Kamis, 03 Januari 2013

[daarut-tauhiid] Syurga Untuk Istriku

 

http://didaytea.com/2013/01/03/syurga-untuk-istriku/

Syurga Untuk Istriku

Oleh: Diday Tea
 
Kisah Fatimah Az Zahra dan
Gilingan Gandum
Beberapa jam yang lalu saya membaca sebuah kisah Fatimah Az
Zahra dan Gilingan Gandum. Di website tersebut dicantumkan sumbernya dari Syarah 'Uquudil lijjaiin
akrya Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani.
Saya rangkum kisah tersebut dan
saya interpretasikan sendiri dengan salah satu ceramah dari Ust. Abu Syauqi,
tentang kisah yang sama.
Pada suatu waktu Rasulullah
SAW menemui putrinya Fatimah yang sedang  menggiling sejenis padi-padian dengan gilingan yang terbuat dari batu
sambil menangis.
Ketika Rasulullah SAW
bertanya kenapa dia menangis, Fatimah pun curhat kepada beliau.
"Ayahanda, aku ini anak
Rasulullah SAW, anak seorang pemimpin negara, tapi lihatlah tanganku ini, sampai
lecet- lecet karena harus menggiling gandum dengan gilingan batu!" Dengan
diiringi isak tangis.
Kemudian Rasulullah S.A.W bersabda kepada putrinya:
"Jika Allah menghendaki wahai Fatimah, niscaya
penggilingan itu akan berputar dengan sendirinya untukmu, akan tetapi Allah
telah menghendaki menuliskan beberapa kebaikan dan menghapus beberapa
kesalahanmu dan mengngkat beberapa derajat untukmu, Ya Fatimah... Perempuan
mana yang apabila menggiling gandum/tepung untuk suami dan anak-anaknya maka
Allah SWT menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya satu
kebaikan(pahala) dan mengangkatnya satu derajat.

Rasulullah SAW masih melanjutkan dengan menyebutkan banyak
sekali keutamaan dan ganjaran yang akan didapat oleh seorang wanita yang
menjadi istri dan ibu.
Silahkan langsung ditanyakan saja kepada mas Google untuk
membaca kisah lengkapnya yang lumayan panjang.

Hikmah
Kisah di atas tentunya masih sangat relevan dengan kondisi
yang dialami oleh kita yang hidup empat belas abad setelah periode Rasulullah
SAW.
Kisah ini akan memiliki hikmah yang lebih istimewa dengan para
istri yang suaminya bekerja di negeri orang. Ada paradox yang terjadi. Ketika
penghasilan suami dan taraf hidup suami mereka sangat berlebih jika
dibandingkan dengan bekerja di negeri sendiri, sama sekali tidak mengurangi beban
pekerjaan rumah tangga yang mereka lakukan. Sama sekali tidak mengurangi
kesibukan dan beban mereka mengurus suami dan anak- anak. Yang ada malah bertambah
dan berlipat- lipat, karena mereka harus melakukan segala sesuatunya sendirian.
Jika kita melihat sekilas memang seperti tidak adil untuk
para wanita yang menjadi seorang istri dan Ibu. Saya yakin sekali yang paling
syok adalah mereka yang sebelumnya terbiasa memiliki pembantu di rumahnya
dan belum terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga.Apalagi mereka yang tadinya pernah
bekerja, sebelum ikut hijrah mendampingi suami mereka.
Walau pun suami mereka sudah berusaha membantu pekerjaan
rumah, selalu ada hal- hal yang tidak tergantikan perannya.
Ada sih pengecualian, untuk mereka yang sudah menempati
posisi yang lumayan tinggi, bisa mengusahakan PRT di rumahnya. Itu pun tidak
bisa merekrut PRT dari Indonesia, karena ada peraturan yang melarangnya.
Tetapi, untuk TKI dengan posisi teknisi biasa seperti saya, hampir
mustahil bisa mendapatkan hal yang sama. Di samping prosesnya memang sulit dan
memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Malah pernah kudengar seorang istri berucap bahwa dia lebih
baik tinggal di tanah air, gaji pas- pasan tapi bisa punya pembantu dan bisa
hidup seperti seorang ratu yang tidak harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga
sendiri. Daripada berlimpah harta di negeri orang, tapi tetap harus "nginem" di
rumah.
 
Lelah Tak Terbayangkan
Bayangkan saja, istri saya sudah bangun dari jam setengah
empat pagi untuk menyiapkan seragam, bekal sarapan dan hal- hal yang saya perlukan
untuk bekerja.
Setelah saya berangkat pun, dia masih harus menyiapkan sarapan,
baju dan lain- lainnya untuk anak lelakiku yang sekolah.
Selepas si sulung berangkat ke sekolah, dia pun masih harus berlelah-
lelah dan menghabiskan berjam- jam waktunya untuk merapikan hampir setiap sudut
rumah yang berantakannya seperti kapal dibom, sisa- sisa anak- anak bermain
semalaman.
Sarapan pun kadang tidak sempat ketika rumah masih acak-
acakan, tapi si kecil sudah terduduk bangun di atas kasur kecilnya dan
merengek- rengek meminta susu coklat kegemarannya.
Ketika si kecil bangun pun , rumah yang sudah rapi jali,
kembali menjelma menjadi kapal pecah hanya dalam hitungan menit saja.
Pada hari- hari saya bekerja dan si sulung sekolah, sejak
bangun tidur, hingga tidur lagi, istriku selalu terlihat sibuk. Hanya sesekali
saja kulihat dia bisa bersantai.
Hanya ketika aku dan si sulung libur saja, dan ketika kami sekeluarga
pergi keluar rumah kulihat dia bisa sepenuhnya bebas dari pekerjaannya sehari-
hari.
Ketika dia masih bekerjapun, tidak
mungkin dia sampai selelah itu. Jam kerja kan sudah pasti,
dan dia bisa kapan saja beristirahat di antara pekerjaannya.
Di rumah? Jam kerjanyahampir dua puluh empat jam.
Istirahat pun tidak menentu, karena harus selalu siap sedia ketika anak- anak
membutuhkannya.
Hebatnya lagi, dia sangat jarang mengeluh.
Ahem, terlalu berlebihan dan sangat mustahil banget ya kalau
memang istri saya tidak mengeluh. Padahal sih sering banget. Hehehe...
Tapi periode dramatis yang diwarnai tangisan, keluhan,
ratapan dan terkadang pertengkaran itu hanya terjadi di periode beberapa bulan
pertama istriku tiba di Qatar.
 
Sebuah Jawaban
Berikut adalah curahan hati yang saya edit dan saya dramatisir
dari seorang Istri merangkap Ibu Rumah Tangga yang menemani suaminya yang
bekerja di Qatar.
Suamiku tercinta, kalau hanya menggugu nafsu ingin hidup
seperti seorang ratu, atau sekedar menghindari beratnya tugas seorang ibu rumah
tangga, aku pasti sudah minta pulang sejak dulu, sejak hari pertama aku
menginjakkan kaki di negeri padang pasir ini. Karena sejak dari pesawat sejauh
mata memandang hanya pasir saja yang nampak di pelupuk mataku ini.
Suamiku, sejujurnya aku tadinya sangat keberatan untuk meninggalkan
pekerjaanku karena aku sudah bertahun- tahun terbiasa ditunggu di rumah, bukan
menunggu seseorang di rumah.
Suamiku, sejujurnya dulu aku sedih tak terhingga karena harus
kukubur dalam- dalam impianku untuk menjadi wanita karir dan meraih posisi
setinggi mungkin di perusahaan tempatku bekerja.
Suamiku, sejujurnya aku panik ketika harus memasak dan
mencuci piring, karena sebelumnya aku hampir tidak pernah memasak. Selalu ada
yang memasakkan untukku sepulang dari pekerjaan.Apalagi mencuci piring. Tanganku
saja langsung gatal- gatal ketika pertama kali mencuci piring dengan sabun
pembersih khusus piring itu. Sampai sekarang pun aku masih harus memakai sarung
tangan ketika mencuci piring.
Suamiku, Aku sudah bertekad bulat meniatkan diri untuk
beribadah kepada Allah dengan cara berbakti kepada suami, sejak  Aku memutuskan untuk menerima pinanganmu dan menyerahkan
surat pengunduran diriku kepada atasanku. Tidak kupedulikan lagi berjuta bujuk
rayu atasanku yang berusaha mencegahku untuk mengundurkan diri.
Sambil bersabar ketika sepenat apa pun kepala ini harus
menahan kantuk dan letih ketika berusaha memisahkan kedua anak kita bertengkar
memperebutkan sesuatu, aku selalu berdoa semoga itu menjadi pahala kebaikan
untukku dan untukmu.
Sekuat tenaga Aku tahan tangisku, agar tidak air mata yang jatuh
menetes di depanmu ketika menahan betapa pedihnya luka sayatan bekas operasi
caesar sehabis melahirkan si kecil, agar engkau bisa tenang pergi bekerja.
Aku buka cakrawala pikiranku dengan membuka jendela internet
yang terbuka lebar- lebar ketika aku merasakan kejenuhan yang luar biasa,
merasakan kesendirian dan kesepian yang luar biasa ketika seharian dan
semalaman suamiku tidak ada di rumah.
Aku paksakan diriku untuk membaca salah satu buku di antara
ratusan buku yang kau bawa dari Indonesia, walau pun sebenarnya sejak dulu aku
sama sekali tidak suka membaca, ketika aku tidak tahu apa yang aku harus
lakukan di waktu luangku.
Aku temui keluargaku dan keluargamu di dunia maya dan melalui
pulsa telepon, jika rinduku kepada mereka sudah tak tertahan lagi.
Kubuka- buka saja jadwal mudik, dan foto- foto ketika kami
sedang liburan di Indonesia dan website maskapai penerbangan yang selalu
menerbangkan kami pulang, ketika aku dilanda rindu setengah mati kampung
halaman.
Selalu kuajak kamu pergi ke taman- taman yang luar biasa
indahnya di Qatar, ketika aku kangen indahnya pemandangan hijaunya tanah airku.
Selalu kupandang mobil yang kau kemudikan berlalu keluar
garasi dari balik celah sempit tirai di ruang ruang tamu, dan selalu kuingat
betapa mudahnya kamu memberikan apa yang istri dan anak- anaknya inginkan ketika
musim SALE dan diskon melanda mall- mall di Qatar, jika aku sedang tergoda utuk
meratapi dan mengeluh betapa melelahkannya mengurus anak- anak jika kamu tidak ada
di rumah.
Selalu kuingatkan diriku bahwa sabarku ini bisa menjadi tiket
ke syurga, ketika kuhapus setiap tetes keringat yang menetes di pelipisku
ketika aku sudah sampai di puncak kelelahan membereskan "hasil karya" kedua
anak- anakku di setiap sudut rumah.
Tapi maafkan aku suamiku sayang, aku melakukan semua itu
bukan untuk kamu.
Aku bersabar karena itu semua adalah ibadahku kepada Allah..
Aku ingin menjadi seperti Fatimah Az Zahrah,  yang ditemani oleh batu gilingan gandumnya ke
Syurga.
 
Kupersembahkan tulisan ini
untuk para Istri dan Ibu luar biasa yang berada di Qatar, serta di mana pun di
muka bumi ini. Semoga Allah menghadiahkan syurga sebagai ganjaran dari setiap
detik waktu yang kalian habiskan, dan setiap titik keringat yang menetes untuk
mengurus suami dan anak- anak kalian.

Doha, 3 Januari 2013

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: