Senin, 20 September 2010

[daarut-tauhiid] Penderitaan Mereka adalah Inspirasi Hidayah

---------- Forwarded message ----------
From: Yudhie Prastowo <y111p@yahoo.com>


BismiLlahirRahmaanirRahiim
Assalaamu'alaikum wr. wb.

Begitu banyak sumber hidayah itu atas Ijin Allah Swt... Siapa sangka
ketegaran orang2 yang beriman dalam mengahadapi begitu banyak
kesulitan hidup justru membuat seorang profesor mendapatkan hidayah...
Tiada daya dan kekuatan selain dari Allah Swt... Hanya epada Nya lah
kami menyembah dan Hanya Kepada Nya lah pula kami memohon
pertolongan...

Semoga bermanfaat, Insya Allah Ta'ala...


Penderitaan Mereka adalah Inspirasi Hidayah




Tuesday, 27 April 2010 17:54




Profesor beragama asli Yahudi ini mengaku takjub melihat kehidupan
orang Pakistan dan Afghan. Ketakjuban membawanya menuju Islam

Oleh: M. Syamsi Ali

DUA  minggu lalu, selepas Jumat saya menemukan secarik kertas di atas
meja kantor saya di Islamic Cultural Center of New York . Isinya
kira-kira berbunyi, "I have been trying to reach you but never had a
good luck! Would you please call me back? Karen."

Berhubung karena berbagai kesibukan lainnya, saya menunda menelepon
balik Karen hingga dua hari lalu. "Oh! thank you so much for getting
back to me!" jawabnya ketika saya perkenalkan diri dari Islamic Center
of New York. "I am really sorry for delaying to call you back,"
kataku, sambil menanyakan siapa dan apa latar belakang sang penelpon.

"Hi, I am sorry! My name is Karen Henderson, and I am a professor at
the NYU (New York University)," katanya.

"And so what I can do for you?"  tanyaku. Dia kemudian menanyakan jika
saya ada beberapa menit untuk berbicara lewat telepon. "Yes, certainly
I have, just for you, professor!" candaku. "Oh.. that is so kind of
you!" jawabnya.

Karen kemudian bercerita panjang mengenai dirinya, latar belakang
keluarganya, profesinya, dan bahkan status sosialnya.

"Saya
adalah seorang professor yang mengajar sosiologi di New York
University," demikian dia memulai. Namun menurutnya lagi, sebagai
sosiolog, dia tidak saja mengajar di universitas tapi juga melakukan
berbagai penelitian di berbagai tempat, termasuk luar negeri.
 Karen
sudah pernah mengunjungi banyak negara untuk tujuan penelitiannya,
termasuk dua negara yang justru disebutnya sebagai sumber inspirasi.
Yaitu Pakistan dan Afghanistan.

"Saya menghabiskan lebih dari 3
tahun di negara ini, sebagian besar di desa-desa," katanya. "Selama tiga
tahun, saya punya banyak kenangan tentang orang-orang. Mereka sangat
menakjubkan," lanjutnya.

Tidak terasa Karen berbicara di telepon
hampir 20 menit. Sementara saya hanya mendengarkan dengan serius dan
tanpa menyela sekalipun. Selain itu Karen berbicara dengan sangat
menarik, informatif, dan disampaikan dalam bahasa yang jelas, membuat
saya lebih tertarik mendengar. Mungkin karena dia adalah seorang
professor, jadi dalam berbicara dia sangat sistematis dan eloquent.

"Karen,
itu adalah cerita yang sangat menarik. Saya yakin apa yang Anda lakukan
seperti pengalamanku juga. Saya tinggal di Pakistan 7 tahun, dan
memiliki kesempatan untuk mengunjungi banyak daerah-daerah yang tidak
Anda sebutkan, " kataku.

"Tapi apa kau ingin menceritakan cerita ini?" tanyaku Lagi

Nampaknya Karena menarik napas, lalu menjawab. Tapi kali ini dengan
suara lembut dan agak lamban.

"Sir,
saya ingin tahu Islam lebih lanjut, agama orang-orang ini. Mereka
adalah orang-orang manis, dan saya pikir saya telah terinspirasi oleh
mereka dalam banyak hal, " katanya.

Tapi karena waktu yang tidak
terlalu mengizinkan untuk saya banyak berbicara lewat telepon, saya
meminta Karen untuk datang ke Islamic Center keesokan harinya, Sabtu
lalu. Dia pun menyetujui dan disepakatilah pukul 1:30 siang, persis jam
ketika saya mengajar di kelas khusus non-muslim, Islamic Forum for non-Muslims.

Keesokan
harinya, Sabtu, saya tiba agak telat. Sekitar pukul 12 siang saya tiba,
dan pihak security menyampaikan bahwa dari tadi ada seorang wanita
menunggu saya. "She is the mosque." (maksudnya di ruang shalat
wanita). Saya segera meminta security untuk memanggil wanita tersebut ke
kantor untuk menemui saya.

Tak lama kemudian datanglah seorang
wanita dengan pakaian ala Asia Selatan (India Pakistan). Sepasang
shalwar dan gamiz, lengkap dengan penutup kepala ala kerudung Benazir
Bhutto.

"Hi, sorry for coming earlier! I can wait at the mosque, if you are
still busy with other things," kata wanita baya umur 40-an tahun itu.
Dia jelas Amerika berkulit putih, kemungkinan keturunan Jerman.
"Not at all, professor! I am free for you," jawabku sambil tersenyum.
"Silakan duduk dulu, aku pamit sekitar lima menit," mintaku untuk
sekedar melihat-lihat weekend school program hari itu.

Setelah selesai melihat-lihat beberapa kelas pada hari itu, saya
kembali ke kantor. "I am sorry Professor!" sapaku.
"Please do call me by name, Karen!" pintanya sambil tersenyum.
"You know, saya
lebih senang memanggil seseorang penuh penghormatan. Dan aku
benar-benar tak tahu bagaimana harus memanggil Anda," kataku. "Di
sejumlah negara, orang suka dikenal dengan gelar profesional mereka.
Tapi aku tahu, di  Amerika tidak," lanjutku sambil ketawa kecil.

Kita
kemudian hanyut dalam pembicaraan dalam berbagai hal, mulai dari isu
hangat tentang kartun Nabi Muhammad SAW di sebuah komedi kartun Amerika,
hingga kepada asal usul Karen itu sendiri.

"Saya adalah
seorang kelahiran Yahudi. Orangtua saya orang Yahudi, tetapi Anda tahu,
terutama ayahku, dia tidak percaya pada agama lagi," katanya.

Bahkan
menurutnya, ayahnya itu seringkali menilai konsep tuhan sebagai sekedar
alat repression (menekan) sepanjang sejarah manusia.

Namun
menurut Karen, walaupun tidak percaya agama dan mengaku tidak percaya
tuhan, ayahnya masih juga merayakan hari-hari besar Yahudi, seperti
Hanukkah, Sabbath, dll.

"Perayaan
ini, sebagai orang Yahudi kebanyakan, tidak lebih dari warisan
tradisi,  " jelasnya. "Yudaisme adalah saya pikir bukan agama, dalam
arti lebih tentang budaya dan keluarga, " tambahnya.

Dalam
hatiku saya mengatakan bahwa semua itu bukan baru bagi saya. Sekitar 60
persen atau lebih Yahudi di Amerika Serikat adalah dari kalangan sekte
'reform' (pembaharu). Mereka ini ternyata telah melakukan reformasi
mendasar dalam agama mereka, termasuk dalam hal-hal akidah atau
keyakinan. "Sekte reform" misalnya, sama sekali tidak percaya lagi
kepada kehidupan akhirat. Saya masih teringat dalam sebuah diskusi di
gereja Marble Collegiate tahun lalu tentang konsep kehidupan.

Pembicaranya
adalah saya dan seorang Pastor dan Rabbi dari Central Synagogue
Manhattan. Ketika kita telah sampai kepada isu hari Akhirat, Rabbi
tersebut mengaku tidak percaya.

Tiba-tiba salah seorang hadirin yang juga murid muallaf
saya keturunan Rusia berdiri dan bertanya, "Jadi, jika Anda tidak
percaya pada kehidupan setelah kematian, mengapa Anda harus pergi ke
rumah ibadat, mengenakan yarmukka, memberi amal, dll? Mengapa Anda
merasa perlu untuk bersikap jujur, bermanfaat untuk orang lain? Dan
mengapa kita harus menghindari hal-hal yang harus kita hindari? " begitu
pertanyaannya kala itu.

Sang Rabbi hanya tersenyum dan menjawab
singkat, "Kami melakukan semua karena apa yang harus kita lakukan,"
ujarnya.  Mendengar jawaban sang Rabbi, semua hadirin hanya tersenyum,
dan bahkan banyak yang tertawa.

Kembali ke Karen, kita kemudian
hanyut dalam dialog tentang konsep kebahagiaan. Menurutnya, sebagai
seorang sosiolog, dia telah melakukan banyak penelitian dalam berbagai
hal yang berkaitan dengan bidangnya. Pernah ke Amerika Latin, Afrika,
beberapa negara Eropa, dan juga Asia , termasuk Asia Selatan."Tapi satu
hal yang harus aku ceritakan padamu, orang-orang Pakistan dan Afghan
adalah orang-orang sangat menakjubkan," katanya mengenang.

"Apa yang membuat Anda benar-benar heran tentang mereka," tanyaku.
 "Banyak,
religiusitas mereka. Antara lain komitmen mereka terhadap agama. Tapi
saya rasa yang paling menakjubkan tentang mereka adalah kekuatan mereka,
dan bertahan lama di alam dalam kehidupan sehari-hari," katanya.

"Aku heran bagaimana orang-orang ini begitu kuat dan tampak bahagia
meski kehidupan yang sangat menantang."

Saya
tidak pernah menyangka kalau Karen tiba-tiba meneteskan airmata di
tengah-tengah pembicaraan kami. Dia seorang professor yang senior, walau
masih belia dalam umur. Tapi juga pengalamannya yang luar biasa,
menjadikan saya lebih banyak mendengar.

Di tengah-tengah
membicarakan 'kesulitan hidup' orang-orang Afghanistan dan Pakistan,
khususnya di daerah pegunungan-pegunungan, dia meneteskan airmata tapi
sambil melemparkan senyum. "I am sorry, saya sangat emosional dengan
kisah ini," katanya.

Segera
saya ambil kendali. Saya bercerita tentang konsep kebahagiaan menurut
ajaran Islam. Bahkan berbicara panjang lebar tentang kehidupan dunia
sementara, dan bagaimana Islam mengajarkan kehidupan akhirat itu
sendiri.

"Tidak peduli bagaimana Anda menjalani hidup Anda di
sini, itu adalah sementara dan tidak memuaskan. Harus ada beberapa
tempat, kadang di mana kita akan hidup kekal, di mana semua mimpi dan
harapan akan terpenuhi, " jelasku. "Keyakinan ini memberi kita kekuatan
besar dan tekad untuk menjalani hidup kita sepenuhnya, tidak peduli
bagaimana situasi dapat mengelilingi kehidupan itu sendiri," jelasku.

Tanpa
terasa adzan Dhuhur dikumandangkan. Saya pun segera berhenti berbicara.
Nampaknya Karen paham bahwa ketika adzan didengarkan, maka kita
seharusnya mendengarkan dan menjawab. Mungkin dia sendiri tidak paham
apa yang seharusnya diucapkan, tapi dia tersenyum ketika saya meminta
maaf berhenti berbicara.

Setelah adzan, saya melanjutkan sedikit, lalu saya tanya kepada Karen,
"Jadi, apa yang benar-benar membuat Anda menelepon saya?"

"Saya
ingin memberitahu Anda bahwa pikiran saya terus-menerus mengingat
orang-orang itu. Memori saya mengingatkan saya tentang bagaimana mereka
bahagia, sementara kita, di Amerika hidup dalam keadaan mewah, tapi
penuh kekurangan kebahagiaan," ujarnya seolah bernada marah.

"Tapi kenapa kau harus datang dan membicarakan dengan saya?" pancingku lagi.

Karen
merubah posisi duduknya, tapi nampak sangat serius lalu berkata. "Aku
sudah memikirkan ini untuk waktu yang cukup lama. Tapi aku benar-benar
tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana untuk melanjutkan itu. Aku
ingin menjadi seorang muslim," ujarnya mantap.
 Saya
segera menjelaskan bahwa untuk menjadi muslim itu sebenarnya sangat
mudah. Yang susah adalah proses menemukan hidayah. Jadi nampaknya Anda
sudah melalui proses itu, dan kini sudah menuju kepada jenjang akhir.

"Pertanyaan saya adalah apakah Anda benar-benar yakin bahwa ini adalah
agama yang Anda yakini sebagai kebenaran, " kataku.
 "Ya, tentu tidak diragukan lagi!" Jawabnya tegas.

Saya
segera memanggil salah seorang guru weekend school wanita untuk
mengajarkan kepada Karen mengambil wudhu. Ternyata dia sudah bisa wudhu
dan shalat, hanya belum hafal bacaan-bacaan shalat tersebut.
 Selepas shalat Dhuhur, Karen saya tuntun melafalkan, "Asy-hadu an laa
ilaaha illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah" dengan
penuh khusyu' dan diikuti pekikan takbir ratusan jamaah yang hadir.

Hanya
doa yang menyertai, semoga Karen Henderson dijaga dan dikuatkan dalam
iman, tumbuh menjadi pejuang Islam di bidangnya sebagai profesor
ilmu-ilmu sosial di salah satu universitas bergengsi di AS. Amin! [New
York, 26 April 2010/www.hidayatullah.com]

Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York dan
penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com

Wassalaamu'alaikum wr. wb.
al-faqir ilaLlah Yudhie Prastowo

--
Sent from my mobile device


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: