Orang Tua Sebab Sang
Anak Berada di Suatu Agama dan Setiap Amalan Tergantung Penutupnya (Antara
Husnul Khatimah Dengan Su`ul Khatimah)
A. Orang Tua Sebab Sang Anak Berada di Suatu Agama
Dari Abu Hurairah berkata,
Rasulullah telah bersabda:
"Tidaklah setiap anak yang lahir
kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan
menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan
anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?"
Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam
Malik dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 8739);
Al-Imam Al-Bukhari dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir
(no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim dalam Kitabul Qadar (no.
2658).
Dari sekian nikmat Allah yang
wajib untuk disyukuri ialah adanya anak di tengah keluarga. Merupakan idaman,
harapan dan dambaan bagi yang telah berkeluarga, adanya anak yang dapat menjadi
penghibur bagi keduanya. Selain itu, terbetik harapan agar ia menjadi anak yang
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, lagi berbakti kepada orangtua, serta menjadi
anak yang baik lagi beragama.
Allah menciptakan manusia melalui
sebab adanya orangtua. Karena itulah Allah agungkan hak kedua orangtua atas
anaknya (yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang anak kepada kedua
orangtuanya). Allah berfirman:
"Dan Kami wajibkan manusia
(berbuat baik) kepada kedua orangtuanya." (Al-'Ankabut: 8)
Adakah harapan dan dambaan serta
kebanggaan yang lain bagi orangtua yang muslim dan beriman, jika anak yang
lahir darinya dan dididik di atas fitrahnya, selain mendapati anaknya menjadi
anak shalih yang senantiasa mendoakan orangtuanya, dan di hari kiamat ia
menjadi sebab terangkatnya derajat kedua orangtuanya?
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
bersabda:
"Apabila manusia telah mati,
terputuslah amalannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat,
atau anak shalih yang mendoakannya." (HR. Muslim)
Demikian pula sabda beliau yang
diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah:
"Sesungguhnya Allah akan
mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di jannah, kemudian ia berkata:
'Wahai Rabbku, dari mana ini?' Maka Allah berfirman: 'Dengan sebab istighfar
(permintaan ampun) anakmu untukmu'." (HR. Ahmad)
Dan Al-Bazzar meriwayatkan dengan
lafadz:
"Dengan sebab doa anakmu
untukmu." (Lihat Ash-Shahihul Musnad, 1/383-384, cet. Darul Quds)
Memang tidak semua anak yang
lahir akan menjadi dambaan dan kebahagiaan bagi kedua orangtua. Ada pula anak
yang menjadi siksaan bagi keduanya. Oleh karena itu Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka." (At-Taghabun: 14)
Jika demikian, apakah yang sudah
dilakukan oleh orangtua untuk anaknya? Adakah keinginan untuk menyenangkan anak
cukup dengan mengikuti dan memenuhi segala apa yang disenangi dan dimaui, tanpa
memedulikan keselamatan agamanya? Sudahkah seorang ayah atau ibu memberikan
atau mengupayakan sesuatu yang dapat menjadi sebab untuk menguatkan sang anak
agar ia hidup dan meninggal tetap berada di atas fitrahnya? Tidakkah seorang
menyadari bahwa orangtua menjadi sebab akan agama yang dianut anaknya? Di
manakah dia berada?
Makna dan
Faedah Hadits
Lafadz :
"Tidaklah setiap anak yang lahir"
Pada riwayat lain: "setiap yang dilahirkan (bayi)".
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: "Yaitu
dari bani Adam, seperti yang tersebut dalam riwayat dari jalan Ja'far bin
Rabi'ah dari Al-A'raj dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dengan lafadz :
"Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah."
Demikian pula Khalid Al-Wasithi meriwayatkan dengan
lafadz yang serupa, dari Abdurrahman bin Ishaq dari Abu Zinad dari Al-A'raj.
Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya At-Tamhid.
Sekilas, riwayat ini mengandung kejanggalan, karena
berkonsekuensi bahwa setiap yang lahir akan ada yang menjadi Yahudi atau yang
lain seperti tersebut dalam hadits. Juga bahwa sebagian dari yang dilahirkan
itu tetap menjadi seorang muslim dan tidak terjadi padanya sesuatu (perubahan).
Jawabnya adalah, kekufuran yang terjadi (setelah bayi lahir) bukan bawaan diri
sang bayi dan tabiatnya, namun hal itu terjadi karena adanya sebab dari luar.
Jika seorang bayi selamat dari sebab luar yang mempengaruhinya, ia akan terus
berada pada kebenaran (fitrahnya). Hal inilah yang menguatkan pendapat yang
benar dalam mengartikan makna fitrah. (lihat Al-Fath, 3/303, cet. Darul Hadits,
dan At-Tamhid, 18/98, Al-Maktabah As Syamilah).
Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan dari jalan
Abdul Aziz Ad-Darawardi, dari Al-'Ala` bin Abdirrahman, dari ayahnya
Abdurrahman bin Ya'qub, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan
fitrah."
Lafadz :
"Dilahirkan dalam kedaan fitrah."
Al-Hafizh rahimahullahu berkata: "Yang nampak bahwa
sifat ini umum pada seluruh anak yang dilahirkan. Hal ini seperti yang
ditegaskan dalam riwayat sebelumnya (dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 1359),
dari jalan Yunus bin Yazid Al-Aili, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah dengan lafadz :
"Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan
dalam keadaan fitrah."
Dalam Shahih Muslim (Kitabul Qadar-46/bab-6/no.23)
dari jalan Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dengan lafadz:
"Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan
dalam keadaan fitrah."
Ibnu Abdil Bar menghikayatkan pendapat yang menyatakan
bahwa hadits ini tidak berkonsekuensi keumuman (meliputi setiap bayi). Namun
maksud dari hadits ini adalah, setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah
dan ia memiliki kedua orangtua yang keduanya beragama selain Islam, maka kedua
orangtuanyalah yang telah memindahkan fitrah (agama) anaknya kepada agama
selain Islam (Yahudi atau Nasrani). Maka perkiraan makna hadits ini ialah:
Setiap anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah, sedangkan kedua
orangtuanya Yahudi (misalnya), maka keduanya telah menjadikan anaknya Yahudi.
Kemudian di waktu baligh, ia akan dihukumi dengan apa yang sesuai padanya.
Untuk membantah pendapat ini, cukuplah dengan riwayat
yang jelas, seperti riwayat dari jalan Ja'far bin Rabi'ah:
"Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah."
(Al-Fath, 3/303)
Lafadz :
"Maka kedua orangtuanyalah yang
menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi."
Dalam Shahih Muslim terdapat tambahan riwayat dari
jalan Al-A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
"Menjadikannya seorang musyrik."
Riwayat ini juga terdapat dalam Musnad Al-Imam Ahmad,
Musnad Al-Humaidi, dan Musykilul Atsar karya Ath-Thahawi. Dalam kitab yang
sama, Al-Imam Ath-Thahawi menyebutkan riwayat dari jalan Suhail, dari Abu
Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
"Menjadikannya seorang kafir."
Ath-Thibi berkata: "(Huruf) fa` pada kalimat ini bisa
sebagai at-ta'qib (mengikuti) sababiyyah (sebab) atau jaza` syarth muqaddar
(jawaban dari kata kerja/fi'l syarat yang diperkirakan). Maknanya, apabila
(setiap anak yang lahir) telah ditetapkan demikian (berada pada agama Islam),
kemudian terjadi perubahan (pada agamanya), maka itu disebabkan oleh
orangtuanya. Baik dengan cara pengajaran orangtua atau dorongan (ajakan)
orangtua kepadanya. Sehingga, seorang anak yang agamanya mengikuti agama
orangtuanya, (menunjukkan) bahwa hukum anak itu seperti hukum kedua
orangtuanya."
________________________
Fatwa
Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang Hadits Ini
Sebuah pertanyaan pernah diajukan
kepada Al-Lajnah: Ada sebuah hadits yang mulia berbunyi: "Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanya-lah yang akan
menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Majusi atau Nasrani." Dan hadits lain
berbunyi: "Setiap jiwa yang lahir telah ditetapkan rizki dan amalannya, apakah
ia celaka ataukah bahagia." Bagaimana perincian dan penjelasannya, serta apa
perbedaan antara kedua hadits ini?
Jawabannya:
Pertama, hadits yang pertama
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir, dan
Al-Imam Muslim meriwayatkan dengan lafadz: "Setiap manusia dilahirkan oleh
ibunya dalam keadaan fitrah."
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan
dengan lafadz: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah maka kedua
orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi,
sebagaimana hewan yang melahirkan anaknya, apakah kamu melihat darinya
perubahan (buntung)?"
Makna hadits ini adalah bahwa
setiap manusia dilahirkan (ditetapkan) berada pada fitrahnya (Islam), namun
perlu adanya pengajaran kepadanya dengan perbuatan (untuk tetap senantiasa
berada dalam Islam). Maka barangsiapa yang telah Allah tetapkan keadaannya
sebagai orang yang beruntung (Islam), Allah akan mempersiapkan baginya seorang
yang mengajarinya kepada jalan yang benar, dan menjadilah anak itu siap untuk
melakukan kebaikan. Barangsiapa yang Allah telantarkan dan tetapkan sebagai
orang yang celaka, Dia akan jadikan sebab orang yang akan mengubah fitrahnya
sehingga mampu mengubah ketetapan fitrahnya. Hal ini sebagaimana yang tersebut
dalam hadits, yaitu adanya peranan kedua orangtua dalam mengubah anaknya (yang
berfitrah Islam) menjadi orang yang beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Kedua, dalam Shahih Al-Bukhari
dan Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah telah bercerita kepada
kami dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan: -Al-Hadits-. Makna
ketetapan seseorang itu celaka atau bahagia, hal itu merupakan ketetapan yang
azali (abadi) berdasarkan ilmu Allah yang telah mendahuluinya. Keadaan akhir
hidup seseorang juga sesuai dengan ilmu Allah yang telah mendahuluinya.
Ketiga, dengan menelaah makna
hadits yang pertama dan kedua di atas serta memerhatikan pertanyaan yang
diajukan, disimpulkan bahwa kedua hadits tersebut tidak terdapat pertentangan
di dalamnya. Karena sesungguhnya manusia diciptakan di atas ketetapan fitrah
yang baik. Jika dia dijadikan sebagai orang yang bahagia sebagaimana ketetapan
ilmu Allah, maka akhir hidupnya ditetapkan menjadi husnul khatimah. Allah akan
mempersiapkan orang yang akan menunjukinya kepada jalan kebaikan. Sebaliknya,
jika keberadaanya sebagai orang yang celaka sebagaimana ketetapan ilmu Allah
maka akhir hidupnya ditetapkan menjadi celaka. Allah juga akan mendatangkan
baginya seorang yang akan memalingkan dirinya dari jalan kebaikan, menemani dan
mengajaknya pada jalan keburukan, dan selalu menyertainya hingga ditetapkan
baginya akhir hidup yang buruk.
Telah banyak dalil yang menyebutkan
adanya ketetapan Allah yang mendahului sebelum penciptaan manusia, baik
kebahagiaan atau keburukan. Dalam Shahih Al- Bukhari dan Shahih Muslim dari 'Ali
bin Abi Thalib, dari Nabi, beliau bersabda: "Tidaklah setiap jiwa yang
ditiupkan ruh padanya kecuali Allah tetapkan tempatnya dari penghuni jannah
atau neraka, dan telah ditetapkan sebagai seorang yang celaka atau bahagia."
Kemudian seorang sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah kita hanya berdiam
saja (pasrah) dengan apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan meninggalkan amal
perbuatan (berusaha)?" Beliau bersabda: "Beramallah (berusahalah), setiap
kalian akan dimudahkan dengan apa yang telah ditetapkan baginya. Orang-orang
yang ditetapkan bahagia mereka akan dimudahkan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang mulia. Adapun orang-orang yang telah ditetapkan celaka
akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk." Kemudian
beliau membaca firman Allah:
"Adapun orang yang memberikan
(hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik
(jannah)."
Hadits di atas menerangkan bahwa
celaka dan bahagia merupakan suatu ketetapan Allah. Dan hal itu ditentukan
sesuai dengan amal perbuatan. Setiap orang akan dimudahkan untuk menjalankan
amal perbuatan sebagaimana yang telah ditentukan baginya, yang mana hal
tersebut akan menjadi sebab dia bahagia atau celaka.
Wabillahi taufiq. Semoga Allah
mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga beserta
sahabat beliau seluruhnya.
________________________
Walaupun setiap anak lahir akan
berada pada fitrahnya, namun orangtua memiliki peran yang besar. Ibnul Qayyim
berkata: "Sebagian ulama berkata: 'Sesungguhnya Allah akan menanyakan tanggung
jawab orangtua atas (pendidikan) anak, sebelum menanyakan kepada anak atas
baktinya kepada orangtua. Karena, sebagaimana orangtua memiliki hak atas
anaknya (yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang anak kepada
orangtuanya), anak juga memiliki hak atas orangtuanya (berupa kewajiban yang
harus ditunaikan oleh orangtua kepada anak). Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu." (At-Tahrim: 6)
Oleh karena itu, orangtua
hendaknya mencurahkan tenaga dan upaya untuk mendidik anak-anaknya. Hidayah (petunjuk)
itu berada di tangan Allah. Manusia tidak akan mampu memberi hidayah kepada
dirinya sendiri, terlebih lagi memberi hidayah kepada orang lain.
Inilah Nuh, salah seorang nabi
Allah. Beliau tidak mampu memberi hidayah kepada anaknya. Beliau berharap
sangat agar anaknya ikut bersamanya dan bukan bersama orang-orang kafir,
sebagaimana Allah berfirman:
"Dan Nuh memanggil anaknya yang
berada di tempat yang jauh terpencil: 'Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama
kami dan janganlah engkau berada bersama orang-orang kafir.' Anaknya menjawab:
'Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat melindungiku dari air bah.'
Nuh berkata: 'Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah
saja yang Maha Penyayang.' Gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya,
maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan." (Hud: 42-43)
Seorang salaf yang bernama
Syu'bah bin Al-Hajjaj berkata: "Telah lahir anakku lalu aku beri nama Sa'd
(kebahagiaan). Namun ia tidak bahagia dan tidak pula beruntung." Beliau pernah
berkata kepada anaknya: "Pergilah engkau (belajar) kepada Hisyam Ad-Dustuwa`i."
Anak itu menyahut: "Saya ingin melepas burung merpati."
Demikian pula penuturan Isma'il
bin Ibrahim bin Miqsam, seorang lelaki yang shalih. Di antara anak-anaknya ada
yang bernama Ibrahim, namun ia menjadi seorang yang berpemikiran Jahmiyah
(pengikut Jahm bin Shofwan, yang memiliki aqidah menolak nama-nama Allah dan
sifat-sifat-Nya) dan berpendapat bahwa Al-Qur`an adalah mahkluk.
Hidayah berada di tangan Allah.
Namun seorang hamba harus menempuh sebab. Jika Allah menghendaki kebaikan
kepadanya (anak), tentulah dia akan tunduk kepada nasihat. Namun jika Dia
menghendaki lain, maka ia akan berada di atas kebatilan. Seorang penyair
berkata:
"Jika perangai itu adalah
perangai yang jelek
Maka tidak ada pendidikan maupun
pendidik yang berguna"
(Sebagian dinukil dari Nashihati
lin Nisa`, hal.75-76, cet. Darul Haramain)
Tiada permohonan yang pantas
kecuali meniru apa yang telah diucapkan oleh orang-orang shalih kepada Rabb
mereka dalam doanya, sebagaimana firman Allah:
"Dan orang-orang yang berkata:
'Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami sebagai imam bagi
orang-orang yang bertakwa." (Al-Furqan: 74)
Wallahu a'lam bish-shawab.
Sumber: ringkasan artikel dari www.asysyariah.com
B. Setiap Amalan Tergantung Penutupnya (Antara Husnul Khatimah
Dengan Su`ul Khatimah)
Abdullah bin Mas'ud radhiallahu
'anhu berkata: Menceritakan kepada kami Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
yang beliau adalah seorang yang benar lagi dibenarkan:
"Bahwa penciptaan salah seorang
di antara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama empat puluh hari atau empat
puluh malam, kemudian menjadi segumpal darah dalam empat puluh hari berikutnya,
kemudian menjadi segumpal daging dalam empat puluh hari berikutnya. Kemudian
Allah mengutus malaikat kepadanya dan memerintahkan untuk menetapkan empat
kalimat (empat hal): Tentang rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara ataukah
bahagia, kemudian Allah meniupkan ruh padanya. Sungguh ada salah seorang di
antara kalian yang melakukan amalan-amalan penghuni surga hingga tak ada jarak
antara dia dan surga selain sehasta, namun kemudian takdir telah mendahului
dia, lantas ia pun melakukan amalan penghuni neraka dan akhirnya ia masuk
neraka. Dan sungguh ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan
penghuni neraka, hingga tak ada jarak antara dia dan neraka selain sehasta,
namun kemudian takdir mendahuluinya, lantas ia pun mengamalkan amalan penghuni
surga sehingga dia memasukinya." (HR. Al-Bukhari no. 3332)
Hadits ini dijelaskan oleh hadits
berikut
Dari Sahl bin Sa'ad radhiallahu
anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sungguh ada seorang hamba yang
menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, padahal dia
sebenarnya adalah penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut
pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, padahal dia sebenarnya
adalah penghuni surga. Sungguh setiap amalan itu dihitung dengan penutupannya."
(HR. Al-Bukhari no. 6012)
Dari Jabir radhiallahu anhuma dia
berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Setiap hamba dibangkitkan sesuai
dengan kondisi saat ia meninggal." (HR. Muslim no. 2878)
Penjelasan
ringkas:
Hadits-hadits di atas di satu
sisi merupakan kabar buruk dan di sisi lain merupakan kabar yang baik. Kabar
buruk bagi siapa yang sudah terbiasa melakukan kejelekan dan kabar baik bagi
siapa yang sudah terbiasa melakukan kebaikan. Karena sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan biasanya sulit untuk ditinggalkan dan akan selalu dia amalkan apapun
yang terjadi. Karenanya, orang yang sudah terbiasa mengamalkan amalan jelek maka
kemungkinan besar dia akan dihukum oleh Allah dengan su`ul khatimah atau
meninggal di atas kejelekan, dan ini termasuk siksaan Allah yang terbesar di
muka bumi ini. Sebaliknya, siapa saja yang sudah terbiasa melakukan suatu
kebaikan maka besar kemungkinan dia juga akan mengakhiri hidupnya di atas
kebaikan. Dan Allah Ta'ala akan membangkitkan setiap orang sesuai dengan
keadaan ketika dia meninggal.
Inilah hukum asalnya. Adapun
hadits Abdullah bin Mas'ud di atas, maka dia termasuk hadits-hadits dalam masalah
takdir yang wajib diterima dan dibenarkan, walaupun akal tidak bisa mencernanya
karena kurangnya ilmu dan akal manusia. Yang jelas kita meyakini bahwa Allah
Ta'ala Maha Adil dan Maha Mengetahui. Dia tidak akan memasukkan ke dalam neraka
orang yang tidak pantas masuk neraka dan tidak akan memasukkan ke dalam surga
orang yang tidak pantas masuk ke dalam surga. Dan Dia lebih mengetahui siapa di
antara hamba-hambaNya yang bersyukur kepada-Nya. Ini jawaban secara global.
Adapun secara rinci, maka
diterangkan dalam hadits Sahl bin Sa'ad di atas, yaitu bahwa amalan baik yang
diamalkan oleh penghuni neraka itu hanya lahiriahnya saja yang baik, akan
tetapi hati orang tersebut bertentangan dengan amalannya, dimana kejelekan
hatinya ini tidak diketahui oleh orang lain. Dan kejelekan hatinya inilah yang
kemudian mendominasi dirinya, dan kejelekan hatinya ini muncul di akhir umurnya
dengan dia melakukan kejelekan, sehingga dia akhirnya meninggal dengan su`ul
khatimah. Sebaliknya, seorang penghuni surga terkadang melakukan banyak
kejelekan akan tetapi sebenarnya di dalam hatinya ada suatu sifat kebaikan yang
tidak diketahui oleh orang lain. Kemudian, sifat baik ini mendominasi dirinya
dan baru muncul buahnya di akhir hidupnya dengan dia berbuat kebaikan. Sehingga
dia akhirnya meninggal dengan husnul khatimah. (Iqazh Al-Himam Al-Muntaqa min
Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam hal. 94)
Intinya seorang muslim wajib
beriman kepada takdir dan tidak larut mempertanyakan atau memperbincangkan
takdir. Karena takdir adalah rahasia Allah dimana tidak ada seorangpun makhluk
yang mengetahuinya. Dan sudah dimaklumi bersama bahwa membicarakan sesuatu yang
tidak diketahui adalah pekerjaan yang buang-buang waktu dan tidak akan
menghasilkan kebaikan apa-apa.
Pelajaran penting lainnya dari
hadits-hadits di atas adalah bahwa seorang pelaku maksiat tidak boleh berputus
asa dengan banyaknya dosa yang telah dia perbuat. Karena sebesar apapun
dosanya, yang menjadi penentu nasibnya di akhirat adalah amalan yang dia
amalkan di akhir hidupnya. Dan sebaliknya setiap pelaku kebaikan tidak boleh
bangga dan tertipu dengan banyaknya pahala yang telah dia dapatkan. Karena
nasibnya di akhirat tidak ditentukan oleh pahala yang sudah dia kumpulkan, akan
tetapi ditentrukan oleh amalan yang dia kerjakan di akhir umurnya. Maka dengan
beriman kepada takdir dengan keimanan yang benar, seseorang bisa menjaga
hatinya antara selalu berharap kepada Allah dan selalu takut kepada Allah.
Sumber:
http://al-atsariyyah.com/antara-husnul-khatimah-dengan-suul-khatimah.html
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar