Kamis, 06 Oktober 2011

[daarut-tauhiid] Mengikuti Mayoritas Berarti Berada Dalam Kebenaran?

*Mengikuti Mayoritas Berarti Berada Dalam Kebenaran?*

*Alhamdulillahi nahmaduhu wa nasta'inuhu wa nastaghfiruhu, wa naudzu billahi
min syururi anfusina wa min sayyiati a'malina, man yahdillahu fala
mudhillalahu, wa man yudhlilhu fala hadiya lahu. *

* *

*Asyhadu an laa ilaha illallahu, wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa
rasuluhu. *

* *

*Ya ayyuha alladziina amanuu ittaquullaha haqqa tuqatihi wala tamuutunna
illa waantum muslimuuna *

* *

*Ya ayyuhannasu ittaqu rabbakum **al-ladzi **khalaqakum min nafsin wahidatin
wa khalaqa minha zaujaha, wa batsta minhuma rijalan katsiran wa nisa'an,
wattaqullaha al-ladzi tasa'aluna bihi wal arham innallaha kana 'alaikum
raqiban. *

* *

*Ya ayyuhalladzina amanu ittaqullaha wa qulu qaulan sadidan yashluh lakum
a'malakum wa yaghfir lakum dzunubakum wa man yuthi'illaha wa rasulahu faqad
faza fauzan'adziman.*

* *

*Amma ba'du:*

Setelah mendengar dakwah Nabi Nuh, kaumnya terpecah menjadi dua kelompok:
Kelompok orang-orang lemah, orang-orang fakir, dan orang-orang yang
menderita, di mana mereka merasa dilindungi dengan dakwah Nabi Nuh,
sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok orang-orang kaya, orang-orang
kuat, dan para penguasa di mana mereka menghadapi dakwah Nabi Nuh dengan
penuh keraguan. Bahkan ketika mereka mempunyai kesempatan, mereka mulai
melancarkan serangan untuk melawan Nabi Nuh. Mula-mula mereka menuduh bahwa
Nabi Nuh adalah manusia biasa seperti mereka:

"Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: 'Kami tidak
melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami.'"
(QS. Hud: 27)

Dalam tafsir al-Quturbi disebutkan: "Masyarakat yang menentang dakwahnya
adalah para pembesar dari kaumnya. Mereka dikatakan *al-Mala'* karena mereka
seringkali berkata. Misalnya mereka berkata kepada Nabi Nuh: "Wahai Nuh,
engkau adalah manusia biasa." Padahal Nabi Nuh juga mengatakan bahwa ia
memang manusia biasa. Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* mengutus seorang rasul
dari manusia ke bumi karena bumi dihuni oleh manusia. Seandainya bumi dihuni
oleh para malaikat niscaya Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* mengutus seorang
rasul dari malaikat.

Berlanjutlah peperangan antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh. Mula-mula,
rezim penguasa menganggap bahwa dakwah Nabi Nuh akan mati dengan sendirinya,
namun ketika mereka melihat bahwa dakwahnya menarik perhatian orang-orang
fakir, orang-orang lemah, dan pekerja-pekerja sederhana, mereka mulai
menyerang Nabi Nuh dari sisi ini. Mereka menyerangnya melalui pengikutnya
dan mereka berkata kepadanya: "Tiada yang mengikutimu selain orang-orang
fakir dan orang-orang lemah serta orang-orang hina."

Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata):
'Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu
tidak menyembah selain Allah. Sesung­guhnya aku khawatir kamu akan ditimpa
azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin
yang kafir dari kaumnya: 'Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai)
seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang
yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang
lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan
apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang
berdusta. " (QS. Hud: 25-27)

Demikianlah telah berkecamuk pertarungan antara Nabi Nuh dan para bangsawan
dari kaumnya. Orang-orang yang kafir itu menggunakan dalih persamaan dan
mereka berkata kepada Nabi Nuh: "Dengarkan wahai Nuh, jika engkau ingin kami
beriman kepadamu maka usirlah orang-orang yang beriman kepadamu.
Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang lemah dan orang-orang yang fakir,
sementara kami adalah kaum bangsawan dan orang-orang kaya di antara mereka.
Dan mustahil engkau menggabungkan kami bersama mereka dalam satu dakwah
(majelis)." Nabi Nuh mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir
dari kaumnya. la mengetahui bahwa mereka menentang. Meskipun demikian, ia
menjawabnya dengan baik. Ia memberitahukan kepada kaumnya bahwa ia tidak
dapat mengusir orang-orang mukmin, karena mereka bukanlah tamu-tamunya namun
mereka adalah tamu-tamu Allah *Subhanahu Wa Ta'ala*. Rahmat bukan terletak
dalam rumahnya di mana masuk di dalamnya orang-orang yang dikehendakinya
dan terusir darinya orang-orang yang dikehendakinya, tetapi rahmat
terletak dalam rumah Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* di mana Dia menerima siapa
saja yang dikehendaki-Nya di dalamnya. Allah *Subhanahu Wa Ta'ala*berfirman:

"Berkata Nuh: 'Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti
yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi
rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya,
padahal kamu tidak menyukainya? Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, aku tidak
meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku
hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang
telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi
aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui.' Dan (dia berkata): 'Hai
kaumku, siapakah yang dapat menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir
mereka. Maka tidakkan kamu mengambil pelajaran?' Dan aku tidak mengatakan
kepada kamu (bahwa): 'Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari
Allah, dan aku tidak mengetahui hal yang gaib, dan tidak pula aku
mengatakan: 'Sesungguhnya aku adalah malaikat,' dan tidak juga aku
mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu:
'Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Allah
lebih mengetahui apa yang ada pada mereka. Sesungguhnya aku kalau begitu
benar-benar termasuk orang-orang yang lalim.'" (QS. Hud: 28-31)

Nuh mematahkan semua argumentasi orang-orang kafir dengan logika para nabi
yang mulia. Yaitu, logika pemikiran yang sunyi dari kesombongan pribadi dan
kepentingan-kepentingan khusus. Nabi Nuh berkata kepada mereka bahwa
Allah *Subhanahu
Wa Ta'ala* telah memberinya agama, kenabian, dan rahmat. Sedangkan mereka
tidak melihat apa yang diberikan Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* kepadanya.
Selanjutnya, ia tidak memaksakan mereka untuk mempercayai apa yang
disampaikannya saat mereka membenci. Kalimat tauhid (tiada Tuhan selain
Allah) tidak dapat dipaksakan atas seseorang. Ia memberitahukan kepada
mereka bahwa ia tidak meminta imbalan dari mereka atas dakwahnya. Ia tidak
meminta harta dari mereka sehingga memberatkan mereka. Sesungguhnya ia hanya
mengharapkan pahala (imbalan) dari Allah *Subhanahu Wa Ta'ala*. Allahlah
yang memberi pahala kepadanya. Nabi Nuh menerangkan kepada mereka bahwa ia
tidak dapat mengusir orang-orang yang beriman kepada Allah *Subhanahu Wa
Ta'ala*. Meskipun sebagai Nabi, ia memiliki keterbatasan dan keterbatasan
itu adalah tidak diberikannya hak baginya untuk mengusir orang-orang yang
beriman karena dua alasan. Bahwa mereka akan bertemu dengan Alllah *Subhanahu
Wa Ta'ala* dalam keadaan beriman kepada-Nya, maka bagaimana ia akan mengusir
orang yang beriman kepada Allah *Subhanahu Wa Ta'ala*, kemudian seandainya
ia mengusir mereka, maka mereka akan menentangnya di hadapan Allah *Subhanahu
Wa Ta'ala*. Ini berakibat pada pemberian pahala dari Allah *Subhanahu Wa
Ta'ala* atas keimanan mereka dan balasan-Nya atas siapa pun yang mengusir
mereka. Maka siapakah yang dapat menolong Nabi Nuh dari siksa Allah *Subhanahu
Wa Ta'ala* seandainya ia mengusir me­reka?

Demikianlah Nabi Nuh menunjukkan bahwa permintaan kaumnya agar ia mengusir
orang-orang mukmin adalah tindakan bodoh dari mereka. Nabi Nuh kembali
menyatakan bahwa ia tidak dapat melakukan sesuatu yang di luar wewenangnya,
dan ia memberitahu mereka akan kerendahannya dan kepatuhannya kepada
Allah *Subhanahu
Wa Ta'ala*. Ia tidak dapat melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari
kekuasaan Allah *Subhanahu Wa Ta'ala*, yaitu pemberian nikmat-Nya kepada
hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Ia tidak mengetahui ilmu gaib, karena
ilmu gaib hanya khusus dimiliki oleh Allah *Subhanahu Wa Ta'ala*. Ia juga
memberitahukan kepada mereka bahwa ia bukan seorang raja, yakni kedudukannya
bukan seperti kedudukan para malaikat. Sebagian ulama berargumentasi dari
ayat ini bahwa para malaikat lebih utama dari pada para nabi (silakan
melihat tafsir Qurthubi).

Nabi Nuh berkata kepada mereka: "Sesungguhnya orang-orang yang kalian
pandang sebelah mata, dan kalian hina dari orang-orang mukmin yang kalian
remehkan itu, sesungguhnya pahala mereka itu tidak sirna dan tidak berkurang
dengan adanya penghinaan kalian terhadap mereka. Sungguh Allah *Subhanahu Wa
Ta'ala* lebih tahu terhadap apa yang ada dalam diri mereka. Dialah yang
membalas amal mereka. Sungguh aku telah menganiaya diriku sendiri seandainya
aku mengatakan bahwa Allah tidak memberikan kebaikan kepada mereka."

Kemudian rezim penguasa mulai bosan dengan debat ini yang disampaikan oleh
Nabi Nuh. Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* menceritakan sikap mereka terhadap
Nabi Nuh dalam flrman-Nya:

"Mereka berkata: 'Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami,
dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah
kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk
orang-orang yang benar.' Nuh menjawab: 'Hanyalah Allah yang akan
mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali
tidak dapat melepaskan diri. Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika
aku hendak memberi nasihat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan
kamu. Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. " (QS. Hud:
32-34)

*Mengikuti Mayoritas Lebih Menguntungkan?*

Diantara kaedah (berpikir) *jahiliyah* yang paling besar adalah, mereka
tertipu dengan jumlah mayoritas. Mereka menjadikan mayoritas sebagai
pertanda kebenaran dan minimnya pengikut (sebuah paham) serta keterasingan
paham tersebut sebagai tanda bahwa paham adalah *bathil*. Maka, Allah
*Subhanahu
Wa Ta'ala* menegaskan sebaliknya (yaitu, mayoritas adalah sesat) dalam
beberapa tempat dalam al-Qur'an.

Jika pada ciri khas lain orang-orang *jahiliyah* adalah *taklid*.
*Taklid*merupakan sumber nilai dan hukum bagi orang-orang
*jahiliyah* yang utama dan pertama, wahyu Allah *Subhanahu Wa
Ta'ala*seringkali di nomor-duakan, sehingga kesesatan menjadi-jadi dan
menggurita
di kalangan orang-orang *jahiliyah*. Maka karakter berpikir orang-orang
jahiliyah yang lainnya, yaitu;

*Pertama*, Mereka menjadikan mayoritas / jumlah terbanyak sebagai standar
dalam menilai kebenaran sesuatu.

*Kedua*, Menurut mereka, segala sesuatu / ideologi yang dianggap asing oleh
masyarakat maka itu adalah ideologi sesat, tidak layak dianut.

*Ketiga*, Jika pengikut sebuah ideologi jumlahnya minoritas (sedikit) itu
pertanda bahwa ideologi tersebut *bathil*, tidak layak diikuti, tidak benar
dan tidak menjamin keselamatan.

Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* menceritakan cara berpikir orang-orang *
jahiliyah* ini dalam beberapa ayat, diantaranya;

"Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya
kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Dan mereka
berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu)
dan kami sekali-kali tidak akan diazab." (TQS. Saba':34-35)

Dalam ayat ini Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* menjelaskan alasan orang-orang *
jahiliyah* menolak serta mengingkari dakwah para *nadzir* (nabi dan rasul)
karena para *nadzir* itu tidak layak untuk diikuti, pasalnya jumlah harta
dan anak-anak mereka lebih banyak dari apa yang dimiliki oleh para *nadzir*.
Orang-orang *jahiliyah* berpendapat, pertanda kebenaran adalah jumlah harta,
anak dan pengikut yang banyak. Harta, anak dan pengikut yang banyak pertanda
Allah meridhoi mereka, jika Allah tidak ridho terhadap mereka maka
Allah *Subhanahu
Wa Ta'ala* tidak akan memberikan kenikmatan yang banyak kepada mereka. jika
jumlah harta, anak dan para pengikut sedikit maka itu pertanda itu tidak
benar dan bathil. Harta, anak dan pengikut yang banyak adalah pertanda Allah
*Subhanahu Wa Ta'ala* tidak ridho, jika Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* ridho
tentu harta melimpah, anak dan pengikut banyak pula. Demikian logika yang
dianut oleh orang-orang *jahiliyah*.

Ibnu Katsir berkata, "(Dalam ayat diatas) mereka menyombongkan diri karena
banyaknya jumlah harta, anak-anak dan pengikut mereka. Mereka meyakini bahwa
ini adalah pertanda Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* mencintai dan memberi
perhatian kepada mereka. Dan bahwasanya Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* mustahil
mengadzab mereka di akherat, karena kenikmatan dunia yang Allah *Subhanahu
Wa Ta'ala* anugerahkan kepada mereka sebagai pertanda mereka akan
diselamatkan dari siksaan akherat." (Ibnu Katsir, 6/521)

Dalam ayat lain Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* berfirman, "Dan dia mempunyai
kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika
bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan
pengikut-pengikutku lebih kuat" (TQS. al-Kahfi:34)

Ayat diatas mengkisahkan dua orang manusia, satu mukmin satu kafir.
Masing-masing diberi kebun Allah *Subhanahu Wa Ta'ala*. Yang mukmin
menghabiskan hartanya untuk bersedekah di jalan Allah *Subhanahu Wa Ta'ala*,
sedangkan yang kafir tidak pernah menyedekahkan hartanya, sehingga jumlahnya
kian berlipat. Dia membangga-banggakan harta dan pengikutnya yang banyak;
menganggap itu sebagai pertanda Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* ridho kepadanya,
walau ia tidak beramal sholeh sama sekali. Bahkan dengan takabbur ia
berkata, "Menurutku, kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan hari
kiamat itu tidak akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada
Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada
kebun-kebun itu." (TQS. al-Kahfi:35-36)

Imam ath-Thobari berkata, "Orang kafir ini berkata, 'Andaikata saya kembali
ke tuhanku, niscaya aku akan mendapatkan kebun yang lebih bagus dan indah
dari pada kebunku di dunia ini. Karena pemberian Allah *Subhanahu Wa
Ta'ala*di dunia ini, pertanda bahwa Allah akan memberikan yang lebih
baik dari ini
semua di akherat." (lih. Tafsir ath-Thobary, 15/262)

*Bukan Pertanda Allah SUBHANAHU WA TA'ALA Meridhoi*

Mengenai keyakinan orang-orang jahiliyah ini, Allah *Subhanahu Wa
Ta'ala*telah membantahnya dalam beberapa ayat, diantaranya;

"Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang
mende­katkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman
dan mengerjakan arnal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan
yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka
aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam syurga)." (TQS.
as-Saba':37)

Melalui ayat ini, Allah membantah anggapan orang-orang jahiliyah bahwa
banyaknya anak, harta dan pengikut sebagai pertanda Allah *Subhanahu Wa
Ta'ala* meridhoinya dan dapat mengantarkan seseorang masuk surganya
Allah *Subhanahu
Wa Ta'ala*. Dan hanya amal sholeh yang bisa mengantarkan seseorang ke surga.
(lih. Ath-Thobary, 19/295)

Lebih tegas lagi, Allah menyangkal keyakinan orang-orang *jahiliyah* ini
dalam firmannya,

"Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada
mereka itu (berarti), Kami menyegerakan kebaikan-kebaikan kepada mereka?
Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar" (Qs. al-Mukminun:55-56)

'Orang-orang jahiliyah, yang menolak dakwah para nabi menyangka, limpahan
rizki dari Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* pertanda Allah *Subhanahu Wa
Ta'ala*menyegerakan kebaikan kepada mereka. Sayang, mereka tidak
menyadarinya bahwa
itu adalah sebuah istidraj (dilulu_Jawa), itu adalah sebuah bentuk tipuan
dari Allah *Subhanahu Wa Ta'ala*, agar mereka semakin sesat, sehingga
dosanya semakin menumpuk dan di akherat mereka tidak diberi belas kasih,
mereka akan diadzab di neraka." (lihat. Ath-Thobari, 17/ 65-66)

Dalam ayat lain Allah *Subhanahu Wa Ta'ala* berfirman, "Maka janganlah *
ta'ajjub* terhadap harta benda dan anak-anak. Sesungguhnya Allah menghendaki
dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam
kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam
keadaan kafir." (TQS. at-Taubah:55)

Di sini Allah mengingatkan agar jangan iri dengan harta dan anak-anak
orang-orang munafik, yang kelihatannya banyak, berhasil dan sukses dalam
kehidupannya. Itu, tidak patut dibanggakan. Sesungguhnya, Allah mengadzab
mereka lewat harta dan anak-anak mereka di dunia. Maksudnya, mereka telah
bercapek dan letih dalam mengusahakan harta dan membiayai anak mereka.
Kadang, kesedihan, kecemasan, kegalauan, stress, kekhawatiran kehilangan
harta dan berbagai kesukaran selalu mereka hadapi ketika mereka mengumpulkan
harta. Sayang, semua ini tidak memberi manfaat di akherat. Inilah adzab
dunia yang Allah a maksud dalam ayat ini. Yang paling menye­dihkan, mereka
akan diwafatkan dalam keadaan kafir, tertipu dengan banyaknya jumlah harta
dan kesuksesan anak-anak mereka.

Ayat-ayat di atas menegaskan, kemakmuran, kemewahan dan kesentosaan hidup
seorang manusia bukan pertanda benarnya tindakan dan aqidah yang dianutnya,
juga bukan pertanda Allah pasti meridoinya. Banyak sejarah yang membuktikan
bahwa banyak para penentang dan musuh para nabi dari kalangan orang-orang
yang berada, bahkan para raja. Bukankah Fir'aun orang terkaya, terkuat dan
paling banyak prajuritnya pada masa itu ... ? Bukankah Qarun sosok manusia
yang terkaya, dan memiliki pengawal yang banyak pada masanya?! Ya,
kemakmuran dunia, bukan bukti ridho Allah *Subhanahu Wa Ta'ala*.

*Mayoritas Tersesat dan Menyesatkan*

Dalam sejarah dakwah, pengikut kebenaran jumlahnya selalu minoritas
dibanding jumlah manusia yang ada. Jumlah pengikut para nabi selalu lebih
sedikit dibanding jumlah orang yang menolaknya. Rasullah *Shallallahu Alaihi
Wassalam* bersabda,

"Ditampakkan kepada saya seluruh umat, saya melihat seorang nabi bersamanya
satu bangsa, seorang nabi bersamanya beberapa orang, seorang nabi bersamanya
sepuluh orang, seorang nabi bersamanya lima orang dan (saya juga melihat)
seorang nabi yang berjalan sendirian (tidak memiliki pengikut)." (HR.
Bukhari)

Memang pengikut ideologi dan aqidah yang haq (benar) seringnya lebih sedikit
dibanding jumlah pengikut ideologi bathil dan syirik. Pengikut dan pendukung
ideologi sesat dan syirik selalu banyak. Allah *Subhanahu Wa
Ta'ala*berfirman, "Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah."(TQS. alAn'am:1 16)

Manusia-manusia sholeh banyak yang memusuhi, orang yang mendukungnya selalu
sedikit. Sebagaimana sabda Rasulullah *Shallallahu Alaihi Wassalam*, ketika
ditanya ciri-ciri orang yang komitmen dengan syari'atnya;

Yaitu manusia-manusia sholeh yang hidup di tengah komunitas manusia buruk.
Orang yang menyalahi (melawan) mereka lebih banyak daripada orang yang
setuju dengan mereka.'(HR. Ahmad, dishohihkan oleh Syaikh al-Albani)

*Jahiliyah Demokrasi*

Salah satu bentuk kejahiliyah yang tidak disadari manusia hari ini adalah
demokrasi. Sudah maklum, penentu kebenaran dan kesalahan dalam sistem
demokrasi adalah suara / pendapat terbanyak. Apapun keputusannya, baik
menyelisihi atau mengandung kekafiran, tetap diakui dan dijalani jika sudah
disetujui oleh orang banyak. Demokrasi menganut 'suara mayoritas, suara
tuhan'.

Banyak umat Islam tertipu dengan demokrasi. Tidak sedikit menyamakan
demokrasi dengan 'syuro'. Bahkan yang lebih parah, sebagian umat Islam
mengatakan, "Islam adalah agama demokrasi." Sepertinya, umat Islam yang
bodoh hari ini, hanya mengulang ungkapan orang-orang jahiliyah. Pernyataan
mereka persis seperti yang diungkapkan dalam alQur'an,

"Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan
orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka, bagaimana mereka
sampai berpaling?." (at-Taubah:30).* (Msd - An-Najah No.07)


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: