Sabtu, 25 Juni 2011

[daarut-tauhiid] [Opini] Mencermati Bisnis Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (MLM Syariah)

 

Mencermati Bisnis Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (MLM Syariah)
Oleh: Ahmad Ifham Sholihin

Saat ini terdapat 650 perusahaan yang bergerak pada bisnis yang menggunakan
sistem Penjualan Langsung Berjenjang (PLB) baik yang dilakukan secara offline
maupun online yang bisa juga disebut Multi Level Marketing (Republika, 2010).
Penjualan Langsung Berjenjang adalah cara penjualan barang atau jasa melalui
jaringan pemasaran yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha kepada
sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturut-turut.

Kontroversi yang sering muncul pada bisnis dengan sistem PLB ini adalah dugaan
money game sehingga berujung pada pertanyaan apakah bisnis dengan sistem PLB
tersebut sudah sesuai syariah? Salah satu cara untuk menghilangkan kontroversi
dan untuk mengetahui apakah sebuah bisnis PLB sudah sesuai syariah atau belum
adalah dengan adanya sertifikasi dari Dewan Syariah Nasional – Mejalis Ulama
Indonesia (DSN MUI).

Menurut DSN MUI, terhitung dari tahun 2007 ada 15 perusahaan jenis PLB ini yang
sudah mengajukan permohonan sertifikasi syariah. Namun, sebagian besar ditolak
oleh DSN MUI karena perusahaan yang bersangkutan belum memenuhi dua belas
prinsip syariah yang tercantum dalam Fatwa DSN MUI No 75/7/2009 tentang
Pemasaran Langsung Berjenjang Syariah (PLBS).

Saat ini baru ada 5 perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi syariah yaitu
Ahad Net Internasional, UFO BKB Syariah, Exer Indonesia, Mitra Permata Mandiri,
dan K-Link Indonesia. Tentu sertifikasi saja tidak cukup jika tidak dilanjutkan
dengan konsistensi kepatuhan terhadap ketentuan yang telah digariskan pada Fatwa
DSN MUI tentang PLBS tersebut. Oleh karena itu, mari kita cermati satu per satu
12 ketentuan PLBS dari DSN MUI agar kita bisa dengan mudah mengetahui
kesyariahan bisnis dengan sistem PLB.

Ketentuan No. 1: adanya objek transaksi riil yang diperjualbelikan berupa barang
atau produk jasa. Objek PLBS ini bisa apa saja asal halal, namun akan lebih
bermanfaat dan tidak menimbulkan banyak polemik ketika objek PLBS ini berupa
kebutuhan pokok atau produk yang sering kita pergunakan sehari-hari.

Ketentuan No. 2: barang atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang
diharamkan dan/atau yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram. Kita bisa dengan
mudah mengetahui apakah barang objek bisnis PLB tersebut haram atau tidak, baik
dari sisi zat maupuan kegunaannya. Namun perlu diingat bahwa meskipun objek PLB
adalah halal, tidak menjamin bahwa sistem bisnis PLB-nya sesuai syariah.

Ketentuan No. 3: transaksi dalam perdagangan tersebut tidak mengandung unsur
gharar, maysir, riba, dharar, dzulm, dan maksiat. Gharar adalah ketidakjelasan.
Potensi gharar bisa berawal ketika sebenarnya kita tidak membutuhkan objek PLB
tersebut padahal posisi kita juga adalah pembeli sekaligus pengguna. Gharar bisa
juga terjadi ketika dalam jaringan berjenjang tersebut kita tidak tahu apakah
berada di tingkatan teratas sehingga kita beruntung, ataukah berada di tingkatan
bawah sehingga kita merugi?

Maysir bisa terjadi ketika tujuan kita ikut PLB adalah untung-untungan yakni
siapa tahu nanti berhasil memenuhi target sehingga memeroleh komisi atau bonus
menggiurkan. Sedangkan indikasi riba bisa muncul pada keuntungan yang diperoleh
di saat kita memberikan iuran keanggotaan dengan harapan uang tersebut
mendatangkan tambahan uang ketika kita berhasil merekrut anggota baru, jadi
tidak berdasarkan volume penjualan produk.

Sementara itu, dharar adalah dampak yang membahayakan, tidak manfaat,
menyulitkan atau merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dharar bisa terjadi
ketika dari awal memang kita tidak ada minat dan niat untuk mendistribusikan
barang, dan selanjutnya kita akan sibuk melakukan berbagai upaya yang sebenarnya
mungkin bertentangan dengan nurani dan minat kita.

Ketentuan No. 4: tidak ada kenaikan harga/biaya yang berlebihan (excessive
mark-up), sehingga merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan
kualitas/manfaat yang diperoleh. Excessive Mark-Up adalah batas marjin laba yang
berlebihan yang dikaitkan dengan hal-hal lain di luar biaya. Dan secara logis,
harga produk PLB harus lebih murah dari harga pasar ketika dibandingkan dengan
jenis dan kualitas barang yang sama, karena produk PLB tidak lagi dibebani oleh
biaya promosi dan penggajian karyawan bagian sales/distribusi.

Ketentuan No. 5: komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik
besaran maupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang
terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk
jasa, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS. Jadi besarnya
komisi tidak ditentukan berdasarkan masuknya uang iuran keanggotaan.

Ketentuan No. 6: Bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota (mitra
usaha) harus jelas jumlahnya ketika dilakukan transaksi (akad) sesuai dengan
target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan oleh perusahaan.
Bonus merupakan tambahan imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra
usaha atas penjualan, karena berhasil melampaui target penjualan barang dan atau
produk jasa yang ditetapkan perusahaan.

Ketentuan No. 7: tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh
secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau
jasa. Ini jelas bahwa selain karena prestasi pribadi atas penjualan, komisi atau
bonus diperoleh jika ada keterlibatan atau interaksi aktif antara penerima
komisi atau bonus dengan pihak yang direkrut.

Ketentuan No. 8: pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota
(mitra usaha) tidak menimbulkan ighra', yaitu daya tarik luar biasa yang
menyebabkan orang lalai terhadap kewajibannya demi melakukan hal-hal atau
transaksi dalam rangka memperoleh bonus/komisi yang dijanjikan. Jadi komisi atau
bonus tidak boleh dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi faktor utama yang
paling menarik sebagai sumber income, atau tujuan utama melakukan bisnis PLB.
Income dari marjin keuntungan penjualan barang atau produk jasa, sudah
selayaknya lebih besar daripada income berupa komisi atau bonus.

Ketentuan No. 9: tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan (dzulm) dalam pembagian
bonus antara anggota pertama dengan anggota berikutnya. PLB yang benar harus
bisa memberikan jaminan bahwa downline paling bawah akan bisa mendapatkan imbal
hasil yang sama dengan yang mulai lebih awal, jika berhasil melakukan distribusi
produk PLB meskipun downline tersebut tidak lagi memiliki downline.

Salah satu strateginya adalah membuat ketentuan bahwa meskipun kita sudah
memiliki downline, namun kita tidak berhak memeroleh komisi atau bonus atas
keberadaan downline tersebut, jika kita dan/atau downline kita tidak berhasil
memenuhi kuota penjualan dalam jumlah dan waktu yang ditentukan. Begitu pula
jika anggota paling awal tidak berhasil melakukan penjualan dengan kuota
tertentu, maka dia tidak berhak memeroleh komisi atau bonus. Dan yang harus
selalu diingat bahwa komisi atau bonus hanyalah penyemangat bisnis atas
keberhasilan menjual produk, bukan tujuan utamanya.

Ketentuan No. 10: sistem perekrutan keanggotaan, bentuk penghargaan dan acara
seremonial yang dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan
aqidah, syariah dan akhlak mulia, seperti syirik, kultus, maksiat dan lain-lain.
PLBS yang benar harus mengakomodir kepentingan ibadah kepada Tuhan, berbuat baik
kepada sesama, tidak memaksa, mencegah perilaku boros, mencegah pemenuhan
kebutuhan yang tidak perlu, serta tidak merugikan orang lain.

Ketentuan No. 11: setiap mitra usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan
berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan kepada anggota yang direkrutnya
tersebut. Mitra usaha memiliki kewajiban untuk selalu mendampingi dan membantu
agar anggota yang direkrut tidak memiliki kesulitan untuk melakukan distribusi
produk, serta tidak melenceng dari ketentuan yang telah digariskan syariah.

Ketentuan No. 12: tidak melakukan kegiatan money game. Money Game adalah
kegiatan penghimpunan dana masyarakat atau penggandaan uang dengan praktik
memberikan komisi dan bonus dari hasil perekrutan/pendaftaran Mitra Usaha yang
baru/bergabung kemudian dan bukan dari hasil penjualan produk, atau dari hasil
penjualan produk namun produk yang dijual tersebut hanya sebagai kamuflase atau
tidak mempunyai mutu/kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Selain menaati ketentuan yang ada pada Fatwa DSN MUI tersebut, kita juga harus
menaati Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor:
32/M-DAG/PER/8/2008 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan
Sistem Penjualan Langsung. Fatwa DSN MUI dan Peraturan Menteri Perdagangan
tersebut inline, bahkan pada peraturan tersebut dijelaskan rinci mengenai hak
dan kewajiban antarpihak terutama jika PLB dilakukan secara online, seperti
pemberian informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaannya.

Secara teknis, perusahaan/penjual/mitra usaha juga diharuskan memberikan
tenggang waktu selama 10 (sepuluh) hari kerja kepada calon mitra usaha baru
untuk memutuskan menjadi mitra usaha atau membatalkan pendaftaran dengan
mengembalikan alat bantu penjualan (starter kit) yang telah diperoleh dalam
keadaan seperti semula. Perusahaan harus memberikan tenggang waktu selama 7
(tujuh) hari kerja kepada mitra usaha dan/atau konsumen untuk mengembalikan
barang, apabila ternyata barang tersebut tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.

Perusahaan diwajibkan membeli kembali barang, bahan promosi (brosur, katalog,
leaflet), dan alat bantu penjualan (starter kit) yang dalam kondisi layak jual
dari harga pembelian awal mitra usaha ke perusahaan dengan dikurangi biaya
administrasi paling banyak 10% (sepuluh persen) dan nilai setiap manfaat yang
telah diterima oleh mitra usaha berkaitan dengan pembelian barang tersebut,
apabila mitra usaha mengundurkan diri atau diberhentikan oleh perusahaan.
Perusahaan juga harus memberi kompensasi berupa ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.

Nah, bagaimanakah dengan pemasaran viral? Pada prinsipnya, ketentuan pemasaran
viral ini juga mengikuti kaidah jual beli maupun kaidah PLBS tersebut di atas.
Pemasaran viral (viral marketing) adalah penyebaran pesan eletronik dari satu
konsumen ke konsumen lain secara sadar maupun tidak, menciptakan ekspansi dan
pertumbuhan pesan yang eksponensial dalam penyebarannya.

Berbeda dengan PLB, pemasaran viral biasanya memiliki fitur sebagai berikut: (1)
Tidak ada bonus perekrutan karena bebas biaya bergabung; (2) Produk yang
dipasarkan merupakan produk dinamis, misalnya pulsa telepon seluler; (3) Bonus
hanya diperoleh dengan adanya pemesanan berulang; (4) Harga produk lebih murah
atau hampir sama dengan harga pasar konvensional; (5) Komisi atau bonus tiap
transaksi yang dilakukan relatif kecil; (6) Bonus akan signifikan pada jaringan
yang besar. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pemasaran viral dipercaya
dapat membuat kompetisi di pasar konvensional menjadi semakin menarik karena
pada dasarnya keunggulan pemasaran berjenjang adalah captive market yang
tersistem ditambah dengan konsep pemasaran konvensional yang bertumpu pada harga
dan produk.

Dengan mencermati dan menaati berbagai ketentuan PLBS yang telah diatur oleh
pemerintah lewat kementerian perdagangan dan DSN MUI, insya Allah kita bisa
terhindar dari bisnis PLB berkedok money game, sehingga kegiatan perniagaan yang
kita lakukan bisa memberikan manfaat dan barakah bagi diri kita, keluarga maupun
umat.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: