Sabtu, 27 Agustus 2011

[daarut-tauhiid] Sejarah Nasional Indonesia adalah Sejarah Islam

Sejarah Nasional Indonesia adalah Sejarah Islam

Thursday, 23 June 2011 22:51

Written by Tiar Anwar Bachtiar

Sudah menjadi permakluman bersama di manapun, termasuk di Indonesia, sebuah
pengajaran "Sejarah Nasional" ditujukan untuk meyakinkan warga negaranya
bahwa negara yang menjadi tempat hidup mereka adalah sebuah negara yang sah
dan layak untuk diberi dukungan sepenuhnya. Pembelaan dan dukungan terhadap
negara atau "nasionalisme" merupakan buah yang ingin diperoleh dari
pengajaran sejarah.

Di Indonesia keinginan ini terlihat dalam kurikulum pengajaran sejarah sejak
pelajaran sejarah Indonesia ditetapkan sekitar tahun 1950-an. Terakhir,
dalam standar isi pelajaran yang diterbitkan BNSPI (Badan Nasional
Standarisasi Pendidikan Indonesia) melalui Kepmen No. 22 tahun 2006
disebutkan tujuan pengajaran sejarah antara lain untuk: menumbuhkan
pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia
melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa
yang akan datang; dan menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai
bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air
yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional
maupun internasional. (tujuan pelajaran sejarah untuk SMA no. 4 dan 5).

Tujuan seperti di atas memang wajar dikehendaki oleh suatu Negara. Akan
tetapi, dalam kasus Indonesia, yang menjadi persoalan justru pada perumusan
apa yang dimaksud dengan "Indonesia". Isi pelajaran sejarah Indonesia yang
semestinya dapat menjawab pertanyaan tersebut selama ini ternyata gagal
memberikan makna ke-Indonesia-an bagi seluruh warga bangsa. Makna
"Indonesia" yang diciptakan dalam buku-buku pelajaran sejarah justru
mengesankan permusuhan bagi sebagian kelompok di negeri ini.

Contoh yang paling nyata adalah mengenai peran Islam dan umat Islam dalam
pembentukan Indonesia. Dalam standar kompetensi dan komptensi dasar yang
dibuat BNSPI, peran Islam hanya dibahas di kelas XI Semester 1 sub bagian
1.3 dan 1.4 setelah penjelasan mengenai Hindu-Budha pada sub-bagian 1.1 dan
1.2. Pembahasannya diletakan di bawah bagian analisis perjalanan bangsa
Indonesia pada masa negara-negara tradisional.

Di kelas XI Semester 2, secara atraktif dan panjang lebar dibahas mengenai
pengaruh Barat dan sejarah dunia pada perkembangan Indonesia. Selanjutnya di
kelas XII semester 1 dan 2, peristiwa-peristiwa yang telah diceritakan
kemudian dibingkai dengan pengaruh Barat. Sedangkan peran Islam dan umat
Islam tidak terlalu banyak disinggung, baik pada periode kolonial,
kebangkitan nasional, perjuangan kemerdekaan, ataupun pada saat perumusan
konstitusi jaman pra-Orde Baru yang sangat kental pertentangan ideologinya
(baca: Islam vs nasionalis-sekuler).

Setting kurikulum semacam ini seolah mengisyaratkan bahwa setelah era
kerajaan-kerajaan Islam sebagai kekuasaan tradisional, tidak ada lagi kisah
tentang "Islam". Kalaupun beberapa kisah organisasi Islam diselip-selipkan,
seperti keberadaan Sarekat Islam, Masyumi, Muhammadiyah, NU, dan PPP, sama
sekali tidak mengisyaratkan adanya peran "Islam" bagi bangsa Indonesia.
Seolah-olah keberadaan organisasi-organisasi Islam ini hanya menjadi
pelengkap penderita dalam Indonesia baru yang 'dimenangkan' oleh kaum
nasionalis-sekuler, baik secara politik maupun kebudayaan. Sekalipun mereka
Muslim, tetapi mereka sudah setuju dengan Indonesia yang sekuler!

Perhatikan bagaimana momen-momen dalam pembentukan Indonesia diabaikan tanpa
makna seperti terumuskannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan perdebatan 18
Agustus 1945 yang akhirnya melahirkan Pancasila sebagai dasar negara.
Kurikulum kita seolah ingin mengubur ingatan bangsa, bahwa perdebatan yang
muncul saat Indonesia hendak berdiri adalah perdebatan yang didorong oleh
pemikiran keagamaan, dalam hal ini Islam. Bagaimana akhirnya kompromi
dicapai justru bukan antara kelompok sekuler vs sekuler, melainkan antara
kelompok sekuler vs kelompok Islam. Bahkan bila ditelisik, kompromi ini
mengarah kepada diakomodasinya kepentingan umat Islam secara luas seperti
tercermin dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pada saat menceritakan peristiwa-peristiwa
pembangkangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok agama, justru menohok
Islam. DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) disebut secara
terang-terangan tanpa penjelasan memadai mengenai konteks politik
kemunculannya sehingga ditemukan kewajarannya. Demikian pula pada kasus PRRI
yang banyak didukung oleh mantan aktivis Masyumi. Padahal, baik Kartosuwiryo
maupun aktivis Masyumi yang tergabung dalam PRRI seperti M. Natsir, adalah
para tokoh yang berdarah-darah mendirikan dan memperjuangkan Indonesia. Akan
tetapi,* setting* kurikulum saat ini justru memojokkan Kartosuwiryo dan M.
Natsir sebagai "penjahat" karena dianggap terlibat dalam gerakan
"pemberontakan", tanpa analisis mendalam untuk mendudukan secara adil
posisinya dalam sejarah.

Disadari ataupun tidak, kurikulum tersebut telah memposisikan Islam yang
menjadi anutan mayoritas penduduk Indonesia sebagai trouble maker. Islam
tidak dilihat sebagai unsur terpenting dalam pembangunan bangsa. Padahal
sepanjang sejarah modern Indonesia; baik secara budaya, sosial, ekonomi,
maupun politik; peran Islam dan umat Islam begitu besar dalam
memperjuangkan, mendirikan, memepertahankan, dan membangun bangsa ini. Pada
saat yang sama, anasir-anasir sekular- baik dalam wujud ide maupun gerakan-
justru dianggap sebagai pihak yang paling "benar" dan paling berhak atas
Indonesia.

Dengan pola kurikulum seperti itu, secara halus siswa seolah diajarkan bahwa
menjadi Islam tidak bisa bersamaan menjadi "Indonesia" karena Islam di
Indonesia adalah pengacau, pemberontak, dan bahkan teroris. Umat Islam yang
ingin menjadi muslim yang kâffah justru termajinalkan dan tersingkir dari
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga negara perlu melakukan
intropeksi diri apabila kemudian bermunculan gerakan-gerakan berjejaring
internasional- yang mengatasnamakan Islam- dan tidak terlampau senang untuk
sepenuhnya menjadi Indonesia. Bila jaman Muhammad Yamin, menjadi Indonesia
berarti harus ke-Hindu-Hindu-an, sementara sejak era Suharto hingga saat
ini, menjadi Indonesia berarti harus menjadi "sekuler".

Nasionalisme Indonesia yang dibangun di atas nilai sekularisme akan sangat
merugikan bangsa ini. Sekularisme tidak pernah memberikan nilai terdalam
bagi tindakan seseorang. Ujung dari sekularisme hanyalah pragmatisme
kebendaan. Oleh sebab itu, tidak heran bila kemudian lahir generasi-generasi
pragmatis "tanpa nilai" yang hanya peduli dengan Indonesia bila secara
materi menguntungkan. Bila tidak, tanpa rasa menyesal mereka akan katakan, *Go
to hell Indonesia!*, kemudian menghalalkan berbagai cara untuk memperkaya
diri walaupun harus mengeksploitasi kekayaan negeri ini dan mengorbankan
kepentingan bangsanya.

Sekularisme juga telah membuka kotak Pandora hubungan antar-agama di
Indonesia. Setelah sekularisme ditahbiskan menjadi dasar, mau tidak mau,
hubungan antar-agama pun harus didefiniskan mengikuti selera sekuler.
Pluralisme yang berakar pada tradisi filsafat perennial kemudian menjadi
pilihan. Filsafat perennnial sangat bertentangan dengan doktrin atau
kepercayaan umat beragama dalam meletakkan posisi agama mereka. Maka tidak
mengherankan bila pluralisme-sekuler mendapat tentangan keras dari berbagai
tokoh agama. Representasi mayoritas pemimpin Muslim di MUI kemudian harus
turun tangan mengeluarkan fatwa haram Pluralisme, Sekularisme, dan
Liberalisme pada tahun 2005.

Sesungguhnya, apabila akar kebudayaan bangsa ini dikembalikan pada fakta dan
realitas bahwa Islam sebagai *way of life*, telah terbukti mampu menorehkan
tinta emas dalam sejarah peradaban Indonesia dan dunia, tentulah hal-hal
seperti di atas tidak perlu terjadi. Keberadaan Islam sebagai kekuatan
mayoritas di negeri ini pun akan menjadi konstruktif dalam membangun makna
ke-Indonesiaan sehingga tidak perlu lagi berbenturan dengan masalah
keyakinan. Dengan begitu, Islam akan tampil sebagai kekuatan raksasa yang
diharapkan mampu menjadi penopang utama pembangunan bangsa ini.

Sudah saatnya kita mendefinisikan kembali makna "keindonesiaan" dengan
menyertakan unsur terpenting dalam sejarah Indonesia, yaitu Islam. Islam
sebagai tata nilai dan agama yang dianut mayoritas bangsa ini, harus
'dibunyikan' lebih nyaring daripada Sekularisme yang sama sekali tidak
memiliki akar dalam tradisi dan budaya Indonesia. Bukankah sekularisme yang
datang ke negeri ini adalah anak kandung dari "kolonialisme" yang justru
kita caci bersama sebagai salah satu faktor yang membuat bangsa ini sengsara
? Lalu mengapa induknya kita tolak, tapi turunannya kita biarkan
hidup? *Wallâhu
A'lam. *

http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=256:sejarah-nasional-indonesia-adalah-sejarah-islam&catid=13:tiar-anwar-bachtiar


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: