloninya dari Afrika Selatan, sebagian Amerika
Serikat hingga kawasan Nusantara (semenanjung Melayu, Indonesia dan
kepulauan Borneo). Dalam bukunya berjudul *Actie Massa*, Tan Malaka menyebut
gaya penjajahan Belanda sebagai gaya penjajahan "kuno" atau "barbar" dengan
mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam dan sumber daya manusia di
koloninya tanpa kompensasi sedikitpun terhadap rakyat jajahan. Adapun
Politik Etis – yang akhirnya melahirkan *Boedi Oetomo* dan gelombang gerakan
perjuangan nasional dimotori kalangan terdidik – dengan menyelenggarakan
pendidikan bagi rakyat jajahan yang dilakukan Belanda lebih sebagai
kompensasi atas dosa-dosa semasa periode Tanam Paksa-nya Van Den Bosch dan
bertujuan untuk menciptakan tenaga-tenaga ahli untuk mengeksploitasi
kekayaan alam Indonesia.

Sementara, masih menurut Tan Malaka, Inggris menerapkan gaya penjajahan
generasi kedua yakni penjajahan "modern", yang lebih "beradab" dengan
mengedepankan siasat diplomasi dan *soft power*. Misalnya, dengan membangun
infrastruktur pendidikan dan sistem pemerintahan. Koloni-koloni Inggris pun,
setelah resmi "merdeka" dalam artian diberikan kemerdekaan oleh Inggris,
dirangkum dalam kumpulan Persemakmuran (*Commonwealth*). Tak heran
negara-negara Persemakmuran seperti Malaysia, Brunei, Australia dan India
relatif lebih maju dibandingkan dengan negara-negara bekas jajahan Belanda
seperti Suriname, Afrika Selatan dan Indonesia. Meski jelas logika yang *ngawur
*jika ada yang bilang,"Coba Indonesia dulu dijajah Inggris seperti Malaysia
pasti lebih makmur." Karena bagaimanapun penjajahan adalah penistaan derajat
dan pengekangan hak-hak asasi manusia yang tak dapat diterima maupun
dibenarkan dengan alasan apapun.

Intinya, bahasa memang tak bisa lepas dari budaya baik etnik, ras atau
bangsa. Dalam bahasa Inggris, kita lazim mengenal empat standar keterampilan
berbahasa yakni *reading* (membaca), *writing* (menulis),
*listening*(mendengarkan), dan
*speaking* (berbicara). Namun ada satu faktor lain yakni *cultural awareness
*, faktor kesadaran budaya, yang justru secara praktis diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat, sering diabaikan.

Alhasil – sewaktu saya masih aktif sebagai pengajar kursus bahasa Inggris
untuk kelas karyawan dan bisnis – beberapa murid saya yang fasih berbahasa
Inggris dan cerdas-cerdas merasa frustrasi ketika menghadapi atasan mereka
yang rata-rata *expatriate*. Antara lain mereka mengeluh karena perilaku
atasan yang dianggap tidak punya *ewuh pakewuh* atau terlalu ekspresif.
Sebagian yang lain merasa kesal karena sang atasan menganggap mereka tak
percaya diri. Apa pasal? Ternyata karena mereka tak berani melakukan kontak
mata langsung secara intens dengan sang atasan. Maklum, dalam budaya
Indonesia, hal tersebut bisa dianggap tidak sopan.

Kisah yang lain adalah sewaktu saya masih duduk di kelas satu Sekolah
Menengah Pertama (SMP).

Saat itu saya belajar di level *General English* di sebuah kursus bahasa
Inggris, dan pihak manajemen kursus sering mendatangkan *native
speaker*(pembicara tamu dari negara asing) sebagai
*sparring partner* siswa-siswanya berbicara bahasa Inggris. Rata-rata *native
speaker* yang didatangkan adalah orang-orang muda dengan penampilan
seadanya, sebagian bahkan hanya bercelana pendek. Belakangan saya baru tahu
kalau mereka kebanyakan turis dari Jalan Jaksa.

"*What's your name*?" tanya salah seorang *native speaker* kepada salah
seorang teman sekelas saya. Si turis bule adalah gadis muda bercelana pendek
yang sesekali menenggak air mineral dari botol yang ditentengnya. Bulu-bulu
lebat pirang di kakinya membuat saya bergidik saat itu.

"*My name is* Ibrahim," jawab Ibrahim mantap. Bahasa Inggris teman sekelas
yang duduk di sebelah saya itu memang cukup lumayan.

"O…Abraham," tukas si turis.

"*No, not *Abraham. Ibrahim," teman saya itu bersikeras.

"*Yes, you are* Abraham," si bule belum *ngeh*.

Ibrahim masih *ngotot* dan akhirnya si turis bule mengalah dengan
susah-payah melafalkan kata "Ibrahim". Untunglah nama saya kemudian tidak
dipanggilnya "Salom". Dan, untungnya lagi, teman-teman sekelas waktu itu
tidak ada yang bernama Nuh, Musa, Daud, Ya'kub atau Ayub. Jika ada, tentu
akan terjadi perdebatan yang lebih panjang hanya karena perbedaan pelafalan
dan budaya.

Juga terkait dengan budaya, harus jujur diakui, Belanda adalah yang berjasa
memperkenalkan budaya tidur menggunakan guling kepada bangsa kita. Konon,
karena tidak membawa istri dalam perjalanan dinas ke Hindia Belanda (nama
Indonesia dulu), para pejabat Belanda menciptakan guling sebagai teman
tidur. Belanda juga yang memperkenalkan budaya guling ke Eropa dan Amerika.
Hal tersebut diabadikan dengan adanya istilah "*dutchwife*", selain kata "*
bolster"*, untuk "guling".

Jadi jangan kaget kalau seorang kawan bercerita kepada Anda,"Gue punya bini
Belanda nih!"

Bisa jadi ia hanya ingin memamerkan guling barunya.

*Jakarta, 17 Juni 2009*

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
5b.

[Bahasa] Bini Belanda

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Wed Jun 17, 2009 12:04 am (PDT)



*Bini Belanda*

*Oleh Nursalam AR*

Siapa yang suka ditraktir?

Pasti banyak yang mengacungkan jari. Bahkan mungkin sambil
teriak-teriak,"Saya! Saya!"

Tapi, sudah pernah tahu traktir ala Belanda?

Konon orang Belanda dikenal paling kikir di kalangan bangsa-bangsa Eropa.
Tak heran, dalam bahasa Inggris, ada istilah "*go dutch*", yang artinya
bayar masing-masing. Jadi, jangan ge-er dulu, jika kekasih Anda saat makan
siang di restoran bilang,"*Let's go Dutch*." Itu bukan berarti ia mengajak
Anda tamasya ke Belanda. Tetapi artinya ia *bokek*, dan minta Anda membayar
pesanan Anda sendiri. Nah, inilah yang disebut *Dutch Treat*, yang secara
harfiah diterjemahkan sebagai "traktir ala Belanda".

Bukti kekikiran Belanda juga tercermin dari gaya penjajahan yang
dilakukannya terhadap koloni-koloninya dari Afrika Selatan, sebagian Amerika
Serikat hingga kawasan Nusantara (semenanjung Melayu, Indonesia dan
kepulauan Borneo). Dalam bukunya berjudul *Actie Massa*, Tan Malaka menyebut
gaya penjajahan Belanda sebagai gaya penjajahan "kuno" atau "barbar" dengan
mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam dan sumber daya manusia di
koloninya tanpa kompensasi sedikitpun terhadap rakyat jajahan. Adapun
Politik Etis – yang akhirnya melahirkan *Boedi Oetomo* dan gelombang gerakan
perjuangan nasional dimotori kalangan terdidik – dengan menyelenggarakan
pendidikan bagi rakyat jajahan yang dilakukan Belanda lebih sebagai
kompensasi atas dosa-dosa semasa periode Tanam Paksa-nya Van Den Bosch dan
bertujuan untuk menciptakan tenaga-tenaga ahli untuk mengeksploitasi
kekayaan alam Indonesia.

Sementara, masih menurut Tan Malaka, Inggris menerapkan gaya penjajahan
generasi kedua yakni penjajahan "modern", yang lebih "beradab" dengan
mengedepankan siasat diplomasi dan *soft power*. Misalnya, dengan membangun
infrastruktur pendidikan dan sistem pemerintahan. Koloni-koloni Inggris pun,
setelah resmi "merdeka" dalam artian diberikan kemerdekaan oleh Inggris,
dirangkum dalam kumpulan Persemakmuran (*Commonwealth*). Tak heran
negara-negara Persemakmuran seperti Malaysia, Brunei, Australia dan India
relatif lebih maju dibandingkan dengan negara-negara bekas jajahan Belanda
seperti Suriname, Afrika Selatan dan Indonesia. Meski jelas logika yang *ngawur
*jika ada yang bilang,"Coba Indonesia dulu dijajah Inggris seperti Malaysia
pasti lebih makmur." Karena bagaimanapun penjajahan adalah penistaan derajat
dan pengekangan hak-hak asasi manusia yang tak dapat diterima maupun
dibenarkan dengan alasan apapun.

Intinya, bahasa memang tak bisa lepas dari budaya baik etnik, ras atau
bangsa. Dalam bahasa Inggris, kita lazim mengenal empat standar keterampilan
berbahasa yakni *reading* (membaca), *writing* (menulis),
*listening*(mendengarkan), dan
*speaking* (berbicara). Namun ada satu faktor lain yakni *cultural awareness
*, faktor kesadaran budaya, yang justru secara praktis diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat, sering diabaikan.

Alhasil – sewaktu saya masih aktif sebagai pengajar kursus bahasa Inggris
untuk kelas karyawan dan bisnis – beberapa murid saya yang fasih berbahasa
Inggris dan cerdas-cerdas merasa frustrasi ketika menghadapi atasan mereka
yang rata-rata *expatriate*. Antara lain mereka mengeluh karena perilaku
atasan yang dianggap tidak punya *ewuh pakewuh* atau terlalu ekspresif.
Sebagian yang lain merasa kesal karena sang atasan menganggap mereka tak
percaya diri. Apa pasal? Ternyata karena mereka tak berani melakukan kontak
mata langsung secara intens dengan sang atasan. Maklum, dalam budaya
Indonesia, hal tersebut bisa dianggap tidak sopan.

Kisah yang lain adalah sewaktu saya masih duduk di kelas satu Sekolah
Menengah Pertama (SMP).

Saat itu saya belajar di level *General English* di sebuah kursus bahasa
Inggris, dan pihak manajemen kursus sering mendatangkan *native
speaker*(pembicara tamu dari negara asing) sebagai
*sparring partner* siswa-siswanya berbicara bahasa Inggris. Rata-rata *native
speaker* yang didatangkan adalah orang-orang muda dengan penampilan
seadanya, sebagian bahkan hanya bercelana pendek. Belakangan saya baru tahu
kalau mereka kebanyakan turis dari Jalan Jaksa.

"*What's your name*?" tanya salah seorang *native speaker* kepada salah
seorang teman sekelas saya. Si turis bule adalah gadis muda bercelana pendek
yang sesekali menenggak air mineral dari botol yang ditentengnya. Bulu-bulu
lebat pirang di kakinya membuat saya bergidik saat itu.

"*My name is* Ibrahim," jawab Ibrahim mantap. Bahasa Inggris teman sekelas
yang duduk di sebelah saya itu memang cukup lumayan.

"O…Abraham," tukas si turis.

"*No, not *Abraham. Ibrahim," teman saya itu bersikeras.

"*Yes, you are* Abraham," si bule belum *ngeh*.

Ibrahim masih *ngotot* dan akhirnya si turis bule mengalah dengan
susah-payah melafalkan kata "Ibrahim". Untunglah nama saya kemudian tidak
dipanggilnya "Salom". Dan, untungnya lagi, teman-teman sekelas waktu itu
tidak ada yang bernama Nuh, Musa, Daud, Ya'kub atau Ayub. Jika ada, tentu
akan terjadi perdebatan yang lebih panjang hanya karena perbedaan pelafalan
dan budaya.

Juga terkait dengan budaya, harus jujur diakui, Belanda adalah yang berjasa
memperkenalkan budaya tidur menggunakan guling kepada bangsa kita. Konon,
karena tidak membawa istri dalam perjalanan dinas ke Hindia Belanda (nama
Indonesia dulu), para pejabat Belanda menciptakan guling sebagai teman
tidur. Belanda juga yang memperkenalkan budaya guling ke Eropa dan Amerika.
Hal tersebut diabadikan dengan adanya istilah "*dutchwife*", selain kata "*
bolster"*, untuk "guling".

Jadi jangan kaget kalau seorang kawan bercerita kepada Anda,"Gue punya bini
Belanda nih!"

Bisa jadi ia hanya ingin memamerkan guling barunya.

*Jakarta, 17 Juni 2009*

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!
5c.

Re: [Bahasa] Bini Belanda

Posted by: "suhadi hadi" abinyajundi@yahoo.com   abinyajundi

Wed Jun 17, 2009 1:52 am (PDT)



wah..sang maestro dah keluar dari sarangnya nih ;)
thanks bro dah kirimin artikel ringan tapi nendang beberapa hari ini
btw ..Guut Lak ye buat kursus online nya
sorry sementara waktu ini mungkin blom bisa gabung
tapi Insya Allah tetep mo jadi murid juga kok
persiapan buat ngadepin deal-deal..next time
he..he..
salam dari sidoarjo

________________________________
From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com; fkmui96@yahoogroups.com; flpdki@yahoogroups.com; Forum Lingkar <Forum_LingkarPena@yahoogroups.com>; penuliz Lepaz <penulislepas@yahoogroups.com>
Sent: Tuesday, June 16, 2009 11:59:57 PM
Subject: [sekolah-kehidupan] [Bahasa] Bini Belanda

Bini Belanda
Oleh Nursalam AR

Siapa yang suka ditraktir?

Pasti banyak yang mengacungkan jari. Bahkan mungkin sambil teriak-teriak," Saya! Saya!"

Tapi, sudah pernah tahu traktir ala Belanda?

Konon orang Belanda dikenal paling kikir di kalangan bangsa-bangsa Eropa. Tak heran, dalam bahasa Inggris, ada istilah "go dutch", yang artinya bayar masing-masing. Jadi, jangan ge-er dulu, jika kekasih Anda saat makan siang di restoran bilang,"Let´s go Dutch." Itu bukan berarti ia mengajak Anda tamasya ke Belanda. Tetapi artinya ia bokek, dan minta Anda membayar pesanan Anda sendiri. Nah, inilah yang disebut Dutch Treat, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai "traktir ala Belanda".

Bukti kekikiran Belanda juga tercermin dari gaya penjajahan yang dilakukannya terhadap koloni-koloninya dari Afrika Selatan, sebagian Amerika Serikat hingga kawasan Nusantara (semenanjung Melayu, Indonesia dan kepulauan Borneo). Dalam bukunya berjudul Actie Massa, Tan Malaka menyebut gaya penjajahan Belanda sebagai gaya penjajahan "kuno" atau "barbar" dengan mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam dan sumber daya manusia di koloninya tanpa kompensasi sedikitpun terhadap rakyat jajahan. Adapun Politik Etis - yang akhirnya melahirkan Boedi Oetomo dan gelombang gerakan perjuangan nasional dimotori kalangan terdidik - dengan menyelenggarakan pendidikan bagi rakyat jajahan yang dilakukan Belanda lebih sebagai kompensasi atas dosa-dosa semasa periode Tanam Paksa-nya Van Den Bosch dan bertujuan untuk menciptakan tenaga-tenaga ahli untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.

Sementara, masih menurut Tan Malaka, Inggris menerapkan gaya penjajahan generasi kedua yakni penjajahan "modern", yang lebih "beradab" dengan mengedepankan siasat diplomasi dan soft power. Misalnya, dengan membangun infrastruktur pendidikan dan sistem pemerintahan. Koloni-koloni Inggris pun, setelah resmi "merdeka" dalam artian diberikan kemerdekaan oleh Inggris, dirangkum dalam kumpulan Persemakmuran (Commonwealth). Tak heran negara-negara Persemakmuran seperti Malaysia, Brunei, Australia dan India relatif lebih maju dibandingkan dengan negara-negara bekas jajahan Belanda seperti Suriname, Afrika Selatan dan Indonesia. Meski jelas logika yang ngawur jika ada yang bilang,"Coba Indonesia dulu dijajah Inggris seperti Malaysia pasti lebih makmur." Karena bagaimanapun penjajahan adalah penistaan derajat dan pengekangan hak-hak asasi manusia yang tak dapat diterima maupun dibenarkan dengan alasan apapun.

Intinya, bahasa memang tak bisa lepas dari budaya baik etnik, ras atau bangsa. Dalam bahasa Inggris, kita lazim mengenal empat standar keterampilan berbahasa yakni reading (membaca), writing (menulis), listening (mendengarkan) , dan speaking (berbicara). Namun ada satu faktor lain yakni cultural awareness, faktor kesadaran budaya, yang justru secara praktis diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, sering diabaikan.

Alhasil - sewaktu saya masih aktif sebagai pengajar kursus bahasa Inggris untuk kelas karyawan dan bisnis - beberapa murid saya yang fasih berbahasa Inggris dan cerdas-cerdas merasa frustrasi ketika menghadapi atasan mereka yang rata-rata expatriate. Antara lain mereka mengeluh karena perilaku atasan yang dianggap tidak punya ewuh pakewuh atau terlalu ekspresif. Sebagian yang lain merasa kesal karena sang atasan menganggap mereka tak percaya diri. Apa pasal? Ternyata karena mereka tak berani melakukan kontak mata langsung secara intens dengan sang atasan. Maklum, dalam budaya Indonesia, hal tersebut bisa dianggap tidak sopan.

Kisah yang lain adalah sewaktu saya masih duduk di kelas satu Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Saat itu saya belajar di level General English di sebuah kursus bahasa Inggris, dan pihak manajemen kursus sering mendatangkan native speaker (pembicara tamu dari negara asing) sebagai sparring partner siswa-siswanya berbicara bahasa Inggris. Rata-rata native speaker yang didatangkan adalah orang-orang muda dengan penampilan seadanya, sebagian bahkan hanya bercelana pendek. Belakangan saya baru tahu kalau mereka kebanyakan turis dari Jalan Jaksa.

"What´s your name?" tanya salah seorang native speaker kepada salah seorang teman sekelas saya. Si turis bule adalah gadis muda bercelana pendek yang sesekali menenggak air mineral dari botol yang ditentengnya. Bulu-bulu lebat pirang di kakinya membuat saya bergidik saat itu.

"My name is Ibrahim," jawab Ibrahim mantap. Bahasa Inggris teman sekelas yang duduk di sebelah saya itu memang cukup lumayan.

"O...Abraham," tukas si turis.

"No, not Abraham. Ibrahim," teman saya itu bersikeras.

"Yes, you are Abraham," si bule belum ngeh.

Ibrahim masih ngotot dan akhirnya si turis bule mengalah dengan susah-payah melafalkan kata "Ibrahim". Untunglah nama saya kemudian tidak dipanggilnya "Salom". Dan, untungnya lagi, teman-teman sekelas waktu itu tidak ada yang bernama Nuh, Musa, Daud, Ya´kub atau Ayub. Jika ada, tentu akan terjadi perdebatan yang lebih panjang hanya karena perbedaan pelafalan dan budaya.

Juga terkait dengan budaya, harus jujur diakui, Belanda adalah yang berjasa memperkenalkan budaya tidur menggunakan guling kepada bangsa kita. Konon, karena tidak membawa istri dalam perjalanan dinas ke Hindia Belanda (nama Indonesia dulu), para pejabat Belanda menciptakan guling sebagai teman tidur. Belanda juga yang memperkenalkan budaya guling ke Eropa dan Amerika. Hal tersebut diabadikan dengan adanya istilah "dutchwife", selain kata "bolster", untuk "guling".

Jadi jangan kaget kalau seorang kawan bercerita kepada Anda,"Gue punya bini Belanda nih!"

Bisa jadi ia hanya ingin memamerkan guling barunya.

Jakarta, 17 Juni 2009

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam. multiply. com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania. multiply. com aja!


5d.

Re: [Bahasa] Bini Belanda

Posted by: "Syafaatus Syarifah" syarifah@gratika.co.id   sya4215

Wed Jun 17, 2009 2:01 am (PDT)



horeee.. Pak Guru Salam sudah kembali hadir di ESKA!
saya muridnya yang suka bolos jadi semangat hadir juga nih kalo ada guru favorit yg satu ini..
hihihihi..

yok lanjut pak....

jadi punya bini belanda berapa di rumah ?

----- Original Message -----
From: Nursalam AR
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com ; fkmui96@yahoogroups.com ; flpdki@yahoogroups.com ; Forum Lingkar ; penuliz Lepaz
Sent: Wednesday, June 17, 2009 1:59 PM
Subject: [sekolah-kehidupan] [Bahasa] Bini Belanda

Bini Belanda

Oleh Nursalam AR

Siapa yang suka ditraktir?

Pasti banyak yang mengacungkan jari. Bahkan mungkin sambil teriak-teriak,"Saya! Saya!"

Tapi, sudah pernah tahu traktir ala Belanda?

Konon orang Belanda dikenal paling kikir di kalangan bangsa-bangsa Eropa. Tak heran, dalam bahasa Inggris, ada istilah "go dutch", yang artinya bayar masing-masing. Jadi, jangan ge-er dulu, jika kekasih Anda saat makan siang di restoran bilang,"Let's go Dutch." Itu bukan berarti ia mengajak Anda tamasya ke Belanda. Tetapi artinya ia bokek, dan minta Anda membayar pesanan Anda sendiri. Nah, inilah yang disebut Dutch Treat, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai "traktir ala Belanda".

Bukti kekikiran Belanda juga tercermin dari gaya penjajahan yang dilakukannya terhadap koloni-koloninya dari Afrika Selatan, sebagian Amerika Serikat hingga kawasan Nusantara (semenanjung Melayu, Indonesia dan kepulauan Borneo). Dalam bukunya berjudul Actie Massa, Tan Malaka menyebut gaya penjajahan Belanda sebagai gaya penjajahan "kuno" atau "barbar" dengan mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam dan sumber daya manusia di koloninya tanpa kompensasi sedikitpun terhadap rakyat jajahan. Adapun Politik Etis – yang akhirnya melahirkan Boedi Oetomo dan gelombang gerakan perjuangan nasional dimotori kalangan terdidik – dengan menyelenggarakan pendidikan bagi rakyat jajahan yang dilakukan Belanda lebih sebagai kompensasi atas dosa-dosa semasa periode Tanam Paksa-nya Van Den Bosch dan bertujuan untuk menciptakan tenaga-tenaga ahli untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.

Sementara, masih menurut Tan Malaka, Inggris menerapkan gaya penjajahan generasi kedua yakni penjajahan "modern", yang lebih "beradab" dengan mengedepankan siasat diplomasi dan soft power. Misalnya, dengan membangun infrastruktur pendidikan dan sistem pemerintahan. Koloni-koloni Inggris pun, setelah resmi "merdeka" dalam artian diberikan kemerdekaan oleh Inggris, dirangkum dalam kumpulan Persemakmuran (Commonwealth). Tak heran negara-negara Persemakmuran seperti Malaysia, Brunei, Australia dan India relatif lebih maju dibandingkan dengan negara-negara bekas jajahan Belanda seperti Suriname, Afrika Selatan dan Indonesia. Meski jelas logika yang ngawur jika ada yang bilang,"Coba Indonesia dulu dijajah Inggris seperti Malaysia pasti lebih makmur." Karena bagaimanapun penjajahan adalah penistaan derajat dan pengekangan hak-hak asasi manusia yang tak dapat diterima maupun dibenarkan dengan alasan apapun.

Intinya, bahasa memang tak bisa lepas dari budaya baik etnik, ras atau bangsa. Dalam bahasa Inggris, kita lazim mengenal empat standar keterampilan berbahasa yakni reading (membaca), writing (menulis), listening (mendengarkan), dan speaking (berbicara). Namun ada satu faktor lain yakni cultural awareness, faktor kesadaran budaya, yang justru secara praktis diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, sering diabaikan.

Alhasil – sewaktu saya masih aktif sebagai pengajar kursus bahasa Inggris untuk kelas karyawan dan bisnis – beberapa murid saya yang fasih berbahasa Inggris dan cerdas-cerdas merasa frustrasi ketika menghadapi atasan mereka yang rata-rata expatriate. Antara lain mereka mengeluh karena perilaku atasan yang dianggap tidak punya ewuh pakewuh atau terlalu ekspresif. Sebagian yang lain merasa kesal karena sang atasan menganggap mereka tak percaya diri. Apa pasal? Ternyata karena mereka tak berani melakukan kontak mata langsung secara intens dengan sang atasan. Maklum, dalam budaya Indonesia, hal tersebut bisa dianggap tidak sopan.

Kisah yang lain adalah sewaktu saya masih duduk di kelas satu Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Saat itu saya belajar di level General English di sebuah kursus bahasa Inggris, dan pihak manajemen kursus sering mendatangkan native speaker (pembicara tamu dari negara asing) sebagai sparring partner siswa-siswanya berbicara bahasa Inggris. Rata-rata native speaker yang didatangkan adalah orang-orang muda dengan penampilan seadanya, sebagian bahkan hanya bercelana pendek. Belakangan saya baru tahu kalau mereka kebanyakan turis dari Jalan Jaksa.

"What's your name?" tanya salah seorang native speaker kepada salah seorang teman sekelas saya. Si turis bule adalah gadis muda bercelana pendek yang sesekali menenggak air mineral dari botol yang ditentengnya. Bulu-bulu lebat pirang di kakinya membuat saya bergidik saat itu.

"My name is Ibrahim," jawab Ibrahim mantap. Bahasa Inggris teman sekelas yang duduk di sebelah saya itu memang cukup lumayan.

"O…Abraham," tukas si turis.

"No, not Abraham. Ibrahim," teman saya itu bersikeras.

"Yes, you are Abraham," si bule belum ngeh.

Ibrahim masih ngotot dan akhirnya si turis bule mengalah dengan susah-payah melafalkan kata "Ibrahim". Untunglah nama saya kemudian tidak dipanggilnya "Salom". Dan, untungnya lagi, teman-teman sekelas waktu itu tidak ada yang bernama Nuh, Musa, Daud, Ya'kub atau Ayub. Jika ada, tentu akan terjadi perdebatan yang lebih panjang hanya karena perbedaan pelafalan dan budaya.

Juga terkait dengan budaya, harus jujur diakui, Belanda adalah yang berjasa memperkenalkan budaya tidur menggunakan guling kepada bangsa kita. Konon, karena tidak membawa istri dalam perjalanan dinas ke Hindia Belanda (nama Indonesia dulu), para pejabat Belanda menciptakan guling sebagai teman tidur. Belanda juga yang memperkenalkan budaya guling ke Eropa dan Amerika. Hal tersebut diabadikan dengan adanya istilah "dutchwife", selain kata "bolster", untuk "guling".

Jadi jangan kaget kalau seorang kawan bercerita kepada Anda,"Gue punya bini Belanda nih!"

Bisa jadi ia hanya ingin memamerkan guling barunya.

Jakarta, 17 Juni 2009

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania.multiply.com aja!

5e.

Re: [Bahasa] Bini Belanda

Posted by: "Siwi LH" siuhik@yahoo.com   siuhik

Wed Jun 17, 2009 2:35 am (PDT)



hMHHH...ada gejala apa ya? para gubes (Guru Besar) Eska turun gunung? jadi terbawa suasana nih energinya...

By the way bini belanda Mas Gangga suka yang kempes, sementara kalau adek Gautama sukanya yang masih keras...hehehe, nurut apa kata pak Suhadi, tulisannya nendang abis! Pokoknya kalo mas Salam yang nulis wajib dibaca ....

Salam Hebat Penuh Berkah
Siwi LH
cahayabintang. wordpress.com
siu-elha. blogspot.com
YM : siuhik

________________________________
From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com; fkmui96@yahoogroups.com; flpdki@yahoogroups.com; Forum Lingkar <Forum_LingkarPena@yahoogroups.com>; penuliz Lepaz <penulislepas@yahoogroups.com>
Sent: Tuesday, June 16, 2009 11:59:57 PM
Subject: [sekolah-kehidupan] [Bahasa] Bini Belanda

Bini Belanda
Oleh Nursalam AR

Siapa yang suka ditraktir?

Pasti banyak yang mengacungkan jari. Bahkan mungkin sambil teriak-teriak," Saya! Saya!"

Tapi, sudah pernah tahu traktir ala Belanda?

Konon orang Belanda dikenal paling kikir di kalangan bangsa-bangsa Eropa. Tak heran, dalam bahasa Inggris, ada istilah "go dutch", yang artinya bayar masing-masing. Jadi, jangan ge-er dulu, jika kekasih Anda saat makan siang di restoran bilang,"Let´s go Dutch." Itu bukan berarti ia mengajak Anda tamasya ke Belanda. Tetapi artinya ia bokek, dan minta Anda membayar pesanan Anda sendiri. Nah, inilah yang disebut Dutch Treat, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai "traktir ala Belanda".

Bukti kekikiran Belanda juga tercermin dari gaya penjajahan yang dilakukannya terhadap koloni-koloninya dari Afrika Selatan, sebagian Amerika Serikat hingga kawasan Nusantara (semenanjung Melayu, Indonesia dan kepulauan Borneo). Dalam bukunya berjudul Actie Massa, Tan Malaka menyebut gaya penjajahan Belanda sebagai gaya penjajahan "kuno" atau "barbar" dengan mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam dan sumber daya manusia di koloninya tanpa kompensasi sedikitpun terhadap rakyat jajahan. Adapun Politik Etis - yang akhirnya melahirkan Boedi Oetomo dan gelombang gerakan perjuangan nasional dimotori kalangan terdidik - dengan menyelenggarakan pendidikan bagi rakyat jajahan yang dilakukan Belanda lebih sebagai kompensasi atas dosa-dosa semasa periode Tanam Paksa-nya Van Den Bosch dan bertujuan untuk menciptakan tenaga-tenaga ahli untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.

Sementara, masih menurut Tan Malaka, Inggris menerapkan gaya penjajahan generasi kedua yakni penjajahan "modern", yang lebih "beradab" dengan mengedepankan siasat diplomasi dan soft power. Misalnya, dengan membangun infrastruktur pendidikan dan sistem pemerintahan. Koloni-koloni Inggris pun, setelah resmi "merdeka" dalam artian diberikan kemerdekaan oleh Inggris, dirangkum dalam kumpulan Persemakmuran (Commonwealth). Tak heran negara-negara Persemakmuran seperti Malaysia, Brunei, Australia dan India relatif lebih maju dibandingkan dengan negara-negara bekas jajahan Belanda seperti Suriname, Afrika Selatan dan Indonesia. Meski jelas logika yang ngawur jika ada yang bilang,"Coba Indonesia dulu dijajah Inggris seperti Malaysia pasti lebih makmur." Karena bagaimanapun penjajahan adalah penistaan derajat dan pengekangan hak-hak asasi manusia yang tak dapat diterima maupun dibenarkan dengan alasan apapun.

Intinya, bahasa memang tak bisa lepas dari budaya baik etnik, ras atau bangsa. Dalam bahasa Inggris, kita lazim mengenal empat standar keterampilan berbahasa yakni reading (membaca), writing (menulis), listening (mendengarkan) , dan speaking (berbicara). Namun ada satu faktor lain yakni cultural awareness, faktor kesadaran budaya, yang justru secara praktis diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, sering diabaikan.

Alhasil - sewaktu saya masih aktif sebagai pengajar kursus bahasa Inggris untuk kelas karyawan dan bisnis - beberapa murid saya yang fasih berbahasa Inggris dan cerdas-cerdas merasa frustrasi ketika menghadapi atasan mereka yang rata-rata expatriate. Antara lain mereka mengeluh karena perilaku atasan yang dianggap tidak punya ewuh pakewuh atau terlalu ekspresif. Sebagian yang lain merasa kesal karena sang atasan menganggap mereka tak percaya diri. Apa pasal? Ternyata karena mereka tak berani melakukan kontak mata langsung secara intens dengan sang atasan. Maklum, dalam budaya Indonesia, hal tersebut bisa dianggap tidak sopan.

Kisah yang lain adalah sewaktu saya masih duduk di kelas satu Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Saat itu saya belajar di level General English di sebuah kursus bahasa Inggris, dan pihak manajemen kursus sering mendatangkan native speaker (pembicara tamu dari negara asing) sebagai sparring partner siswa-siswanya berbicara bahasa Inggris. Rata-rata native speaker yang didatangkan adalah orang-orang muda dengan penampilan seadanya, sebagian bahkan hanya bercelana pendek. Belakangan saya baru tahu kalau mereka kebanyakan turis dari Jalan Jaksa.

"What´s your name?" tanya salah seorang native speaker kepada salah seorang teman sekelas saya. Si turis bule adalah gadis muda bercelana pendek yang sesekali menenggak air mineral dari botol yang ditentengnya. Bulu-bulu lebat pirang di kakinya membuat saya bergidik saat itu.

"My name is Ibrahim," jawab Ibrahim mantap. Bahasa Inggris teman sekelas yang duduk di sebelah saya itu memang cukup lumayan.

"O...Abraham," tukas si turis.

"No, not Abraham. Ibrahim," teman saya itu bersikeras.

"Yes, you are Abraham," si bule belum ngeh.

Ibrahim masih ngotot dan akhirnya si turis bule mengalah dengan susah-payah melafalkan kata "Ibrahim". Untunglah nama saya kemudian tidak dipanggilnya "Salom". Dan, untungnya lagi, teman-teman sekelas waktu itu tidak ada yang bernama Nuh, Musa, Daud, Ya´kub atau Ayub. Jika ada, tentu akan terjadi perdebatan yang lebih panjang hanya karena perbedaan pelafalan dan budaya.

Juga terkait dengan budaya, harus jujur diakui, Belanda adalah yang berjasa memperkenalkan budaya tidur menggunakan guling kepada bangsa kita. Konon, karena tidak membawa istri dalam perjalanan dinas ke Hindia Belanda (nama Indonesia dulu), para pejabat Belanda menciptakan guling sebagai teman tidur. Belanda juga yang memperkenalkan budaya guling ke Eropa dan Amerika. Hal tersebut diabadikan dengan adanya istilah "dutchwife", selain kata "bolster", untuk "guling".

Jadi jangan kaget kalau seorang kawan bercerita kepada Anda,"Gue punya bini Belanda nih!"

Bisa jadi ia hanya ingin memamerkan guling barunya.

Jakarta, 17 Juni 2009

--
-"A long journey begins with one small step" (Chinese proverb) -
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam. multiply. com
YM ID: nursalam_ar
Facebook: nursalam ar
Ingin belajar menulis & menerjemahkan?
ke www.pensilmania. multiply. com aja!


6.

[Rampai] Lentera Masih Kecil

Posted by: "Kang Dani" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Wed Jun 17, 2009 2:33 am (PDT)



~DA~

lentera masih kecil
nyalanya belum lagi terik
sementara saldo yang kita punya
tak kunjung menggunung
kita punya risau
tapi bukan surut langkah
kita akan terus bergerak

Seperti burung merak pernah bilang
:bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samudera.

dari tungku berjelaga
sambil memeluk rindu lututlutut kedinginan kita
berdoa saja semoga pasir waktu tak lekas habis
berharap kita masih terjaga
dan mendapati betapa ia menjelma matahari dan membakar

Jakarta,  17 Juni 2009

Dani Ardiansyah
www.sekolah-kehidupan.com
www.catatankecil.multiply.com

Recent Activity
Visit Your Group
Biz Resources

Y! Small Business

Articles, tools,

forms, and more.

Y! Groups blog

the best source

for the latest

scoop on Groups.

DonorsChoose

Support our

Troops' Children

Give to education

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: