Assalaamu'alaykum wr wb
Sahabatku yang dimuliakan Allah...
Persaingan tahun 2021! Itu yang menjadi beban banyak orang tua masa kini. Saat
itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari
berbagai negara di dunia.
`'Tuntutan kualitas sumber daya manusia tahun 2021 membutuhkan good character,''
kata Dr Ratna Megawangi dalam seminar setengah hari Membangun Karakter Anak
Sejak Usia Dini, Seberapa Penting? di Jakarta, 3 Mei lalu.
Adalah orang-orang yang senang belajar, terampil menyelesaikan masalah,
komunikator yang efektif, berani mengambil risiko, punya integritas -jujur,
dapat dipercaya, dan dapat diandalkan–, dan penuh perhatian, toleransi, dan
luwes yang bisa bersaing kelak. Itu adalah karakter yang bagus. Betapa tidak.
Banyak orang yang pintar dan berpengetahuan.
`'Karakter adalah kunci keberhasilan individu,'' tambah Ratna. Ia lantas
mengutip sebuah hasil penelitian di AS bahwa 90 persen kasus pemecatan
disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan
hubungan interpersonal yang buruk. Didukung pula penelitian lain yang
menunjukkan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh
emotional quotient.
Bagaimana mendidik karakter anak? Menurut Ratna Megawangi, menciptakan
lingkungan yang kondusif. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter
jika dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak
ang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Untuk itu, pendiri
sekaligus direktur eksekutif Indonesia Heritage Foundation ini melihat peran
keluarga, sekolah, dan komunitas amat menentukan.
Membentuk karakter
Membentuk karakter, kata Ratna Megawangi, merupakan proses yang berlangsung
seumur hidup. Anak-anak, jelas ketua bagian Tumbuh Kembang Anak, Fakultas
Ekologi Manusia, IPB, ini, akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika ia
tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu, fitrah setiap anak
yang dilahirkan suci bisa berkembang optimal. Untuk itu, ia melihat tiga pihak
yang mempunyai peran penting. Yakni, keluarga, sekolah, dan komunitas.
Dalam pembentukan karakter, jelas Ratna, ada tiga hal yang berlangsung secara
terintegrasi. Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang
harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik. Kemudian, mempunyai
kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini
merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau
berbohong. `'Karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena
mencintai kebajikan,'' kata Ratna, mencontohkan.
Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya. Lewat proses
itu, Ratna menyebut sembilan pilar karakter yang penting ditanamkan pada anak.
Ia memulainya dari cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; tanggung jawab,
kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun; kasi sayang,
kepedulian, dan kerja sama; percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi, cinta
damai, dan persatuan. Karakter baik ini harus dipelihara. Lalu, bagaimana
menanamkan karakter pada anak? Mengutip hasil riset otak mutakhir, Ratna
menyebut usia di bawah tujuh tahun merupakan masa terpenting. `'Salah didik
memengaruhi saat ia dewasa,'' katanya.
Mana yang disimpan?
Pendidikan karakter seharusnya dimulai saat anak masih balita. Praktisi
pendidikan Edy Wiyono, pada acara yang sama, menggambarkan betapa balita masih
kosong pengalaman. `'Jika ia melihat sesuatu langsung dimasukkan tanpa
dipilih-pilih,'' katanya. Itu bisa terjadi karena dalam benak balita belum ada
'program' penyaring.
Nah, materi yang pertama masuk pada otak anak akan berfungsi sebagai penyaring.
Karena itu, Edy mengingatkan orang tua agar waspada. Sebab, jika terlambat
mengisi pengalaman pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi pihak lain. ''Orang
tua yang jarang berinteraksi dengan anak pada usia ini, berhati-hatilah,''
katanya.
Anak tak hanya merekam materi yang masuk. Tapi juga yang lebih dipercaya, yang
lebih menyenangkan, dan yang berlangsung terus-menerus. Saat anak sudah memasuki
dunia sekolah, anak biasanya lebih percaya pada guru. Bila demikian adanya, Edy
mengingatkan hal itu sebagai pertanda orang tua untuk mengevaluasi diri. `'Kita
harus meningkatkan kemampuan kita untuk lebih dipercaya.''
Bagi orang tua bekerja, Edy juga mengingatkan agar selalu menyediakan waktu bagi
anak-anaknya. ''Hati-hati, agar jangan sampai tv menggantikan peran orang tua
bagi sang anak,'' ujarnya.
Bekerja maupun tidak, menurut Edy, orang tua harus berupaya menjadikan dirinya
role model untuk membangun kepercayaan anak. Selain itu, mengupayakan komunikasi
dengan anak secara menyenangkan, tidak hanya memerintah-merintah, mengkritik,
dan membentak-bentak. ''Anak dirancang Tuhan tidak untuk dibentak-bentak,'' ujar
Edy,''Karena sesungguhnya pendengaran anak itu amat tajam.''
Untuk mendampingi sang anak yang tengah dalam pertumbuhan, praktisi multiple
intelligences and holistic learning ini menyarankan para orang tua agar berupaya
menjadi 'konsultan pribadi' mereka. Bagaimana caranya? Yang paling utama, Edy
menyarankan kebiasaan yang dilakukan para orang tua. ''Stop menghakimi anak dan
stop mengungkit-ungkit,'' katanya. Ia juga mengingatkan agar tidak menggunakan
amarah. Sebab, marah tidak pernah menyelesaikan masalah dengan baik. Tidak juga
membanding-bandingkan anak.
Dalam berkomunikasi, orang tua hendaknya menjadi pendengar yang baik, tidak
menyela pembicaraan, mengganti pernyataan dengan pertanyaan, berempati terhadap
anak dan masalahnya, tidak berkomentar sebelum diminta. Kalaupun berkomentar,
saran Edy, gunakan komentar yang menyenangkan. Yakni, misalnya, dengan metode
''rasa-rasa …'', ''dulu pernah …''.
Satu hal yang tak boleh dilupakan, kata Edy, orang tua jangan pernah membuat
keputusan untuk anak. ''Biarkan anak yang memilih,'' katanya. Dan, selama
pertumbuhan anak, Edy menyarankan para orang tua untuk selalu membangun
kedekatan dan biasakan berdialog. ''Agar anak terbiasa untuk meminta
pertimbangan dan nasihat dari Anda.''
Melewati Fase Kritis Anak
Ada enam fase kritis, menurut praktisi pendidikan Edy Wiyono, yang dilalui anak
hingga menjadi dewasa. Orang tua dan guru hendaknya memahaminya sebagai suatu
yang normal. ''Bahwa anak sudah pada fasenya,'' kata narasumber Smart Parenting
di Smart FM 95,9 ini. Edy memberi bantuan pada para orang tua untuk menandai dan
menyikapi fase-fase pertumbuhan anaknya mulai dari balita, usia TK, usia SD,
usia SMP, usia SMA, hingga usia kuliah. Satu hal yang penting tak boleh
dilepaskan dalam masing-masing fase itu, Edy menyarankan, ''Gunakan pujian untuk
perilaku, atau perubahan perilaku yang baik. Berikut lima dari enam fase yang
disampaikannya beberapa waktu lalu:
Usia balita
Ciri-ciri: merasa selalu benar, memaksakan kehendak, tidak mau berbagi. Peran
orang tua:
- Berikan kesempatan anak beberapa detik untuk berkuasa.
- Berikan kesempatan beberapa detik untuk memiliki secara penuh.
- Perkenalkan pada arti boleh dan tidak boleh dengan menggunakan ekspresi wajah.
- Konsisten dan jangan menggunakan kekerasan baik suara maupun fisik.
Usia TK
Ciri-ciri: konflik adaptatif, imitatif, berbagi, dan mau mengalah. Ketiga sifat
terakhir ini karena anak ingin diterima dalam kelompok.
Peran orang tua:
- Beri kesempatan untuk memerhatikan, mencoba, dan bekerja sama.
- Perhatikan dan luruskan perilaku imitatif yang cenderung negatif.
- Dukunglah anak untuk bisa berbagi dan mengalah.
Usia SD
Ciri-ciri: anak ingin mendapat pengakuan diri. Karena itu, ciri-ciri utamanya
punya pendapat berbeda, penampilan berbeda, gaya bicara berbeda, dan hobinya pun
berbeda.
Peran orang tua:
- Menghargai pendapatnya dan jangan menyalahkan.
- Ajaklah dialog logika dan pengalaman.
- Pujilah hal-hal yang baik dari penampilannya, bantulah dengan kalimat positif
untuk bisa tampil lebih baik lagi.
- Jangan langsung menyela gaya bicaranya, bangun ketertarikan dan bantulah dia
untuk bisa lebih punya gaya bicara yang menarik.
Usia SMP
Ciri-ciri: anak memasuki persaingan. Karena itu anak mengalami konflik
antarpersonal, konflik antarkelompok, dan konflik sosial.
Peran orang tua:
- Meningkatkan proses kedekatan dengan anak melalui dialog dan berbagai cara.
- Jadilah pendengar yang baik dan buka menjadi hakim.
- Jangan pernah menyela pembicaraan dan cerianya.
- Jangan beri komentar atau nasihat sebelum tiba waktunya.
Wallahu'alam.
Indah nian pasir putih, Cukup sekian dan terima kasih
Wassalaamu'alaykum wr wb
Dimas Teguh - Mutiara Hati Indonesia
Character Building Trainer
Sms center : 0896 3680 4953
Sent from my Laptop Intel® Core™2 Duo Processor, Quick and easy...
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar