Selasa, 28 September 2010

[daarut-tauhiid] Mempertanyakan Keberhasilan DENSUS [Perbedaan perlakukan pada gerakan Islam dan Gerakan Kristen]

 

klik:

 http://www.hidayatullah.com/kolom/sudut-pandang/13456-mempertanyakan-keberhasilan-densus

Mempertanyakan Keberhasilan DENSUS



Tuesday, 28 September 2010 09:12






 




Pemberantasan terorisme jadi monopoli Densus 88 yang dilatih dan didanai Amerika Serikat dan Australia. Dampaknya?

Oleh: Amran Nasution*

SETELAH
sekian tahun terus-menerus menerima puja dan puji kini orang mulai
mempertanyakan efektivitas kerja Markas Besar (Mabes) Polri menangani
terorisme dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror. Betapa tidak?

Data yang disampaikan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri kepada pers Jumat, 24 September lalu, menyebutkan dalam
10 tahun ini polisi berhasil meringkus 563 tersangka teroris. Dari
jumlah itu, 471 di antaranya telah diadili, 44 orang tertembak mati, 10 orang tewas melakukan aksi bom bunuh diri. Sejumlah tokohnya seperti Azhari, Noordin M. Top,  dan Dulmatin, telah mati tertembak.

Anehnya,
setelah begitu banyak teroris diringkus atau dilumpuhkan ternyata aksi
terorisme tak mereda. Jumlah teroris pun seakan bertambah saja mengikuti
kata pepatah: mati satu tumbuh seribu. Malah kelompok teroris itu
dinilai berhasil merampok Bank CIMB Niaga milik perusahaan asing di
Medan di siang bolong tanpa sedikit pun bisa dihalangi aparat keamanan
pada 18 Agustus lalu.

Belasan perampok bersenjata api itu sempat
menembak mati seorang Brimob penjaga bank, lalu dengan santai
berboncengan sejumlah sepeda motor membawa lari ratusan juta rupiah duit
bank. Inilah pertama kalinya perampokan bank terjadi terang-terangan di
siang bolong dan direkam kamera

Lebih dari itu, kelompok teroris
bersenjata telah menyerbu kantor Polsek Hamparan Perak, Kabupaten Deli
Serdang, Sumatera Utara, Rabu dinihari, 22 September lalu. Aksi itu
diduga  adalah tindak pembalasan kelompok teroris atas penggerebekan dan
penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88, beberapa hari
sebelumnya.

Penyerbuan itu menyebabkan tiga anggota Polri tewas:
Aiptu Baik Sinulingga, Aipda Deto Sutejo, dan Bripka Riswandi.
Sebelumnya, penggerebekan yang dilakukan Densus 88 terhadap kelompok
yang dituduh teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak (Sumatera
Utara) serta Lampung, Minggu, 19 September 2010, telah menangkap 18
tersangka teroris, tiga di antaranya ditembak mati. Jadi kematian tiga
kawanan teroris telah berbalas dengan terbunuhnya tiga polisi di
Hamparan Perak.

Selama ini kelompok teroris pernah menyerang pos
polisi. Di tahun 2005, misalnya, pos Brimob di Dusun Wailisa, Seram,
Maluku, telah disatroni. Lima anggota Brimob dan seorang sipil terbunuh.
April tahun ini, pos polisi di Purworejo, Jawa Tengah, juga diserang
dan dua polisi terbunuh. Tapi kalau aksi balasan langsung, itu baru
pertama kali terjadi yaitu dalam kasus Hamparan Perak.

Keberhasilan
kelompok teroris melakukan pembalasan kepada polisi, menurut  mantan
Kepala BIN Hendro Priyono, menunjukkan kelompok itu cukup kuat. ''Kalau
tak cukup kuat, mereka tak akan berani unjuk gigi menyerang markas
Polsek,'' kata Hendro. Apalagi, serangan balasan dilakukan hanya
berselang tiga hari setelah Densus 88 mengobrak-abrik ''sarang'' mereka.

Pertanyaan besar sekarang: setelah
ratusan orang ditangkap dan puluhan orang dibunuh, mengapa kelompok
teroris tetap kuat dan mengancam? Ini jelas pertanyaan yang amat sulit
dijawab. Tapi yang pasti ini adalah bukti kongkret kegagalan pemerintah
yang dipimpin Presiden SBY dalam menangani terorisme.

Dalam
penyerbuan kantor Polsek Hamparan Perak diidentifikasi dari peluru yang
ditemukan dan kesaksikan penduduk bahwa kawanan itu terdiri dari belasan
orang membawa setidaknya tiga jenis senjata: senapan serbu AK-47 atau
AK-56, senapan serbu SS-1 atau M-16, dan pistol jenis FN.
Senjata-senjata itu tergolong senjata polisi atau TNI. Memang AK
sekarang sudah tak dipakai. Tapi senjata itu masih  tersimpan di
gudang-gudang Polri.

Surat dakwaan jaksa yang dibacakan di
Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, untuk mengadili mantan polisi
Sofyan Tsauri, 23 September lalu, mengungkapkan bahwa senjata api yang
digunakan kelompok teroris untuk berlatih di Aceh (kelompok Dulmatin),
justru berasal dari gudang senjata Markas Besar (Mabes) Polri.

Pembobolan
gudang senjata Polri dilakukan Sofyan melalui seorang anggota polisi
lainnya bernama Ahmad Sutrisno yang bertugas di gudang senjata. Dengan
gampang mereka membawa 24 pucuk senjata terdiri dari AR-15, AK-47,
AK-58, revolver, SNW, FN-45, pistol Challenger, dan senapan buatan
Amerika Serikat, Remington. Ada lagi 19.000 lebih peluru dan 93 magazin.

Menurut
dakwaan jaksa, Sofyan Tsauri yang berpangkat brigadir polisi itu
melakukan disersi dan diberhentikan pada 2009. Dia kemudian terpengaruh
dan bergabung dalam kelompok teroris. Malah dalam suatu kesempatan pria
34 tahun itu melakukan wawancara dengan sebuah kantor berita asing,
mengaku terus terang sebagai anggota jaringan al-Qaidah pimpinan Usamah
Bin Ladin dan selalu melakukan kontak dengan kelompok Abu Sayaf di
Filipina.

Tapi ada juga versi yang mencurigai Sofyan sebagai
orang yang disusupkan intelijen. Kecurigaan itu terutama muncul karena
gampangnya Sofyan memperoleh senjata dan dana. Dikabarkan ia amat
pemurah dalam memberi uang saku kepada sejumlah anggota yang pernah ia
latih di Aceh.

Selain itu kalau benar seorang disersi, bagaimana mungkin Sofyan dengan gampang keluar-masuk Markas Komando Brimob di Depok?
Bukan hanya itu. Sofyan begitu mudah membawa anggotanya berlatih tembak
(dengan senjata api) di Lapangan Tembak Markas Komando Brimob Kelapa
Dua, Depok.

Informasi ini dulu dibantah oleh sumber resmi Mabes Polri, tapi kini diakui di dalam surat dakwaan jaksa. Bisa
Anda bayangkan: gerombolan teroris berlatih menembak justru di Lapangan
Tembak Brimob dengan senjata dari gudang Mabes Polri. Sudah
semestinya pimpinan Polri (termasuk Kapolri) mempertanggung-jawabkan
peristiwa ini kepada rakyat, selain melakukan klarifikasi isu
penyelusupan intelijen.

Pantaslah 23 September lalu, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Panglima Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kapolri mengecek senjata dan amunisi di
gudang-gudang TNI mau pun Polri, hingga pada satuan-satuan terkecil.

Pengecekan
dimaksudkan agar penggunaan senjata mau pun amunisi dilakukan dengan
tertib. Instruksi itu sebenarnya sudah amat terlambat, karena terbukti
kelompok teroris memperoleh senjata dari gudang Mabes Polri.

Ada Komisaris Jenderal Goris Mere

Sebenarnya
kegagalan pemberantasan terorisme di Indonesia tak lain karena
pemerintah Indonesia tak bisa mandiri tapi menggantungkan diri kepada
Amerika Serikat dan Australia. Detasemen Khusus (Densus) Anti-teror 88
milik Polri berdiri setelah terjadi peristiwa bom Bali pertama di tahun
2002. Densus itu memiliki 400 anggota di Jakarta dan ratusan orang
terserak di 33 daerah (Polda), terutama di Provinsi Maluku dan Irian.

Aksi
Densus tentu sudah sering disaksikan di layar televisi. Gaya mereka
memegang senjata, menggiring para tersangka mirip tentara Amerika
Serikat menggiring tahanan teroris di Teluk Guantanamo. Maka terlihat
terlalu berlebihan ketika di televisi disaksikan lagak dan gaya anggota
Densus itu memperlakukan dan menangkap Ustadz Abubakar Basyir, seorang
tua yang sudah sangat lemah.

Anggota Densus diberi pelatihan
sepenuhnya oleh aparat intelijen Amerika Serikat (FBI/CIA) dan Australia
(Australian Federal Police). Semua biaya perekrutan, pelatihan, dan
peralatannya berasal dari bantuan kedua negara itu.

Dengan
biaya berlimpah, pasukan anti-teror ini terlihat mewah di antara para
anggota polisi dengan fasilitas seadanya. Di Jakarta, Densus memiliki
kantor dan segala fasilitas yang dibangun di tahun 2004 atas biaya
Australia sebesar 40 juta US dollar. Setiap tahun, pemerintah Australia
melalui Australian Federal Police (polisi federal Australia) memberikan bantuan 16 juta US Dollar (lihat koran Australia, The Age, 13 September 2010). Ke mana-mana pasukan khusus ini menggunakan pesawat terbang sendiri, Boeing 737.

Selain itu bantuan datang dari Amerika Serikat melalui program anti-terorisme (Anti-Terrorism Assistance, biasa disingkat ATA) Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.  Program itu diadakan dalam rangka perang global melawan teror (global war on terror) yang diproklamirkan Presiden George Bush, beberapa pekan setelah serbuan teror 11 September 2001.

Karena tergantung bantuan asing maka satuan anti-teror itu tak membumi. Sekadar contoh, nama Densus 88 saja diambil dari jumlah warga Australia yang terbunuh dalam peristiwa bom Bali 1 sebanyak 88 orang. Mestinya nama pasukan khusus itu berhubungan dengan  sesuatu yang bisa meningkatkan kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia.

Kemudian
dalam aksinya Densus 88 terlalu mengandalkan kekuatan sendiri seakan
urusan terorisme hanya monopoli mereka. Padahal kita memiliki pasukan
TNI yang terlatih baik seperti Kopassus di TNI Angkatan Darat atau
Marinir di TNI Angkatan Laut yang kemampuannya sebenarnya tak boleh
diragukan. Malah untuk urusan tempur tentu mereka lebih berkapasitas.
Apalagi Kopassus sudah sering berlatih menumpas teroris bersama pasukan
elit Australia, SASR (Special Air Service Regiment), seperti yang terjadi di Denpasar, Bali, 27 September lalu.

Selain
itu, pemberantasan teroris mestinya melibatkan para ulama dan tokoh
masyarakat. Terorisme ada hubungannya dengan masalah ideologi yang tak
mungkin bisa dibersihkan hanya dengan main tangkap atau main tembak.

Memang
Densus 88 punya kehebatan tersendiri. Konon mereka punya keahlian
menyadap atau memonitor pembicaraan telepon atau SMS. Mereka dikabarkan
memiliki peralatan sadap yang canggih dari Australia. Konon beberapa
tokoh teroris berhasil disergap berkat keberhasilan menyadap telepon
mereka. Meski pun sebenarnya penyadapan-penyadapan telepon pribadi bisa
dianggap melanggar hak azasi manusia.

Tapi karena selama ini
merasa sukses menumpas terorisme tampaknya mulai ada beban bagi Satuan
Anti-Teror ini. Di Lapangan Terbang Polonia Medan, 13 September lalu,
sejumlah pasukan Densus 88 dikabarkan petantang petenteng menerobos area
Delta tanpa pemberitahuan atau izin yang jelas. Tindakan mereka ditegur
seorang petugas TNI Angkatan Udara. Itu malah membuat berang para
anggota Densus karena menganggap Komisaris Jendral Goris Mere yang ada
bersama mereka kurang dihargai petugas. ''Anda tahu di sini ada bintang
tiga,'' sergah seorang anggota Densus.

Insiden ini sempat
menimbulkan gesekan antar-instansi. Komandan Lanud Medan Kolonel Pnb
Taufik Hidayat, 16 September lalu, mengirim surat kepada Polda Sumatera
Utara memprotes tindakan Densus yang masuk ke areal tertentu di lapangan
terbang tanpa izin atau pemberi tahuan semestinya.

Peristiwa
Medan mengungkap pula keterlibatan Komisaris Jenderal Goris Mere dalam 
pemberantasan terorisme. Padahal ia kini menjabat Kepala Pelaksana
Harian Badan Narkotika Nasional (BNN). Apa hubungan narkoba dan
terorisme? Jawabannya hanya akan membuat struktur kepemimpinan di
kepolisian membingungkan.

Bukan hanya itu. Dalam menggerebek
sejumlah sarang teroris di Tanjung Balai dan Hamparan Perak, dikabarkan
Densus 88 tak berkordinasi dengan Polda Sumatera Utara, sehingga timbul
gesekan di internal polisi. "Tindakan seperti itu menunjukkan sikap
arogan, mereka (Densus 88) merasa seperti polisi nomor satu di Republik
ini," kata Neta S. Pane, Presidium  Indonesia Police Watch (IPW), LSM yang mengawasi kinerja polisi.

Terlibat Nama Presiden SBY

Sekarang
tampaknya sudah saatnya pemerintah mengevaluasi sistem pemberantasan
terorisme yang selama ini dipecayakan (hanya) kepada Densus 88, kreasi
Amerika Serikat dan Australia itu. Apalagi belakangan pers dan LSM di
Amerika dan Australia mulai menyerang  dan menuduh Densus 88  melakukan
tindakan pelanggaran HAM di Maluku dan Papua.

Koran Amerika Serikat, The Christian Science Monitor dan koran Australia The Age dan The Sydney Morning Herald kini rajin membongkar tuduhan pelanggaran HAM oleh Densus. LSM internasional terkemuka, Human Rights Watch dan Amnesty International pun sekarang kritis terhadap Densus 88. Maka tokoh-tokoh LSM Indonesia mulai mengamati perilaku Densus 88.

Selama
ini kritik atas tindak kekerasan Densus sering disuarakan Forum Ummat
Islam (FUI) tapi tak pernah didukung LSM-LSM. Pada 1 September lalu,
misalnya, delegasi FUI ke Komisi III DPR mempersoalkan kekerasan oleh
Densus. Terutama kekerasan dalam pemeriksaan, penangkapan atau
penyergapan, tanpa alasan yang memadai. Para anggota Densus ringan
tangan dalam membuang tembakan.

Sekarang koran dan LSM Amerika
Serikat atau Australia  kritis kepada Densus karena rupanya Densus bukan
hanya memberantas terorisme (baca sebagai Islam) sebagaimana yang
mereka harapkan tapi juga gerakan separatis di Maluku dan Papua seperti
RMS dan OPM, yang melibatkan bukan orang Islam. Sudah jadi rahasia umum
selama ini RMS dan OPM mendapat dukungan di Australia, sebagaimana
halnya gerakan Fretilin di Timor Timur dulu.

Kebetulan dalam dua
kasus RMS di Maluku terlibat nama Presiden SBY sehingga isunya semakin
menarik. Yang pertama adalah penangkapan puluhan penari Cakalele di
stadion di Ambon, dalam sebuah upacara 29 Juni 2007, dihadiri langsung
oleh Presiden SBY.

Tiba-tiba di depan Presiden para penari dari
Pulau Haruku itu mengibarkan bendera gerakan separatis RMS (Republik
Maluku Selatan) berukuran raksasa. Peristiwa itu dianggap mempermalukan
Presiden SBY di depan para tamu asing. Dalam kesempatan berpidato, SBY
terkesan marah dan menegaskan tak ada toleransi untuk gerakan separatis
di Indonesia.

Maka aparat keamanan di Maluku pun sibuk. Densus 88
dikerahkan menangkap para penari itu dan  memeriksanya di kantor Densus
88 di kawasan Tantui, Ambon. Seperti kemudian dilaporkan koran dan LSM
internasional tadi, di sana terjadi penyiksaan di luar peri kemanusiaan
terhadap para aktivis RMS. Sejumlah 22 orang yang terlibat dalam kasus
ini kemudian divonis 6 tahun sampai 15 tahun penjara oleh pengadilan.

Lantas
2 Agustus lalu, Densus 88 menangkap lagi 10 aktivis RMS di Ambon.
Mereka dituduh akan melakukan aksi – termasuk pengibaran bendera RMS –
pada 3 Agustus 2010. Pada hari itu, Presiden SBY datang ke Ambon guna
menyemarakkan perayaan Sail Banda 2010. Amnesty International mengkhawatirkan dalam pemeriksaan Densus 88, para tahanan itu akan mengalami penyiksaan sebagaimana tahanan tari Cakalele 2007.

"Dia bukan jihadis radikal. Dia seorang Kristen dan kesalahannya adalah memiliki dua bendera RMS,'' tulis The Sydney Morning Herald 13
September 2010, mengisahkan nasib malang Yonias Siahaya, 58 tahun,
pekerja bangunan dan salah seorang tahanan yang mengalami penyiksaan di
rumah tahanan Densus 88 di Tantui, Ambon.

Artinya, menurut koran Sydney 
itu seorang jihadis radikal boleh saja disiksa Densus. Yang tak boleh
adalah seorang Kristen dan pengibar bendera RMS. Sebuah sikap wartawan
yang sangat rasis.[Amran/Hidayatullah.com]

Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini,  bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: