Sabtu, 27 Agustus 2011

[daarut-tauhiid] Catatan Ramadhan 7 : Bukan Orang Gagal

 


Catatan Ramadhan 7 : Bukan Orang Gagal
 
Pulang kampung, nampaknya sudah menjadi tradisi yang bagi
sebagian orang mendekati kewajiban jika hari-hari Ramadhan tinggal hitungan
jari. Segala persiapan dilakukan, berbagai bekal disiapkan untuk hajatan besar
tingkat nasional, bahkan internasional ini. Mulai dari para pemudik itu sendiri,
sampai pemerintah dari tingkat daerah hingga pusat ikut dibuat sibuk menyiapkan
segala hal demi menjamin semuanya berjalan lancar. Bahkan berbagai pihak
korporat pun tak ketinggalan ikut ambil bagian dalam program tahunan ini,
termasuk nyaris semua stasiun televisi dan media cetak mau tidak mau menjadikan
"Pulang Kampung" sebagai berita utamanya.
 
Secara pribadi, sebagian besar para pemudik sudah
merencanakan pulang kampung sejak jauh hari. Ada yang menyiapkan sejak lama,
karena sudah lama tidak pulang kampung. Ada yang memang setiap tahun tak pernah
absen menengok tanah kelahiran, namun ada juga yang hingga belasan tahun tidak
pulang-pulang. "Tahun ini harus pulang!" ucap salah seorang teman yang sudah tiga
lebaran tidak pulang kampung. Ternyata Bang Thoyib tidak sendirian, banyak yang
meninggalkan keluarganya di kampung dan tidak pulang-pulang dengan berbagai
alasan. Mulai dari yang sama sekali tidak punya ongkos pulang kampung, sampai
alasan "belum jadi orang sukses" sebagai pengikat kakinya untuk tak melangkah
pulang, meski hatinya menjerit kencang ingin pulang.
 
Berbagai rasa beraduk saat menyiapkan pulang kampung. Ada
yang sudah senyum-senyum sendirian berhari-hari menjelang pulang kampung, entah
karena rasa kangennya dengan kampung halamannya atau seseorang yang telah lama
menantinya kembali. Ada yang terharu tak tahan menahan tetesan air mata
bahagianya, karena sebentar lagi bertemu dengan orang tuanya yang sekian lama
ditinggalkan. Ia tahu, sejauh apapun ia, orang tuanya selalu melayangkan doa
untuknya. Ada yang tak tertahankan rindunya untuk mengenang kembali masa-masa
indah di kampungnya, membajak sawah dan memanggul padi hasil panen bersama
Bapak, pergi ke Surau menjelang maghrib bersama teman-teman sepermainan, tidur
di teras rumah beralas papan di pangkuan ibu sambil mendengarkan dongeng
ditemani suara jangkrik bersahutan. Tetapi ada pula yang tahun ini akhirnya
memberanikan diri pulang kampung, sambil berharap orang-orang di kampung sudah
bisa memaafkannya atas kesalahan yang pernah ia perbuat di masa lalu.
 
Berbagai bekal pun disiapkan. Tak hanya mempercantik diri
dengan penampilan yang baru, berbagai oleh-oleh pun disiapkan untuk sanak famili,
saudara, kerabat, sahabat, tetangga, teman-teman sekolah dulu. "Pulang kampung
nanti, saya harus buktikan bahwa saya berhasil hidup di kota," ujar seorang
teman yang lain. Ya, memang seperti ada tuntutan tak resmi dari orang-orang di
kampung bahwa setiap saudara, kerabat, keluarga, sahabatnya yang pergi merantau
ke kota, maka keberhasilan dan kesuksesan harus menjadi tujuannya. Dan lebih
sempit lagi, kesuksesan yang dimaksud tidak lain adalah kekayaan. Berbagai cerita
dari desa dan kampung pun kerap kita dengar, mereka yang pulang kampung
diharapkan untuk 'Berbagi', mulai dari berbagi rezeki sampai sekadar berbagi
cerita; tentang kota dan kehidupannya, tentang pengalaman dan suka dukanya
selama merantau.
 
Anak rantau yang pulang kampung, dikerubungi
teman-temannya untuk minta ditraktir. "ingin merasakan rezeki dari kota,"
begitu alasannya. Karena itulah, ada orang-orang yang jadi mikir berkal-kali
untuk pulang kampung, khawatir dianggap sebagai orang gagal kalau tidak
bagi-bagi rezeki. Jadilah, meski hidup susah di kota, pas-pasan bahkan selalu
kekurangan, namun kalau pulang kampung segalanya dibuat ada. Mulai dari cerita
yang mengada-ada, seperti tinggal dikontrakan bilangnya punya kontrakan. Bilang
kerja di Bank, ternyata cuma office boy di Bank, mengaku tinggal di rumah mewah
padahal ia hanya pembantu, pernah kirim foto dirinya dengan mobil mewah,
padahal itu mobil majikannya. Ada pula yang pernah kirim fotonya bersama artis,
mengaku kenal dekat dengan artis yang lagi ngetop itu, padahal cuma ketemu dan
beruntung bisa foto bareng saat jumpa fans.
 
Mengada-adanya sampai ada yang berlebihan. Pulang kampung
bawa mobil sendiri hasil sewaan, di kampung mengakunya mobil sendiri. Bawa oleh-oleh
dari kota, dibagi-bagi ke orang sekampung sambil mikir nanti balik ke kota
bingung bayar hutangnya. Segala aksesoris "orang kota" bak lengket di tubuhnya.
Perhiasan dari leher ke kaki, tak perlu orang tahu semua hasil pinjaman. Pamer laptop
dan BlackBerry hasil kreditan, untuk menambah keyakinan orang-orang di kampung
bahwa dirinya memang orang sukses di kota.
 
Semua itu rela dilakukan oleh sebagian pemudik, hanya
untuk sebuah anggapan di kampung bahwa keputusannya untuk merantau
bertahun-tahun silam adalah keputusan terbaik yang pernah dibuatnya. Untuk mematahkan
anggapan bahwa kehidupan di desa lebih baik daripada di kota, untuk membuktikan
kepada semua orang di kampung bahwa tidak semua orang yang merantau akhirnya
kembali ke kampung dengan tangan hampa dan kegagalan. Ya, semua demi satu
anggapan bahwa dirinya bukanlah orang gagal!
 
Semua kepalsuan dari kota mungkin saja bisa menipu
keluguan dan kepolosan orang-orang di kampung, mulai dari orang tua sampai
teman-teman di masa kecil. Meski tidak jarang yang akhirnya semuanya akan
terbongkar, seiring bersama sahabat atau kerabat lainnya yang menyusul ke kota
untuk mencoba mengadu nasibnya, bermimpi menjadi orang sukses seperti yang ia
lihat dari sahabatnya saat pulang kampung.
 
Tetapi itu semua hanya boleh berlaku selama pulang
kampungnya masih di dunia. Kalau sudah pulang ke kampung akhirat, ceritanya
jadi lain. Apakah sudah cukup bekal yang akan kita bawa? Bagaimana persiapan
kita menuju kesana? Tidak ada kepalsuan yang bisa kita tampilkan di kampung
akhirat, tidak ada yang bisa ditipu. Semua tergantung amal ibadah kita selama di
dunia. Meski demikian, pulang kampung di dunia dan pulang kampung akhirat punya
satu kesamaan, yakni kita tidak mau dicap sebagai orang gagal! Kalau cuma jadi
orang gagal di dunia, kita masih bisa perbaiki. Tetapi kalau sudah dianggap
gagal di hadapan Allah nanti. Tak selamatlah kita. Naudzubillaahi min dzalik
(Gaw, yang masih kurang bekal ke kampung akhirat)
 
  
Bayu Gawtama

LifeSharer
SOL - School of Life

085219068581 - 087878771961

twitter:
@bayugawtama

@schoolof_life

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE
A bad score is 598. A bad idea is not checking yours, at freecreditscore.com.
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: