Rabu, 08 Desember 2010

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3264

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (5 Messages)

Messages

1.

Kisah Bai Fang Li

Posted by: "pdewo" pdewo@yahoo.com   pdewo

Tue Dec 7, 2010 7:45 am (PST)



Namanya BAI FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitas ibadahnya,. dia melanglang dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil dan ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan ketika menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.

Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana. "Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya...." jawab anak itu. "Orang tuamu dimana...?" tanya Bai Fang Li. "Saya tidak tahu...., ayah ibu saya pemulung.... Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil..." sahut anak itu.

Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.

Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm... tapi masih cukup bagus... gumannya senang.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

"TIDAK APA-APA SAYA MENDERITA, YANG PENTING BIARLAH ANAK-ANAK YANG MISKIN ITU DAPAT MAKANAN YANG LAYAK DAN DAPAT PENDIDIKAN. DAN SAYA BAHAGIA MELAKUKAN SEMUA INI...," katanya jika orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan......" katanya dengan sendu., Semua guru di sekolah itu menangis........

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Sahabat, kalau langit memberikan Hujannya, kalau Matahari memberikan Cahayanya, Pepohonan memberikan buah, kayu dan akarnya, Laut memberikan Ikan, mutiara dan tambangnya, Gunung-gunung memberikan batu dan semennya, Sapi memberikan susunya, Lebah memberikan madunya dan ternyata seluruh Alam Semesta ini adalah Memberi dan Berbagi tiada henti, akankan kita berdiam diri tidak memberikan apa-apa ? semiskin apakah kita ? sebokek apakah kantong kita ? setarakah kehidupan kita dengan Bai Fang Li ? kalau Bai Fang Li mampu memberi, ada apa dengan kita ?

Betapa jika setiap orang di Dunia ini memilih sikap seperti Bai Fang Li, maka takkan ada satupun orang Miskin di Dunia ini, tak ada kelaparan, tak ada korupsi, tak ada manipulasi, semua bergembira, tersenyum dan saling peduli, oh…. Indahnya Dunia ini….

Barakallah Fiikum...

(Dari milis desa sebelah)


Pramono Dewo
2.

Kebahagiaan Itu Pilihan...

Posted by: "pdewo" pdewo@yahoo.com   pdewo

Tue Dec 7, 2010 7:45 am (PST)



Seorang pemuda berangkat kerja dipagi Hari.

Memanggil taxi, dan naik...

'Selamat pagi Pak,'...katanya menyapa sang sopir taxi terlebih dulu...

'Pagi yang cerah bukan?' sambungnya sambil tersenyum,... lalu bersenandung kecil.

Sang sopir tersenyum melihat keceriaan penumpangnya, dengan senang hati, Ia melajukan taxinya.

Sesampainya ditempat tujuan.. Pemuda itu membayar dengan selembar 20ribuan, untuk argo yang hampir 15 ribu.

'Kembaliannya buat bapak saja...selamat bekerja Pak..' kata pemuda dengan senyum.

'Terima kasih...' jawab Pak sopir taxi dengan penuh syukur...

'Wah.. aku bisa sarapan dulu nih... Pikir sopir taxi itu...

Dan ia pun menuju kesebuah warung.

'Biasa Pak?' tanya si mbok warung.

'Iya biasa.. Nasi sayur... Tapi.. Pagi ini tambahkan sepotong ayam'..jawab Pak sopir dengan tersenyum.

Dan, ketika membayar nasi , di tambahkannya seribu rupiah 'Buat jajan anaknya si mbok,.. 'begitu katanya.

Dengan tambahan uang jajan seribu, pagi itu anak si mbok berangkat kesekolah dengan senyum lebih lebar.

Ia bisa membeli 2 buah roti pagi ini... Dan diberikannya pada temannya yang tidak punya bekal.

Begitulah...cerita bisa berlanjut..Bergulir... .seperti bola salju...

Pak sopir bisa lebih bahagia Hari itu...
Begitu juga keluarga si mbok...
Teman2 si anak...
keluarga mereka...
SEMUA TERTULAR KEBAHAGIAAN....

Kebahagiaan (seperti juga kesusahan), bisa menular kepada siapa saja disekitar Kita...

KEBAHAGIAAN ADALAH SEBUAH PILIHAN...
KEBAHAGIAAN BAHKAN UMUMNYA BISA DI DAPAT ATAS HAL2 KECIL...

Siapkah kita menularkan kebahagiaan ? Selalu & selalu...
Barakallah Fiikum...

Pramono Dewo
3a.

Re: [Catcil] Ketika Mata dan Hati Melihat Berbeda

Posted by: "asma_h_1999" asma_h_1999@yahoo.com   asma_h_1999

Tue Dec 7, 2010 2:41 pm (PST)



Hidup selalu memberi sudut pandang tersendiri untuk dimaknai dengan cara tertentu.

asma

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
>
> *Ketika Mata dan Hati Melihat Berbeda*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> Setengah tahun kembali menjadi pekerja kantoran membuat hidup saya berbeda
> daripada waktu-waktu sebelumnya sewaktu masih menjadi penerjemah lepas penuh
> waktu. Salah satunya adalah kesibukan pagi yang berbeda. Jika sebelumnya, di
> pagi hari, saya masih bisa bersantai baca koran dengan segelas teh manis
> hangat di tangan. Atau menemani Alham, anak tunggal saya usia dua tahun,
> bermain bola di halaman depan sambil tersenyum menatap para tetangga
> tergopoh-gopoh berangkat kerja. Kini, saya juga ikut tergopoh-gopoh
> berangkat pagi, mengejar kereta ke kantor. Mungkin ada di antara para
> tetangga yang kini tersenyum menatap saya yang tergopoh-gopoh pergi. Hidup
> memang selalu dan kadang harus berubah.
>
>
>
> Barangkali, seloroh para pengguna kereta, yang tak pernah berubah adalah
> tabiat kereta api di Jakarta. Amat sangat jarang sekali ia tepat waktu.
> Lebih sering terlambat. Dan di pagi berhujan deras itu terjadilah keajaiban
> Tuhan. KRL (Kereta Rel Listrik) Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang
> Bekasi) jurusan Tanah Abang itu datang lebih cepat 10 menit dari jadwal
> semestinya yang pukul 07.50 WIB. Sayangnya saya termasuk yang tak beruntung
> menikmati keajaiban tersebut. Meskipun saya sudah lari *sprint* 200 meter
> untuk mengejar si *Southline Ciliwung* berwarna oranye itu, tetap saja si *
> Ciliwung* meninggalkan saya. Ah, jadi teringat judul film* *lawas, *Pacar
> Ketinggalan Kereta. *Meski tak ada pacar yang menunggu saya di kereta itu.
> Yang ada mantan pacar di rumah yang tentu di jam-jam itu sedang sibuk
> menyuapi Alham sarapan sambil naik odong-odong favoritnya.
>
>
>
> Tapi hidup, terlebih lagi di ibukota, tak boleh menyerah. Sel-sel otak harus
> diputar dan diulur hingga panjang akal jadinya. Setelah memutar otak (tentu
> tidak dalam pengertian sebenarnya), saya memutuskan untuk menuju kantor,
> sebuah firma hukum di bilangan Sudirman, dengan terlebih dulu naik KRL
> jurusan Kota, yang saat itu merapat ke Stasiun Cawang. Karena KRL jurusan
> Tanah Abang – yang sejalur dengan rute ke kantor – baru ada setengah jam
> lagi (tentu di atas kertas, karena praktiknya beda lagi).
>
>
>
> Sesuai rencana, perjalanan ke Kota lancar. Namun rasanya terlalu mudah hidup
> di Jakarta jika terlalu mudah seperti itu adanya. Bus Transjakarta, lazim
> disebut *Busway*, tak muncul-muncul hingga nyaris dua puluh menit. Padahal,
> menuju ke Sudirman, saya harus naik *Busway* dari Kota hingga halte Dukuh
> Atas. Antrean pun mengular hingga ke ujung pintu masuk halte. Duh, kemana ya
> *ahlinye??*
>
>
>
> Syukurlah, ketika saya mulai berdiri terkantuk-kantuk dengan ransel besar di
> dada dan punggung pegal didesak-desak antrean, *Busway* datang. Terpaan
> sejuk hawa dari *air conditioning* menyejukkan badan meski hati masih
> gondok. Terbayang harus mengabsen dengan sistem sidik jari (*finger print*)
> di bawah tatapan teman-teman kantor. Terlambat 1,5 jam *gitu lho*!!
>
>
>
> Setelah merelakan tempat duduk saya kepada seorang ibu-ibu etnis Tionghoa
> yang berpakaian *a la* biksu Shaolin (ia juga berucap,"*Xie xie*."), saya
> berdiri di dekat jendela menatap pemandangan deretan *arcade *khas paduan
> budaya Belanda dan Cina di sepanjang jalan Gajah Mada.
>
>
>
> Selepas Harmoni, ketika *Busway* melambat karena terhalang belasan motor dan
> mobil pribadi di depannya, di bawah halte, tampak seorang gelandangan
> berpakaian kaos lusuh robek-robek berwudhu dengan air kali yang hitam dan
> bau. Dari gerakan wudhunya yang tak beraturan, saya duga ia kurang waras.
> Kemudian si gelandangan, di atas lembaran kardus, melakukan gerakan sholat,
> yang juga berantakan. Namun ia melakukannya dengan khusyuk kendati banyak
> mata tertuju kepadanya. Mungkin tatapan disertai beragam rasa: jijik,
> kasihan atau iba.
>
>
>
> Semula saya bergidik melihat ia berwudhu dengan air kali yang bukan saja tak
> menyucikan tapi juga sangat kotor dan bau. Yang ada dalam hati saya adalah
> betapa malangnya orang itu, yang harus sholat dalam kondisi memprihatinkan
> dan dengan pengetahuan sholat yang terbatas pula.
>
>
>
> Tapi, Allah Maha Adil, si gelandangan rupanya adalah prisma, di mana setiap
> orang dapat melihat keindahannya dalam berbagai sisi yang berbeda.
>
>
>
> Seorang bapak etnis Tionghoa – yang berdasi dan menenteng tas koper – yang
> berdiri di samping saya tampak terkagum-kagum melihat si gelandangan. Ia
> mencolek lengan petugas pengaman busway yang berdiri di depannya. "Eh, kamu
> lihat itu? Hebat ya dia!" puji si *Engkoh*. "Jarang-jarang orang kayak gitu
> di jaman sekarang. Tetap berusaha sholat."
>
>
>
> Saya tertegun. Merasa tertampar dalam hati. Mengapa saya tidak melihat si
> gelandangan dari sisi yang sama seperti yang si *Engkoh* – yang tampaknya
> seorang non-Muslim -- lihat? Mengapa yang saya lihat adalah gelandangan
> malang dan kurang waras yang berusaha sholat? Mengapa bukan seorang hamba
> Allah yang berusaha melaksanakan sholat sunnah Dhuha dengan ikhlas dengan
> segala keterbatasannya?
>
>
>
> Ah, mata dan hati memang kadang melihat berbeda.
>
>
>
> *Sudirman, jelang 1 Muharam 1432 H.*
>
> * *
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> --
> *- Nursalam AR -
> **
> www.kintaka.wordpress.com*
> *
> - Everything's gonna be alright!
> *
> *
> *
>

3b.

Re: [Catcil] Ketika Mata dan Hati Melihat Berbeda

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Dec 7, 2010 6:17 pm (PST)



Wah, inna lillahi wa inna ilahi roji'un. Turut berdukacita,Bro, si Mio merah
yang waktu itu dibawa ke HUT SK di Situ Gintung kan? Moga dapat ganti yang
lebih baik plus dapat teman boncengan juga,hehe...

Btw, sesekali jajal KRL,Mas Yons. Denyut nadi Jakarta terasa betul di
sana:).

Oh ya, perlu klarifikasi nih untuk si gadis busway:), ente "diajak" atau
yang "mengajak" ngobrol?hehe..

Tabik,

Nursalam AR

2010/12/6 Yons <kolumnis@gmail.com>

>
>
> Kadang kita memang perlu ya Bang untuk bisa
> "Melihat dengan cara yang berbeda"
>
> Dan naik angkutan umum memang kadang kita bisa mendapatkan banyak sekali
> ispirasi. Ini yang juga saya alami minggu-minggu terakhir ini.
>
> Karena si mio imut di gondol maling, terpaksa saya kembali naik angkutan
> umum. Alhamdulillah, bersyukur akhirnya saya kesampaian naik bas we di
> Jakarta ini. 3 kali bro udah naik bas we :-)Yang belum kesampaian naik KRL.
>
> Walau, jujur, naik bas we bener-bener nggak bisa duduk. Mana mungkin bisa
> duduk kalau di depan ada ibu-ibu atau cewek cakep bergelantungan :-)
>
> intermezo pas ke 3 kali itu sebenere ada gadis cakep banget, saya sempet
> diajak ngobrol banyak banget, sialnya saya lupa tanya nomer HP nya :-(.
> Akhirnya kisah "Cintaku mekar di bas we" gak jadi dech. Alah ngomong apa sih
> gw :-p
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
> >
> > *Ketika Mata dan Hati Melihat Berbeda*
>
> >
> > *Oleh Nursalam AR*
> >
> >
> >
> > Setengah tahun kembali menjadi pekerja kantoran membuat hidup saya
> berbeda
> > daripada waktu-waktu sebelumnya sewaktu masih menjadi penerjemah lepas
> penuh
> > waktu. Salah satunya adalah kesibukan pagi yang berbeda. Jika sebelumnya,
> di
> > pagi hari, saya masih bisa bersantai baca koran dengan segelas teh manis
> > hangat di tangan. Atau menemani Alham, anak tunggal saya usia dua tahun,
> > bermain bola di halaman depan sambil tersenyum menatap para tetangga
> > tergopoh-gopoh berangkat kerja. Kini, saya juga ikut tergopoh-gopoh
> > berangkat pagi, mengejar kereta ke kantor. Mungkin ada di antara para
> > tetangga yang kini tersenyum menatap saya yang tergopoh-gopoh pergi.
> Hidup
> > memang selalu dan kadang harus berubah.
> >
> >
> >
> > Barangkali, seloroh para pengguna kereta, yang tak pernah berubah adalah
> > tabiat kereta api di Jakarta. Amat sangat jarang sekali ia tepat waktu.
> > Lebih sering terlambat. Dan di pagi berhujan deras itu terjadilah
> keajaiban
> > Tuhan. KRL (Kereta Rel Listrik) Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok
> Tangerang
> > Bekasi) jurusan Tanah Abang itu datang lebih cepat 10 menit dari jadwal
> > semestinya yang pukul 07.50 WIB. Sayangnya saya termasuk yang tak
> beruntung
> > menikmati keajaiban tersebut. Meskipun saya sudah lari *sprint* 200 meter
> > untuk mengejar si *Southline Ciliwung* berwarna oranye itu, tetap saja si
> *
> > Ciliwung* meninggalkan saya. Ah, jadi teringat judul film* *lawas, *Pacar
> > Ketinggalan Kereta. *Meski tak ada pacar yang menunggu saya di kereta
> itu.
> > Yang ada mantan pacar di rumah yang tentu di jam-jam itu sedang sibuk
> > menyuapi Alham sarapan sambil naik odong-odong favoritnya.
> >
> >
> >
> > Tapi hidup, terlebih lagi di ibukota, tak boleh menyerah. Sel-sel otak
> harus
> > diputar dan diulur hingga panjang akal jadinya. Setelah memutar otak
> (tentu
> > tidak dalam pengertian sebenarnya), saya memutuskan untuk menuju kantor,
> > sebuah firma hukum di bilangan Sudirman, dengan terlebih dulu naik KRL
> > jurusan Kota, yang saat itu merapat ke Stasiun Cawang. Karena KRL jurusan
> > Tanah Abang – yang sejalur dengan rute ke kantor – baru ada setengah jam
> > lagi (tentu di atas kertas, karena praktiknya beda lagi).
> >
> >
> >
> > Sesuai rencana, perjalanan ke Kota lancar. Namun rasanya terlalu mudah
> hidup
> > di Jakarta jika terlalu mudah seperti itu adanya. Bus Transjakarta, lazim
> > disebut *Busway*, tak muncul-muncul hingga nyaris dua puluh menit.
> Padahal,
> > menuju ke Sudirman, saya harus naik *Busway* dari Kota hingga halte Dukuh
> > Atas. Antrean pun mengular hingga ke ujung pintu masuk halte. Duh, kemana
> ya
> > *ahlinye??*
> >
> >
> >
> > Syukurlah, ketika saya mulai berdiri terkantuk-kantuk dengan ransel besar
> di
> > dada dan punggung pegal didesak-desak antrean, *Busway* datang. Terpaan
> > sejuk hawa dari *air conditioning* menyejukkan badan meski hati masih
> > gondok. Terbayang harus mengabsen dengan sistem sidik jari (*finger
> print*)
> > di bawah tatapan teman-teman kantor. Terlambat 1,5 jam *gitu lho*!!
> >
> >
> >
> > Setelah merelakan tempat duduk saya kepada seorang ibu-ibu etnis Tionghoa
> > yang berpakaian *a la* biksu Shaolin (ia juga berucap,"*Xie xie*."), saya
> > berdiri di dekat jendela menatap pemandangan deretan *arcade *khas paduan
> > budaya Belanda dan Cina di sepanjang jalan Gajah Mada.
> >
> >
> >
> > Selepas Harmoni, ketika *Busway* melambat karena terhalang belasan motor
> dan
> > mobil pribadi di depannya, di bawah halte, tampak seorang gelandangan
> > berpakaian kaos lusuh robek-robek berwudhu dengan air kali yang hitam dan
> > bau. Dari gerakan wudhunya yang tak beraturan, saya duga ia kurang waras.
> > Kemudian si gelandangan, di atas lembaran kardus, melakukan gerakan
> sholat,
> > yang juga berantakan. Namun ia melakukannya dengan khusyuk kendati banyak
> > mata tertuju kepadanya. Mungkin tatapan disertai beragam rasa: jijik,
> > kasihan atau iba.
> >
> >
> >
> > Semula saya bergidik melihat ia berwudhu dengan air kali yang bukan saja
> tak
> > menyucikan tapi juga sangat kotor dan bau. Yang ada dalam hati saya
> adalah
> > betapa malangnya orang itu, yang harus sholat dalam kondisi
> memprihatinkan
> > dan dengan pengetahuan sholat yang terbatas pula.
> >
> >
> >
> > Tapi, Allah Maha Adil, si gelandangan rupanya adalah prisma, di mana
> setiap
> > orang dapat melihat keindahannya dalam berbagai sisi yang berbeda.
> >
> >
> >
> > Seorang bapak etnis Tionghoa – yang berdasi dan menenteng tas koper –
> yang
> > berdiri di samping saya tampak terkagum-kagum melihat si gelandangan. Ia
> > mencolek lengan petugas pengaman busway yang berdiri di depannya. "Eh,
> kamu
> > lihat itu? Hebat ya dia!" puji si *Engkoh*. "Jarang-jarang orang kayak
> gitu
> > di jaman sekarang. Tetap berusaha sholat."
> >
> >
> >
> > Saya tertegun. Merasa tertampar dalam hati. Mengapa saya tidak melihat si
> > gelandangan dari sisi yang sama seperti yang si *Engkoh* – yang tampaknya
> > seorang non-Muslim -- lihat? Mengapa yang saya lihat adalah gelandangan
> > malang dan kurang waras yang berusaha sholat? Mengapa bukan seorang hamba
> > Allah yang berusaha melaksanakan sholat sunnah Dhuha dengan ikhlas dengan
> > segala keterbatasannya?
> >
> >
> >
> > Ah, mata dan hati memang kadang melihat berbeda.
> >
> >
> >
> > *Sudirman, jelang 1 Muharam 1432 H.*
> >
> > * *
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > --
> > *- Nursalam AR -
> > **
> > www.kintaka.wordpress.com*
> > *
> > - Everything's gonna be alright!
> > *
> > *
> > *
> >
>
>
>

--
*- Nursalam AR -
****
www.kintaka.wordpress.com*
*
- Everything's gonna be alright!
*
*
*
3c.

Re: [Catcil] Ketika Mata dan Hati Melihat Berbeda

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Dec 7, 2010 6:19 pm (PST)



Betul sekali, Asma. Dan itulah salah satu seni dan nikmatnya hidup:).

Terima kasih ya atas komentarnya:).

Tabik,

Nursalam AR

2010/12/8 asma_h_1999 <asma_h_1999@yahoo.com>

>
>
> Hidup selalu memberi sudut pandang tersendiri untuk dimaknai dengan cara
> tertentu.
>
> asma
>
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
> >
> > *Ketika Mata dan Hati Melihat Berbeda*
>
> >
> > *Oleh Nursalam AR*
> >
> >
> >
> > Setengah tahun kembali menjadi pekerja kantoran membuat hidup saya
> berbeda
> > daripada waktu-waktu sebelumnya sewaktu masih menjadi penerjemah lepas
> penuh
> > waktu. Salah satunya adalah kesibukan pagi yang berbeda. Jika sebelumnya,
> di
> > pagi hari, saya masih bisa bersantai baca koran dengan segelas teh manis
> > hangat di tangan. Atau menemani Alham, anak tunggal saya usia dua tahun,
> > bermain bola di halaman depan sambil tersenyum menatap para tetangga
> > tergopoh-gopoh berangkat kerja. Kini, saya juga ikut tergopoh-gopoh
> > berangkat pagi, mengejar kereta ke kantor. Mungkin ada di antara para
> > tetangga yang kini tersenyum menatap saya yang tergopoh-gopoh pergi.
> Hidup
> > memang selalu dan kadang harus berubah.
> >
> >
> >
> > Barangkali, seloroh para pengguna kereta, yang tak pernah berubah adalah
> > tabiat kereta api di Jakarta. Amat sangat jarang sekali ia tepat waktu.
> > Lebih sering terlambat. Dan di pagi berhujan deras itu terjadilah
> keajaiban
> > Tuhan. KRL (Kereta Rel Listrik) Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok
> Tangerang
> > Bekasi) jurusan Tanah Abang itu datang lebih cepat 10 menit dari jadwal
> > semestinya yang pukul 07.50 WIB. Sayangnya saya termasuk yang tak
> beruntung
> > menikmati keajaiban tersebut. Meskipun saya sudah lari *sprint* 200 meter
> > untuk mengejar si *Southline Ciliwung* berwarna oranye itu, tetap saja si
> *
> > Ciliwung* meninggalkan saya. Ah, jadi teringat judul film* *lawas, *Pacar
> > Ketinggalan Kereta. *Meski tak ada pacar yang menunggu saya di kereta
> itu.
> > Yang ada mantan pacar di rumah yang tentu di jam-jam itu sedang sibuk
> > menyuapi Alham sarapan sambil naik odong-odong favoritnya.
> >
> >
> >
> > Tapi hidup, terlebih lagi di ibukota, tak boleh menyerah. Sel-sel otak
> harus
> > diputar dan diulur hingga panjang akal jadinya. Setelah memutar otak
> (tentu
> > tidak dalam pengertian sebenarnya), saya memutuskan untuk menuju kantor,
> > sebuah firma hukum di bilangan Sudirman, dengan terlebih dulu naik KRL
> > jurusan Kota, yang saat itu merapat ke Stasiun Cawang. Karena KRL jurusan
> > Tanah Abang – yang sejalur dengan rute ke kantor – baru ada setengah jam
> > lagi (tentu di atas kertas, karena praktiknya beda lagi).
> >
> >
> >
> > Sesuai rencana, perjalanan ke Kota lancar. Namun rasanya terlalu mudah
> hidup
> > di Jakarta jika terlalu mudah seperti itu adanya. Bus Transjakarta, lazim
> > disebut *Busway*, tak muncul-muncul hingga nyaris dua puluh menit.
> Padahal,
> > menuju ke Sudirman, saya harus naik *Busway* dari Kota hingga halte Dukuh
> > Atas. Antrean pun mengular hingga ke ujung pintu masuk halte. Duh, kemana
> ya
> > *ahlinye??*
> >
> >
> >
> > Syukurlah, ketika saya mulai berdiri terkantuk-kantuk dengan ransel besar
> di
> > dada dan punggung pegal didesak-desak antrean, *Busway* datang. Terpaan
> > sejuk hawa dari *air conditioning* menyejukkan badan meski hati masih
> > gondok. Terbayang harus mengabsen dengan sistem sidik jari (*finger
> print*)
> > di bawah tatapan teman-teman kantor. Terlambat 1,5 jam *gitu lho*!!
> >
> >
> >
> > Setelah merelakan tempat duduk saya kepada seorang ibu-ibu etnis Tionghoa
> > yang berpakaian *a la* biksu Shaolin (ia juga berucap,"*Xie xie*."), saya
> > berdiri di dekat jendela menatap pemandangan deretan *arcade *khas paduan
> > budaya Belanda dan Cina di sepanjang jalan Gajah Mada.
> >
> >
> >
> > Selepas Harmoni, ketika *Busway* melambat karena terhalang belasan motor
> dan
> > mobil pribadi di depannya, di bawah halte, tampak seorang gelandangan
> > berpakaian kaos lusuh robek-robek berwudhu dengan air kali yang hitam dan
> > bau. Dari gerakan wudhunya yang tak beraturan, saya duga ia kurang waras.
> > Kemudian si gelandangan, di atas lembaran kardus, melakukan gerakan
> sholat,
> > yang juga berantakan. Namun ia melakukannya dengan khusyuk kendati banyak
> > mata tertuju kepadanya. Mungkin tatapan disertai beragam rasa: jijik,
> > kasihan atau iba.
> >
> >
> >
> > Semula saya bergidik melihat ia berwudhu dengan air kali yang bukan saja
> tak
> > menyucikan tapi juga sangat kotor dan bau. Yang ada dalam hati saya
> adalah
> > betapa malangnya orang itu, yang harus sholat dalam kondisi
> memprihatinkan
> > dan dengan pengetahuan sholat yang terbatas pula.
> >
> >
> >
> > Tapi, Allah Maha Adil, si gelandangan rupanya adalah prisma, di mana
> setiap
> > orang dapat melihat keindahannya dalam berbagai sisi yang berbeda.
> >
> >
> >
> > Seorang bapak etnis Tionghoa – yang berdasi dan menenteng tas koper –
> yang
> > berdiri di samping saya tampak terkagum-kagum melihat si gelandangan. Ia
> > mencolek lengan petugas pengaman busway yang berdiri di depannya. "Eh,
> kamu
> > lihat itu? Hebat ya dia!" puji si *Engkoh*. "Jarang-jarang orang kayak
> gitu
> > di jaman sekarang. Tetap berusaha sholat."
> >
> >
> >
> > Saya tertegun. Merasa tertampar dalam hati. Mengapa saya tidak melihat si
> > gelandangan dari sisi yang sama seperti yang si *Engkoh* – yang tampaknya
> > seorang non-Muslim -- lihat? Mengapa yang saya lihat adalah gelandangan
> > malang dan kurang waras yang berusaha sholat? Mengapa bukan seorang hamba
> > Allah yang berusaha melaksanakan sholat sunnah Dhuha dengan ikhlas dengan
> > segala keterbatasannya?
> >
> >
> >
> > Ah, mata dan hati memang kadang melihat berbeda.
> >
> >
> >
> > *Sudirman, jelang 1 Muharam 1432 H.*
> >
> > * *
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > --
> > *- Nursalam AR -
> > **
> > www.kintaka.wordpress.com*
> > *
> > - Everything's gonna be alright!
> > *
> > *
> > *
> >
>
>
>

--
*- Nursalam AR -
****
www.kintaka.wordpress.com*
*
- Everything's gonna be alright!
*
*
*
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Biz Resources

Y! Small Business

Articles, tools,

forms, and more.

Group Charity

i-SAFE

Keep your kids

safer online

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Find useful articles and helpful tips on living with Fibromyalgia. Visit the Fibromyalgia Zone today!


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.

Tidak ada komentar: