Akmal Sjafril
assalaamu'alaikum wr. wb.
Pembenaran tidak sama dengan kebenaran. Kebenaran itu satu, tapi
pembenaran bisa seribu satu. Meskipun sama-sama menggunakan kata dasar
"benar", namun makna "kebenaran" dan "pembenaran" justru kontradiktif.
Jika kebenaran itu selalu didukung fakta, maka pembenaran justru
biasanya merekayasa fakta.
Belakangan ini, televisi dibanjiri pemberitaan tentang artis perempuan
yang usia kandungannya lebih tua daripada usia pernikahannya. Menikah
sebulan, tapi hamil sudah empat bulan. Tidak ada yang bertanya, tapi
dia sendiri yang mengumumkan. Sekarang, seluruh dunia sudah tahu sama
tahu.
Bagi setiap kesalahan, ada saja pembenarannya. Sebelum berbuat, akal
manusia pun seringkali sudah mengarang sekian banyak pembenarannya.
Ah,
nggak sampai segitunya kok. Ah, cuma coba-coba. Ah, cuma
nyerempet-nyerempet. Ah, cuma sekali. Ah, cuma sesekali. Ah, yang
penting nggak merugikan orang lain. Ah, nggak perlu ada orang lain
yang tahu. Begitu terus sampai akhirnya tiba pada jurus pamungkas,
"Ah, yang penting bertanggung jawab!"
Dibuatlah berbagai perbandingan. Lebih baik begini daripada mereka
yang tidak bertanggung jawab, mau berbuat tapi ogah mengaku. Lebih
baik berbuat kemudian menikah secara bertanggung jawab, daripada harus
aborsi seperti orang-orang labil itu. Lebih baik yang begini daripada
korupsi. Lebih baik bercinta daripada meledakkan bom. Sampai kehabisan
napas mengumbar berbagai perbandingan, tak sekalipun kata "zina"
disebut. Sayang, mereka yang menikah baik-baik dan hamil di waktu yang
wajar tidak masuk dalam perbandingan.
Belum cukup sampai di situ, sibuklah sang artis berteori di depan
layar televisi. "Ini cuma masalah waktu," katanya. Seks baginya hanya
masalah waktu. Kalau sudah berkomitmen, bolehlah mendahului akad.
Mungkin ia lupa bahwa akad itulah yang menandakan teguhnya komitmen.
Kalau komitmen tak perlu ditegaskan oleh akad, maka institusi
pernikahan pun tidak lagi bermakna. Semua orang boleh mengaku
berkomitmen, tanpa perlu bersusah payah mengucap akad di hadapan para
saksi. Padahal yang sudah mengucapkan akad pun masih banyak yang
berkhianat pula. Ah, bicara soal pengkhianatan terhadap komitmen,
tidakkah ini seperti deja vu?
Sebagai pembenaran tambahan, diberikan pula suatu fakta yang diakui
secara konsensus namun tidak relevan, "Kami sudah sama-sama dewasa!"
Ya, justru kedewasaan itulah salah satu faktor yang mengantar kita
pada pembatasan hubungan antara dua manusia yang berlainan jenis. Satu
fakta memang bisa dipandang berbeda dari dua kacamata yang berbeda,
apalagi kacamata kebenaran dan kacamata pembenaran yang memang selalu
terlibat konflik bersenjata.
Sekarang ini ada saja cara untuk memberikan pembenaran. Untuk kalangan
artis, sudah ada forum khusus untuk keperluan itu, antara lain dalam
sebuah acara yang dipandu oleh seorang pelawak terkenal yang kerap
kali dikritik karena tamu-tamunya yang seringkali tampil seronok dan
candaannya yang kurang pantas. Dalam acara itu, semua artis punya hak
untuk membenarkan semua perilakunya. Mereka diberi waktu untuk
'membela diri', tanpa ada seorang pun yang boleh menyanggah. Mereka
pun bebas berteori, membangun konsep-konsep kebenarannya sendiri,
kemudian host acara akan menindaklanjuti dengan menambahkan
pepatah-pepatah indah seolah-olah yang diundangnya adalah orang-orang
alim berbudi baik lagi terpuji akhlaq-nya.
Sudah berapa banyak artis seronok angkat bicara, sedangkan jawabannya
nyaris tak pernah beda, modus operandinya juga selalu sama. Peran
buka-bukaan disebut "menantang" dan "tuntutan profesi", komitmen untuk
membuka aurat disebut "berani", panjangnya antrian di bioskop
disubstitusi dengan "prestasi". Maka, agar "berprestasi", seorang
artis haruslah "berani" memenuhi "tuntutan profesi" yang begitu
"menantang" untuk dijalani. Semuanya itu dianggap positif, selama
tidak mengganggu kepentingan orang lain, tidak menyakiti orang lain,
tidak membikin orang lain terluka, terbunuh dan seterusnya.
Pembenaran memang diciptakan untuk melindungi seseorang dari rasa
bersalahnya sendiri. Jangan heran kalau para pecinta pembenaran ini
nampak begitu sibuk berteori di depan kamera, berpanjang-panjang untuk
membenarkan tindakannya. Ironisnya, semakin panjang teorinya, biasanya
akan semakin bertumpuk pula kesalahannya. Satu pembenaran akan membawa
pada pembenaran berikutnya, karena untuk membenarkan kesalahannya,
manusia perlu merombak konsep kebenaran itu terlebih dahulu. Padahal,
kesalahan pada Tuhan dapat diselesaikan dengan cara sederhana, dimulai
dari pengakuan (tidak memberi pembenaran) hingga menyempurnakan
taubat. Tapi kalau sudah melibatkan pembenaran, besar kemungkinan akan
kena pasal berlapis di akhirat kelak.
Ini, tentu saja, adalah bahasan bagi orang-orang yang beriman dan
masih punya rasa malu. Sebab, sebagaimana sabda Rasulullah saw., "
Kalau tak lagi merasa malu, maka perbuatlah semaumu!" (HR Bukhari).
wassalaamu'alaikum wr. wb.
http://akmal.multiply.com/journal/item/832
--
Sent from my mobile device
------------------------------------
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar