Jumat, 06 April 2012

[daarut-tauhiid] Qadla' dan Qadar Allah

 

Qadla' dan Qadar Allah
 
Pendahuluan

Segala puji bagi Allah Ta'ala yang telah mengutus hambaNya Muhammad Shalallahu
'alaihi wassalam dengan membawa kebenaran, menyampaikan amanat kepada ummat dan
berjihad dijalanNya hingga akhir hayat. Semoga shalawat dan salam senantiasa
dilimpahkan kepada beliau, berikut para keluarga, shahabat dan pengikutnya yang
setia.

Dalam pertemuan ini, kami akan membahas suatu masalah yang kami anggap sangat
penting bagi kita umat Islam, yaitu masalah Qadha' dan Qadar. Mudah-mudahan
Allah Ta'ala membukakan pintu karunia dan rahmatNya bagi kita, menjadikan kita
termasuk para pembimbing yang mengikuti jalan kebenaran dan para pembina yang
membawa pembaharuan.

Sebenarnya masalah ini sudah jelas. akan tetapi kalau bukan karena banyaknya
pertanyaan dan banyaknya orang yang masih kabur dalam memahami masalah ini
serta banyaknya orang yang membicarakanya, yang kadangkala benar tetapi
seringkali salah; di samping itu tersebarnya pemahaman – pemahaman yang hanya
karena mengikuti hawa nafsu dan adanya orang –orang fasik yang berdalih dengan
qadha' dan qadar untuk kefasikannya; seandainya bukan karena itu semua, niscaya
kami tidak akan berbicara tentang masalah ini.

Sudah sejak duhulu masalah qadha' dan qadar menjadi ajang perselisihan di
kalangan umat Islam. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam
keluar menemui shahabatnya , ketika itu mereka sedang berselisih tentang
masalah Qadha' dan Qadar ( takdir ) maka beliau melarangnya dan memperingatkan
bahwa kehancuran umat – umat terdahalu tiada lain karena perdebatan seperti
ini.

Pengertian
Tauhid & Macam – Macamnya

Walaupun masalah qadha' dan qadar menjadi ajang perselisian di kalangan umat
Islam, tetapi Allah Ta'ala telah membuka hati para hambaNya yang beriman, yaitu
para salaf shaleh yang mereka itu senantiasa menempuh jalan kebenaran dalam
pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha' dan qadar adalah termasuk
rububiyah Allah Ta'ala atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk dalam salah
satu diantara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:

Pertama : Tauhid AL- Uluhiyah, ialah mengesakan Allah Ta'ala dalam beribadah,
yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.

Kedua : Tauhid Ar- Rububiyah, ialah mengesakan Allah Ta'ala dalam perbuatanNya
, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang mencipta, menguasai dan
mengatur alam semesta ini.

Ketiga : Tauhid Al- Asma' was- Shifat, ialah mengesakan Allah Ta'ala dalam
asma' dan sifatNya. Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa
dengan Allah Ta'ala dalam Dzat, Asma'; maupun Sifat.

Iman kepada Qadar adalah termasuk tauhid Ar-Rububiyah. Oleh karena itu imam
Ahmad rahimahullah berkata : "Qadar adalah merupakan kekuasaan Allah Ta'ala ".
Karena tak syak lagi, Qadar ( takdir ) termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang
menyeluruh, di samping itu, qadar adalah rahasia Allah Ta'ala yang tersembunyi,
tak ada seorangpun yang dapat mengetahuinya kecuali Dia, tertulis pada Lauh
Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu, takdir
baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya,
kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.
 
Pendapat – Pendapat Tentang Qadar

Umat Islam dalam masalah qadar ini terpecah menjadi tiga golongan :

Pertama: mereka yang ekstrim dalam
menetapkan qadar dan menolak adanya kehendak dan kemampuan makhluk. Mereka
berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan keinginan,
dia hanya disetir dan tidak mempunyai pilihan, laksana pohon yang tertiup
angin. Mereka tidak membedakan antara perbuatan manusia yang terjadi dengan
kemauannya dan perbuatan yang terjadi tanpa kemauannya, tentu saja mereka ini
keliru dan sesat, kerena sudah jelas menurut agama, akal dan adat kebiasaan
bahwa manusia dapat membedakan antara perbuatan yang dikehendaki dan perbuatan
yang terpaksa.

Kedua: mereka yang ekstrim dalam
menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk sehingga mereka menolak bahwa apa
yang diperbuat manusia adalah karena kehendak dan keinginan Allah Ta'ala serta
diciptakan olehNya. Menurut mereka, manusia memiliki kebebasan atas
perbuatannya. Bahkan ada diantara mereka yang mengatakan bahwa Allah Ta'ala
tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia kecuali setelah terjadi.
Mereka inipun sangat ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk.

Ketiga: mereka yang beriman,
sehingga diberi petunjuk eleh Allah Ta'ala untuk menemukan kebenaran yang telah
diperselisihkan. Mereka itu adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam masalah ini
mereka menempuh jalan tengah dengan berpijak di atas dalil syar'i dan dalil
aqli. Mereka berpendapat bahwa perbuatan yang dijadikan Allah Ta'ala di alam
semesta ini terbagi atas dua macam :

1- Perbuatan yang dilakukan oleh Allah Ta'ala terhadap makhlukNya. Dalam hal
ini tak ada kekuasaan dan pilihan bagi siapapun. Seperti turunnya hujan,
tumbuhnya tanaman, kehidupan, kematian, sakit, sehat dan banyak contoh lainnya
yang dapat disaksikan pada makhluk Allah Ta'ala. Hal seperi ini, tentu saja tak
ada kekuasaan dan kehendak bagi siapapun kecuali bagi Allah Ta'ala yang maha
Esa dan Kuasa.

2- Perbuatan yang dilakukan oleh
semua makhluk yang mempunyai kehendak. Perbuatan ini terjadi atas dasar
keinginan dan kemauan pelakunya; karena Allah Ta'ala menjadikannya untuk
mereka. Sebagaimana firman Allah Ta'ala :

Artinya : "Bagi siapa diantara
kamu yang mau menempuh jalan yang lurus". (At Takwir: 28).

Artinya : "Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu
ada orang yang menghendaki akhirat".( Ali Imran : 152)

Artinya : " Maka barang siapa yang ingin ( beriman ) hendaklah ia beriman, dan
barang siapa yang ingin ( kafir ) biarlah ia kafir "( Al Kahfi: 29)

Manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi kerena kehendaknya
sendiri dan yang terjadi karena terpaksa. Sebagai contoh, orang yang dengan
sadar turun dari atas rumah melalui tangga, ia tahu kalau perbuatannya atas
dasar pilihan dan kehendaknya sendiri. Lain halnya kalau ia terjatuh dari atas
rumah, ia tahu bahwa hal tersebut bukan karena kemauannya. Dia dapat membedakan
antara kadua perbuatan ini, yang pertama atas dasar kumauannya dan yang kedua
tanpa kemauannya. Dan siapapun mengetahui perbedaan ini.

Begitu juga orang yang menderita sakit beser umpamanya, ia tahu kalau air
kencingnya keluar tanpa kemauanya. Tetapi apa bila ia sudah sembuh, ia sadar
bahwa air kencingnya keluar dengan kemauannya. Dia mengetahui perbedaan antara
kedua hal ini dan tak ada seorangpun yang mengingkari adanya perbedaan
tersebut.

Demikian segala hal yang terjadi pada diri manusia, dia mengetahui, perbedaan
antara mana yang terjadi dengan kumauannya dan mana yang tidak.

Akan tetapi, karena kasih sayang Allah Ta'ala , ada diantara perbuatan manusia
yang terjadi atas kemauannya namun tidak dinyatakan sebagai perbuatannya.
Seperti perbuatan orang yang kelupaan, dan orang yang sedang tidur. Firman
Allah Ta'ala dalam kisah Ashabul Kahfi :

Artinya : " ..Dan kami balik – balikkan mereka ke kanan dan ke kiri …" (Al-
Kahfi: 18)

Padahal mereka sendiri yang sebenarnya berbalik ke kanan dan berbalik ke kiri,
tetapi Allah Ta'ala menyatakan bahwa Dialah yang membalik – balikkan mereka ke
kanan dan ke kiri, sebab orang yang sedang tidur tidak mempunyai kemauan dan
pilihan serta tidak mendapatkan hukuman atas perbuatannya.

Maka perbuatan tersebut dinisbahkan kepada Allah Ta'ala. Dan sabda Nabi
Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam :

" Barang siapa yang lupa ketika
dalam keadaan berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan
puasanya, kerena Allah Ta'ala yang memberinya makan dan minum "

Dinyatakan dalam hadits ini, bahwa yang memberi makan dan minum adalah Allah
Ta'ala , karena perbuatannya tersebut terjadi di luar kesadarannya, maka seakan
– akan terjadi tanpa kemauannya.

Kita semua mengetahui perbedaan antara perasaan sedih atau perasaan senang yang
kadang kala dirasakan seseorang dalam dirinya tanpa kemauannya serta dia
sendiri tidak mengetahui sebab dari kedua perasaan tersebut yang timbul dari
perbuatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Hal ini, alhamdulillah, sudah
cukup jelas dan gamblang.

Istilah penting :

Jabri ialah orang yang
berpendapat bahwa manusia itu terpaksa dalam perbuatannya, tidak mempunyai kehendak
dan keinginan. Jabariyyah adalah pemahaman yang dimaukan orang Jabri.

Qadari ialah orang yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dalam
perbuatannya dan mengingkari adanya takdir. Qadariyyah adalah pemahaman yang
dimaukan orang Qadari.
 
Sanggahan Atas Pendapat Pertama (Jabariyyah)

Seandainya kita mengambil dan mengikuti pendapat golongan yang pertama, yaitu
mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar, niscaya sia-sialah syari'at ini
dari tujuan semula. Sebab bila dikatakan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak
dalam perbuatannya, berarti tidak perlu dipuji atas perbuatannya yang terpuji
dan tidak perlu dicela atas perbuatannya yang tercela. Karena pada hakekatnya
perbuatan tersebut dilakukan tanpa kehendak dan keinginan darinya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah Ta'ala Maha Suci dari pendapat
dan paham yang demikian ini.

Adalah merupakan kezhaliman, jika Allah Ta'ala menyiksa orang yang berbuat
maksiat yang perbuatan maksiat tersebut terjadi bukan dengan kehendak dan
keinginannya.

Pendapat seperti ini sangat jelas
bertentangan dengan firman Allah Ta'ala :

Artinya : " Dan ( malaikat ) yang menyertai dia berkata : ' inilah (catatan
amalnya ) yang tersedia pada sisiku, Allah berfirman : "Lemparkanlah olehmu
berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala; yang
sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu; yang
menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam
siksaan yang sangat (pedih ). Sedang ( syaitan ) yang menyertai dia berkata : "
ya Robb kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dialah yang berada dalam
kesesatan yang jauh'. Allah berfirman : " Janganlah kamu bertengkar d
ihadapanku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu.
Keputusan di sisiKu tidak dapat di ubah, dan aku sekali-kali tidak menganiaya
hamba-hambaKu ( Qaaf : 23- 29)

Dalam ayat ini Allah Ta'ala menjelaskan bahwa siksaan dariNya itu adalah kerena
keadilanNya, dan sama sekali Dia tidak zhalim terhadap hamba-hambaNya. Sebab
Allah Ta'ala telah memberikan peringatan dan ancaman kepada mereka, telah
menjelaskan jalan kebenaran dan jalan kesesatan bagi mereka, akan tetapi mereka
memilih jalan kesesatan, maka mereka tidak akan memiliki alasan di hadapan
Allah Ta'ala untuk membantah keputusanNya.

Andaikata kita menganut pendapat
yang batil ini, niscaya sia-sialah firman Allah Ta'ala ini :

Artinya: "( kami utus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah
Allah sesudah di utusnya Rasul-rasul itu. Dan Allah maha Perkasa lagi maha
Bijaksana ". ( An- Nisaa' : 165)

Dalam ayat ini Allah Ta'ala menjelaskan bahwa tidak ada alasan lagi bagi
manusia setelah di utusnya para Rasul, karena sudah jelas hujjah Allah Ta'ala
atas mereka. Maka seandainya masalah qadar bisa dijadikan alasan bagi mereka,
tentu alasan ini akan tetap berlaku sekalipun sesudah di utusnya para Rasul.
Karena qadar ( takdir) Allah Ta'ala sudah ada sejak dahulu sebelum diutusnya para
Rasul dan tetap ada sesudah di utusnya mereka.

Dengan demikian pendapat ini adalah batil karena tidak sesuai dengan nash
(dalil) dan kenyataan, sebagaimana telah kami uraikan dengan contoh- contoh di
atas.

Sanggahan Atas
Pendapat Kedua (Qadariyyah)

Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat golongan yang ekstrim dalam menetapkan
kemampuan manusia, maka pendapat inipun bertentangan dangan nash dan kenyataan.
Sebab banyak ayat yang menjelaskan bahwa kehendak manusia tidak lepas dari
kehendak Allah Ta'ala. Firman Allah :

Artinya : " ( yaitu ) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki ( menempuh jalan itu) kecuali apabila
di kehendaki oleh Allah, Tuhan semesta Alam ".(At Takwir : 28- 29)

Artinya : Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.
Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka" ( Al Qashash: 68)

Artinya: " Allah menyeru ( manusia ) ke Darussalam ( surga ), dan menunjuki
orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus (Islam)" (Yunus: 25).

Mereka yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah satu dari
rububiyah Allah, dan berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah ini apa yang
tidak dikehendaki dan tidak di ciptakanNya. Padahal Allah lah yang menghendaki
segala sesuatu, menciptakannya dan menentukan qadar ( takdir) nya.

Sekarang kalau semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di
Tangan Allah, lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apa bila
dia telah di takdirkan Allah tersesat dan tidak dapat petunjuk ?

Jawabnya : bahwa Allah Ta'ala menunjuki orang-orang yang patut mendapat
petunjuk dan menyesatkan orang-orang yang patut menjadi sesat. Firman Allah :

Artinya: " Maka tatkala mereka berpaling ( dari kebenaran ) Allah memalingkan
hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik".( Ash
Shaf : 5)

Artinya : "( tetapi ) kerena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mareka dan
Kami jadikan hati mereka keras mambatu, mereka suka merobah perkataan (Allah)
dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang
mereka yang telah di beri peringatan dengannya" . (Al Ma'idah : 13)

Di sini Allah Ta'ala menjelaskan bahwa Dia tidak menyesatkan orang yang sesat
kecuali disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan sebagaimana telah kami terangkan
tadi bahwa manusia tidak dapat mengetahui apa yang telah ditakdirkan oleh Allah
Ta'ala untuk dirinya. Karena dia tidak mengetahui takdirnya kecuali apabila
sudah terjadi, maka dia tidak tahu apakah dia ditakdirkan Allah menjadi orang
yang tersesat atau menjadi orang yang mendapat petunjuk.

Kalau begitu, mengapa jika seseorang menempuh jalan kesesatan lalu berdalih
bahwa Allah Ta'ala telah menghendakinya demikian ? Apa tidak lebih patut
baginya menempuh jalan kebenaran kemudian mengatakan bahwa Allah Ta'ala telah
menunjukkan kepadaku jalan kebenaran.

Pantaskah dia menjadi orang yang jabri kalau tersesat dan qadari kalau berbuat
kebaikan ?

Sungguh tak pantas seseorang menjadi jabri ketika berada dalam kesesatan dan
kemaksiatan, kalau ia tersesat atau berbuat maksiat kepada Allah Ta'ala ia
mengatakan : " ini sudah takdirku, dan tak mungkin aku dapat keluar dari
ketentuan dan takdir Allah"; tetapi ketika berada dalam ketaatan dan memperoleh
taufiq dari Allah untuk berbuat ketaatan dan kebaikan ia mengatakan : " ini
kuperoleh dari diriku sendiri". Dengan demikian ia menjadi qadari dalam segi
ketaatan dan menjadi "jabri" dalam segi kemaksiatan.

Ini tidak dibenarkan sama sekali, sebab sebenarnya manusia mempunyai kehendak
dan kemampuan.

Masalah hidayah persis seperti masalah rizki dan menuntut ilmu. Sebagaimana
kita semua tahu bahwa manusia telah ditentukan untuknya rizki yang menjadi
bagiannya. Namun demikian dia tetap berusaha untuk mencari rizki ke sana dan
kemari baik di daerahnya sendiri atau di luar daerahnya. Tidak duduk di rumah
saja saraya berkata : " kalau sudah ditakdirkan untukku rizkiku tentu ia akan
datang dengan sendirinya". bahkan dia akan berusaha untuk mencari rizki
tersebut. Padahal rizki ini disebutkan bersamaan dengan amal perbuatan,
sebagaimana di sebutkan dalam hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud Radiyallahu 'anhu:

"Sesungguhnya kalian ini
dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibu selama empat puluh hari berupa air
mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama empat puluh hari pula,
kemudian berubah menjadi segumpal daging selama empat puluh hari pula, lalu
Allah mengutus seorang malaikat yang diberi tugas untuk mencatat empat perkara,
yaitu rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya dan apakah ia termasuk orang celaka
atau bahagia".

Jadi rizki inipun telah tercatat seperti halnya amal perbuatan, baik ataupun
buruk, juga telah tercatat.

Kalau begitu, mengapa anda pergi kesana dan kemari untuk mencari rizki dunia
tetapi tidak berbuat kebaikan untuk mencari rizki akherat dan mendapatkan
kebahagiaan surga ? padahal kedua-duanya adalah sama, tidak ada perbedaannya.

Jika anda mau berusaha untuk mencari rizki dan untuk mempertahankan
kelangsungan kehidupan anda, sehingga kalau anda sakit, pergi kemanapun untuk
mencari dokter ahli untuk mengobati penyakit anda, padahal anda tuhu kalau ajal
telah ditentukan, tidak akan dapat bertambah dan tidak maupun berkurang. Anda
tidak bersikap pasrah sambil berkata : " sudahlah aku tetap tinggal di rumah
saja meski menderita sakit , kerena kalaupun aku di takdirkan panjang umur aku
akan tetap hidup". Bahkan anda berusaha sekuat tenaga untuk mencari dokter yang
ahli, yang sekiranya dapat menyembuhkan penyakit anda dengan takdir Allah .
jika demikian, mengapa usaha anda di jalan akherat dan dalam amal shaleh tidak
seperti usaha anda untuk kepentingan duniawi?

Sebagaiman telah aku kemukakan
bahwa masalah qadar adalah rahasia Allah Ta'ala yang tersembunyi, tak mungkin
anda dapat mengetahuinya. Sekarang anda di antara dua jalan : jalan yang
membawa anda kepada keselamatan, kebahagiaan, kedamaian dan kemuliaan ; dan
jalan yang dapat membawa anda kepada kehancuran, penyesalan, dan kehinaan.
Sekarang anda sedang berdiri di antara ujung kedua jalan tersebut dan bebas
untuk memilih tak ada seorangpun yang akan merintangi anda untuk melalui jalan
yang kanan atau jalan yang kiri. Anda dapat pergi kemanapun sesuka hati anda.
Lalu mengapa anda memilih jalan kiri (sesat) kemudian berdalih bahwa" itu sudah
takdirku"? apa tidak lebih patut jika anda memilih jalan kanan dan mengatakan
bahwa " itu takdirku" ?

Untuk lebih jelasnya, apa bila anda mau bepergian ke suatu tempat dan di
hadapan anda ada dua jalan. Yang satu mulus, lebih pendek dan lebih aman ;
sedang yang kedua rusak, lebih panjang dan mengerikan. Tentu saja anda akan
memilih jalan yang mulus, yang lebih pendek dan lebih aman, tidak memilih jalan
yang tidak mulus, tidak pendek dan tidak aman. Ini berkenaan dengan jalan yang
visual, begitu juga dengan yang non visual, sama saja dan tidak ada bedanya.
Namun kadangkala hawa nafsulah yang memegang peran dan menguasai akal.

Padahal, sebagai seorang mu'min seyogyanya akalnyalah yang harus lebih berperan
dan menguasai hawa nafsunya. Jika orang menggunakan akalnya, maka akal itu
menurut pengertian yang sebenarnya akan melindungi pemiliknya dari yang
membahayakan dan membawanya kepada yang bermanfaat dan membahagiakan.

Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa manusia mempunyai kehendak dan pilihan
dalam perbuatan yang di lakukannya secara sadar, bukan terpaksa. Kalau manusia
berbuat dengan kehendak dan pilihannya untuk kepentingan dunia, maka iapun
seharusnya begitu pula dalam usahanya menuju akherat. Bahkan jalan menuju
akherat lebih jelas. Karena Allah Ta'ala telah menjelaskannya dalam Al-Qur'an
dan melalui sabda RasulNya Shalallahu 'alaihi wassalam , maka jalan menuju
akherat tentu saja lebih jelas dan lebih terang daripada jalan untuk
kepentingan dunia.

Namun kenyataannya, manusia mau berusaha untuk kepentingan dunia yang tidak
terjamin hasilnya dan meninggalkan jalan menuju akhirat yang telah terjamin
hasilnya dan diketahui balasannya berdasarkan janji Allah Ta'ala , dan Allah
Ta'ala tidak akan menyalahi janjiNya.

Inilah yang menjadi ketetapan Ahlussunnah Wal Jamaah dan inilah yang menjadi
aqidah serta madzhab mereka, yaitu bahwa manusia berbuat atas dasar kemauannya
dan berkata menurut keinginannya, tetapi keinginan dan kemauannya itu tidak
lepas dari kemauan dan kehendak Allah Ta'ala. Dan Ahlussunnah Wal Jamaah
mengimani bahwa kehendak Allah Ta'ala tidak lepas dari hikmah kebijaksanaanNya,
bukan kehendak yang mutlak da absolut, tetapi kehendak yang senantiasa sesuai
dengan hikmah kebijaksanaanNya. Karena di antara asma Allah Ta'ala adalah AL-
HAKIM yang artinya Maha Bijaksana yang memutuskan segala sesuatu dan bijaksana
dalam keputusanNya.

Allah Ta'ala dengan sifat
hikmahNya, menentukan hidayah bagi siapa yang di kehendakiNya yang menurut
pengetahuanNya benar-benar menginginkan al-haq dan hatinya dalam istiqamah. Dan
dengan sifat hikmahNya pula, dia menentukan kesesatan bagi siapa yang suka akan
kesesatan dan hatinya tidak senang dengan Islam. Sifat hikmah Allah Ta'ala
tidak dapat menerima bila orang yang suka akan kesesatan termasuk orang-orang
yang mendapat petunjuk, kecuali jika Allah Ta'ala memperbaiki hatinya dan
merubah kehendaknya, dan Allah Ta'ala maha Kuasa atas segala sesuatu. Namun,
sifat hikmahNya menetapkan bahwa setiap sebab berkait erat dengan dengan
akibatNya.
 
Tingkatan Qadha' Dan Qadar

Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha' dan qadar mempunyai empat tingkatan :

Pertama : Al-'Ilm (pengetahuan)

Artinya mengimani dan meyakini
bahwa Allah Ta'ala maha Tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada
di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu termasuk
perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatupun yang
tersembunyi bagiNya.

Kedua : Al-kitabah (penulisan)

Artinya mengimani bahwa Allah
Ta'ala telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh.

Kedua tingkatan ini sama-sama
dijelaskan oleh Allah Ta'ala dalam firmanNya:

Artinya : " Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui
apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat
dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah
bagi Allah".(Al- Hajj:70)

Dalam ayat ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah Ta'ala mengetahui apa saja
yang ada di langit dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang demikian itu
tertulis dalam sebuah kitab Lauh Mahfuzh.

Sebagaimana dijelaskan pula oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dalam
sabdanya:

" Pertama kali tatkala Allah
Ta'ala menciptakan qalam (pena), Dia firmankan kepadanya : Tulislah!. Qalam itu
berkata : ya Tuhanku, apakah yang hendak kutulis? Allah Ta'ala berfirman :
Tulislah apa saja yang akan terjadi ! maka seketika itu bergeraklah qalam itu
menulis segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat".

Ketika Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam ditanya tentang apa yang hendak
kita perbuat, apakah sudah ditetapkan atau tidak ? beliau menjawab : " sudah
ditetapkan".

Dan ketika beliau ditanya:
"Mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah saja dengan takdir yang sudah
tertulis ? Beliaupun menjawab : "Berusahalah kalian, masing-masing akan
dimudahkan menurut takdir yang telah ditentukan baginya". Kemudian beliau
mensitir firman Alah :

Artinya : " Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan
bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan
baginya( jalan) yang mudah. Sedangkan orang yang bakhil dan merasa dirinya
cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan
baginya (jalan) yang sukar".( Al Lail: 5 – 10)

Oleh karena itu hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi
Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam kepada para Sahabat. Anda akan di mudahkan
menurut takdir yang telah ditentukan Allah Ta'ala.

Ketiga : Al- Masyiah ( kehendak ).

Artinya: bahwa segala sesuatu,
yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak
Allah Ta'ala . hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur'an Al –Karim. Dan Allah
Ta'ala telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta apa yang diperbuat
para hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah :

Artinya : " ( yaitu ) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki ( menempuh jalan itu ) kecuali apa bila
dikehendaki Allah,Tuhan semesta alam". ( At Takwir : 28 -29)

Artinya: " jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya". (
Al – An'am : 112)

Artinya: " Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan
tetapi Allah berbuat apa yang dikehandakinya". ( Al – Baqarah : 253)

Dalam ayat – ayat tersebut Allah Ta'ala menjelaskan bahwa apa yang diperbuat
oleh manusia itu terjadi dengan kehendakNya.
Dan banyak pula ayat– ayat yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Allah
adalah dengan kehendakNya. Seperti firman Allah :

Artinya : " Dan kalau kami menghendaki niscaya akan kami berikan kepada tiap –
tiap jiwa petunjuk (bagi) nya".( As Sajdah: 13)

Artinya : "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu". ( Huud : 118)

Dan banyak lagi ayat – ayat yang menetapkan kehendak Allah dalam apa yang diperbuatNya.

Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar ( takdir)
kecuali dengan mengimani bahwa kehendak Allah Ta'ala meliputi segala sesuatu.
Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin
ada sesuatu yang terjadi di langit ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah
Ta'ala.

Keempat : Al – Khalq ( penciptaan )

Artinya mengimani bahwa Allah
pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi penciptanya tiada
lain kecuali Allah Ta'ala. Sampai " kematian" lawan dari kehidupan itupun
diciptakan. Firman Allah :

Artinya: " Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya".( Al Mulk : 2)

Jadi segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain
kecuali Allah Ta'ala.

Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil perbuatan
Allah adalah ciptaanNya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari, bulan,
bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian
pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini , seperti : sifat, perubahan dan
keadaan, itupun ciptaan Allah Ta'ala.

Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa sulit memahami, bagaimana dapat
dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang kita lakukan dengan kehendak kita
ini adalah ciptaan Allah Ta'ala?

Jawabnya : Ya, memang demikian,
sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena adanya dua faktor, yaitu
kehendak dan kemampuan. Apa bila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan
kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan
kemampuan manusia adalah Allah Ta'ala. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah
yang menciptakan akibatnya.

Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia
maksudnya adalah bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor,
yaitu : kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan,
tentu manusia tidak akan berbuat, karena andaikata dia menghendaki, tetapi
tidak mampu, tidak akan dia berbuat, begitu pula andaikata dia mampu, tetapi
tidak menghendaki, tidak akan terjadi suatu perbuatan.

Jika perbuatan manusia terjadi karena adanya kehendak yang mantap dan kemampuan
yang sempurna, sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan tadi pada diri
manusia adalah Allah Ta'ala, maka dengan ini dapat dikatakan bahwa yang
menciptakan perbuatan manusia adalah Allah Ta'ala.
Akan tetapi, pada hakekatnya manusialah yang berbuat, manusialah yang bersuci,
yang melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan
ibadah haji dan umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuat ketaatan; hanya
saja perbuatan ini ada dan terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang
diciptakan oleh Allah Ta'ala. Dan alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.

Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah Ta'ala.
Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai
pelaku perbuatan.

Seperti halnya kita katakan : "api membakar" padahal yang menjadikan api dapat
membakar adalah Allah Ta'ala. Api tidak dapat membakar dengan sendirinya, sebab
seandainya api dapat membakar dengan sendirinya, tentu ketika nabi Ibrahim AS
dilemparkan ke dalam api, akan terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau
tidak mengalami cidera sedikitpun, karena Allah Ta'ala berfirman pada api itu :

Artinya : " hai api, jadilah
dingin dan keselamatan bagi Ibrahim".(Al Anbiya': 69)

Sehingga Nabi Ibrahim tidak
terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat walafiat.

Jadi api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah yang
menjadikan api tersebut mempunyai kekuatan untuk membakar. Kekuatan api untuk
membakar adalah sama dengan kehendak dan kemampuan pada diri manusia untuk
berbuat, tidak ada perbedaanya. Hanya saja, Karena manusia mempunyai kehendak,
perasaan, pilihan dan tindakan, maka secara hukum yang dinyatakan sebagai
pelaku tindakan adalah manusia. Dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa
yang diperbuatnya, karena dia berbuat menurut kehendak dan kemauannya sendiri.

Penutup

Sebagai penutup, kami katakan bahwa seorang mu'min harus ridha kepada Allah
Ta'ala sebagai Tuhannya, dan termasuk kesempurnaan ridhaNya yaitu mengimani
adanya qadha dan qadar serta meyakini bahwa dalam masalah ini tidak ada
perbedaan antara amal yang dikerjakan manusia, rizki yang dia usahakan dan ajal
yang dia khawatirkan. Kesemuanya adalah sama, sudah tertulis dan ditentukan.
Dan setiap manusia dimudahkan menurut takdir yang ditentukan baginya.

(Dinukil dari kitab Qadla' dan Qadar Allah, oleh Syaikh Muhammad Shalih
al`Utsaimin).
 
Sumber: www.salafy.or.id

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: