Selasa, 21 Mei 2013

[daarut-tauhiid] Mari Mengenal Aceh (bagian 7/)

7

Ketika Habibie menggantikan Suharto dan menyempatkan diri ke Aceh,
Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini rupanya tidak berkenan di hati tentara
hasil didikan rezim Suharto.


Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama saja dengan kelompok-kelompok
bersenjata Aceh yang tidak mau menerima Pancasila. Sebab itu keberadaannya
harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini. Para tentara Suharto itu lupa,
berabad-abad sebelum Pancasila lahir, berabad-abad sebelum Negara Kesatuan
Republik Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah
negeri merdeka dan berdaulat lengkap dengan *Kanun Meukota Alam*, sebuah
konstitusi yang sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD
1945 yang diamandemen di tahun 2002.


Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari
berbagai kesatuan seperti angkatan darat dan Brimob mendirikan banyak tenda
di sekitar pegunungan Beutong Ateuh. Walau warga setempat curiga, karena
pengalaman membuktikan, di mana aparat bersenjata hadir dalam jumlah
banyak, maka pasti darah rakyat tumpah, namun warga tidak bisa berbuat
apa-apa. Firasat warga sipil terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga terjadi
insiden penembakan terhadap warga yang tengah mencari udang. Satu luka dan
yang satu lagi berhasil menyelamatkan diri masuk hutan. Teror ini
meresahkan warga.


Sedari subuh keesokan harinya, Jumat pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob
sudah bergerak diam-diam mendekati pesantren dengan perlengkapan tempur
garis pertama, yang berarti senjata api sudah terisi amunisi siap tembak.
Pukul 08.00 tentara dan Bribom sudah berada di seberang sungai dekat
pesantren. Dengan alasan mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar
rumah penduduk yang letaknya hanya 100 meter di timur pesantren. Satu jam
kemudian, pasukan tersebut mulai bergerak ke pesantren. Dengan seragam
tempur lengkap dengan senjata serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat
kamuflase berwarna hijau dan hitam, mereka mengepung pesantren dan
berteriak-teriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera
menemui mereka.


Menjelang waktu sholat Jumat, para santri biasa berkumpul dengan Tengku
Bantaqiah guna mendengar segala nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan
dari tentara yang menyebut-nyebut namanya, Bantaqiah pun datang bersama
seorang muridnya. Aparat bersenjata itu tidak sabaran. Mereka merangsek ke
dalam dan memerintahkan semua santri laki-laki untuk berkumpul di lapangan
dengan berjongkok menghadap sungai.


Aparat dengan suara keras dan mengancam meminta agar Bantaqiah menyerahkan
senjata apinya. Tengku Bantaqiah bingung karena memang tidak punya senjata
apa pun, kecuali hanya pacul dan parang yang sehari-hari digunakan untuk
berkebun dan membuka hutan. Aparat tidak percaya dengan semua keterangan
Bantaqiah. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren
dijadikan bukti oleh aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi
dengan GAM. Padahal itu antene radio biasa.


"Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan
menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren.
Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun
sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat
tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman
dengan popor senapan," tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul
"Jubah Putih di Beutong Ateuh".


Melihat anaknya terjatuh, secara refleks Bantaqiah berlari mendekatnya
hendak menolong. Tiba-tiba tentara memberondongnya dengan senjata yang
dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah dan puteranya syahid. Dengan
membabi-buta, aparat murid dari Jenderal Suharto ini mengalihkan tembakan
ke arah kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung syahid
bertumbangan. Tanah Aceh kembali disiram darah para syuhadanya. Santri yang
terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang
masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak
menuju Takengon, Aceh Tengah, yang berada di tengah rimba.


Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer
Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah
seorang santri langsung terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan
hutan lebat di bawah sana. Para tentara mengguyur jurang itu dengan
tembakan. Nasib para santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat
dugaan, para santri ini dibantai aparat Suharto dan dibuang ke jurang.


Sore hari, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad
yang ada. Para perempuan digiring menuju mushola yang ada di seberang
sungai dan dilarang melihat prosesi penguburan. Aparat bersenjata ini
kemudian mengamuk di pesantren. Mereka merusak dan menghancurkan semua yang
ada, mereka membakar kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-Quran dan
surat Yasin yang ada di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah,
aparat bersenjata didikan Suharto ini, kemudian kembali ke barak dengan
sejumlah truk, meninggalkan warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan
berdoa.


Setelah tragedi tersebut, warga Beutong Ateuh hanya bisa pasrah berdiam
diri. Dengan segenap daya dan upaya, para santri yang tersisa—kebanyakan
perempuan tua dan anak-anak kecil—membangun kembali pesantren tersebut dan
meneruskan pendidikan dengan segala keterbatasan. Sampai kini, pesantren
ini belum memiliki cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitab-kitab
kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain
seperti seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan sebagainya yang musnah
terbakar. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun pelaku pembantaian
terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diseret ke
pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai
pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur'an dan surat
Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran. Mungkin
tengah menanti hukum Allah SWT atas ulah mereka. Sama seperti guru
mereka: Jenderal
Suharto.


Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di antara jutaan tragedi kekejaman
rezim Suharto terhadap Muslim Aceh. Anehnya, sampai detik ini tidak ada
satu pun pejabat pemerintah, sipil maupun militer, yang terlibat kejahatan
HAM sangat berat atas Muslim Aceh yang diseret ke pengadilan. Mereka masih
bebas berkeliaran dan bahkan banyak yang masih bisa hidup mewah dengan
menikmati kekayaan hasil jarahan atas kekayaan bumi Aceh. Dalam tulisan
berikutnya akan dipaparkan kejahatan-kejahatan HAM Suharto lainnya terhadap
umat Islam, seperti *Tragedi Tanjung Priok*, *Lampung*, dan lainnya.
(bersambung/rd)


Sumber : Siapa Sebenarnya Suharto? (8)

Jumat, 09/01/2009 08:20 WIB

http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/siapa-sebenarnya-suharto-8.htm


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: