Rabu, 12 Oktober 2011

[daarut-tauhiid] Cintailah Istri Anda Karena Allah!

 

12  Oktober  2011

DALAM
Islam, menikah sama dengan menyempurnakan separuh agama. Berbagai
kenikmatan di surga sepertinya belum cukup bagi Adam 'alaihis-salaam.
Itulah sebabnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan ibu kita, Hawa,
untuk mendampinginya.

Jika ditelusuri, sesungguhnya karya-karya
besar orang sukses lahir ketika seluruh energi di dalam dirinya
bersinergi dengan sumber energi di luar dirinya, yakni dukungan dari
orang-orang terdekat. Bagi seorang suami, istri adalah salah satu sumber
energi itu.

Istri, di samping sebagai sandaran emosional, juga
sebagai penyangga spiritual. Dialah yang siap berbagi tanpa pura-pura
dan pamrih. Karunia istri, menurut Al-Qur`an, sama berharganya dengan
kejadian dunia dan seisinya (Ar-Ruum: 16-30). Subhanallah!

Seorang
suami bisa memperoleh ketenangan dan gairah hidup dari seorang istri.
Juga kenyamanan, keberanian, keamanan, dan kekuatan. Laki-laki
menumpahkan seluruh energinya di luar rumah dan mengumpulkannya kembali
di dalam rumah. Rumah tidak sekadar tempat berteduh secara fisik, tetapi
tempat berlabuh lahir dan batin. Sumber menu ruhani dan jasmani.

Potensi
besar yang dikaruniakan Allah kepada perempuan adalah kelembutan,
kesetiaan, cinta, kasih sayang, dan ketenangan jiwa. Kekuatan itu
seringkali dilukiskan bagaikan ring dermaga tempat suami menambat kapal,
atau pohon rindang tempat sang musafir merebahkan diri dan berteduh.

Di
dalamnya merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman. Tempat menumpahkan
sisi kepolosan dan kekanakan suami untuk bermain dengan lugu; saat
suami melepaskan kelemahan-kelemahan nya dengan aman; saat suami merasa
bukan siapa-siapa; saat suami menjadi bocah besar yang berjenggot dan
berkumis. Di keadalaman telaga itulah suami menyedot energi spiritual
dan ketajaman emosional.

Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu
pernah berkata, "Jadilah engkau bocah di depan istrimu, tetapi
berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu."

"Saya selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos ketika berbaring dalam pangkuan ibuku dan istriku," kata Sayyid Quthub.

Sebaik-baik
wanita (istri), kata Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,
adalah apabila kamu melihatnya menyenangkanmu. Istri yang seperti inilah
yang bisa menjadi sumber kebahagiaan, keamanan, dan penjaga kehormatan
diri. Bila sumber itu hilang atau kering, tragedi cintalah yang akan
terjadi.

Jangan Sampai Membelenggu

Hanya saja, kecintaan
kepada istri harus rasional dan proporsional. Tak sekadar menonjolkan
rasa, tetapi juga rasio. Cinta terhadap istri hendaknya diletakkan demi
kepentingan agama.

Cintailah istrimu di bawah cinta kepada
Allah! Jangan sampai kecintaan kepada keluarga menjadi ketergantungan
yang membelenggu dan melumpuhkan. Saling mengasihi yang tidak dilandasi
agama, suatu ketika bakal menjadi batu sandungan dakwah.

ÇáúÃóÎöáøóÇÁ íóæúãóÆöÐò ÈóÚúÖõåõãú áöÈóÚúÖò ÚóÏõæøñ ÅöáøóÇ ÇáúãõÊøóÞöí

"Para
kekasih pada hari itu (kiamat) sebagian mereka terhadap sebagian yang
lain menjadi musuh kecuali orang-orang yang bertaqwa." (Az-Zuhruf:  67)

Ketergantungan
kepada selain Allah adalah indikasi kelemahan jiwa. Umar bin Khattab
pernah menyuruh putranya, Abdullah bin Umar, satu dari tujuh ulama besar
sahabat Rasulullah, untuk menceraikan istrinya. Pasalnya, ia terlalu
berlebihan dalam mencintai istrinya itu.

Terkadang, ia terlambat
shalat berjamaah karena asyik menyisir rambut istrinya. Sekalipun ia
mempertahankan istrinya yang tercinta, tetapi Umar menganggapnya sebagai
kelemahan jiwa.

Ketika seorang sahabat mengusulkan kepada Umar
untuk mencalonkan putranya sebagai khalifah ketiga saat menjelang
wafatnya, beliau menolak. "Aku tidak akan pernah menyerahkan amanah ini
kepada seorang laki-laki yang lemah, yang tak berdaya menceraikan
istrinya," kata Umar.

Ibnu Abbas dan Mujahid mengatakan: "Pada hari kiamat setiap kekasih hati menjadi musuh kecuali orang-orang yang bertaqwa."

Sedang
Al-Hafidz Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW
bersabda: "Jika antara dua orang saling mencintai karena Allah, yang
seorang di Timur dan yang seorang lagi di Barat, maka pada hari Kiamat
Allah pasti akan mempersatukan keduanya sambil berfirman: "Inilah orang
yg kau cintai karena-Ku..."

Agamalah yang bisa memberikan
keterampilan kepada pemeluknya untuk mengelola fluktuasi (naik turun)
kehidupan dengan semangat yang sama. Sedih dan gembira, suka dan duka,
gagal dan sukses, adalah peta realitas kehidupan dunia.

Dinamika
kehidupan dipersepsikan dan disikapi sebagai romantika, sehingga istri
bisa menjadi teman abadi sepanjang hayat di dunia dan di akhirat. Tidak
sebatas pandai dalam menjalin kasih secara biologis, tetapi terampil
dalam memetakan masalah dan memutuskan risiko yang terjadi pascanikah.

Membangun Sandaran Spiritual

Syaikh
Hasan an-Naisaburi, seorang ulama yang alim, pada usia 40 tahun belum
juga menikah. Di tengah kesibukannya, datanglah seorang gadis shalihah
yang cacat (bermata juling) dan miskin memberanikan diri untuk
menghibahkan dirinya kepada beliau.

"Wahai Ustadz, sudikah engkau berkeluarga dengan orang yang fari ini?" kata gadis itu.

Sang
ulama tergagap, seakan-akan telinganya disambar petir, diingatkan akan
sunnah Rasul yang selama ini seolah-olah terhapus dalam memorinya.
Segera, setelah itu ia bisa menguasai diri.

Beliau menjawab,
"Apakah sudah engkau pertimbangkan secara matang hidup denganku yang
sudah tua ini? Ingat masa depanmu masih panjang! Jangan engkau korbankan
harapanmu denganku!"

Singkat cerita, lamaran gadis tersebut
diterima. Sang gadis, terutama bapaknya, segera melakukan sujud syukur,
"Alangkah senangnya kehidupanmu kelak, Nak. Bapak doakan semoga
pernikahanmu ini yang pertama dan terakhir. Anakku, ditinjau dari
berbagai segi, sesungguhnya kamu tidak sekufu dengan ustadz. Baik dari
sisi usia, keilmuan, harta, dan keturunan. Tetapi alhamdulillah,
permohonanmu diterima dengan tangan terbuka. Doa apakah yang selalu kamu
panjatkan kepada Allah selama masa penantianmu yang panjang, Nak?"

Selama
lima tahun mujahid yang harum namanya itu berdampingan dengan wanita
yang cacat fisik, tetapi sukses mengarungi samudera kehidupan
berkeluarga tanpa hambatan yang berarti. Ia berhasil merangkai keluarga
sakinah, mawaddah, warahmah, wa muthmainah.

Sekalipun banyak
ketidakcocokan di tengah jalan, tetapi dengan mudah dicarikan jalan
keluar. Tentu, pasangan ini tidak terfokus perhatiannya pada hal yang
bersifat lahiriah. Sang ulama menyadari, jika tidak menyukai satu sifat
istri, palingkan penglihatanmu pada sisi yang lain.

Kalau kita
baca tarajum (riwayat kehidupan) sang ulama, bisa dipahami bahwa
kesamaan cinta kepada Allah-lah yang bisa mempertahankan dan merawat
keharmonisan rumah tangga mereka sampai 15 tahun.

Suatu hari,
sang istri yang cacat itu lebih dahulu kembali kepada Allah. Sang ulama
menuliskan bait-bait puisinya yang melukiskan kepedihan hatinya, karena
terlalu cepatnya berpisah dengan belahan jiwanya. "... Sungguh istriku,
hati kita yang telah terbuhul... dengan cinta kepada Allah."

Ia selalu terkenang dengan istrinya yang cacat fisik tetapi hatinya laksana intan mutiara. Lentera di dada.

Rasulullah
berpesan, "Janganlah laki-laki mukmin membenci istrinya yang mukminah.
Bila ada perangai istri yang tidak disukai, dia pasti ridha (senang)
dengan perangai istri yang lain." (Riwayat Muslim).*/Sahid

Red: Cholis Akbar

Diambil dari : www.hidayatullah.com

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: