SUAMIKU BUKAN LELAKI SEMPURNA
Nikah Vol. 4, No. 6, September 2005
===================
Dulu di tengah hangatnya teh panas dan sepotong rotii di pagi hari,
saya dan teman-teman satu kos sering ngobrol tentang sosok ikhwan atau
suami ideal.
Menurut kami seorang ikhwan yang paham agama pastilah sosok yang amat
'super'. Super ngemong, sabar, romantis, dan sebagainya, tiada cela dan
noda. Dalam pikiran polos kami saat itu, seorang ikhwan itu pasti ittibaussunnah dalam segala hal, termasuk dalam berumah tangga.
Namun seiring berjalannya waktu akhirnya saya menyadari, ternyata
dulu kami melupakan satu hal. Yaitu bahwa seorang ikhwan adalah juga
manusia, yang tentu saja memiliki sifat "manusiawi". Mereka pun memiliki
sederet masalah, dan mereka bukan malaikat. Jadi, tidak layak tentunya
jika berbagai tuntutan kita bebankan kepada mereka.
Membangun harapan adalah sah-sah saja. Hanya saja, jangan kaget setelah
bertemu realita. Setelah menikah, menyatukan dua hati yang berbeda
bukanlah hal mudah. Menginginkan sosok suami yang bisa menyelesaikan
konflik tanpa menyisakan sedikit pun sakit hati atau masalah adalah
harapan berlebihan.
Apalagi mengharap suami yang full romantis di antara sekian beban
yang ditanggungnya. Suami kita hanyalah laki-laki biasa yang punya masa
lalu dan latar belakang berbeda dengan kita. Mereka seperti kita juga,
punya banyak kelemahan di samping kelebihannya.
Lantas apakah harus kecewa kalau sudah dapat suami tapi masih jauh
dari harapan waktu muda? Tidak juga. Hal terpenting adalah jangan lagi
berandai-andai dan mengeluh. Berpikirlah progresif, jangan regresif.
Pikirkan solusi, jangan mempertajam konflik atau mendramatisir keadaan.
Komunikasikan apa yang ada dalam benak kita dalam situasi terbaik.
Fitrah wanita dengan porsi perasaan yang lebih dominan seharusnya
menjadikan kaum hawa lebih pintar memilih waktu curhat yang tepat. Sikap
"nrimo" atas kekurangan suami bisa jadi pilihan tepat untuk mengurangi tingkat kekecewaan.
Konsepnya semakin Anda melihat perbedaan, semakin terluka hati ini
(self-fulfilling prophecy). Jadi, carilah titik persamaan untuk meraih
kebahagiaan. Dan ingat, dari sekian akhwat yang ada, Andalah yang
terpilih untuk menjadi belahan hatinya. Karena itu cintailah suami Anda
apa adanya.
Bagi para akhwat yang belum menikah, tetaplah "memanusiakan" manusia.
Para ikhwan itu adalah seperti diri kita juga. Mereka bukan Superman.
Ingat pula bahwa jodoh ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tetaplah
perbaiki diri baik secara dien maupun fisik. Masalah siapa suami dan
bagaimana sosok suami kita kelak adalah hak prerogatif Allah Subhanahu
wa Ta'ala.
Singkirkan sederetan tuntutan "super" bagi calon suami. Semakin
banyak tuntutan, bila tak terpenuhi akan membuat tingkat kekecewaan
semakin tinggi. Percayalah pada janji Allah, bahwa suami yang baik
adalah untuk istri yang baik pula, insya Allah. Lagi pula Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam telah menegaskan dalam salah satu haditsnya
bahwa memilih suami adalah karena ketinggian agama dan akhlaknya, bukan
prioritas sekunder lainnya.
Akhir kata, yuk, sembari menyeruput teh panas, kita ganti topik menjadi ~Bagaimana
menjadi istri ideal.~ Wallahu a'lam.
(Ummu Aisyah).
**SURYATI**
Gd. Pascasarjana FEUI
Pascasarjana Ilmu Ekonomi Lt. 2
Kampus UI
Depok
Telp : 78849152-53
Fax : 78849154
Email : y4t12002@yahoo.com, suryati06@ui.ac.id
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar