Selasa, 07 Mei 2013

[daarut-tauhiid] Mari Mengenal Aceh (bagian 6)

Selain menguras habis kekayaan alam Aceh, rezim Suharto juga melancarkan
genosida atas Muslim Aceh. Yang terkenal adalah masa DOM atau Operasi
Jaring Merah (1989-1998). Banyak peneliti DOM sepakat jika kekejaman rezim
ini terhadap Muslim Aceh bisa disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan
Milisi Serbia terhadap Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang
sangat luas, sekujur tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim
Aceh yang berabad-abad hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis
Suharto serendah-rendahnya.

Al-Chaidar, putera Aceh yang menjadi peneliti sejarah tanah kelahirannya,
menyatakan, "Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki *The
Killing Fields *atau Ladang pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit
Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini
jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja."

Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan terhadap
Muslim Aceh oleh rezim Suharto, sehingga jika dijadikan buku maka bukan
mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai tebalnya jumlah halaman
koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.

Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang
menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah
di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah
dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah
surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.

Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat
kekuasaan represif ala Orde Baru. Para presiden setelah Suharto seperti
Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya
pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah satu
buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun malah
tetap abadi dan berkembang penuh inovasi.

Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta
tercerabutnya teror dan kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh.
Feri Kusuma, salah seorang aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku
Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul 'Jubah Putih di Beutong Ateuh', Feri
mengawali dengan kalimat, "Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup
panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang
Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu
Blang Meurandeh, Blang Pu'uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi
geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang
indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai
Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong
Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan…"

Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua
tahun setelah tragedi, menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan
saja di Beutong Ateuh, namun juga nyaris di seluruh wilayah NAD. Kemiskinan
ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat kaya raya
dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!

Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule
Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya
Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini,
tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan "TEMPAT
LATIHAN PERANG TNI". Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang sebuah
petunjuk jalan yang bertuliskan "SIMPANG CAMAT"; tanda menuju ke sebuah
pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata
memandang hanya tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang
menganga. Tak heran jika hutan Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan
ini sebagai pertahanan terakhir.

Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan
Beutong Ateuh tidak berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah
hutan, kain putih usang terlihat berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola,
atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan langsung dengan
sungai Beutong terlihat jelas.

Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan
memberinya nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid
memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati. Disini, Dayah
Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni bela diri, dan juga berkebun
dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.

Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai
daerah di Indonesia. Selain mereka yang menetap di Dayah, ada pula
orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja
atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di
pesantren.

Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan
tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri
atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak.
"Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam
masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak.
Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid
di sini," tulis Feri Kusuma.

Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah
dengan godaan dunia. Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di
hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI
cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke dalam partai politik
mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang
lain. Sebab itu, Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan
dengan dirinya. Ia dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan
sebutan Gerombolan Jubah Putih.

Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan membangunkan
sebuah pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh
dari Babul Al Nurillah. Ini membuatnya menolak "pesantren sogokan"
tersebut. Hal ini membuat hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah setempat
kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi GAM pada 192 dan
dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.(*bersambung/rd*)

Sumber :
Siapa Sebenarnya Suharto? (7)www.eramuslim.com

http://eramuslim.com/berita/tahukah-anda/siapa-sebenarnya-suharto-7.htm


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: