Messages In This Digest (3 Messages)
- 1a.
- Re: (Catcil) Skandal Cinta Penulis Pria From: bApaKne vLeA
- 2a.
- [Catcil Ramadhan] Saya, Masjid, dan Gadis Penjual Goreng Pisang From: Nia Robie'
- 2b.
- Re: [Catcil Ramadhan] Saya, Masjid, dan Gadis Penjual Goreng Pisang From: novikhansa@gmail.com
Messages
- 1a.
-
Re: (Catcil) Skandal Cinta Penulis Pria
Posted by: "bApaKne vLeA" kampungcahaya@yahoo.com kampungcahaya
Thu Aug 4, 2011 9:10 pm (PDT)
wakaka... mantabs. Mas Yons brapa kali terlibat skandal? ;)
--- On Wed, 8/3/11, Yons <senjalova@gmail.com > wrote:
From: Yons <senjalova@gmail.com >
Subject: [sekolah-kehidupan] (Catcil) Skandal Cinta Penulis Pria
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com
Date: Wednesday, August 3, 2011, 9:13 PM
Skandal Cinta Penulis Pria
Oleh
Yons Achmad*
Kacau. Jika sebuah novel yang ditulis setengah mati tak kunjung terbit juga. Iwan Simatupang, pernah mengeluh kepada HB Jassin:
"Aku banyak sekali mengalami kegetiran akhir-akhir ini, Hans. Dan, hanya dengan terbitnya novel-novelku inilah yang mampu memberi kompensesasi kepada frustasi-frustasiku. Bahkan, kegetiran yang bagaimanapun aku tak gentar menghadapinya, bila saja karya-karyaku dapat terbit"
Begitulah. Novel Iwan Simatupang "Merahnya Merah" selesai ditulis 1961 terbit 1968. "Ziarah" selesai 1960 terbit 1969. "Kering" selesai 1961 terbit 1972. Sebuah kekesalan yang siapapun akan memahami.
Chairil Anwar, jika sedang galau tak tertahankan, mendatangi Marsiti. Si penunggu gubug reot mesum di pinggiran rel kereta api. Perempuan itu dengan senang hati memijat tubuhnya yang ringkih. Setelah bermesraan, rasanya bisa menulis sajak-sajak yang dahsyat itu.
Konon, tersebutlah kisah Ernest Hemingway: Novelis memukau lewat karyanya "Old Man and The Sea" itu mesti bersama perempuan yang berbeda untuk merampungkan satu novelnya. Entah kegilaan macam apa ini. Yang pasti kabar menyebutkan demikian.
Galileo Galilei punya cerita lain. Tokoh ini dikenal sebagai orang yang katanya tak pandai bergaul. Hidupnya habis diantara tumpukan buku. Dia tidak pernah pacaran, apalagi menikah. Akan tetapi, dari pembantu rumah tangganya, Marina Andrea Gamba, dia punya anak tiga tanpa nama baptis: Virginia, Livia dan Vincenzio.
Sementara Jean Paul Sartre dia bercinta dengan feminis Simone de Beauvior begitu saja. Panas, membara, penuh cinta. Tapi tidak pernah menikah.
Itu sekelumit cerita berserak yang diantaranya saya nukil kembali lewat kisah Aulia Muhammad "Sketsa Hidup Penulis-Penulis Besar Dunia" Potret kegetiran dan kegalauaan yang dialami para penulis pria, lantas perempuan sebagai pelarian.
Lalu bagaimana dengan skandal penulis pria di tanah air tercinta?
Tak mudah melacaknya. Hanya gosip beredar bak aroma makanan yang nikmat adanya. Untuk sekedar mengetahuinya, dengarkan cerita Medy Loekito dalam Jurnal Perempuan edisi "Perempuan dan Sastra". Kali ini skandal sesama penulis sastra. Bukan dengan wanita biasa.
Dikisahkan. Tentang adanya penulis pria yang dengan enteng menawarkan "bantuannya". Bantuan ini ditawarkan karena (mungkin) berhasil diberlakukannya terhadap penulis wanita yang lain, sehingga penulis pria ini secara serampangan menyimpulkan bahwa penulis wanita lain pastilah juga tak menolak, bahkan mungkin bangga karena "dia"-seorang penulis terkenal-yang membantu. Rasa percaya diri yang berlebihan pada penulis pria ini tanpa disadari telah menyakiti ego si penulis wanita, terutama karena "imbalan" yang diharapkan, yakni "Menemani Tidur".
Mungkin ada yang bilang, penulis pria tak semuanya begitu. Tapi, saya yakin yang bertipe macam penulis-penulis diatas banyak tampangnya. Dan bisa jadi beredar di pelosok negeri. Pertanyaannya kenapa bisa begitu?
Sulit menjawabnya. Semacam datangnya ilham untuk sebuah ide novel baru, penulis pria juga tergoda untuk mencoba hal-hal baru. Salah satunya dengan perempuan baru. Kenapa? Lazim adanya, perempuan terkadang menjadi inspirasi terbesar penulis atau pengarang. Apalagi jika frustasi sedang meninggi. Dan imajinasi sedang melambung tinggi. Sebuah kedunguan kesekian.
Awalnya mungkin sekedar berdiskusi di kedai kopi, saling berkorespondensi, lalu skandal itu terjadi. Puncak rahasia yang diam-diam tersimpan, jangan sampai rumput dan pepohonan membisikannya pada angin.
Skandal demi skandal menyelimuti kisah para penulis pria. Untuk sekedar seks belaka mengusir penat sementara. Sekedar mencoba-coba. Atau karena memang benar-benar cinta. Lalu apa yang tersisa?
Pertaruhan penulis adalah pada kata. Itulah satu-satunya harta yang dia punya. Dan sungai spiritual adalah penjaganya. Agar skandal-skandal itu tak lagi ada. Kalaupun terlanjur, cukup sekali saja. Lalu, terimalah makian para perempuan yang berkata "Dasar Onta". (*)
Halim Perdana Kusuma: 2 Agustus 2011
*Penulislepas, tinggal di Jakarta.
http://penakayu.blogspot. com
--------------------- --------- ------
Yahoo! Groups Links
- 2a.
-
[Catcil Ramadhan] Saya, Masjid, dan Gadis Penjual Goreng Pisang
Posted by: "Nia Robie'" musimbunga@gmail.com
Fri Aug 5, 2011 12:38 am (PDT)
Pelangi di pantai seberang masjid :)
Saya percaya bahwa anak yang telah "dibesarkan masjid" akan "kembali" ke
masjid. Seberapapun lika-liku hidup yang ia jalani, seberapapun buruknya
pelajaran kehidupan yang telah ia hadapi, seberapun cobaan mengikis
kepolosan.. minimal ada rasa ingin kembali.. ingin kembali..
masjid-masjid aku datang
damai tenteram di kalbu
di dalammu kurasakan
belai kasih ilahi..
Lagu Neno Warisman yang dulu semasa SD/SMP begitu akrab di telinga
mengingatkan diri ketika kaki ini cukup gemetar menaiki panggung di depan
pelataran masjid sekedar untuk melantunkan surah pendek. Masa di mana saya
belajar dasar-dasar islam dalam "sekolah minggu" yang pernah diselenggarakan
oleh para pemuda masjid, tempat di mana tercurahnya pemikiran, dan tenaga
orang-orang yang peduli dengan pendidikan keislaman baik para pemuda,
pengurus masjid, atau orang-orang yang peduli dengan pendidikan dan generasi
yang akan datang. Semoga Allah merahmati mereka semua. Aamiin.
Lebih dari 15 tahunan kejadian itu, tapi entah mengapa sampai saat ini masih
tetap mengakar di jiwa saya, ada satu bentuk kerinduan yang ajaibnya
menggerakkan kaki saya selalu ingin dekat dengan masjid, ingin menemukan
bentuk kemagisan spiritualisme yang ada di masjid, padahal jika ditilik
masjid hanya bangunan sederhana yang terdiri dari tembok-tembok, pondasi,
atap, dan lambang bulan sabit dan bintang di atasnya. Semua adalah benda
mati, tapi justru menjadi penggerak dan salah satu tempat penghubung
makhluk hidup untuk menujuNya. Dengan itu, saya tak bisa bilang bahwa masjid
hanya sebuah benda mati. Justru lebih dari itu.
Lebih dari 15 tahun yang lalu saya tak sekedar belajar dasar-dasar
keislaman, saya mulai belajar apa itu percaya diri, belajar berteman,
belajar banyak hal yang saya tak tahu, bahkan saya masih ingat secara detail
ketika saya pertama kali belajar penempatan kata "di" yang mana itu adalah
pelajaran B. Indonesia yang kebetulan pengajarnya adalah salah satu
penggerak "sekolah minggu", seorang wartawan senior dari Republika. Orang
yang sampai sekarang masih selalu saya anggap guru, yang mungkin tanpa ia
sadari banyak ilmu yang telah diberikan beliau, semoga Allah merahmatinya
(pak Haji.. lama tak bersua.. kapan-kapan saya pengen diskusi lagi). Semua
itu saya pelajari di masjid. Tempat yang harusnya memang dijadikan pusat
pengembangan ilmu baik ilmu islam, ilmu social, pengembangan karakter dan
ilmu yang juga berhubungan dengan keperluan keduniawian.
Di Halmahera timur ini, hampir setiap hari minggu sore saya mengunjungi satu
masjid tepat di depan pantai dimana suara ombak jelas terdengar, dan tak
jarang saya temukan pelangi setelah hujan. Awalnya saya sekedar mencari
inspirasi untuk beberapa tulisan saya, lama-kelamaan ada satu kerinduan yang
kembali muncul. Kerinduan untuk menuntut ilmu dan menyemarakkan masjid
sebagai pusat ilmu.
Untuk menyambut ramadhan kali ini, panitia menyelenggarakan "ramadhan for
kids" yang diadakan oleh BKM salah satu perusahaan yang ada di Halmahera
Timur ini. Panitia pun sempat heran ternyata peserta yang mendaftar untuk
perlombaan ini membludak. Saya hanya bertugas untuk mendampingi para siswa
yang sekolahnya jadi binaan kantor saya.
Mulut-mulut mungil itu melantunkan surah-surah pendek, mulut mungil itu
merapal do'a sehari-hari, alunan suara adzan yang menggetarkan, puisi-puisi
islami yang mendamaikan, da'I dan da'iah berdakwah dengan semangat, dan
lenggok-lenggok memberi salam di antara peragaan busana.
Khusus untuk peragaan busana, awalnya saya agak kurang bersemangat untuk
melatih mereka, pasalnya saya merasa tak ahli sama sekali di bidang itu,
namun karena beberapa orang berharap saya tak sekedar menyemangati mereka
tapi juga melatihnya, saya ajarkan dasarnya saja, dan merombak music untuk
di catwalk nanti.
Awalnya saya agak skeptis tentang perlombaan peragaan busana, namun setelah
saya tilik, ada pelajaran yang saya dapat. Tidak sekedar lenggak-lenggok
layaknya berjamurnya peragaan busana di mall-mall besar di pusat kota.
Karena acara-acara pengembangan bakat seperti ini, menurut para orang tua,
baru tahun-tahun terakhir dilaksanakan di sini. Yang menyadarkan para orang
tua dan guru, akan bakat-bakan yang terpendam di jiwa anak-anak kecil itu.
Terlebih untuk membangun rasa percaya diri.
Di antara para peserta yang difasilitasi oleh orangtuanya, bahkan
disediakan baju-baju muslim yang diimport dari Makassar, saya malah belajar
banyak dari gadis cilik penjual pisang goreng. Gadis cilik kelas 5 SD yang
memiliki mata yang indah itu sempat tak PD untuk mengikuti lomba peragaan
busana muslim itu, walaupun dari wajahnya terlihat ia menginginkan sekali.
Gadis kecil penjual pisang itu sebenarnya bukan karena tak pede secara
kemampuan tapi karena tak punya baju muslim yang baginya cocok untuk
dikenakan dalam peragaan busana itu. Alhamdulillahnya ada orang yang
berkenan hati meminjamkan stelan semi kebaya yang panjang dan menutupi
aurat. Dengan senyum manisnya, ia berhasil memenangkan salah satu kategori
di lomba kali itu. Saya belajar proses, saya belajar tekad dan usaha dari
gadis cilik penjual pisang itu. Terlebih saya belajar tak perlu bersedih
akan keterbatasan yang dimiliki.
Dari rangkaian kegiatan itu juga semakin menggetarkan hati saya merindui
masjid. Dan saya berharap semoga mereka yang telah dekat dengan masjid akan
kembali "membangun" masjid. Semoga..
"Masjid, masjid here I come.."
Hari pertama Ramadhan di Perntauan
8/01/2011
Halmahera Timur
- 2b.
-
Re: [Catcil Ramadhan] Saya, Masjid, dan Gadis Penjual Goreng Pisang
Posted by: "novikhansa@gmail.com" novikhansa@gmail.com
Fri Aug 5, 2011 12:42 am (PDT)
Indahnyaaaa :)
Tfs ya, ni....
Aku jadi ingat pengalaman2ku di masjid dekat rumah. Masa kecil jadi peserta, ikut lomba sampai akhirnya mengajar dan jadi panitia pesantren kilat.
Tp sayang, tahun ini nggak jelas :(
Doakan moga ada, hehe
Powered by Telkomsel BlackBerry®
-----Original Message-----
From: "Nia Robie'" <musimbunga@gmail.com >
Sender: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com
Date: Fri, 5 Aug 2011 15:38:01
To: sekolah kehidupan<sekolah-kehidupan@yahoogroups. >; <wordsmartcenter@com yahoogroups. >com
Reply-To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com
Subject: [sekolah-kehidupan] [Catcil Ramadhan] Saya, Masjid, dan Gadis Penjual Goreng Pisang
Pelangi di pantai seberang masjid :)
Saya percaya bahwa anak yang telah "dibesarkan masjid" akan "kembali" ke
masjid. Seberapapun lika-liku hidup yang ia jalani, seberapapun buruknya
pelajaran kehidupan yang telah ia hadapi, seberapun cobaan mengikis
kepolosan.. minimal ada rasa ingin kembali.. ingin kembali..
masjid-masjid aku datang
damai tenteram di kalbu
di dalammu kurasakan
belai kasih ilahi..
Lagu Neno Warisman yang dulu semasa SD/SMP begitu akrab di telinga
mengingatkan diri ketika kaki ini cukup gemetar menaiki panggung di depan
pelataran masjid sekedar untuk melantunkan surah pendek. Masa di mana saya
belajar dasar-dasar islam dalam "sekolah minggu" yang pernah diselenggarakan
oleh para pemuda masjid, tempat di mana tercurahnya pemikiran, dan tenaga
orang-orang yang peduli dengan pendidikan keislaman baik para pemuda,
pengurus masjid, atau orang-orang yang peduli dengan pendidikan dan generasi
yang akan datang. Semoga Allah merahmati mereka semua. Aamiin.
Lebih dari 15 tahunan kejadian itu, tapi entah mengapa sampai saat ini masih
tetap mengakar di jiwa saya, ada satu bentuk kerinduan yang ajaibnya
menggerakkan kaki saya selalu ingin dekat dengan masjid, ingin menemukan
bentuk kemagisan spiritualisme yang ada di masjid, padahal jika ditilik
masjid hanya bangunan sederhana yang terdiri dari tembok-tembok, pondasi,
atap, dan lambang bulan sabit dan bintang di atasnya. Semua adalah benda
mati, tapi justru menjadi penggerak dan salah satu tempat penghubung
makhluk hidup untuk menujuNya. Dengan itu, saya tak bisa bilang bahwa masjid
hanya sebuah benda mati. Justru lebih dari itu.
Lebih dari 15 tahun yang lalu saya tak sekedar belajar dasar-dasar
keislaman, saya mulai belajar apa itu percaya diri, belajar berteman,
belajar banyak hal yang saya tak tahu, bahkan saya masih ingat secara detail
ketika saya pertama kali belajar penempatan kata "di" yang mana itu adalah
pelajaran B. Indonesia yang kebetulan pengajarnya adalah salah satu
penggerak "sekolah minggu", seorang wartawan senior dari Republika. Orang
yang sampai sekarang masih selalu saya anggap guru, yang mungkin tanpa ia
sadari banyak ilmu yang telah diberikan beliau, semoga Allah merahmatinya
(pak Haji.. lama tak bersua.. kapan-kapan saya pengen diskusi lagi). Semua
itu saya pelajari di masjid. Tempat yang harusnya memang dijadikan pusat
pengembangan ilmu baik ilmu islam, ilmu social, pengembangan karakter dan
ilmu yang juga berhubungan dengan keperluan keduniawian.
Di Halmahera timur ini, hampir setiap hari minggu sore saya mengunjungi satu
masjid tepat di depan pantai dimana suara ombak jelas terdengar, dan tak
jarang saya temukan pelangi setelah hujan. Awalnya saya sekedar mencari
inspirasi untuk beberapa tulisan saya, lama-kelamaan ada satu kerinduan yang
kembali muncul. Kerinduan untuk menuntut ilmu dan menyemarakkan masjid
sebagai pusat ilmu.
Untuk menyambut ramadhan kali ini, panitia menyelenggarakan "ramadhan for
kids" yang diadakan oleh BKM salah satu perusahaan yang ada di Halmahera
Timur ini. Panitia pun sempat heran ternyata peserta yang mendaftar untuk
perlombaan ini membludak. Saya hanya bertugas untuk mendampingi para siswa
yang sekolahnya jadi binaan kantor saya.
Mulut-mulut mungil itu melantunkan surah-surah pendek, mulut mungil itu
merapal do'a sehari-hari, alunan suara adzan yang menggetarkan, puisi-puisi
islami yang mendamaikan, da'I dan da'iah berdakwah dengan semangat, dan
lenggok-lenggok memberi salam di antara peragaan busana.
Khusus untuk peragaan busana, awalnya saya agak kurang bersemangat untuk
melatih mereka, pasalnya saya merasa tak ahli sama sekali di bidang itu,
namun karena beberapa orang berharap saya tak sekedar menyemangati mereka
tapi juga melatihnya, saya ajarkan dasarnya saja, dan merombak music untuk
di catwalk nanti.
Awalnya saya agak skeptis tentang perlombaan peragaan busana, namun setelah
saya tilik, ada pelajaran yang saya dapat. Tidak sekedar lenggak-lenggok
layaknya berjamurnya peragaan busana di mall-mall besar di pusat kota.
Karena acara-acara pengembangan bakat seperti ini, menurut para orang tua,
baru tahun-tahun terakhir dilaksanakan di sini. Yang menyadarkan para orang
tua dan guru, akan bakat-bakan yang terpendam di jiwa anak-anak kecil itu.
Terlebih untuk membangun rasa percaya diri.
Di antara para peserta yang difasilitasi oleh orangtuanya, bahkan
disediakan baju-baju muslim yang diimport dari Makassar, saya malah belajar
banyak dari gadis cilik penjual pisang goreng. Gadis cilik kelas 5 SD yang
memiliki mata yang indah itu sempat tak PD untuk mengikuti lomba peragaan
busana muslim itu, walaupun dari wajahnya terlihat ia menginginkan sekali.
Gadis kecil penjual pisang itu sebenarnya bukan karena tak pede secara
kemampuan tapi karena tak punya baju muslim yang baginya cocok untuk
dikenakan dalam peragaan busana itu. Alhamdulillahnya ada orang yang
berkenan hati meminjamkan stelan semi kebaya yang panjang dan menutupi
aurat. Dengan senyum manisnya, ia berhasil memenangkan salah satu kategori
di lomba kali itu. Saya belajar proses, saya belajar tekad dan usaha dari
gadis cilik penjual pisang itu. Terlebih saya belajar tak perlu bersedih
akan keterbatasan yang dimiliki.
Dari rangkaian kegiatan itu juga semakin menggetarkan hati saya merindui
masjid. Dan saya berharap semoga mereka yang telah dekat dengan masjid akan
kembali "membangun" masjid. Semoga..
"Masjid, masjid here I come.."
Hari pertama Ramadhan di Perntauan
8/01/2011
Halmahera Timur
Need to Reply?
Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Individual | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar