Jumat, 14 Oktober 2011

[daarut-tauhiid] ANTARA AL-BUKHARI DAN AL-SYAFI'I

-=-=-=-

http://umarmnoor.blogspot.com/2011/03/antara-al-bukhari-dan-al-syafii.html


TUESDAY, MARCH 8, 2011

**ANTARA AL-BUKHARI DAN AL-SYAFI'I**

Meski semua ulama hadits sepakat menilai lemah [dha'if] setiap sanad yang
terputus, namun mereka berselisih pendapat tentang sanad yang terdapat dua
orang perawi yang hidup semasa (mu'asharah) namun tidak pernah terbukti
berjumpa. Imam Muslim berpendapat bahwa "hidup semasa (al-mu'asharah)" yang
disokong oleh peluang perjumpaan dan bebas dari sifat tadlis sudah cukup
untuk menilai sanad itu bersambung. Sementara hal itu menurut Imam
Al-Bukhari tidak cukup. Ia tetap menuntut bukti yang menunjukkan perjumpaan
(liqa) keduanya agar riwayat mereka dinilai bersambung. Karena pendiriannya
ini, para ulama menilai metode penerimaan hadits yang diterapkan Al-Bukhari
lebih ketat dibandingkan Muslim, sehingga menempatkan kitab Shahih
al-Bukhari di tempat yang lebih tinggi daripada Shahih Muslim.


Menariknya, metode ketat yang diterapkan Al-Bukhari dalam penerimaan hadits
ini ternyata telah dipraktekkan jauh sebelumnya oleh Imam Muhammad bin Idris
Al-Syafii (150-204 H). Fakta ini menunjukkan beberapa perkara penting, salah
satunya: kenyataan bahawa Al-Syafii seorang pakar ilmu hadits. Bukan hanya
itu, kes ini juga bahkan menunjukkan bahawa kemampuannya dalam menilai
hadits tidak kurang teliti daripada pakar hadits terbaik sepanjang sejarah,
iaitu Imam Al-Bukhari. Dan karena kehadiran Al-Syafii mendahului Al-Bukhari,
menurut saya tidak salah jika kita berani berkata bahwa metode kritik hadits
Al-Syafii telah mengilhami, jika tidak menjadi panutan, Al-Bukhari dan para
ahli hadits setelahnya.


Di bawah ini adalah ringkasan dari salah satu bahasan di dalam thesis yang
saya yang bertajuk *"Manhaj Al-Imam Al-Syafi'I fi Ta'lil Al-Hadits"*untuk
meraih gelar sarjana [masters] di jurusan Al-Sunnah wa 'Ulumil Hadits Univ.
Om Durman Sudan pada tahun 2007.


Sebelum membuktikan kesamaan metode yang diterapkan Al-Syafii dan
Al-Bukhari, ada baiknya jika kita mengkaji latar belakang ilmu hadits yang
dimiliki Al-Syafii.

*
*
*
*
*=Al-Syafii dan Hadits=*


Meski terjadi perselisihan riwayat tentang masa kedatangan Al-Syafii ke
Mekah untuk pertama kali, namun semua sepakat bahwa ia datang ke Mekah
ketika kota ini dipenuhi ulama-ulama hadits yang ternama. Di antara sekian
banyak ulama pada saat itu, Sufyan bin 'Uyainah menempati posisi yang paling
terhormat karena keluasan ilmu dan banyak haditsnya. Oleh karena itu, sejak
remaja Al-Syafii telah bersungguh-sungguh menghadiri majlis riwayatnya
sehingga terjalin hubungan personal yang sangat kuat antara guru dan murid
ini. Selain dari Ibn 'Uyainah, Al-Syafii menimba ilmu dari ulama-ulama lain
di Mekah seperti Muslim Al-Zinji, Sa'id Al-Qaddah dan lain-lain.


Perjalanan ilmiah Al-Syafii menuntut hadits dilanjutkan ke Madinah ketika
pada usia 23 tahun (sesuai pendapat Al-Dzahabi) ia datang ke kota ini dan
berjumpa dengan Malik bin Anas, Ibrahim bin Muhammad Ibn Abi Yahya, Abd
Al-'Aziz bin Muhammad Al-Darawardi, Ibrahim bin Sa'ad, Anas bin 'Iyadh dan
lain-lain. Semua orang ini boleh dikata merupakan tiang-tiang penyangga
hadits dan fiqh di Madinah kala itu.


Dengan begitu, Al-Syafii telah berhasil mengumpulkan perbendaharaan hadits
ahli Hijaz yang terkenal bersih dari 'illat dan sangat kuat untuk dijadikan
dalil. Ketinggian mutu hadits ahli Hijaz ini dijelaskan Sufyan Ibn 'Uyainah,
"Barangsiapa yang menginginkan sanad dan hadits yang meyakinkan dan hati
tenang menerimanya maka carilah hadits ahli Hijaz." ["Al-Tamhid" 1/79]
Al-Khathib Al-Baghdadi juga berkata, "Jalur Sunnah yang paling sahih adalah
yang diriwayatkan oleh ahli Haramain: Mekah dan Madinah. Sebab tadlis dalam
riwayat mereka sedikit, hadits-hadits dusta dan palsu jarang sekali
terjadi." [Lihat "Tadrib Al-Rawi" hal 63]


Syeikhul Islam Ibn Taymiah mendukung pendapat ini dengan berkata,
"Barangsiapa yang memperhatikan bab-bab Shahih Al-Bukhari, ia akan melihat
bahwa Imam Al-Bukhari selalu berusaha menyebutkan hadits ahli Hijaz di awal
bab jika ia temukan, sebelum ia menyebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh ulama-ulama dari berbagai kota yang lain." [Tafdhil Madzhab Malik wa
Ahl Al-Madinah wa Shihat Ushulih", Ibn Taymiah, hal. 56]


Sebenarnya, memiliki perbendaharaan hadits ahli Hijaz yang sangat luas ini
sudah cukup untuk menjadi modal berijtihad. Namun ternyata Al-Syafii
melanjutkan perjalanan intelektualnya dengan pergi ke Yaman, Baghdad dan
Mesir untuk mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di semua kota ini dan
berdiskusi dengan para tokoh ulamanya. Hasilnya: jangkauan riwayatnya
semakin luas dan ijtihadnya semakin matang. Kematangan itu misalnya telihat
sebagai berikut: selama di Mekah dan Madinah, Al-Syafii hanyut bersama
metode ijtihad ahli Hijaz serta memandang negatif hadits-hadits yang
diriwayatkan ahli Irak. Ulama-ulama Hijaz pada masanya, seperti Ibn Syihab
Al-Zuhri dan Imam Malik, sering berkata, "Jika hadits telah keluar dari
Hijaz maka hilang wibawanya." ["Al-Tamhid" 1/80, "Tadrib Al-Rawi" hal. 63].
Sebagai pemuda Hijaz, Al-Syafii setuju dengan pendapat ini sehingga ia juga
berkata, "Demi Allah, jika sanad hadits yang berasal dari Irak sesahih
apapun, namun jika aku tidak menemukan hadits yang mendukung maknanya di
negeri kami (Hijaz), maka aku tidak mengindahkan hadits tersebut." [Adab
Al-Syafi'i wa Manaqibuh, hal. 153, Manaqib Al-Syafi'i, al-Baihaqi, 1/526,
Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar 1/150.]


Setelah berkesempatan berjumpa dengan ulama-ulama Irak seperti Ismail bin
'Ulayyah dan Waki' bin Al-Jarrah, juga pemuda-pemuda cerdas seperti Ahmad
bin Hanbal dan 'Ali bin Al-Madini, persepsi Al-Syafii terhadap hadits ahli
Irak berubah. Cara berpikirnya lebih obyektif sehingga ia berani berkata
kepada Ahmad bin Hanbal dan pemuda-pemuda pakar hadits di Irak, "Kalian
lebih menguasai hadits dan rijal (nama-nama perawi) daripada diriku. Maka
jika ada sebuah hadits yang sahih, maka beritahulah aku. Aku akan
menerimanya walaupun hadits itu berasal dari Kufah, Basrah atau Syam jika ia
benar-benar sahih." [Adab Al-Syafi'i wa Manaqibuh, hal. 70]. Al-Baihaqi
berkata, "Al-Syafi'i tidak menyebut Hijaz, sebab ia lebih mengetahui
hadits-hadits ahli Hijaz dan tokoh-tokoh perawinya daripada mereka."


Hingga akhir hayatnya, Al-Syafii berpegang kepada prinsip ini sebagaimana
yang diceritakan muridnya di Mesir Bahr bin Nashr, "Al-Syafi'i mendiktekan
[imlakkan] kepada kami kata-katanya: barangsiapa yang dikenal jujur dan
hafal dari ahli Irak atau negeri kita (Hijaz), kami menerima haditsnya. Dan
barangsiapa yang terkenal sering keliru dari ahli Irak atau negeri kita,
maka kami menolak haditsnya. Kami tidak fanatik kepada siapapun dan kami
tidak mendeskriminasikan siapapun." [Manaqib Al-Syafi'i, 1/528]


Semua ini juga menunjukkan bahwa sebelum Al-Syafii berpindah ke Mesir dan
wafat di kota ini, ia telah mengusai perbendaharaan hadits yang sangat kaya.
Ia telah mengusai hadits-hadits yang terdapat di pusat-pusat hadits kala
itu, yakni: Mekah, Madinah, Yaman, Baghdad lalu Mesir. Kekayaan hadits ini
membuat Al-Syafii menjadi seorang ahli hadits yang mahir dalam menilai
hadits juga status perawinya. Berkenaan dengan perawi hadits, kita dapat
menemukan ucapan Al-Syafii tentang para perawi terpercaya (tsiqah) seperti:
Abd Al-Wahab Al-Tsaqafi, 'Amr bin Al-Haitsam, Dawud bin Syabur, Dawud bin
Qais Al-Dabbagh, Yahya bin Sulaim, Zam'ah bin Shalih, Usamah bin Zaid
Al-Laitsi dan Muhammad bin Abi Humaid. Perawi-perawi lain yang dinilainya
lemah (dhaif) antara lain: Mujalid bin Sa'id, Al-Jild bin Ayyub, Jabir
Al-Ju'fi, Laits bin Abi Sulaim dan Ikrimah maula Ibn 'Abbas.


Al-Syafii bahkan melontarkan kata-kata keras terhadap para perawi tertentu
yang dinilainya telah berdusta seperti katanya, "Meriwayatkan (hadits) dari
Haram bin Utsman (hukumnya) haram." Ia juga berkata, "Barang siapa
meriwayatkan hadits dari Abu Jabir Al-Bayadhi, semoga Allah memutihkan
matanya." Katanya lagi, "Katsir bin 'Abdillah Al-Muzani, ia seorang rukun
kedustaan." Al-Syafii menilai ketiga orang ini matruk (harus ditinggalkan
haditsnya), sehingga tak satupun kita menemukan hadits-hadits mereka di
buku-buku Al-Syafii.


Penilaian Al-Syafii kepada perawi hadits tidak dilakukan dengan sembarangan,
melainkan sesuai dengan sebuah mekanisme penelitian yang sangat teliti. Ia
berkata di Al-Risalah [hal 383], "*Dinilai hafalan seorang perawi hadits
dengan (cara): jika beberapa orang meriwayatkan (sebuah hadits yang sama)
dari seorang guru, jika salah seorang dari mereka sesuai riwayatnya dengan
riwayat mereka maka ia dinilai hafal. Dan ia tidak dinilai hafal jika
riwayatnya tidak sesuai dengan riwayat mereka.*"


Artinya, jika kita hendak menilai status ketsiqatan Muhammad bin Ishaq bin
Yasar misalnya, kita harus mengumpulkan semua hadits yang ia riwayatkan dari
guru-gurunya seperti Al-Zuhri, Fatimah binti Al-Munzir dan lain-lain.
Setelah itu, kita harus memeriksa setiap hadits tersebut dengan
membandingkannya dengan riwayat perawi-perawi lain dari Al-Zuhri, seperti
Malik bin Anas, 'Uqail bin Khalid, Yunus bin Yazid dan lain-lain. Jika kita
dapati riwayatnya berbeda dengan riwayat mereka, walau hanya satu kata, maka
hal itu dicatat sebagai kesalahan. Semakin banyak kesalahan itu berulang,
semakin lemah statusnya dalam periwayatan. Al-Syafii berkata, "*Seorang
perawi yang sering keliru dan tidak memiliki buku catatan haditsnya tidak
kami terima. Sebagaimana orang yang sering keliru dalam persaksian maka
persaksiannya kami tolak.*" [Al-Risalah, hal. 382]


Sebaliknya, jika ternyata kesalahannya sangat sedikit dibandingkan
keseluruhan riwayat-riwayatnya, tidak ada seorangpun yang berhak menilai
dirinya lemah. Metode ini bukan hanya milik Al-Syafii, melainkan dijelaskan
pula oleh Imam Muslim di mukaddimah kitab Shahih-nya ketika ia berbicara
tentang hadits munkar. Metode ini juga kemudian menjadi pegangan Ibn
Al-Shalah dan semua ulama yang menulis tentang ilmu hadits setelahnya. Tanpa
menerapkan metode ini, diskusi panjang lebar tentang status seorang perawi
hanya perdebatan kosong belaka.


Karena berlandaskan metode penilaian yang diakui keabsahannya, tak heran
jika tokoh-tokoh hadits kenamaan seperti Imam Muslim, Ibn 'Adi, Ibn Hibban,
Al-Dzahabi dan Al-Sakhawi sepakat menjadikan Al-Syafii sebagai rujukan
muktamad dalam ilmu *al-jarh wa al-ta'dil.*

*
*
*
*
*=Metode Al-Syafii=*


Kini saatnya membuktikan ucapannya saya di muka tentang kesamaan metode
Al-Syafii dengan Al-Bukhari. Al-Syafi'i berkata di Kitab Al-Risalah [hal.
379], "*Ucapan perawi: [aku mendengar fulan berkata: telah memberitahuku
fulan] dan ucapannya: [telah memberitahuku si fulan dari fulan]; sama
menurut ahli hadits. Ia hanya meriwayatkan dari orang yang dijumpai sesuatu
yang didengar. Maka siapa saja yang kami tahu berpendirian seperti ini kami
terima (ucapannya): telah memberitahuku si fulan dari fulan jika ia tidak
mudallis.*"


Al-Hafiz Ibn Hajar berkata, "*Al-Syafi'i menyebutkan bahwa ia hanya menerima
(ucapan) "dari" ('an) jika perawinya tidak mudallis dan menggunakan kalimat
ini untuk sesuatu yang ia dengar. Maka pendapatnya mirip dengan mazhab
Al-Bukhari yang berpendapat bahwa jika terbukti pertemuan walau satu kali
maka riwayatnya sama seperti ia mendengar (hadits itu dari gurunya).*"
[Al-Nukat" hal. 231]. Penafsiran Ibn Hajar ini sama dengan penafsiran Abu
Bakar Al-Shairafi di kitab "Syarh Al-Risalah".


Praktek Al-Syafi'i dalam kritik hadits ternyata sejalan dengan penafsiran
kedua imam ini. Kita menemukan sering kali Al-Syafi'i
menghukumkan*mursal* (terputus)
untuk hadits-hadits yang diriwayatkan seorang perawi dari perawi lain yang
hidup semasa dengannya apabila tidak terbukti keduanya pernah berjumpa atau
mendengar satu sama lain.


Al-Syafi'i berkata, "*Hadits Sulaiman bin Yasar dari Al-Miqdad bin Al-Aswad
terputus. Kami tidak mengetahui bahwa ia pernah mendengar darinya.*"


Hadits yang dimaksud adalah riwayat Malik, Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain
dari Sulaiman bin Yasar dari Al-Miqdad bahwa 'Ali bin Abi Thalib memintanya
bertanya kepada Nabi Saw tentang seorang laki-laki yang sering keluar madzi
setiap kali berdekatan dengan istrinya. Rasulullah Saw lalu bersabda, "Jika
salah satu dari kalian mendapati hal itu, maka cucilah kemaluanya, lalu
berwudhulah seperti berwudhu hendak shalat."


Al-Miqdad bin Al-Aswad disepakati wafat pada tahun 33 H, sementara Sulaiman
bin Yasar diperselisihkan tahun kelahirannya; apakah tahun 34 H atau 27 H.
Jika kita mengambil pendapat yang pertama (seperti yang dilakukan oleh Ibn
'Abd al-Bar, Al-Qadhi 'Iyadh dan Waly Al-'Iraqi) maka riwayatnya dari
Al-Miqdad jelas terputus. Sebab ia belum lahir ketika Al-Miqdad telah wafat.
Namun jika kita mengambil pendapat yang kedua (sebagaimana pendapat Ibn
Hibban dan Al-'Alla'i), ada kemungkinan ia mendengar dari Al-Miqdad. Sebab
ketika Al-Miqdad meninggal dunia, Sulaiman telah berusia 6 tahun apalagi
keduanya berada di Madinah.


Namun begitu, "kemungkinan mendengar" saja menurut Al-Syafi'i tidak cukup
untuk menyatakan sanad ini bersambung. Diperlukan informasi berupa riwayat
yang jelas menunjukkan bahwa salah satu dari mereka berdua benar-benar
pernah mendengar dari yang lain walau hanya satu kali. Itu sebabnya,
Al-Syafii tetap menilai sanad ini terputus.


Begitu juga riwayat 'Atha bin Yasar dari Rafi' bin Khadij hadits tentang
menanam pohon tanpa izin pemilik tanah. Al-Syafi'i berkata, "Hadits ini*
munqathi'* (terputus) sebab 'Atha tidak berjumpa dengan Rafi'."


Beliau berkata demikian meski keduanya hidup di masa yang sama. Rafi' bin
Khadij wafat pada tahun 73 H dan 'Atha lahir pada masa pemerintahan
Sayyidina 'Umar (jadi sebelum tahun 23 H) dan wafat pada tahun 114 H. Jadi
ketika Rafi' bin Khadij wafat, Atha bin Yasar telah menjadi seorang dewasa,
usianya tak kurang dari 40 tahun. Ditambah lagi, Rafi' menetap di Madinah
dan 'Atha di Mekah, kota ini sangat dekat, jadi kemungkinan perjumpaan
mereka sangat besar. Namun tak adanya riwayat yang menunjukkan bahwa mereka
pernah berjumpa menjadi penghalang untuk mensahihkan hadits ini menurut
Al-Syafi'i. Al-Baihaqi berkata, "Hadits ini dilemahkan juga oleh
Al-Bukhari."


Al-Syafi'i juga berkata, "Sulaiman bin Yasar setahu kami tidak pernah
mendengar dari 'Aisyah satu huruf pun. Jika ia meriwayatkan darinya, maka
(riwayatnya) *mursal*."


Beliau berkata seperti itu untuk melemahkan hadits Sulaiman dari 'Aisyah
bahwa ia pernah mencuci mani dari pakaian Rasulullah Saw kemudian beliau
shalat dengan memakai baju itu. Siti 'Aisyah menetap di Madinah hingga
wafatnya pada tahun 57 H atau 58 H, dan Sulaiman bin Yasar adalah bekas
hamba (maula) Umm Salamah –istri Nabi Saw juga seperti 'Aisyah- dan juga
menetap di Madinah. Jadi kemungkinan mereka telah berjumpa sangat besar.
Namun Al-Syafii tetap menoak riwayat Sulaiman dari 'Aisyah karena tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa mereka pernah berjumpa walau hanya satu kali.


Ternyata, beberapa tahun kemudian Al-Bukhari menemukan bukti yang
menunjukkan pertemuan Sulaiman dengan Aisyah sehingga ia lalu menshahihkan
hadits ini dan mencantumkannya di kitab Shahihnya. Hal ini tidak merusak
ucapan saya tentang kesamaan metode antara Al-Syafii dan Al-Bukhari. Sebab
pada asalnya mereka tetap sepakat bahwa dua orang perawi tidak dinyatakan
bersambung riwayatnya selama tidak terbukti pernah berjumpa. Andai Al-Syafii
menemukan bukti itu, Insya Allah ia pasti menshahihkan hadits tersebut
sebagaimana yang dilakukan Al-Bukhari. Wallahu a'lam.

Posted by Umar Muhammad Noor at 7:57
AM<http://umarmnoor.blogspot.com/2011/03/antara-al-bukhari-dan-al-syafii.html>

Email This<http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=4560008998121180712&postID=1979141629815361520&target=email>
BlogThis!<http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=4560008998121180712&postID=1979141629815361520&target=blog>Share
to Twitter<http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=4560008998121180712&postID=1979141629815361520&target=twitter>Share
to Facebook<http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=4560008998121180712&postID=1979141629815361520&target=facebook>


--
Satriyo

"Don't be so quick to judge, you never know when you might just find
yourself walking in that person's shoes"


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: