Kamis, 13 Oktober 2011

[daarut-tauhiid] Tahkimus Syari’ah, Kewajiban yang Dibenci Munafik

Tahkimus Syari'ah, Kewajiban yang Dibenci Munafik

Suatu hari dua orang mendatangi Rasulullah saw. Konon, mereka sedang
bersilang pendapat terhadap suatu perkara. Keduanya ingin Rasulullah saw
memutuskan perselisihan antar keduanya. Akhirnya Rasulullah saw memutuskan
kasus itu dimenangkan oleh salah seorang dari keduanya. Yang kalah tidak
terima, "Saya tidak rela." Katanya. "Terus, kamu mau apa..?" Yang satu balik
bertanya. Yang kalah menjawab, "Kita ke Abu Bakar, meminta keputusan dari
beliau." Lalu keduanya bertolak ke Abu Bakar, yang memenangkan kasus
berkata, "Kami sudah meminta keputusan dari Rasulullah saw dan beliau
memenangkan aku." Abu Bakar menjawab, "Kalian harus menerima keputusan
Rasulullah saw." Yang kalah tidak terima, "Mari kita minta keputusan ke Umar
bin Khattab." Pintanya.

Keduanya pun bertolak ke rumah Umar. Sesampai di rumah Umar, disampaikan ke
Umar keputusan Rasulullah saw dan Abu Bakar serta ketidakrelaan rivalnya
terhadap keputusan tersebut. "Begitukah," guman Umar, lalu beliau masuk ke
dalam rumahnya, tidak lama kemudian, beliau keluar dengan membawa pedang
yang terhunus. Lalu Umar memenggal kepala orang yang tidak ridho terhadap
keputusan Rasulullah saw. maka turunlah surat an-Nisa ayat 65 yang
membenarkan tindakan Umar ra. (Ibnu Katsier, 2/351-352)

Berhukum kepada hukum Allah, Syarat Sah Iman

Sekilas apa yang tercantum dalam kisah di atas sungguh biadab. Hanya tidak
mau menerima hukum Rasulullah saw. Seseorang bisa dipenggal. Sebenarnya
permasalahannya tidak sesederhana itu, tetapi ini adalah perkara iman. Bukti
ketundukan kepada hukum Allah swt dan bukti ketaatan kepada Rasulullah saw.

Allah swt berfirman,

ÝóÅöäú ÊóäóÇÒóÚúÊõãú Ýöí ÔóíúÁò ÝóÑõÏøõæåõ Åöáóì Çááøóåö æóÇáÑøóÓõæáö Åöäú
ßõäúÊõãú ÊõÄúãöäõæäó ÈöÇááøóåö æóÇáúíóæúãö ÇáúÂóÎöÑö Ðóáößó ÎóíúÑñ
æóÃóÍúÓóäõ ÊóÃúæöíáÇð

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisa':
59)

Menafsirkan ayat ini, Syaik As-Sa'di rhm berkata, "Mengembalikan semua
perkara kepada hukum Allah dan RasulNya adalah syarat (sah) iman. Ini
menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak mengembalikan perkara yang
diperselisihkan kepada Allah dan RasulNya, pada hakekatnya ia tidak beriman
kepada Allah, tetapi beriman kepada thoghut" (Tafsir as-Sa'di, 1/183)

Saat menafsirkan surat at-Taubah ayat 31 syaikh As-Syanqithi rhm berkata,
"Dari ayat ini dapat dipahami dengan gamblang, tidak ada kesamaran bahwa
siapa saja yang mengikuti syari'at setan dan mengutamakannya dari apa yang
dibawa oleh Rasulullah saw, maka dia telah kafir kepada Allah dan menjadi
abdi setan. Dia telah mengangkat setan sebagai rabbnya. Walau dia
mengistilahkan ibadahnya kepada setan itu dengan nama lain." (Adhwa', 1/476)

Kedudukan berhukum kepada hukum Allah swt.

a. Dari Sisi Dien

Allah swt telah menjelaskan dalam banyak ayat, bahwa hak untuk menetapkan
hukum dan aturan hanyak milik Allah semata. Tidak pernah diwakilkan kepada
manusia. Dan seluruh manusia diwajibkan untuk berhukum kepada hukum Allah
swt.

Allah swt berfiman,

"Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak beribadah kepada selain Dia. Itulah din yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 40)

Ibnu Hazm al-Andalusi rhm berkata, "Tidak ada perbedaan antara
memperbolehkan perundang-undangan, seperti; mewajibkan, atau mengharamkan,
atau membolehkan sesuati dengan akal, padahal tidak ada nash dari Allah dan
rasulNya tentang itu, dengan membatalkan (mengingkari) aturan Allah yang
disyari'atkan lewat lisan rasulNya dengan akal. Orang yang membedakan antar
keduanya adalah berdusta. Keduanya sama-sama kafir." (al-Ihkam, 6/31)

b. Dari sisi tauhid rububiyah

Di antara tuntutan tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah swt dalam hukum
dan tadbir (mengatur). Tauhid rububiyah tidak akan terealisasi dengan baik
kecuali dengan mengesakan Allah dan mengakui hak Allah dalam mencipta,
memerintah dan memiliki kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum yang tidak
boleh diganggu gugat oleh siapapun.

Allah swt berfirman, "Ingatlah, (hak) menciptakan dan memerintah hanyalah
milik Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam." (al-A'raf: 54)

Oleh karena itu Allah swt menamakan orang yang mengikuti aturan selain yang
diturunkan olehNya dengan orang-orang yang mengangkat arbab (rabb/tuhan)
selain Allah swt (nawaqidh al-iman, hlm. 298).

ÇÊøóÎóÐõæÇ ÃóÍúÈóÇÑóåõãú æóÑõåúÈóÇäóåõãú ÃóÑúÈóÇÈðÇ ãöäú Ïõæäö Çááøóåö
æóÇáúãóÓöíÍó ÇÈúäó ãóÑúíóãó æóãóÇ ÃõãöÑõæÇ ÅöáøóÇ áöíóÚúÈõÏõæÇ ÅöáóåðÇ
æóÇÍöÏðÇ áóÇ Åöáóåó ÅöáøóÇ åõæó ÓõÈúÍóÇäóåõ ÚóãøóÇ íõÔúÑößõæäó

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam,
padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada rabb yang Esa, tidak ada
Tuhan (yang berhak diibadahi) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan." (at-Taubah: 31)

c. Dari sisi tauhid uluhiyah

Sebenarnya inti dari berhukum kepada hukum Allah swt adalah mengesakan Allah
swt dalam alitho'ah (ketaatan). Sedangkan ketaatan bagian dari tauhid
uluhiyah, karena ia bagian dari ibadah, maka tidak boleh diperuntukan kepada
selain Allah swt (Q.s Yusuf:40).

Dalam ayat lain Allah swt berfirman, "Dan Dialah Allah, tidak ada ilah
(yang berhak diibadahi) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan
di akhirat, dan bagi-Nyalah (hak menentukan) hukum dan hanya kepada-Nyalah
kamu dikembalikan" (al-Qashos:70)

Di antara tuntutan bertauhid kepada Allah swt dalam uluhiyah adalah mengakui
bahwa hak menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah swt semata. Tidak
boleh diklaim dan direbut oleh siapapun. Jika mengakui, selain Allah swt
memiliki kewenangan untuk menghalalkan atau mengharamkan berarti ia telah
berbuat syirik. Sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat at-Taubah ayat 31
di atas.

Memberikan hak ketaatan mutlak kepada Allah swt, mentauhidkanNya dalam hukum
dan ketundukan yang penuh kepada syari'atNya merupakan inti keislaman
seseorang.

Ibnu Taimiyah rhm berkata, "Kandungan Islam adalah ketundukan kepada Allah
semata. Barangsiapa yang tunduk kepada Allah, juga tunduk kepada selain
Allah swt, maka ia musyrik. Siapa yang tidak tunduk kepada Allah, berarti ia
orang yang angkuh untuk beribadah kepadaNya. Orang musyrik dan angkuh
kepadaNya, keduanya kafir." (Majmu' Fatawa, 3/91)

Syaikh asy-Syanqithi, "Mensyirikkan Allah swt dalam berhukum dan
mensyirikkan Allah swt dalam beribadah, tidak ada bedanya sama sekali. Orang
yang mengikuti aturan selain aturan Allah dan mengikuti undang-undang selain
undang-undang Allah. Ia seperti penyembah arca dan berusujud kepada patung.
Sama sekali tidak ada perbedaan antar keduanya. Status mereka sama;
sama-sama musyrik." (Adhwa'ul Bayan, 7/162)

d. Dari tauhid ittiba'

Maksudnya adalah merealisasikan pengakauan syahadat rasul (asyhadu anna
muhammadan rasulullah), bahwa beliau adalah manusia yang wajib ditaati oleh
seorang muslim. Tuntutan tauhid ittiba' adalah menjadikan aturan rasulullah
saw satu-satunya rujukan dalam berhukum, pasrah, tunduk dan menerima secara
totalitas syari'at yang dibawa oleh beliau saw (Nawaqidh, hlm. 302).

Allah swt berfirman

ÝóáóÇ æóÑóÈøößó áóÇ íõÄúãöäõæäó ÍóÊøóì íõÍóßøöãõæßó ÝöíãóÇ ÔóÌóÑó Èóíúäóåõãú
Ëõãøó áóÇ íóÌöÏõæÇ Ýöí ÃóäúÝõÓöåöãú ÍóÑóÌðÇ ãöãøóÇ ÞóÖóíúÊó æóíõÓóáøöãõæÇ
ÊóÓúáöíãðÇ

"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa':65)

Menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir rhm berkata, "Allah swt bersumpah dengan
dzat dirinya yang suci nan pemurah, bahwa seseorang tidak beriman hingga
menjadikan rasul saw sebagai pemutus perkara dalam seluruh perkara." (Ibnu
Katsir, 3/211)

Ibnu Qoyyim al-Jauziyah menjelaskan ayat ini, "Allah bersumpah dengan
diriNya yang suci…bahwa makhluk (manusia dan jin) tidak dianggap beriman,
hingga menjadikan rasulNya sebagai pemutus perkara yang mereka
perselisihkan; ushul maupun furu'…bahkan berhukum saja belum cukup
menjadikan mereka orang-orang beriman hingga mereka menerima keputusan itu
dengan senang hati, tidak kecewa suka rela. Bahkan, mereka tidak beriman
hingga mereka menerima hukum tadi dengan penuh kerelaan, tunduk dan pasrah
terhadap keputusannya, serta tidak menggugatnya sama sekali." (at-Tibyan,
hlm. 270)

Jika rasulullah saw telah meninggal maka keputusan dan hukum harus
dikembalikan kepada syari'at yang beliau bawa (Tafsir As-Sa'di, hlm. 183).

Munafik Berhukum Kepada Thoghut

Ada sebagian kelompok manusia yang mengklaim sebagai orang-orang beriman,
mempermainkan Allah dalam masalah hukum. Mereka bukannya berhukum kepada
hukum Allah tetapi justru berhukum kepada thoghut. Mereka ini adalah para
munafikin.

Allah swt berfirman

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (an-nisa': 65)

Dalam tafsirnya, almanar, Muhammad Rasyid ridho berkata, "Ayat ini
menegaskan bahwa siapapun yang menghalangi dan berpaling dari hukum Allah
dan rasulNya dengan sengaja, apalagi setelah ia diingatkan dan dijelaskan
tentang, maka sungguh ia orang munafik. Klaim keimanannya tidak dianggap.
Pengakuan islamnya pun hanya sekedar klaim (dusta)." (Tafsir al-Manar,
5/227)

Maksud berhukum kepada thoghut dalam ayat ini adalah berhukum kepada selain
syari'at Islam, yang diundangkan dan ditetapkan secara bathil. Bertentangan
dengan syari'at Allah swt. Bisa berupa adat istiadat, budaya atau
undang-undang negara.

Ibnu katsir rhm, berkata, "Sungguh ayat ini –annisa':65- mencela setiap
orang yang berpaling dari (hukum yang ada dalam) kitab Allah dan Sunnah
rasulullah saw, sebagai gantinya, ia berhukum kepada selain keduannya, yang
bersumber dari sesuatu yang bathil. Inilah yang dimaksud dengan thoghut
dalam ayat ini." (Ibnu Katsir, 2/346)

Pemaparan para ulama diatas cukup gamblang; siapa saja yang berhukum kepada
selain syari'at Islam maka ia berhukum kepada thoghut. Dan hukum thoghut
adalah segala hukum yang menyelisihi syari'at Allah. Wallahu a'lam bish
showab.* (Mas'ud)

http://an-najah.net/index.php?option=com_content&view=article&id=187:tahkimus-syariah-kewajiban-yang-dibenci-munafik&catid=42:temautama&Itemid=86


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: