Senin, 03 Mei 2010

[daarut-tauhiid] Meraih Kemenangan Jamai

 



Assalamu'alaikum,

Meraih Kemenangan Jamai'i*
M. Syamsi Ali

Jika kita kembali mengkaji keseluruhan rujukan Islam, baik Al-Qur'an maupun Al-Hadits, akan didapati bahwa inti ajaran Islam adalah mengarahkan manusia secara keseluruhan ke arah kemenangan sejati. Yaitu kemenangan yang teraih dalam kehidupan semnetara ini (hasanah fiddun-ya) dan kemenangan abadi di kehidupan abadi (hasanah fil-akhirah).Bahkan kemenangan inilah menjadi akhir dari seluruh rangakaian ajaran agama ini, baik pada tataran keimanan, ibadah maupun mu'amalat lainnya.
Sejak awal Al-Qur'an telah menyatakan bahwa keimanan dan ketaatan kita kepada petunjuk Ilahi membawa kepada kemenangan kolektif. Perhatikan S. Al-Baqrah 1-5: "Alif Laam Miim. Inilah Kitab yang tiada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa". Selanjutnya Dijelaskan secara detail beberapa kriteria orang-orang yuang bertakwa itu. Tapi pada akhrinya Al-Qur'an menyebutkan bahwa inti dari komitmen hidayah "Mereka adalah orang-orang yang berada di atas petunjuk Tuhan mereka dan mereka adalah orang-orang yang beruntung" (2:5).
Maknanya, petunjuk itu ditujukan secara kolektif (ulaaika alaa hudan min Rabbihim), dan kemenangan yang dijanjikan adalah juga kemenangan kolektif (wa ulaaika humul muflihhun).
Di surah Al-Mu'minuun (23), Allah SWT juga meyakinkan bahwa secara kolektif orang-orang yang beriman itu niscaya beruntung (qad aflaha al mu'minuun). Hal yang sama ketika Allah SWT memerintahkan secara kolektif kepada orang-orang yang beriman agar 'ruku', sujud, beribadah serta melakukan kebajikan-kebajikan secara kolektif'. Pada akhirnya, tujuan dari perintah kolektif tersebut adalah agar kemenangan kolektif juga dapat diwujudkan (la'allakum tuflihuun).
Namun perlu disadari bahwa kemenangan dalam pandangan Islam ada dua bentuk. Pertama, kemenangan individu yang sesungguhnya lebih banyak dititik beratkan pada kemenangan ukhrawi. Sebagaimana Allah sebutkan dalam Al-Qur'an 'Setiap jiwa akan merasakan kematian. Dan hanya saja kamu akan diberikan pahalamu pada hari kiamat. Maka barangsiapa yang diselamatkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh dia telah Berjaya. Dan tidaklah kehidupan dunia ini kecuali ditujukan sebagai kesenangan yang menipu' (Al-Qur'an).
Kedua, kemenangan jama'i yang lebih dititik beratkan pada kemenangan di dunia ini. Kalau di akhirat kelak kehidupan akan diwarnai oleh kehidupan fardi (individual atau nafsi-nafsi) maka kehidupan dunia ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan jama'ai (kolektif). Itulah alas an ketika Allah menciptakan manusia, Allah menyebutnya sebagai 'inni khaaliqun fil ardhi khaliifah' (sunguh Aku menciptakan di atas bumi ini seorang khalifah). Kata khalifah menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu adalah social in nature, karena kenyataannya memang mereka tidak hidup tanpa orang lain di sekitarnya.
Wajar saja, jika perintah amalan-amalan saleh dalam Islam, baik pada tataran ritual ta'abbudi seperti shalat, maupun pada tataran mu'amalah duniawi seperti pembangunan ekonomi umat, ditekankan pada urgensi jama'i. Karena tujuannya mulia tertinggi dari semua itu adalah terwujudnya kemenangan jama'i (falaah jamaa'iyah).
Barangkali pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana agar kemenanghan jama'i itu dapat diwujudkan? Atau persisnya, langkah-langkah apa saja yang diperlukan sehingga kemenangan jama'i itu dapat diwujudkan?
Pertama, ma'rifatul (Mengenal Kiblat Kehidupan)
Diketahui bersama bahwa shalat merupakan merupakan pilar terpenting dari agama setelah syahadah. Bahkan secara khusus disebutkan 'shalat adalah tiang agama' (hadits). Dengan demikian, shalat sesungguhnya merupakan representasi dari keseluruhan 'pengabdian' manusia kepada Khaliqnya.
Namun satu hal yang perlu dipahami bahwa shalat tidak akan diterima jika dilakukan tanpa kiblat yang jelas. Terkecuali jika memang dalam keadaan tertentu di mana tidak memungkinkan untuk menghetahui arah kiblat yang sesungguhnya. Itupun dengan catatan bahwa shalat harus dilakukan dengan niat menghadap ke kiblat.
Jika shalat adalah representasi dari keseluruhan pengabdian manusia, dan kiblat merupakan 'keharusan' dalam syarat sahnya shalat, maka kiblat sesungguhnya dituntut dalam segala bentuk pengabdian kita kepada sang Khalik. Yang menjadi dilemma memang, terkadang makna kiblat itu dipahami dengan pemahaman yang dibatasi oleh defenisi ritual semata. Sehingga umat berkelahi dalam penentuan arah kiblat, tapi tenang-tenang saja ketika mereka gagal memahami makna kiblat yang diperebutkan dalam hidup mereka.
Kiblat berarti arah. Kiblat dalam shalat berarti memiliki arah yang jelas (dalam hal ini Ka'bah) ketika menunaikan ibadah shalat. Dalam pengabdian hidup secara totalitas, tentu juga diperlukan arah (kiblat) yang jelas. Dan arah kehidupan seorang Muslim sudah ditentukan, sekaligus menjadi tujuan dasar hidupnya. Itulah yang dijelaskan dalam Al-Qur'an "Dan Saya tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah". (Al-Qur'an).
Ibadah atau pengabdian semata kepada Allah itulah tujuan dan arah kehidupan manusia. Di manapun manusia itu berada, dan dalam bentuk apa saja pengabdiannya, semuanya ditujukan sebagai pengabdian atau ibadah kepada Allah SWT. Tentunya dengan dua syarat dasar, yaitu al-ikhlas (murni karena tujuan mencari ridho Allah) dan al-ittiba' (mengikut kepada ajaran Allah dan RasulNya).
Ibrahim yang dikenal sebagai penghulu para muwahhidin (ahli tauhid) mendeklarasikan, sebagaimana Al-Qur'an menyebutkan "Sesunguhnya shalatku, pengorbananku, hidupku dan matiku, semuanya untuk Allah Tuhan semesta alam".
Inilah asas pertama kemenangan jama'i itu. Tanpa kiblat hidup yang jelas akan terjadi banyak 'tabrakan' kepentingan (clash of interests) dalam hidup. Pada akhirnya hanya akan menghasilkan kegagalan dalam hidup, baik pada tataran fardi maupun jama'i. .
Kedua, Al-ishaamu al fardi (Kontribusi individual)
Kehidupan jama'i adalah kehidupan yang teramu dari rangkaian kehidupan individu-individu anggota jama'ah. Agar ramuan tersebut dapat terangkai secara baik dan tepat, setiap anggota individu perlu mengetahui kapasitasnya masing-masing. Inilah yang disebut dalama bahasa barat sebagai 'individual affirmative', atau tepatnya upaya setiap pribadi untuk menemukan potensi pada diri masing-masing, yang nantinya akan dikontribusikan ke dalam tubuh jama'ah.
Keragaman potensi individual menjadi sangat menentukan potensi jama'ah di kemudian hari. Karenanya, sejak awal perjuangan Rasulullah di Mekah, beliau sudah ditopang oleh individu-individu yang memliki potensi yang ragam. Beliau didukung oleh seorang wanita yang kaya raya dan terhormat, Khadijah isteri tercinta beliau. Beliau juga didukung oleh seorang anak remaja yang cemerlang, Ali sepupu beliau. Beliau juga didukung oleh seorang pria dewasa yang santun, itulah Abu Bakar sahabat dekat beliau. Beliau juga didukung oleh seorang hartawan yang dermawan dan bijak, itulah Utsman bin Affan. Bahkan beliau perlu dukungan seseorang yang tegas, sensitif dan sekaligus keras (dalam kebenaran), itulah Umar bin Khattab R.A.
Bahkan dari sudut lain, keragaman potensi merupakan salah satu asas perjuangan menuju kepada kemenangan jama'i itu. Hal ini juga tercemin dalam keragaman latar belakang sahabat di awal perjuangan. Selain mereka yang 'native Quraysh' (Arab), kita dapati juga seorang Bilal yang berlatar belakang Afrika (Etopia). Lalu salman Al Farisi yang berlatar belakang Persia. Juga Suhaib Ar-Rumi yang berlatar belakang Eropa (Roma).
Urgesi al-ishamu al fardi (kontribusi individu) ini digambarkan dalam perintah Allah 'Dan hendaknya semua kalian berbuat sesuai dengan 'syaakilah' (kapasitas/kemampuan) masing-masing' (al-Qur'an).
Jika setiap potensi yang dimiliki oleh setiap indovidu dalam anggota tubuh jama'ah dikelolah secara baik dan profesional, teramu secara rapih dan terarah dalam bangunan jama'ah yang kokoh, maka akan terlahir potensi jama'ah besar yang akan membawa kemenangan jama'i tersebut.
Ketiga, Al-Ilmu (Uergensi Ilmu Pengetahuan)
Dalam pandanghan Islam, ilmu adalah kunci kebaikan duni akhirat. Dalam hadits disebutkan "barangsiapa yang ingin diberikan kebaikan dunia, hendaknya berilmu. Barangsiapa yang ingin kebaikan akhirat, hendaknya berilmu. Dan barangsiapa yang menginginkan keduanya, hendaknya berilmu" (hadits).
Dalam hadits lain disebutkan 'Siapa yang dikehendaki Allah baginya kebaikan, niscaya dia diberikan pemahaman dalam agama' (hadits). Tentu pemahaman yang dimaksud tidak saja dalam ilmi-ilmu syar'i tapi pemahaman agama secara menyeluruh, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Tidak mengherankan jika ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW adalah perintah untuk 'membaca'. Karena membaca adalah kunci ilmu itu sendiri. Tentunya bukan hanya membaca huruf-huruf, tapi membaca dalam skala yang luas, termasuk membaca alam semesta, diri sendiri, dan bahkan membaca keadaan di mana kita hidup.
Bahkan, Al-Qur'an dengan tegas menyampaikan bahwa 'sesungguhnya hanya saja yang akan takut kepada Allah, hamba-hambaNya yang berilmu (ulama)' (Al-Qur'an).
Siapakah yang diumaksud dengan ulama itu? Semua orang-orang yang berilmu dalam bidang apa saja, asal ilmu tersebut punya koneksi dengan Sumber ilmu itu sendiri, Al-Alim. Kesalahan besar umat adalah ketika selalu membatasi keulama-an hanya pada mereka yang berilmu dalm bidang syar'i. Padahal, ada saja orang-orang yang berilmu dalam bidang sya'ri namun jauh dari Sumber ilmu (al-Alim). Ilmuan syari'ah ini tidak mungkin dikategorikan ulama.
Sebaliknya, boleh jadi ada seseorang yang berilmu dalam bidang biologi, fisika, hisab, astronomi (falak), dll., tapi ilmu mereka didasarkan kepada kesadaran Ilahi sebagai Sumber segala ilmu, maka mereka juga adalah ulama yang insya Allah 'yakhsya Alla' (takut kepada Allah SWT).
Individu-individu dengan keilmuan yang sejati ini, disebut dalam Al-Qur'an sebagai 'ulul albab'. Yaitu orang-orang yang memiliki dua dimensi kesadaran; kesadaran hati (dzikir) dan kesadaran otak (pikir). Sebagaimana Allah sebuatkan dalam Al-Qur'an " Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam ada tanda-tanda (aayaat kebesaran Allah) bagi ulul albaab. Yaitu mereka yang senantiasa mengingat Allah (dzikir) baik di saat berdiri, duduk maupun berbaring. Serta mereka yang selalu berpikir akan penciptaan Allah di langit dan di bumi, seraya berakata: Ya Allah sesungguhnya Engkau ciptakan semua ini bukan untuk tujjuan sia-sia. Maha Suci Engkau, jagalah kami dari api Neraka" (Al-Qur'an).
Dalam sejarah kegemilangan umat ini, ilmu membuktikan diri sebagai pilar kemenangan jama'i. Hingga abad kini, buah-buah keilmuan 'Rabbani' umat masa lalu menjadi pijakan kemajuan peradaban abad modern. Dan seharusnya kebanggaan sejarah ini harus terealisir dalam kebanggaan hakiki dengan mewujudkan kembali kemenangan jama'i itu lewat berbagai inovasi dan eksplorasi keilmuan seperti yang pernah dilakukan oleh para pendahulu kita. Inovasi-inovasi (bid'ah-bid'ah?) terkini perlu ditumbuh suburkan sehingga kebanggaan itu dapat diraih kembali.
Keempat, al-Jihaad (Semangat Perjuangan Sejati)
Al-Jihad adalah konsep dasar dan permanen agama kita. Sesungguhnya dalam pandangan agama ini, tidak akan ada kesuksesan yang dapat diraih dalam kehidupan, baik pada tataran fardi (individu) mapun jama'i (kolektif) tanpa jihad. Oleh karenanya, Rasulullah SAW mengatakan "Hidup itu adalah jihad" (hadits).
Sangat disesalkan karena jihad telah disalah pahami dan juga cenderung disalah gunakan oleh sebagian pemeluk agama ini. Hal ini tercermin dalam beberapa kejadian mutakhir yang diatas namakan jihad, tapi sesungguhnya jauh dari pemahaman jihad yang sejati. Dalam al-Qur'an jihad selalu dibarengi dengan kata 'fii sabiili Allah' (di jalan Allah). Maknanyua, jihad yang benar itu adalah yang dilakukan, pertama, murni karena mencari ridhoNya Allah SWT. Kedua, dilakukan berdasarkan kepada acuan yang Allah gariskan.
Ali bin Abi Talib dalam sebuah peperangan pernah berhadapan dengan musuh yang kuat dan jeli. Tiba-tiba musuh tersebut terjatuh dan Ali segera meletakkan ujung pedangnya di atas dadanya. Tiba-tiba sang kafir itu dengan wajah geram meludah ke wajah Ali bin Abi Talib. Sudah tentu Ali dengan prilaku sang kafir itu menjadi marah. Tapi kemarahan Ali kali ini telah berubah dari marah 'lillahi' (karena Allah) menjadi marah 'linafsih' (karena dirinya sendiri). Maka segera Ali meninggalkan orang tersebut, menghindari membunuhnya karena memenuhi amarah dirinya sendiri.
Seorang sahabat pernah terlibat dalam sebuah peperangan di mana dia berhadapan dengan seorang musuh. Tiba-tiba saja sang musuh itu terjatuh ke tanah dan sang sahabatpun meletakkan pedang di lehetrnya. Sang kafirn itu dengan segera mendeklarasikan 'syahadah'. Namun oleh sahabat tersebut tetap dibunuhnya.
Ketika Rasulullah SAW mendengarkan kejadian itu, beliau memanggil sahabat tersebut dan menanyakan perihal pembunuhan tersebut. Sang sahabat memberikan argumentasi bahwa boleh jadi syahadah tersebut disebabkan oleh rasa takut saja, dan bukan murni karena ingin memeluk Islam. Rasulullah SAW menjawab 'hal syaqata min qalbih' (apakah anda sudah membelah hatinya?). maknanya, apakah anda punya wewenang untuk menghakimi hati seseorang?
Kedua kisah di atas menggambarkan betapa jihad, walaupun dalam bentuk jihad qitaal (peperangan), tetap perlu diikat oleh 'fii sabiil Allah'. Bukan karena hawa nafsu dan kepentingan diri sendiri (self interest), bukan pula berdasarkan pertimbangan manusiawi (yang serba terbatas). Beberapa kejadian mutakhir, yang di atas namakan jihad jelas lebih banyak menunjukkan kontradiksi dengan acuan 'fii sabiil Allah' ini. Sehingga pengakuan jihad seperti itu dapat dikatakan 'fii sabiilil ahwa' (di jalan hawa nafsu).
Berbicara tentang al-Jihad ini memang ada beberapa hal yang perlu diluruskan. Yang terpenting adalah seringkali jihad dimaknakan semata sebagai 'perang'. Bahkan dalam terjemahan bahasa inggris lebih umum diterjemahkan sebagai 'holy war' atau perang suci, semakna dengan 'crusade' dalam konsepsi Kristiani.
Jelas, penerjemahan ini tidak saja tidak benar, tapi juga menyesatkan. Al-jihad tidak bermakna perang, apalagi perang suci. Sejujurnya tidak ada perang yang suci. Kalaupun Islam membenarkan peperangan, tapi sesungguhnya dimaksudkan untuk meniadakan peperangan. Maka peperangan dalam pandangan Islam akan selalu dilihat sebagai sesuatu yang tidak suci. Perang dalam bahasa Arab adalah 'harb' atau 'qitaal', sementara suci adalah muqaddas. Dengan demikian, seharusnya perang suci itu dalam bahasa Arabnya adalah 'al-harbu al muqaddasah' atau al-qitaal al muqaddas, dan bukan al-Jihad.
Lalu apa makna al-Jihad?
Al-Jihad sederhanya berarti 'kerja keras, berjuang, sungguh-sungguh' dan semaknanya. Dengan demikian, berjihad dapat diartikan bersungguh-sungguh atau kerja keras dalam perjuangan sehingga dapat menghasilkan hasil maksimal dalam upaya membangun kebajikan, baik pada tataran pribadi maupun kolektif.
Al-Jihad ini mencakup tiga dimensi. Pertama, jihad materi dan fisik. Kedua, jihad intelektual. Ketiga, jihad spiritual.
Jihad materi dan fisik juga memiliki cakupan yang sangat luas. Satu di antaranya adalah jihad dalam bentuk 'qitaal/harb' (peperangan), yang justeru seringkali dianggap sebagai bagian yang kecil (jihaadun ashgar). Mulai dari bekerja harian, bisnis, tani, nelayan, dan seterusnya, hingga kepada kedermawanan dengan sumbangan-sumbangan materi dan apa saja bentuknya, dapat dikategorikan jihad jasadi dan maali.
Jihad intelektual yang seringkali juga dikonotasikan dengan istilah 'ijtihaad' menjadi bagian yang sangat penting. Bahkan dalam banyak hadits, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa 'barangsiapa yang keluar ke jalan Allah untuk menuntut ilmu maka dia sedang berada di jalan Allah (berjihad)'.
Jihad terakhir namun paling esensial dan bahkan seringkali dikenal sebagai 'jihad akbar' adalah jihad spiritual. Jihad yang tiada batas waktu maupun tempat. Kapan dan di mana saja, seorang Muslim dituntut untuk berjuang secara spiritual untuk menguatkan koneksi spiritualnya dengan Allah SWT. Baik dalam bentuk implementasi perintah atau sebaliknya dalam bentuk menghindari larangan. Dari subuh dini hari hingga kembali ke tempat tidurnya, seorang Muslim dituntut berjuang untuk selalu melakukan koneksi spiritual dengan sang Pencipta.
Dengan jihad 'fi sabiilillah' dan dalam pemahaman yang sempurna, jihad menjadi salah satu pilar kemenangan jama'i.
Kelima, At-Taghyiir (Antisipasi perubahan)
Kehidupan secara keseluruhan terbangun di atas sebuah evolusi besar. Perubahan dan perputaran dalam hidup manusia adalah sebuah keniscayaan. Maknanya, selama manusia itu hidup selama itu pula mereka akan mengalami perubahan-perubahan. Bahkan jika kita menengok ke sekeliling kita akan dapati bahwa segala sesuatu mengalami pergerakan/perubahan. Alam semesta, matahari, bulan, dan bumi ini sendiri mengalami perputaran pada poros yang telah ditentukan masing-masing.
Oleh karenanya, Islam sebagai agama kehidupan yang insya Allah akan sesuai dengan semua tempat dan waktu, sangat mengantisipasi perubahan ini. Tentu pada hal-hal yang memang ditakdirkan untuk mengalami perubahan. Sebab agaama memiliki dua aspek yang perlu dipahami. Ada aspek yang bersifat 'tsawabit' (permanen/tidak berubah) dan ada aspek 'mutaghoyyirat' (mengalami perubahan)
Masalah-masalah tsawabit tentunya mencakup pokok-pokok akidah dan usul ibadah serta mabadi' akhlaq karimah. Iman kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab Suci, dan hari Akhirat tidak akan berubah. Shalat, zakat, puasa, haji, dll., juga tidak akan berubah. Demikian pula konsep 'mabadi akhlak' seperti kejujuran versus kebohongan, pernikahan versus perzinahan, dll., semuanya akan baku dan tidak akan berubah.
Namun dalam kehidupan sosial dan mu'amalat secara umum akan senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. Praktek-praktek bisnis sebagai misal, akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Beberapa tahun lalu, transaksi bisnis umumnya dilakukan secara konvensional, langsung antara penjual dan pembeli. Kini, dengan kemajuan transportasi dan komunikasi, transaksi bisnis tidak lagi secara langsung (face to face) antara penjual dan pembeli di lapangan. Melainkan ada misalnya yang dikenal sebagai E-Business atau bisnis internet.
Oleh karena segala sesuatu mengalami perubahan secara alami, manusia termasuk umat Islam, hanya ada dua pilihan. Ikut menjadi aktor perubahan, atau sebaliknya, terseret oleh perubahan sebagai bagian dari korban-korban perubahan.
Dalam era global sekarang ini, umat memang mau atau tidak, akan rela atau dipaksa untuk mengikuti pergerakan perubahan itu. Jika tidak maka umat akan stagnan dan pada akhirnya akan tertinggal di belakang, terkeok-keok dengan keterbelakangan dalam segala skala kehidupannya. Allah SWT mengingatkan 'Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri" (Al-Qur'an).
Tanpa antisipasi perubahan, sudah tentu akan susah pula umat ini meraih kejayaan jama'i. kejayaan atau kemenangan jama'i yang kompetitif dengan manusia lainnya dalam segala bidang kehidupan. Hanya dengan antisipasi dan keinginan untuk melakukan perubahan dan berubah, kejayaan jama'I, insya Allah, akan dengan mudah diraih.
Keenam, al-jamaa'ah (Urgensi berjama'ah)
Ada satu ayat yang sangat menarik untuk dikutip pada poin ini. Yaitu firman Allah 'Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah bersama-sama, sujudlah bersama-sama, sembahlah tuhanmu bersama-sama dan lakukanlah kebajikan secara bersama-sama! Mudah-mudahan (dgn kebersamaan itu) kamu akan meraih kemenangan' (Al-Qur'an).
Ayat ini dengan sangat gamblang menjelaskan bahwa dalam melakukan semua bentuk pengabdian, baik dalam bentuk ritual seperti ruku sujud atau ibadah secara umum, maupun dalam bentuk sosial, sangat dianjurkan untuk dilakukan secara kolektif (jama'ah). Dan yang lebih penting lagi, amalan kolektif itulah yang kemudian memberikan harapan untuk meraih kemenangan jama'i (la'aalkum tuflihuun).
Tapi apakah makna jama'ah? Apakah itu hanya sekelompok orang yang sama-sama bekerja? Tentu akan sangat susah untuk menemukan arti kata jama'ah dalam bahasa lain. Masalahnya adalah bahwa kata jama'ah memiliki konotasi dan makna yang luas dan menyeluruh. Untuk itu, barangkali kata terdekat yang bias mewakili kata jama'ah adalah 'institusi'. Dalam hal ini, kita diingatkan oleh ungkapan Ali bin Abi Thalib 'Kebenaran tanpa organisasi yang baik akan dikalahkan oleh kebathilan dengan organisasi yang solid'.
Institusi dikelolah oleh menejemen organisasi yang matang. Dan karenanya, jama'ah dalam artian institusi ditentukan oleh banyak faktor, termasuk menejemen, SDM, dan yang paling penting adalah memiliki tujuan yang sama. Ketika sekelompok umat shalat jama'ah maka criteria tadi, yaitu sekelompok orang, bekerja sama, dan memiliki tujuan yang sama, maka itu adalah gambaran institusi yang solid.
Maka, jma'ah dalam pemahaman di atas bermakna urgensi membangun institusi yang solid dalam rangka meraih kemenangan jama'i. Tanpa institusi, jika Islam diibaratkan dengan benih, maka benih ini akan jatuh dan di tanah yang gersang. Artinya, walaupun benihnya subur dan sehat, tapi tanah yang menampungnya gersang, maka benih tadi tidak akan tumbuh menjadi tumbuhan yang sehat.
Barangkali hijrah Rasulullah SAW ke Madinah adalah contoh yang paling kongkrit akan urgensi membangun institusi dalam rangka meraih kemenangan jama'i ini. Beliau diperintah untuk hijrah ke Madinah, bukan saja karena tantangan da'wah di Mekah sangat berat, tapi lebih penting lagi adalah tabiat kota dan penduduk Medinah yang lebih sesuai untuk terbentuknya insitusi Islam pertama dalam. Dan itulah Madinah Al-Munawwarah (kota yang bersinar, terang dan hidup), setelah sekian lama dikenal dengan Yatsrib.
Semoga dengan enam poin tersebut, kita mampu memperjuangkan kembali untuk meraih kejayaan umat sebagaimana Allah telah karuniakan kepada para pendahulu kita. Amin!

New York, 25 Mei 2010
*. Artikel ini dimuat oleh Majalah Ummi edisi khusus Mei 2010.


__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: