Rabu, 01 Juni 2011

[daarut-tauhiid] Mempercantik Diri yang Diharamkan (2)

Mempercantik Diri yang Diharamkan (2)

Penjelasan Ulama Tentang Hukumnya

Hadits-hadits yang telah disebutkan terdahulu tidak hanya menggunakan
kata-kata larangan tetapi laknat. Tentunya itu lebih keras dibanding sekedar
larangan. Hal itu menunjukkan keharaman melakukan hal-hal tadi, sebab tidak
ada laknat kecuali untuk hal-hal yang diharamkan.

1. Menyambung Rambut (Al-Washilat wal Mustawshilat)

Menyambung rambut seperti memakai wig dan konde adalah haram secara mutlak.
Hal ini ditegaskan oleh Al-Allamah Asy-Syaukani rahimahullah berikut ini:

"Menyambung rambut adalah haram, karena laknat tidaklah terjadi untuk
perkara yang tidak diharamkan." (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, 6/191)

Menyambung rambut seperti memakai wig dan konde adalah haram secara mutlak.

Bahkan Al-Qadhi 'Iyadh menyebutkan hal itu sebagai maksiat dan dosa besar,
lantaran adanya laknat bagi pelakunya. Termasuk juga orang yang ikut serta
dalam perbuatan ini, maka dia juga mendapatkan dosanya, sebagaimana orang
yang ikut serta dalam kebaikan, maksa dia juga dapat pahalanya. (Imam
An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236. Al-Qadhi 'Iyadh, Ikmalul
Mu'allim, 6/328).

Begitu pula yang difatwakan oleh Imam An Nawawi rahimahullah:

"Hadits-Hadits yang ini jelas mengharamkan menyambung rambut, dan
terlaknatnya orang yang menjadi penyambungnya dan orang yang disambung
rambutnya adalah mutlak, dan inilah secara dzahir menjadi pendapat pilihan."
(Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236).

Beliau juga menyebutkan rincian yang dibuat oleh madzhabnya, Syafi'iyah,
yakni jika rambut tersebut adalah rambut manusia maka sepakat keharamannya,
baik itu rambut laki atau wanita, rambut mahramnya, suaminya, atau selain
keduanya, maka haram sesuai keumuman haditsnya. Alasannya, karena
diharamkannya pemanfaatan rambut manusia baik keseluruhan atau
bagian-bagiannya itu dalam rangka memuliakannya. Bahkan seharusnya dikubur,
baik rambut, kuku atau bagian-bagian keseluruhannya. Jika rambut tersebut
adalah bukan rambut manusia, rambut tersebut najis seperti rambut bangkai
dan rambut hewan yang tidak dimakan, maka dia haram juga menurut hadits,
sebab dengan demikian secara sengaja dia membawa najis dalam shalat dan di
luar shalat. Sama saja dua jenis ini, baik untuk dipakai pada orang yang
sudah kawin atau belum, baik laki-laki atau wanita. Ada pun rambut suci
selain rambut manusia, jika dia (pelakunya) belum kawin dan tidak punya
tuan, maka haram juga. Jika dia sudah kawin atau punya tuan, maka ada tiga
pendapat: Pertama, tetap tidak boleh juga, sesuai zahir hadits tersebut.
Kedua, tidak haram. Dan yang shahih menurut mereka –syafi'iyah- adalah jika
melakukannya dengan izin dari suaminya atau tuannya, maka boleh. Ketiga,
jika tidak diizinkan maka haram. (Ibid)

Demikian rincian yang dipaparkan Imam An-Nawawi. Namun, jika kita merujuk
hadits yang ada maka rambut apa pun, dan dari siapa pun adalah haram. Sebab,
tak ada perincian ini dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Menyambung Rambut Bukan Dengan Rambut

Bagaimana jika menyambung rambut dengan selain rambut seperti dengan benang
sutera, wol, atau yang semisalnya? Para ulama berbeda pendapat dalam hal
ini.

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Imam Malik, Imam Ath-Thabari, dan
kebanyakan yang lainnya mengatakan, tidak boleh menyambung rambut dengan apa
pun juga, sama saja baik dengan rambut, wol, atau kain perca. Mereka
berdalil dengan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, setelah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan peringatan bagi seorang
wanita yang telah menyambung rambutnya dengan sesuatu.

Sementara Imam Laits bin Sa'ad, dan Abu 'Ubaidah meriwayatkan dari banyak
fuqaha, mengatakan bahwa larangan tersebut hanyalah khusus untuk menyambung
dengan rambut. Tidak mengapa menyambung dengan wol, secarik kain perca, dan
semisalnya. Sebagian mereka mengatakan: semua hal itu boleh, sebagaimana
diriwayatkan dari 'Aisyah. Tetapi itu tidak shahih dari Aisyah, bahkan
sebaliknya, diriwayatkan darinya sebagaimana pendapat mayoritas (yaitu
terlarang). (Ibid. Lihat juga Tuhfah Al-Ahwadzi, 8/66).

Syaikh Sayyid Sabiq juga menyebutkan bahwa jika menyambung rambut dengan
selain rambut manusia seperti benang sutera, wol, dan yang sejenisnya, maka
Said bin Jubeir, Ahmad dan Laits bin Sa'ad membolehkannya. (Syaikh Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah, 3/496).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, yang menyatakan
keharamannya. Karena dua hal, pertama, kaidah fiqih: al-umuru bi maqashidiha
(permasalahan dinilai berdasarkan maksudnya). Walau tidak menggunakan
rambut, tetapi pemakaian wol, kain perca, dan sejenisnya diniatkan oleh
pemakainya sebagai sambungan bagi rambutnya, maka hal itu termasuk bagian
dari Al-Washl – menyambung rambut.

Kedua, keumuman makna hadits tersebut menunjukkan segala aktifitas
menyambungkan rambut tidak terbatas pada jenis rambutnya, baik asli atau
palsu, sama saja.

Al-Qadhi 'Iyadh mengatakan, ada pun mengikatkan benang sutera berwarna warni
di rambut, dan apa saja yang tidak menyerupai rambut, itu tidak termasuk
kategori menyambung rambut yang terlarang. Hal itu sama sekali tidak ada
maksud untuk menyambung rambut, melainkan untuk menambah kecantikan dan
keindahan, sama halnya dengan melilitkannya pada pinggang, leher, atau
tangan dan kaki. (Al-Qadhi 'Iyadh, Ikmalul Mu'allim, 6/328).

Apa yang dikatakan oleh Al-Qadhi 'Iyadh ini, untuk makna zaman sekarang
adalah seperti seorang wanita yang mengikatkan pita rambut, bandana, bando,
atau syal. Ini memang bukan termasuk menyambung rambut sebagaimana wig dan
konde, dan tentu saja boleh. Tetapi, pembolehan ini hanyalah di depan suami
atau mahramnya seperti kakek, ayah, paman, kakak, adik, keponakan, anak, dan
mahram lainnya. Sedangkan di depan non-mahram, maka hukumnya sama dengan
hukum menutup aurat bagi wanita di depan non-mahram, yakni tidak boleh
terlihat seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan.

2. Minta dibuatkan Tato dan Si Pembuat Tato (Al Wasyimat wal Mustawsyimat)

Sebagaimana hukum menyambung rambut, maka hukum bertato atau bagi pembuatnya
adalah sama haram dan termasuk maksiat kepada Allah Ta'ala. Lantaran
keduanya di-athafkan (dikaitkan) dalam satu hadits sebagaimana riwayat Ibnu
Umar radliyallah 'anhuma.

Dari Ibnu Umar radliyallah 'anhu, katanya bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:

"Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya, dan
wanita pembuat tato dan yang bertato." (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).

hukum bertato atau bagi pembuatnya adalah sama haram dan termasuk maksiat
kepada Allah Ta'ala.

Imam Ibnu Baththal memberikan syarah terhadap hadits ini:

"Karena keduanya saling tolong menolong dalam merubah ciptaan Allah, dan
hadits ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang menolong perbuatan maksiat,
maka dia ikut serta dalam dosanya." (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih
Bukhari, 9/174).

Lalu, bagaimana jika seorang ingin menghilangkan tato, tetapi kesulitan
karena dikhawatirkan kerusakan pada tubuhnya? Imam Al-Khathib Asy-Syarbini
mengatakan:

"Wajib baginya menghilangkannya selama tidak ditakutkan adanya bahaya dan
dibolehkan tayammum, jika dia takutkan hal itu, maka tidak wajib
menghilangkannya dan tidak berdosa baginya setelah bertaubat." (Imam
Muhammad Al-Khathib Asy-Syarbini, Mughni Muhtaj, 1/191. Lihat juga Fathul
Bari, 10/372)

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah mengatakan
dalam fatwanya:

"Maka, hendaknya dia menghilangkan tato tersebut setelah dia mengetahui
keharamannya. Tetapi jika dalam penghapusannya itu mengalami kesulitan atau
mudharat (bahaya), maka cukup baginya untuk bertobat dan istighfar, dan
tidak mengapa sisa tato yang ada pada tubuhnya." (Majmu' Fatawa wal Maqalat
Ibnu Baz, Juz. 10, No. 218).

Menurut pendapat yang benar, tato tidaklah menghalangi wudhu atau mandi
janabah, sebab tato tidak melapisi kulit, melainkan meresap ke dalamnya.
Sehingga, tidak perlu ada kekhawatiran bagi orang yang memiliki tato lalu
setelah dia tahu keharamannya dia bertobat ingin menjalankan shalat. Wallahu
A'lam.

3. Mencukur Alis Mata (An Namishat wal Mutanamishat)

Sebagaimana yang lain, maka An-Namishah (pencukur alis) dan Al-Mutanamishah
(orang yang alisnya dicukur) juga melakukan keharaman dan mendapatkan laknat
Allah Ta'ala. Imam Ath-Thabari berkata:

"Tidak boleh bagi wanita merubah sesuatu dari bentuk yang telah Allah
ciptakan baginya, baik dengan tambahan atau pengurangan dengan tujuan
kecantikan, tidak boleh walau untuk suami dan tidak juga untuk selain
suami." (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377, Syaikh Abdurrahman Al
Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67)

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah tidak memberikan pengecualian,
bahkan seandainya wanita memiliki kumis dan jenggot pun –menurutnya- tidak
boleh dihilangkan sebab hal itu termasuk merubah ciptaan Allah Ta'ala.

Namun, pandangan ini ditanggapi oleh Imam An-Nawawi sebagai berikut:

"Perbuatan ini (mencukur alis dan tukang cukurnya) adalah haram, kecuali
jika tumbuh pada wanita itu jenggot atau kumis, maka tidak haram
menghilang-kannya, bahkan itu dianjurkan menurut kami. Ibnu Jarir
mengatakan: "Tidak boleh mencukur jenggot, kumis dan rambut di bawah
bibirnya, dan tidak boleh pula merubah bentuknya, baik dengan penambahan
atau pengurangan." Madzhab kami, sebagaimana yang telah kami kemukakan,
menganjurkan menghilangkan jenggot, kumis, dan rambut di bawah bibir.
Sesungguhnya larangan hanya berlaku untuk alis dan bagian tepi dari wajah."
(Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/421).

Pendapat yang benar, jenggot dan kumis bagi wanita adalah suatu keadaan yang
tidak lazim dan tidak normal. Sebab, wanita diciptakan Allah Ta'ala secara
umum tidaklah demikian. Oleh karena itu, mencukur keduanya bukanlah termasuk
kategori merubah ciptaan Allah Ta'ala, melainkan menjadikannya sebagaimana
wanita ciptaan Allah Ta'ala lainnya. Maka, pendapat yang menyatakan bolehnya
mencukur kumis dan jenggot bagi wanita adalah pendapat yang lebih kuat.

Ada pun mencukur bagian alis yang tumbuhnya tidak kompak dibagian
sudut-sudutnya saja. Maka para ulama berbeda pendapat. Imam Ahmad
membolehkan dengan syarat itu bertujuan menyenangkan suami. Namun, yang
benar adalah tidak boleh sebagaimana larangan tegas dalam hadits tersebut
yang tidak membedakan antara mencukur sedikit atau banyak walau pun
bertujuan menyenangkan hati suami. Hal ini juga dikuatkan oleh kaidah bahwa
niat yang baik (seperti menyenangkan hati suami) tidaklah merubah sesuatu
yang haram. Sebagaimana seorang penjudi berniat menyumbang masjid, maka
tidaklah merubah judinya menjadi halal.

4. Mengkikir Gigi (Al-Mutafalijah)

Sebagaimana yang lain pula, hal ini juga diharamkan. Sebagaimana penjelasan
para ulama. Hanya saja diberi keringanan bagi yang berpenyakit, atau jika
mengganggu aktiitas mengunyah.

Berkata Imam Ath Thabari rahimahullah:

"Dikecualikan dari hal itu, yakni apa-apa yang bisa mendatangkan bahaya dan
gangguan seperti wanita yang memiliki gigi yang lebih atau kepanjangan
(tonggos) yang dapat menghalanginya ketika makan." (Al Hafizh Ibnu Hajar,
Fathul Bari, 10/377).

Maka, aktifitas memperbaiki gigi seperti menambal, memasang kawat gigi dan
gigi palsu, tidaklah termasuk mutafallijah.

* Tulisan Farid Nu'man Hasan.


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: