Jumat, 20 April 2012

[daarut-tauhiid] Adian Husaini: “Memperjelas Posisi Hamka soal Pluralisme Agama”

---------- Forwarded message ----------
From: Koran Digital <korandigital@gmail.com>



Jum'at, 20 April 2012

Oleh: Dr. Adian Husaini

BELUM lama, pada 20 Maret 2012, salah satu peneliti INSISTS, Akmal Syafril,
ST., M.Pd.I., menerbitkan bukunya yang berjudul Buya Hamka: Antara
Kelurusan 'Aqidah dan Pluralisme. Buku ini sebenarnya merupakan Tesis
Master Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Penerbitan buku
ini sangat penting untuk menjernihkan dan mempertegas pemikiran Buya Hamka
tentang Pluralisme Agama.

Menurut penulisnya, pada awalnya penulisan buku ini bersumber dari sebuah
makalah yang dibuatnya saat sedang mengikuti studi di Program Pascasarjana
Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor. Isinya mengulas
sebuah artikel karya Ahmad Syafii Maarif yang dimuat di Rubrik Resonansi,
surat kabar Republika, edisi 21 November 2006, yang diberi judul "Hamka
Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah".

Sebagian besar isinya adalah kutipan-kutipan dari Tafsir Al Azhar karya
Buya Hamka. Di bagian awalnya, Syafii Maarif menjelaskan alasan di balik
penelitiannya terhadap kedua ayat ini: "Pada suatu hari bulan November 2006
datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang
bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata
jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa
tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana."

Di antara berbagai kutipan Tafsir Al Azhar dari artikel tersebut, inilah
salah satunya yang nampaknya paling penting: "Inilah janjian yang adil dari
Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka
hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka
masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan
dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu."

Setelah menjelaskan bahwa Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa ayat
ke-62 dalam Surah al-Baqarah telah di¬-nasakh oleh ayat ke-85 dalam Surah
Ali 'Imran, Syafii Maarif pun memungkas artikelnya dengan opini berikut:
"Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah
telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali 'Imran adalah sebuah keberanian
seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa
saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling
menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci
di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan
Al-Quran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Al-Quran (lih.
al-Baqarah 256; Yunus 99)."

Memang, setelah keluarnya tulisan Syafii Maarif tersebut, terjadi
perdebatan yang cukup seru di Rubrik Opini Harian Republika. Saya pun
segera menulis artikel yang menjawab artikel Syafii Maarif tersebut.
Intinya, saya menegaskan, bahwa Buya Hamka sama sekali bukan seorang
Pluralis Agama. Perlu dicatat, bahwa Pluralisme Agama, dalam CAP ini adalah
paham yang menyatakan bahwa semua agama merupakan jalan yang sah menuju
inti realitas keagamaan. Dalam Pluralisme agama, tidak ada satu agama yang
merasa superior dibanding yang lain. Tapi, setiap agama dipandang sebagai
jalan yang sama-sama sah menuju kebenaran dan Tuhan (In pluralism, no one
religion is superior to any other; each and every religion is equally valid
way to truth and God). (Alister E. Mcgrath, Christian Theology: an
Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994).

Menurut Akmal, dalam makalahnya, ia mengaku menemukan beberapa kesalahan
fatal yang telah dilakukan oleh Syafii Maarif dalam pengutipan Tafsir Al
Azhar tersebut, terlepas dari ada-tidaknya unsur kesengajaan.

Kesalahan pertama, adalah perihal penggunaan kedua ayat tersebut yang jauh
dari konteks aslinya. Syafii Maarif – dan sang Jenderal Polisi yang
berkonsultasi dengannya – menganggap bahwa kedua ayat ini dapat digunakan
untuk menanggulangi konflik horizontal di Poso. Dari paragraf kesimpulan
yang ditulis oleh Syafii Maarif sebelumnya, kita dapat memahami bahwa
konflik horizontal yang dimaksud adalah konflik antar umat beragama. Karena
digali dari al-Qur'an, maka dapat dipahami pula bahwa penelaahan ini
digunakan untuk meredam keinginan sementara pihak di kalangan umat Muslim
untuk melakukan kekerasan pada umat lain.

Padahal, tegas Akmal, jika Tafsir Al Azhar dibaca secara runut, akan
ditemukan asbabun nuzul dari ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah itu, yakni
untuk menjawab pertanyaan Salman al-Farisi r.a. seputar orang-orang sholeh
yang dijumpainya di masa lampau, sedangkan orang-orang tersebut beragama
Nasrani, Yahudi dan lain-lain. Kesalahan kontekstual ini akan terlihat
jelas kemudian.

Kesalahan kedua disebabkan oleh kelengahan Syafii Maarif untuk melacak
penjelasan nama-nama agama "Yahudi", "Nasrani" dan "Shabi'in" dalam Tafsir
Al Azhar. Padahal, Buya Hamka sudah menjelaskan masalah ini. Menurut Hamka,
"Yahudi" (berasal dari nama Yehuda, salah satu anak Nabi Ya'qub as) pada
hakikatnya adalah agama-keluarga, "Nasrani" (berasal dari nama Nashirah,
yaitu daerah kelahiran Nabi 'Isa as) pada hakikatnya adalah agama-bangsa,
dan "Shabi'in" adalah nama yang diberikan bagi orang yang keluar dari agama
nenek moyangnya, sehingga Nabi Muhammad Shallahu 'Alaihi Wassalam pun
pernah disebut sebagai shabi'.

Dengan definisi tersebut, maka orang yang terlanjur dikenal sebagai Yahudi,
Nasrani dan Shabi'in di masa lampau (yaitu sebelum masa kenabian Rasulullah
saw) bisa beriman dan tak beriman. Contoh yang dapat diambil adalah Pendeta
Bahira. Sejarah mengenalnya sebagai tokoh yang pertama kali membenarkan
kenabian Muhammad Shallahu 'Alaihi Wassalam berdasarkan tanda-tanda yang
diketahuinya dari Injil, dan oleh karena itu, ia dikategorikan sebagai
orang yang beriman.

Meski demikian, Bahira tetaplah dikenal sebagai penganut agama Nasrani,
karena memang ia tidak sempat mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Tentu saja,
Bahira dapat dianggap sebagai Nasrani yang beriman hanya karena ia hidup
pada masa pra-kenabian Rasulullah saw. Jika ia sempat bertemu dengan dakwah
Rasulullah, tentu ia harus mengucap syahadatain, dan hanya dengan cara
itulah ia bisa dianggap sebagai orang yang beriman. Hal ini akan semakin
jelas pada poin berikutnya.

Kesalahan ketiga – mungkin yang paling fatal – adalah tidak dicantumkannya
sebuah paragraf penting yang dapat ditemukan di akhir penjelasan ayat ke-62
dalam Surah al-Baqarah dalam Tafsir Al Azhar yang justru menyimpulkan
pendapat Buya Hamka yang sebenarnya secara utuh. Penjelasannya adalah
sebagai berikut: "Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu
percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau
telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar
menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun
mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak."

Umumnya, kesimpulan dari sebuah uraian ilmiah, termasuk penafsiran
al-Qur'an, dapat dijumpai di bagian akhirnya. "Dengan menyimak betapa
pentingnya penjelasan di atas, kita pun bertanya-tanya mengapa Syafii
Maarif justru memilih untuk meninggalkan penjelasan ini, yang – jika
dicantumkan – akan segera menghapus kesan pluralis dari sosok Buya Hamka
dalam artikel tersebut?" tulis Akmal, yang sebelumnya sudah dikenal sebagai
penulis buku "Islam Liberal 101". .

Opini dan kesan bahwa 'Buya Hamka seorang pluralis', bagaimana pun, telah
terlanjur bergulir. Hanya berselang enam hari dari dimuatnya artikel Syafii
Maarif tentang Tafsir Al Azhar di surat kabar Republika, Ayang Utriza NWAY
menyampaikan makalahnya dalam acara diskusi publik bertajuk Islam dan
Kemajemukan di Indonesia. Diskusi publik tersebut diadakan sebagai
rangkaian kegiatan dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture di sebuah
Perguruan Tinggi di Banten. Makalah yang dibawakannya berjudul "Islam dan
Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah". Dalam makalahnya, Ayang bahkan
telah melangkah lebih jauh lagi daripada Syafii Maarif. Setelah mengutip
beberapa poin dalam Tafsir Al Azhar – lagi-lagi untuk QS. al-Baqarah [2]:
62 – Ayang menyimpulkan:

"Ini berarti bahwa walaupun seseorang mengaku beragama Islam, yang hanya
bermodalkan dua kalimat syahadat, tetapi tidak pernah menjalankan rukun
Islam, maka ia tidak akan pernah mendapat ganjaran dari Allah, yaitu surga.
Sebaliknya jika ada non-Muslim yang taat dan patuh menjalankan ajaran
agamanya, walaupun tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia akan
mendapatkan ganjaran dari Allah: surga."

Menurut Akmal, tidaklah sulit menunjukkan kesalahan (untuk tidak
menyebutnya ketidakjujuran) fatal yang dilakukan oleh Ayang Utriza NWAY.
Saya pribadi (Adian Husaini) juga menemukan tulisan Ayang Utriza yang
menfitnah Buya Hamka dalam buku Bayang-bayang Fanatisisme: Esei-esei untuk
Mengenang Nurcholish Madjid, (Jakarta: Universitas Paramadina, 2007).
Kutipan makalah Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas
Paramadina itu dimuat di halaman 307.

Saya sudah menulis jawaban terhadap tulisan Ayang tersebut untuk buku 100
Tahun Buya Hamka. Bahkan, saat bertemu keluarga Hamka, saya sampaikan
keprihatinan saya tentang tulisan-tulisan yang menfitnah Buya Hamka. Akan
tetapi, meskipun artikel dan makalah sudah kita tulis di berbagai media
massa, tetap saja pendapat yang mengutip tulisan Buya Hamka secara tidak
proporsional juga terus berkeliaran. Bahkan, hingga kini, tak ada koreksi
terhadap kekeliruan yang sudah dilakukan.

Dalam kaitan itulah, hadirnya buku Akmal ini menjadi penting. Fungsinya,
untuk memperjelas posisi Hamka dalam soal Pluralisme Agama dan membentengi
upaya orang-orang yang mengutip tulisan Hamka secara tidak proporsional
atau bahkan memuarbalikkan makna tulisan Hamka yang sebenarnya. Menurut
Akmal, itulah yang mendasarinya mengembangkan makalahnya menjadi sebuah
Tesis dengan judul Studi Komparatif Antara Pluralisme Agama dengan Konsep
Hubungan Antar Umat Beragama dalam Pemikiran Hamka. Sesuai dengan judulnya,
tesis ini tidak hanya membahas kontroversi dari artikel Syafii Maarif dan
makalah Ayang Utriza NWAY belaka, melainkan mengupas tuntas jawaban dari
sebuah pertanyaan besar: apakah Buya Hamka memang seorang pluralis? Buku
Buya Hamka: Antara Kelurusan 'Aqidah dan Pluralisme merupakan hasil
adaptasi dari tesis tersebut.

Persoalan paling fundamental yang pasti muncul ketika membahas pluralisme,
sebagaimana dijelaskan oleh Anis Malik Thoha dalam bukunya Tren Pluralisme
Agama, adalah mendefinisikan makna Pluralisme itu sendiri. Masing-masing
pihak yang mengusung pluralisme memiliki konsepnya sendiri-sendiri, bahkan
tidak jarang orang menulis sebuah makalah atau buku tentang pluralisme
tanpa pernah memberikan definisi pluralisme itu. Oleh karena itu, buku ini
pun menguraikan secara mendalam persoalan definisi pluralisme, sejarah
pluralisme dan tren-tren pluralisme yang ada. Hal-hal ini dijabarkan di
dalam bab ketiga.

Setelah menjelaskan tren-tren tersebut, bab keempat dalam buku ini
menguraikan argumen-argumen yang digunakan oleh kaum pluralis dari kalangan
Muslim, terutama dengan bersandar pada sejumlah ayat al-Qur'an. Pembahasan
ini cukup penting, selain karena posisi sentral al-Qur'an dalam ajaran
Islam, juga karena tokoh yang pemikirannya sedang dibahas – yaitu Buya
Hamka – adalah seorang mufassir. Dengan memperbandingkan penafsiran Hamka
dengan penjelasan ayat-ayat tersebut oleh kaum pluralis Muslim, kita bisa
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai persamaan dan/atau perbedaan cara
berpikir keduanya.

Karena pada masa hidup Buya Hamka dahulu istilah "pluralisme" belum
dikenal, maka penulis buku ini merasa perlu menguraikan konsep hubungan
antar umat beragama menurut Hamka ke dalam beberapa poin penting. Poin-poin
ini merupakan hal-hal yang sangat fundamental dalam gagasan pluralisme,
misalnya konsep agama, posisi Islam di antara agama-agama lainnya,
pandangan seputar aliran-aliran yang menyimpang, pengejawantahan toleransi
beragama, dan sebagainya.

Sebagai contoh, seorang pluralis pasti menganggap Islam sejajar dan tidak
lebih unggul daripada agama lainnya. Siapa pun yang berpikiran seperi itu,
maka ia memang seorang pluralis. Tetapi Hamka tidak berpikiran seperti itu.
Referensi yang telah ditinggalkan oleh Hamka begitu berlimpah, sehingga
usaha pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidaklah
sulit untuk dilakukan.

Walhasil, di tengah carut-marutnya pemikiran di Indonesia dewasa ini, buku
Buya Hamka: Antara Kelurusan 'Aqidah dan Pluralisme karya Saudara Akmal ini
cukup memberikan penjelasan tuntas seputar kesemrawutan konsep pluralisme.
Karya ini diharapkan mampu merangsang kembali minat para pemuda Muslim
untuk menggali kembali warisan intelektual dari Buya Hamka, dan juga dari
para cendekiawan Muslim terdahulu lainnya.

"Adapun seputar 'klaim pluralisme' terhadap pribadi Hamka, insya Allah
mereka yang sudah tuntas membaca buku ini tidak akan memiliki keraguan
lagi," tulis Akmal yang menyelesaikan sarjana S-1 nya di bidang civil
engineering di Institut Teknologi Bandung.

Semoga bermanfaat, dan kita menunggu terus karya-karya ilmiah yang bermutu
dari para pejuang Islam lainnya.*/Jakarta, 20 April 2012

Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana
Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan Akhir Pekan (CAP) bekerjasama
antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

http://www.hidayatullah.com/**read/22294/20/04/2012/%E2%80%**
9Cmemperjelas-posisi-hamka-**soal-pluralisme-agama%E2%80%**9D.html
<http://www.hidayatullah.com/read/22294/20/04/2012/%E2%80%9Cmemperjelas-posisi-hamka-soal-pluralisme-agama%E2%80%9D.html>

--


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: