Kamis, 02 Mei 2013

[daarut-tauhiid] Mari Mengenal Aceh (bagian 5)

Assalamu 'alaikum wr. wb.


Tentunya kurang afdol kalau melupakan membahas Aceh di zaman keemasan
Soeharto (tidak berperasaan, dan sungguh kejam orang – orang yang ingin
menjadikan si *Smilling General* menjadi *Guru Bangsa*, atau *Pahlawan
Nasional*) yaitu mengenai Nasib Aceh yang tak jauh dari lingkaran militer.
Sejak tahun 1977, selang 27 hari setelah Hasan Tiro mendirikan Aceh Merdeka
(AM)—cikal bakal GAM pada Sabtu 4 Desember 1976 di Bukit Halimon Kabupaten
Pidie—mulailah panggung militer diatur di Bumi Iskandar Muda. Diawali
dengan Operasi Sadar dan Siwah (1977-1982), Operasi Jaring Merah (Mei
1989-7 Agustus 1998).


Al-Chaidar, putera Aceh yang menjadi peneliti sejarah tanah kelahirannya,
menyatakan, "Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The
Killing Fields atau Ladang pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit
Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini
jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja."


Catatan atas kejahatan HAM rezim Suharto akan dimulai dari wilayah paling
timur negeri ini, yakni Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).


Kejahatan HAM atas Muslim Aceh diawali oleh VOC Belanda,

diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno,

dan ditindas lebih kejam lagi di masa kekuasaan Suharto.


Bahkan di zaman Jenderal Suharto-lah, NAD yang sangat berjasa dalam
merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI—terutama dari segi finansial,
sebab itu NAD juga disebut sebagai 'Lumbung Uang RI'—malah dijadikan
lapangan tembak dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.


NAD merupakan daerah yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yakni
minyak dan gas bumi. Sampai dengan akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah
menyumbang lebih dari 30% total produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971
di Aceh Utara ditemukan cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar.


*Mobil Oil*, perusahaan tambang AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan
dalam enam tahun kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di
dalam areal yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang
sama, berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase
berdiri, dan kini oleh Suharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang
sungguh besar kepada AS.


Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, *Asamera*,
suatu perusahaan minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur
minyak. Sumber gas alam yang ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih
kaya dari persediaan gas alam di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di
Aceh hampir 90 persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan
penjualan kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun. Pabrik Kertas Kraft
Aceh juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari
penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba
US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta.
Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor Indonesia.


Suharto sangat tahu jika kekayaan alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu,
dengan amat rakus rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini.
Ironisnya, nyaris semua keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan
alam Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta. Rakyat Aceh tidak mendapatkan
apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah
Jakarta bukannya mengembalikan uang Aceh ke rakyat Aceh sebagai pemilik
yang sah, tapi malah mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh
yang sudah tidak berdaya.


Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati
posisi provinsi ke-7 termiskin di seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen
dari 5.643 desa di Aceh telah jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10
persen pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20%
penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air
dari sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri.


Peneliti AS, Tim Kell, dalam laporannya menulis, "Friksi dan perbenturan
nilai pun terjadi antara penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak
bir, berdansa-dansi, melambungkan harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah
di kolam kemiskinan rakyat Aceh. Limbah industri mencemari tanah dan masuk
ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke laut, merusak lahan nelayan.
Pengangguran meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal
merombak struktur perekonomian rakyat Aceh secara fundamental, karena ia
memang tak pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh".
Inilah salah satu "hasil" pembangunan rezim Suharto di Aceh.


Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, "Pada tahun-tahun 1940-an para ulama
PUSA sudah kecewa atas tak diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia.
Pada 1950, status Aceh sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam
Provinsi Sumatera Utara. Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian,
diambil dari ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam
ini, dan kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke
pemberontakan 1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh."


Di bawah rezim Suharto, jenderal ini membawa ideologi pembangunan dan
stabilitas politik, dan dengan kacamata kuda yang "sentralistik-Majapahit",
Suharto mengangap sama semua orang, semua daerah, semua suku, semua
organisasi, termasuk Aceh. Suharto menganggap semuanya itu sama saja dengan
"Majapahit". Status "istimewa" sebagai negeri Islam Aceh pun dihabisi.
Otonomi Aceh di bidang agama, pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana
tercantum dalam UU No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada
kenyataannya keistimewaan Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur
dipilih hanya dengan persetujuan Suharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan
restu Golkar. Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak
cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah
Militer dipindahkan ke Medan.


Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui
Suhartomewajibkan semua murid sekolah dasar Islam untuk mampu membaca
Al-Qur'an.
Peraturan ini dikecam oleh para pejabat di Jakarta. Bahkan Depdikbud
mengirim tim untuk menyelidiki "penyelewengan" ini. Beberapa bulan kemudian
pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang melarang murid
perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab
diizinkan untuk menyimpang dari peraturan tersebut. Pemerintah Jakarta
bereaksi keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi
secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di
Aceh.


Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel telah menulis bahwa orang akan
berontak jika way of life-nya terancam oleh perkembangan baru. Orang Aceh
telah kehilangan sumber alamnya, mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang
Aceh kehilangan suaminya, anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan
segalanya . . . Lalu masih adakah orang yang sangat-sangat bebal yang masih
saja bertanya, "Mengapa rakyat Aceh berontak?" Rakyat Aceh jelas telah
dijadikan tumbal bagi rezim Orde Baru. Telah diperkosa habis-habisan oleh
Jakarta. Siapa pun yang punya hati nurani jelas akan mendukung sikap rakyat
Aceh yang menarik kembali kesediaannya bergabung dengan Republik Indonesia
jika hal seperti ini terus dibiarkan. Kesabaran itu ada batasnya!
(bersambung/rd)
Sumber :1. Siapa Sebenarnya Suharto? (6)

Wednesday, 24/12/2008 13:36 WIB

http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/siapa-sebenarnya-suharto-6.htm

2. Menguak Biaya Perang Aceh

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0311/05/sh05.html


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: