Minggu, 25 Mei 2008

[FISIKA] Digest Number 2428

Messages In This Digest (9 Messages)

Messages

1.

Gaya Gravitasi Bumi

Posted by: "muhammad hanif" el_hunafa988@yahoo.com   el_hunafa988

Sat May 24, 2008 6:54 am (PDT)

Assalamu'alaikum...
saya anggota baru... mau tanya, kalau ada benda yang jatuh dari ketinggian 25000 kaki dan mempunyai massa sekitar 150 kilogram, kira-kira kecepatan jatuh kebuminya seberapa cepat?
seperti orang yang terjun bebas dari atas pesawat itu? dan rumus sederhananya seperti apa?
maklum saya bukan anak fisika, malah saya kuliah tentang keagamaan, namun saya suka sekali dengan fisika,mohon bantuan dan kerjasamanya.
terimakasih

M. Hanif Fikri

2a.

Re: Toru segment dan Menristek

Posted by: "Ma'rufin Sudibyo" marufins@yahoo.com   marufins

Sat May 24, 2008 7:05 am (PDT)

1. Saya tidak punya data. Untuk Sumatra, banyak data yang sudah terdokumentasi di website dan sebagian besar free, terutama dari pak Danny Hilman dkk bersama tim Caltech.Beliau2 juga sudah ngirim ke instansi terkait. Dan sejauh ini, hanya Padang yang merespon.

2. Patahan kan muncul akibat dorongan kerak Bumi yang sejatinya berupa lempeng tektonik.Kapan stabilnya? Kalo secara temporal, dia stabil setelah gempa terjadi (alias memasuki tahap interseismik). Tapi sementara, sebab pada tahap itu sebenarnya ia sedang mengumpulkan energi lagi ujntuk kelak dilepaskan dalam gempa berikutnya. Makanya dikenal ada periode ulang gempa. Untuk stabil permanen, ya bergantung lempengnya, masih mendesak apa tidak, atau sudah membentuk subduksi baru apa belum. Seperti patahan2 di Kalimantan, 65 juta tahun silam mereka sangat aktif karena subduksinya di Pegunungan Meratus sekarang, namun pada saat ini relatif diam permanen karena subduksinya sudah berpindah jauhs ekali yakni di lepas pantai selatan Jawa.

salam

Ma'rufin

----- Original Message ----
From: Iwan Sugihartono <ione06@yahoo.com>
To: fisika_indonesia@yahoogroups.com
Sent: Thursday, May 22, 2008 7:58:46 AM
Subject: Re: [FISIKA] Toru segment dan Menristek

Salam kenal Pak Ma'rufin,

Wah setelah membaca tulisan bapak di milis ini wawasan saya menajdi bertambah dalam melihat gejala alam berupa gempa yang sering terjadi. Untuk itu ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan :
1. Apakah data2 yang Bapak miliki sudah diinformasikan ke pemerintah?
2. Sampai kapan patahan2 yang aktif tersebut menjadi fix alias menjadi stabil sehingga potensi gempa berkurang? Karena menurut saya yang awam ini, patahan bergerak untuk menyeimbangkan kondisi yang terjadi di struktur bumi, betulkah?Atau malah akan terus bergerak?

Terima kasih sebelumnya,

wasalam,

Iwan Sugihartono

Ma'rufin Sudibyo <marufins@yahoo. com> wrote:
Di sepanjang Pulau Sumatra membujur pegunungan lipatan memanjang yang terkenal sebagai Pegunungan Bukit Barisan. Di dalam jajaran pegunungan inilah terletak sejumlah lembah-lembah antar pegunungan, yang beberapa diantaranya berukuran sangat besar seperti Lembah Gayo dan Alas, serta beberapa lainnya tergenangi air seperti Danau Singkarak. Lembah-lembah tersebut sejatinya merupakan ekspresi di permukaan Bumi dari patahan besar Sumatra.

Patahan besar Sumatra adalah patahan aktif sepanjang 1.900 km dimana 1.650 km diantaranya berada di daratan Pulau Sumatra. Patahan yang senantiasa bergeser dengan kecepatan rata-rata 10 mm/tahun ini terbagi ke dalam 19 segmen yang panjangnya bervariasi dari 30 km hingga 225 km. Salah satu segmen itu adalah segmen Toru, yang terletak di wilayah Tapanuli, sebelah selatan Danau Toba. Segmen ini memiliki panjang 45 km dan berdasar penelitian pak Danny Hilman Natawidjaja dari Puslitbang Geoteknologi LIPI menggunakan GPS dan pergeseran sedimen produk letusan Toba 73.000 tahun silam, segmen ini bergerak dengan kecepatan rata-rata 20 mm/tahun.

Seluruh segmen dalam patahan besar Sumatra adalah pembangkit gempa dengan periode ulang rata-rata 100-an tahun dan dengan magnitude maksimum 7 - 8 Mw. Dikombinasikan dengan keberadaan patahan besar mentawai (yang berada di lepas pantai) dan zona subduksi Sumatra, menjadikan pantai barat Sumatra sebagai kawasan yang rawan gempa.

Dalam 2 tahun terakhir 2 segmen dalam patahan besar Sumatra telah patah dan melenting, membangkitkan gempa kuat yang memakan korban jiwa. Segmen Angkola, yang berada di selatan segmen Toru, telah patah sebagian pada Gempa Desember 2006 dengan magnitude 5,8 Mw. Sementara segmen Sianok, di selatan segmen Angkola, telah patah pada Gempa Maret 2007 dengan magnitude 6,3 Mw. Pada dasarnya, kecuali segmen Liwa (Lampung), Angkola dan Sianok, segmen2 dalam patahan besar Sumatra sedang menunggu waktu untuk terpatahkan mengingat mereka sudah berada dalam ujung siklus seismik 100-an tahun. Dan potensi pematahan ini diperbesar dengan adanya tekanan tambahan akibat gempa megathrust Sumatra-Andaman 2004 (magnitude 9,1 Mw) dan gempa megathrust Simeulue-Nias 2005 (magnitude 8,7 Mw) di zona subduksi Sumatra.

Dan itulah yang terjadi pada segmen Toru, 20 Mei 2008 lalu. Bagian utara segmen ini sepanjang 23 km telah patah pada 1984 silam dalam Gempa Pahae Jahe dengan magnitude 6,4 Mw. Dan sekarang patah lagi pada 2008 ini. Cepet sekali bukan? Hanya 25 tahun sudah berulang. Tapi secara elastic rebound theory itu mungkin saja dengan pelentingan 50 cm dan kecepatan geser rata2 20 mm/tahun. Gempa bersumber pada kedalaman 10 km dan di sepanjang 23 km zona rekahannya itu menghasilkan guncangan 7 MMI yang sanggup merobohkan bangunan dan melongsorkan tebing. Sementara di sekeliling zona rekahan ini guncangan beringsut turun ke 6 MMI atau 5 MMI, meski itu pun masih sanggup membuat bangunan retak.

Sumatra adalah wilayah yang potensi kegempaannya sudah diketahui dengan baik seiring penyelidikan intensif pada patahan besar Sumatra, patahan besar Mentawai dan zona subduksi Sumatra. Namun terkecuali di Padang dan sekitarnya, pemahaman itu nampaknya belum dimanfaatkan dengan sebaik mungkin dalam kepentingan mitigasi bencana. Belum ada satu perhatian besar dari perangkat pemerintahan kabupaten/propinsi yang dilintasi patahan besar Sumatra terhadap potensi bahaya gempanya. Yang mengemuka justru bagaimana mengkonversi hutan lindung. Akhirnya ketika gempa benar2 melanda, yang mengemuka adalah sikap karitatif : pasrah dan kalangkabut mendata kerusakan serta menyalurkan bantuan.
Jika Sumatra saja seperti itu, bagaimana dengan pulau yang lain? Yang patahannya bahkan belum diketahui dengan baik ?

Sudah saatnya kita bangkit dari situasi seperti ini. Ada Menristek yang bisa mengerahkan ilmuwan2 terbaik di Indonesia yang masih bertapa untuk mulai mengkaji seismisitas pulau2 di Indonesia. Ada Menkominfo yang bisa menyebarluaskan informasi dengan ekstensif, ketimbang kejebak pada situasi kurang kerjaan kayak sekarang dengan ngurusin youtube dan blogger. Semestinya kita belajar dari rekan2 kita di Univ. California Berkeley, California, yang kampusnya dilintasi patahan aktif Hayward namun mampu mengembangkan manajemen lebih bersahabat dengan patahan.

salam

Ma'rufin

----- Original Message ----
From: Agus Hamonangan <agushamonangan@ yahoo.co. id>
To: Forum-Pembaca- Kompas@yahoogrou ps.com
Sent: Monday, May 19, 2008 3:54:34 PM
Subject: [Forum Pembaca KOMPAS] Gempa 6.2 SR Guncang Sumatera Utara

http://www.kompas. com/index. php/read/ xml/2008/ 05/19/21500747/ gempa.6.2. sr.guncang. sumatera. utara

JAKARTA, SENIN - Gempa berkekuatan 6.2 skala richter terjadi pukul
21.26 di Sumatera Utara, tepatnya 35 kilometer Barat Laut Padang
Sidempuan, Senin (19/5) malam.

Menurut data yang dikeluarkan Badan Meteorologi dan Geofisika, gempa
terjadi di lokasi 1.68 LU - 99.19 BT pada kedalaman 10 km. Warga
setempat sempat panik ketika terjadi gempa, namun belum ada laporan
adanya korban jiwa.

Gempa susulan pada pukul 21:49 juga terjadi 32 kilometer Tenggara
Taruntung. Gempa berkekuatan 5.5 skala richter pada kedalaman yang
sama. FIA

3a.

Memberdayakan ketakutan; was: Re: bisnis menggunakan ilmu fisika

Posted by: "Agung" trisetyarso@gmail.com   trisetyarso

Sat May 24, 2008 4:12 pm (PDT)

Mas Rodius, kalau di Jepang, perusahaan asing itu harus bikin divisi
R&D (beneran), jika ingin berinvestasi di Jepang; jadi perusahaan
asing harus memintarkan sumber daya manusia negara setempat, jangan
cuma jualan dan mengeruk sumber daya alam saja.

Yang terjadi di Indonesia, perusahaan asing hanya jualan; seperti yang
anda katakan itu.

Yang salah itu adalah pemerintah dan juga masyarakat; yaitu hanya
memiliki jiwa calo, tapi tak ada keinginan untuk bersaing dan maju.

Beda dengan negara-negara lain; seperti Cina atau Inggris, yang dapat
memaksa Toshiba untuk membuat divisi riset di negeri masing-masing.

Namun demikian, negeri kita bukan berarti tanpa kemajuan; Epson
akhirnya sudah berani buka divisi R&D, walaupun masih kecil.

Salam,

Agung

--- In fisika_indonesia@yahoogroups.com, "mohammad rodius"
<arloji_item@...> wrote:
>
>
>
>
> --- In fisika_indonesia@yahoogroups.com, "Agung" <trisetyarso@>
> wrote:
> >
> > Mas Wido,
> >
> > Sekarang ini orang Jepang dihinggapi ketakutan yang sangat tinggi,
> > yaitu apakah mereka dapat tetap menjaga pamornya sebagai yang
> > ekonominya terkuat di Asia atau tidak.
> >
> > (Silakan kunjungi:
> > http://trisetyarso.wordpress.com/2008/05/18/bom-waktu-di-jepang/)
> >
> > Ketakutan ini mereka implementasikan dengan membuat sains dan
> > teknologi semakin menarik bagi anak-anak muda mereka; sehingga tidak
> > heran pemerintah dan perusahaan2x besar seperti Toshiba, Fujitsu dsb
> > habis2x-an menggelontorkan dana riset, peralatan dsb ke
> universitas2x.
> >
> > Seharusnya perusahaan2x baik pemerintah maupun swasta, sedari dini
> > sudah mulai memikirkan masa depan bangsa kita, sebagaimana
> pemerintah
> > dan juga perusahaan2x Jepang. Mereka harusnya menyadari bahwa masa
> > depan riset bukan saja kewajiban, melainkan "kewajiban yang mutlak
> > kuadrat binti penting sekali".
> >
> > Semoga ...
> >
> > Salam,
> >
> > Agung
> >
> > --- In fisika_indonesia@yahoogroups.com, "wido_mono" <wido_mono@>
> > wrote:
> >
> > > Yang paling gencar berinovasi produk adalah Jepang, hampir
> sebagian
> > > besar produk elektronik merupakan pengembangan dari jepang.
> Perusahaan
> > > seperti Sharp, Sony, Thosiba, berani berinvestasi suatu riset
> yang
> > > belum tentu berhasil.
> >
>
>
> maap sebeLomnya..
> numpang beKoar juga ahh..
>
> yg saya tahu sic cuma dikit nih.. ^_^
> sebenernya perusahaan jepangd indonesia misal, TOYOTA
> itu udah ngadain yg kyk gini tapi cuma tuk anak STM yg dianggep
> bisa LuLus dari tes yg pernah diadain ma mereka,
> Lumayan berat n dapet gaji juga tu kseukuran anak STM cos mereka yg
> pengetahuan otomotif "sangat" minim juga dikasi kesempatan training d
> perusahaan itu n ga` tanggung2 d kasi kesempatan tuk ikut tes mekanik
> seLevel mekanik mereka n bisa dapet Level juga, n katanya sic ini
> berawal dari omong2annya "pemerintah" yg minta balesan k pihak itu n
> d kasi kesmpatan itu k anak2 indonesia. tapi sayang baru jakarta
> aZ.. ^_^
>
> banyak juga yg katanya "magang" k Luar negeri kyk k jepang, beLanda,
> dll. nah.. itu kan kesempatan yg bagus bgt.. n pernah baca d milis
> ini juga katanya "jepang duLu yg pernah terpuruk, ngirimin duta2nya k
> Luar tuk beLajar"
>
> indonesia juga banyak peLuang seperti tu tapiberhubung "uang" yg d
> dapet kLo kerja d Luar negeri itu GEDE, jadi yah...
> apa boLeh buat
>
> bahkan temen senior saya juga ada yg pernah ngomong "tuk pendidikan
> gini.. d indonesia GA ADA yg nampung.." jadi baLik kLuar Lagi dehh..
>
> ^_^
>
>
>
> jadi, intinya apa yah...
> mo mikirin diri sendiri duLu?? orang banyak??
>
>
> ^_^
>
>
>
>
> .
>

3b.

Re: Memberdayakan ketakutan; was: Re: bisnis menggunakan ilmu fisika

Posted by: "Iwan Sugihartono" ione06@yahoo.com   ione06

Sat May 24, 2008 11:45 pm (PDT)

Menurut saya masalah utama adalah rasa nasionalisme dan semangat persatuan kita yang kurang. Gimana mau bangkit? bayangkan budaya buruk sangka, menjelek2an orang, mementingkan diri sendiri, senang berdebat tanpa ada solusi, dll sudah jadi budaya kita.
Mau riset dengan sokongan dana dari pemerintah dan swasta? wah saya pesimis, sebelum ada reformasi yang benar tidak sekedar slogan dan ambisi politik maka keinginan tersebut akan susah terwujud. Terlebih swasta, bagaimana mereka mau menyokong riset di lingkungan Universitas jika riset yang diselenggarakan tidak ada orientasi yang jelas atau tidak mengikuti prekembangan kemajuan industri. Siapa yang bertanggung jawab? saya pikir kita semua terutama yang berperan langsung di dunia riset dan pendidikan bertanggung jawab untuk itu.Terlebih pemerintah harus memiliki visi dalam mengarahkan institusi perguruan tinggi dalam melaksanakan riset. Kalo tidak ya tidak akan pernah ada riset yang benar dan diakui secara luas. Jadi sebelum kita bisa seperti Jepang, Korea, dll, kita harus intropeksi dan bersatu untuk mencari solusi serta merealisasikannya. Tapi setelah terealisasi harus ada estafet. Bukan kaya budaya kita, ganti pimpinan ganti pula kebijakan....kalo seperti itu ya kita
selalu mulai dari nol lagi...Ga pernah melangkah sampe finish.

Dari sejarah peraih nobel, mereka itu baru dapat nobel setelah kerja puluhan tahun. Gak bisa melakukan sekali dua kali riset langsung mengklaim bisa dapet nobel. Hasil karya kita harus diakui dulu secara ilmiah melalui peer review.

salam

Iwan Sugihartono

Muhammad Hikam <m.hikam@gmail.com> wrote:

Nggak kok Sigit, jangan berlebihan ah.

Saya mendapatkan grant Hibah Pascasarjana dari Diknas selama 3 tahun, ketika presentasi proposal tidak pernah ditanya apakah penelitian ini bakal dapat nobel atau tidak.

On 5/21/08, sigit jaya herlambang <kupleaslitlb@yahoo.com> wrote: Iya betul..... Mereka tidak seperti Indonesia.... Kalo di sini yang mau riset ditanya terlebih dahulu bakal dapat nobel gak kira-kira...... Kalo kira-kira gak bakal dapat nobel sulit dapat dana untuk penelitian secara total...... Makanya kebangkitan nasional kita juga tidak total......

----- Original Message ----
From: Agung <trisetyarso@gmail.com>
To: fisika_indonesia@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, May 20, 2008 8:40:47
Subject: [FISIKA] Memberdayakan ketakutan; was: Re: bisnis menggunakan ilmu fisika

Mas Wido,

Sekarang ini orang Jepang dihinggapi ketakutan yang sangat tinggi,
yaitu apakah mereka dapat tetap menjaga pamornya sebagai yang
ekonominya terkuat di Asia atau tidak.

(Silakan kunjungi:
http://trisetyarso. wordpress. com/2008/ 05/18/bom- waktu-di- jepang/)

Ketakutan ini mereka implementasikan dengan membuat sains dan
teknologi semakin menarik bagi anak-anak muda mereka; sehingga tidak
heran pemerintah dan perusahaan2x besar seperti Toshiba, Fujitsu dsb
habis2x-an menggelontorkan dana riset, peralatan dsb ke universitas2x.

Seharusnya perusahaan2x baik pemerintah maupun swasta, sedari dini
sudah mulai memikirkan masa depan bangsa kita, sebagaimana pemerintah
dan juga perusahaan2x Jepang. Mereka harusnya menyadari bahwa masa
depan riset bukan saja kewajiban, melainkan "kewajiban yang mutlak
kuadrat binti penting sekali".

Semoga ...

Salam,

Agung

--- In fisika_indonesia@ yahoogroups. com, "wido_mono" <wido_mono@. ..>
wrote:

> Yang paling gencar berinovasi produk adalah Jepang, hampir sebagian
> besar produk elektronik merupakan pengembangan dari jepang. Perusahaan
> seperti Sharp, Sony, Thosiba, berani berinvestasi suatu riset yang
> belum tentu berhasil.

Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com


4.

Membandingkan Gempa Sichuan dan Gempa Yogya

Posted by: "Ma'rufin Sudibyo" marufins@yahoo.com   marufins

Sat May 24, 2008 11:45 pm (PDT)

Hingga seminggu pasca gempa tektonik Sichuan yang memiliki moment magnitude 7,9 Mw itu, korban tewas telah mencapai 50.000 orang sementara ribuan lainnya masih terkubur di bawah timbunan puing, entah hidup atau tidak. Beberapa kota "terhapus" dari peta karena tidak ada lagi satupun bangunan yang tegak berdiri utuh.

Sichuan adalah salah satu propinsi di Cina barat daya yang berbatasan dengan Tibet (yang selalu membara) dan Yunnan (yang punya arti penting bagi Asia Tenggara karena disinilah asal rumpun bangsa Austronesia dengan kebudayaan Bacson Hoabinh dan Dongson-nya sebelum bermigrasi ke selatan). Sichuan terkenal dengan seni kulinernya yang berkelas. Mendiang Deng Xiaoping, mantan orang paling sakti di Cina yang berasal dari Sichuan, pun dikenal jago memasak.

Sebagian besar wilayah Sichuan berdiri di atas dataran rendah lembah Sichuan, tempat berdirinya kota utama Chengdu dan kota-kota penting lain seperti Mianyang, Beichuan, Mianzhu dan lain-lain. Di utara lembah ini membentang Pegunungan Longmen Shan yang menjadi tempat hidup kawanan panda, dengan beberapa puncak menjulang hingga ketinggian 4.000 meter lebih. Pegunungan Longmen Shan tidak bisa dipisahkan dengan Dataran Tinggi Tibet dan Pegunungan Himalaya, sebagai jajaran pegunungan lipatan yang terbentuk ketika Lempeng India yang bergerak ke utara dengan kecepatan 5 cm/tahun mendesak Lempeng Eurasia yang stabil. Transfer tekanan yang didesakkan lempeng India lebih dominan ke bagian timur jajaran pegunungan lipatan ini, sehingga kerak Bumi di wilayah Sichuan terbelah menjadi belasan patahan aktif yang rumit. Aktifnya wilayah ini bisa dilihat dari USGS Historic Moment Tensor Solutions yang mencatat 10 kejadian gempa bumi dengan Mw > 5 hanya dalam kurun 1981
- 2002 dan semuanya bersumber dari kedalaman sangat dangkal.

Salah satu patahan tersebut adalah patahan Longmen Shan, yang membujur sepanjang 250-an km di dalam Pegunungan Longmen Shan. Dan Senin 12 Mei 2008 pukul 06:48 GMT lalu ujung barat daya patahan ini mendadak terpatahkan secara naik dan miring (oblique thrust faulting). Pematahan menjalar di sepanjang lintasan patahan ke arah timur laut sehingga terbentuk zona rekahan sepanjang 220 km dengan lebar 36 km. Seluruh zona rekahan melenting sejauh 400 cm dari lokasinya semula, bahkan pada titik tertentu pelentingan mencapai 900 cm. Energi yang dilepaskan mencapai 10,7 megaton TNT atau 530 kali lipat lebih dahsyat ketimbang bom Hiroshima. Dan dynamic stress yang ditimbulkannya diestimasikan mencapai 3 MPa, angka yang cukup untuk memicu letusan gunung berapi jikalau ada vulkan didekatnya.

Akibat pelentingan, permukaan tanah Pegunungan Longmen Shan terguncang sangat keras dengan intensitas 9 MMI yang menghasilkan percepatan tanah maksimum 102 % G (1 G = 9,81 m/det2). Inilah yang menimbulkan longsoran besar yang menutup aliran sungai sehingga menciptakan danau-danau baru, seperti pernah terjadi dalam Gempa Hebgen 1958, Montana (http://neic.usgs.gov/neis/eq_depot/usa/1959_08_18.html). Danau baru ini mengkhawatirkan karena bisa jebol kapan saja mengingat material bendungannya yang rapuh.

Kawasan lembah Sichuan dari kaki Pegunungan Longmen Shan hingga ke sekitar kota Chengdu menderita guncangan berintensitas 7 - 9 MMI. Ditunjang dengan berdirinya bangunan-bangunan yang berkonstruksi jelek, yang sudah mulai rusak ketika dilanda guncangan berintensitas 6 MMI, maka guncangan sebesar itu sudah cukup mampu untuk membuat bangunan rusak berat atau malah bahkan roboh. Inilah kontributor utama besarnya korban jiwa yang terenggut dalam gempa ini.

Gempa Sichuan ini hampir mirip dengan Gempa Yogya 27 Mei 2006, meski dalam skala dan mekanisme sumber berbeda. Gempa Yogya juga meletup di patahan yang membatasi jajaran Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) dengan lembah tempat berdirinya pusat2 pemukiman di Bantul, Yogyakarta dan Prambanan.

Meski BMG dan USGS dalam release awalnya menyebut episentrum Gempa Yogya berada di lepas pantai Parangtritis, namun kajian lapangan, analisis posisi episentrum gempa-gempa susulan (aftershocks) dan re-analisis USGS menunjukkan Gempa Yogya bersumber dari pematahan batuan secara mendatar mengiri (left lateral strike-slip faulting) pada kedalaman 17 km di sekitar pertemuan Sungai Opak dan Oya, berdekatan dengan kompleks makam raja-raja Mataram di Imogiri. Pematahan lalu menjalar ke timur laut mengikuti jejak lintasan patahan Opak hingga terbentuk zona rekahan sepanjang 25 km dengan lebar 12 km yang melenting sejauh 60 cm (rata-rata) dari posisinya semula, meski pada titik tertentu pelentingan bahkan mencapai 120 cm. Ini menghasilkan gempa tektonik dengan moment magnitude 6,4 Mw (body-wave magnitude 5,9 skala Richter) yang melepaskan energi sebesar 60 kiloton TNT atau 3 kali lipat bom Hiroshima.

Akibatnya daratan Bantul bergeser sejauh 9 cm ke selatan dari posisinya semula, sementara Yogyakarta dan Klaten masing-masing bergeser 7 cm dan 1 cm. Pergeseran nampak jelas pada rel KA yang bengkok di antara Stasiun Srowot dan Prambanan serta terpelintirnya candi-candi utama di kompleks percandian Prambanan, yang kebetulan berdiri di ujung zona rekahan. Wilayah Prambanan merupakan triple junction (tempat bertemunya tiga patahan) yakni patahan Opak dan patahan Baturagung (yang membatasi Pegunungan Selatan dengan dataran rendah disekitarnya) serta patahan transversal Jawa Tengah (yang menjadi landasan berdirinya Gunung Ungaran, Soropati - Telomoyo, Merbabu dan Merapi). Di sini energi gempa lebih dominan ditransfer ke patahan Baturagung sehingga kerusakan meluas ke bagian selatan wilayah Klaten. Namun fraksi energi yang ditransfer ke utara masih sanggup menghasilkan dynamic stress sebesar 60 kPa pada kantung magma Merapi, sehingga meningkatkan volume
pertumbuhan kubah lava dari 50.000 meter kubik/hari menjadi 150.00 meter kubik/hari dan sekaligus meningkatkan jumlah kejadian awan panas dari 34 kali/hari (rata-rata) menjadi 95 kali/hari (rata-rata).

Dikombinasikan dengan sedimen setempat yang belum kompak hasil muntahan Merapi, Bantul menderita guncangan berintensitas 8 MMI sementara Yogyakarta sampai 7 MMI. Seperti Sichuan, mutu bangunan di Indonesia pun buruk sehingga sudah rusak saat terkena guncangan 5 MMI dan bisa runtuh oleh guncangan 6 MMI. Inilah penyebab jatuhnya korban jiwa hingga > 6.000 orang dalam Gempa Yogya.

Next ?

Sangat jarang dipahami bahwa gempa bumi adalah suatu siklus dan akan berulang kembali pada periode tertentu yang khas untuk satu wilayah. Gempa terjadi ketika suatu patahan tertahan gerakannya oleh mekanisme tertentu di sepanjang bidang patahan, padahal seharusnya ia bisa bergerak bebas sesuai dengan kecepatan pergeserannya. Kondisi ini membuat patahan terkunci (locked), sementara tekanan tektonis yang datang dari desakan lempeng terus menerus berlangsung. Akibatnya ketika tekanan yang terakumulasikan tak sanggup lagi ditahan oleh kekuatan batuan dalam patahan, patahlah ia dan terjadilah pelentingan yang jauhnya setara dengan akumulasi kecepatan pergeseran patahan dikalikan waktu sejak gempa sebelumnya.

Sebelum 2006, wilayah Yogakarta pernah dilanda gempa kuat pada 1867 dan 1943 yang bersumber pada patahan Opak, maka bisa dikatakan di wilayah ini periode gempanya 70 tahun dengan ketidakpastian beberapa tahun. Pada umumnya patahan-patahan di Jawa dan Sumatra bergeser 10 mm/tahun, bila tidak terkunci. So, dengan pelentingan 60 cm, maka terjadi penguncian sebesar 60/70 = 0,86 cm/tahun atau sekitar 9 mm/tahun. Sehingga pergeseran yang tersisa tinggallah 10 - 9 = 1 mm/tahun. Pergeseran 1 mm/tahun di patahan Opak ini sangat kecil untuk dideteksi terlebih jika akurasi instrumen GPS yang digunakan melebihi angka tersebut, sehingga bisa saja ditafsirkan patahan yang bersangkuan tidak aktif lagi. Sebelum 2006, patahan Opak pernah dinyatakan bukan patahan aktif.

Dengan periode ulang gempa 70 tahun, maka gempa 6,4 Mw seperti Gempa Yogya 2006 itu kemungkinan baru akan terjadi lagi di sekitar 2076 mendatang. Tentu saja prediksi ini sangat berpotensi untuk meleset, mengingat tiap kejadian gempa merubah sifat batuan yang bersentuhan di sepanjang bidang patahan, sehingga mekanisme penguncian selanjutnya pun bisa saja berubah dari sebelumnya.

Periode ulang 70 tahun ini hanya khas untuk wilayah Yogyakarta saja, dan terbatas pada magnitude sekitar 6 Mw. Untuk wilayah yang lain tentu berbeda. Padahal 60 % pemukiman di Indonesia berdiri di atas patahan, baik yang aktif maupun tidak aktif. Dan sebagian besar patahan itu belum pernah diselidiki mengingat keterbatasan sumberdaya. Di Jawa Tengah bagian selatan misalnya, selain patahan Opak, juga membentang patahan Progo (yang melintasi Wates dan Purworejo), Lukulo/Kedungbener (melintasi Kebumen), Kroya serta Bumiayu (di dekat Purwokerto) yang belum jelas benar apakah sudah diselidiki apa belum. Sementara catatan sejarah (misalnya dari PVMBG) menunjukkan ada kejadian gempa kuat di masa silam yang mungkin berkaitan dengan patahan ini.

So tidak ada kata lain kecuali t-e-t-a-p w-a-s-p-a-d-a. Apa yang terjadi di Sichuan adalah keniscayaan dan gempa seperti itu juga pasti akan terjadi di tanah air kita, entah dimana tempatnya, kapan dan seberapa besar magnitudenya. Sebelum terjadi gempa yang sebenarnya, mari waspada, berlatih dan peka...

salam

Ma'rufin

Ref :

Ji & Hayes. 2008. Finite Fault Model : Preliminary Result of The May 12, 2008 Mw 7,9 Eastern Sichuan, China Earthquake. National Earthquake Information Center - USGS.

Meilano. 2006. Jogja Earthquake, http://www.seis.nagoya-u.ac.jp/~irwan/jogjaeq/jogjaeq.html.

Walter dkk. 2007. Volcanic Activity Influenced by Tectonic Earthquakes: Static and Dynamic Stress Triggering at Mt. Merapi. Geophysical Research Letters, 34 (2007).

5.

Panduan Tambahan dalam Penentuan/Kalibrasi Arah Kiblat, Mei 2008

Posted by: "Ma'rufin Sudibyo" marufins@yahoo.com   marufins

Sat May 24, 2008 11:45 pm (PDT)

Sekedar tambahan dari yang telah dijelaskan pak Mutoha.

Sebagaimana diketahui, pada 27 Mei 2008 pukul 12:18 waktu Makkah (GMT + 3) Matahari mengalami transit (melintasi garis bujur kota Makkah) dimana posisi Matahari pada saat itu sangat berdekatan dengan titik zenith Makkah (koordinat 21° 25' LU 39° 50' BT) alias mempunyai tinggi mendekati 90°. Dalam bahasa sederhananya, jika pada saat itu kita berada di kota Makkah maka kita akan melihat Matahari persis di atas kepala. Kondisi ini disebut rashdul qiblat istimewa dan dimanapun manusia berada di Bumi (asalkan masih tersinari cahaya Matahari), maka arah kiblat setempat bisa ditetapkan/dikalibrasikan karena setiap bayang-bayang benda yang tegak lurus terhadap permukaan Bumi tepat mengarah ke kiblat.

Untuk itu ada catatan tambahan :

1. Akurasi

Berbeda dengan bintang-bintang lainnya yang berperanan sebagai sumber cahaya titik (point source) jika dilihat dari Bumi, Matahari merupakan cakram bercahaya kuat (disk source) dengan apparent diameter 0,5° dimana intensitas cahayanya homogen di setiap titik dalam cakram ini. Konsekuensinya pengukuran arah dengan menggunakan bayang-bayang Matahari pun selalu mengandung ketidakpastian sebesar 0,5°.

Dengan diameternya yang besar, maka pada 26 Mei 2008 pukul 12:18 waktu Makkah, meski tinggi pusat cakram Matahari baru senilai 87,75° namun tepi cakram bagian barat telah menyentuh titik zenith. Demikian pula meskipun deklinasi pusat cakramnya saat itu baru +21° 10' namun tepi cakram sebelah utara sudah menyentuh deklinasi +21° 25' (alias berimpit dengan lintang kota Makkah). Dan pada 28 Mei 2008 pukul 12:18 waktu Makkah juga mirip, dimana walaupun tinggi pusat cakram Matahari senilai 87,75° namun tepi cakram bagian timur masih menyentuh titik zenith. Demikian pula meskipun deklinasi pusat cakramnya saat itu sudah +21° 40' namun tepi cakram sebelah selatan masih menyentuh deklinasi +21° 25.

Kondisi yang sama juga kita jumpai bila pada ketiga tanggal tersebut jamnya divariasikan menjadi 12:18:00 ± 00:00:30 WIB.

Sehingga dengan demikian rashdul qiblat terjadi pada 26 - 28 Mei 2008 pukul 12:18:00 ± 00:00:30 waktu Makkah atau 16:18:00 ± 00:00:30 WIB.

2. Keberlakuan

Per teori penetapan/kalibrasi arah kiblat dengan rashdul qiblat ini hanya berlaku untuk daerah dengan zona waktu GMT + 1 sampai GMT + 7 dengan perkecualian pada Asia Timur (karena Matahari di sini masih cukup tinggi meski zona waktunya sudah GMT + 8).

Untuk Indonesia, metode ini bisa dilakukan pada kawasan Indonesia bagian barat khususnya Pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan hingga ke sebagian Nusa Tenggara dan pantai barat Sulawesi. Di Nusa Tenggara dan pantai barat Sulawesi itu tinggi Matahari pada saat rashdul qiblat sudah cukup rendah (yakni di sekitar 10°) sehingga cahaya sudah redup ataupun sudah tertutup awan di dekat horizon.

3. Cara

* Kalibrasikan petunjuk waktu (jam/HP) dengan standar waktu (misalnya dengan siaran BBC, RRI ataupun dengan men-dial nomor 103 lewat telpon fixed line maupun Flexi).
* Gunakan sudut bangunan/sisi jendela, atau gunakan benang tebal yang diberi pemberat dan digantung sebagai media yang tegaklurus permukaan tanah setempat.
* Tetapkan tanggal pengukuran (26, 27 atau 28 Mei 2008).
* Pada pukul 16:18:00 ± 00:00:30 WIB tandai bayang-bayang bangunan/sisi jendela/benang pada permukaan lantai/tanah pada dua titik sekaligus. Lantas tarik garis lurus melintasi kedua titik tersebut. Itulah arah kiblat setempat.
Selamat mencoba..

salam

Ma'rufin

6.

Oleh-Oleh dari Lokakarya Hisab Rukyat Semarang 15 Mei 2008

Posted by: "Ma'rufin Sudibyo" marufins@yahoo.com   marufins

Sat May 24, 2008 11:45 pm (PDT)

Pada Kamis 15 Mei 2008 telah berlangsung Lokakarya Hisab Rukyat yang diselenggarakan oleh Tim Hisab dan Rukyat Hilal serta Perhitungan Falakiyah pada Kanwil Departemen Agama Jawa Tengah, dihadiri 35 Kepala Depag se-Jawa Tengah, 35 pakar hisab rukyat utusan BHR Daerah/Kandepag se-Jawa Tengah, perwakilan bupati/walikota dan undangan. Acara yang dibuka oleh Gubernur Ali Muffiz berlangsung selama 6 jam dengan membahas persoalan jadwal shalat tahunan, jadwal shalat abadi, jadwal imsakiyah Ramadhan 1429 H, hisab awal Ramadhan dan Idul Fitri 1429 H sebagai panduan pelaksanaan rukyat mendatang, mekanisme sidang itsbat di Depag Pusat serta persoalan arah kiblat.

1. Jadwal Shalat

Pada sesi penyusunan jadwal shalat, disajikan jadwal shalat tahunan dan jadwal imsakiyah untuk titik acuan Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang sebagai contoh. Perhitungan dilakukan secara manual (tanpa software) dengan sudut Matahari untuk tiap waktu shalat seperti yang telah biasa digunakan di Indonesia. Pemakalah menyebut software falak yang ada (seperti Winhisab, yang digunakan secara luas itu) belum memperhitungkan Dip (elevasi tempat dihitung dari permukaan laut). Saya menanggapi dengan menyebut sejumlah software astronomi kontemporer seperti Accurate Times maupun Salat Times telah memperhitungkan Dip maupun refraksi atmosfer. Pada Accurate Times (dari Moh. Odeh) dan Salat Times (dari Ali al-Hadad), selain Dip dan refraksi atmosfer serta output jadwal shalat, bahkan juga disediakan input sudut Matahari untuk waktu Isya dan Shubuh, meski default-nya (untuk Salat Times) adalah nilai yang digunakan di Timur Tengah, yakni sudut Shubuh 13,5° dan sudut
Isya' 18°. Sayang keterbatasan waktu dan laptop membuat software-software tersebut (yang sudah saya bawa dalam flashdisk) tidak bisa didemonstrasikan pada kesempatan tersebut.

Pembahasan berlanjut pada konsep ihtiyaat, yang bisa bernilai 1 sampai 4 menit, namun pemakalah lebih menyarankan memilih 2 menit saja, meski apa pertimbangannya tidak dipaparkan. Dalam tanggapan saya, sebaiknya pemilihan ihtiyaat ini dikaitkan dengan lebar bujur wilayah yang hendak ditentukan jadwal shalatnya sebagai time adjustment untuk satu wilayah politik yang kecil seperti kabupaten/kotamadya. Secara teoritik selisih jarak 27 km (dalam arah barat - timur) itu kan setara dengan selisih 1 menit. Namun pemakalah menyebut bahwa ihtiyaat sebenarnya tidak hanya berkaian dengan lebar bujur saja, namun juga dengan Dip. Disajikan contoh perhitungan untuk Dip 0 m dpl dan Dip 200 m dpl dimana sunset-nya berselisih 1 menit.

Dari sini pembahasan beranjak ke titik acuan mana yang sebaiknya digunakan untuk menyusun jadwal shalat tingkat propinsi, mengingat sebagai contoh Jawa Tengah memiliki lebar bujur dan lintang yang besar. Meski dalam pemaparan disajikan contoh dengan titik acuan Masjid Agung Jawa Tengah dan sudah diberikan tabel penambahan/pengurangan waktu untuk daerah-daerah tertentu, namun dalam dialog selanjutnya mengerucut untuk bagaimana tiap-tiap wilayah (kabupaten/kotamadya) untuk menyusun jadwal shalatnya sendiri saja yang berlaku untuk wilayah itu juga. Tim propinsi cukup memberikan panduan dalam penyusunannya saja, misalnya sudut-sudut Matahari dan rumus-rumus yang dipakai.

Jadwal imsakiyah juga menjadi titik perhatian. Contoh perhitungan yang disajikan memperlihatkan waktu Shubuh dan sunrise yang berselisih 1 menit lebih cepat untuk jadwal imsakiyah dibandingkan dengan jadwal shalat tahunan. Mengingat rumus yang digunakan sama, demikian pula data2 Matahari (deklinasi, RA, equation of time dll) dan metode ihtiyaat maka seharusnya antara kedua jadwal itu memiliki output yang identik (sama persis). Disinilah pentingnya untuk selalu melakukan check dan recheck terhadap setiap hasil perhitungan, baik secara manual maupun komputerisasi.

2. Arah Kiblat

Sesi ini dibuka dengan pemaparan azimuth sumbu bangunan masjid-masjid populer di tlatah Jawa Tengah dan DIY, yakni Masjid Menara Kudus (azimuth 295°), Masjid Gede Kotagede (azimuth 289°), Masjid Mantingan Jepara (azimuth 310°), Masjid Agung Jepara (azimuth 285°), Masjid Agung Tembayat Klaten (azimuth 296°) dan Masjid Gede Surakarta (azimuth 280°). Sementara arah kiblat untuk kawasan Indonesia dan lebih khusus lagi Jawa Tengah dan DIY berada di azimuth 295°, sehingga hanya Masjid Menara Kudus yang tepat posisinya sementara Masjid Agung Tembayat melenceng sedikit (1°).

Persoalan melencengnya sumbu bangunan masjid ini masih eksis hingga kini, termasuk pada masjid-masjid yang dibangun di era modern, karena arah kiblatnya sebagian masih ditentukan secara "titen". Kontraktor bangunan asal Semarang misalnya menyebut ada 'konsensus' arah kiblat masjid-masjid di Semarang adalah pada azimuth 284°, sementara yang sebenarnya pada azimuth 295° sehingga konsensus itu melenceng 11° ke selatan dari yang seharusnya. Dipaparkan bahwa melencengnya arah kiblat sebesar 1° saja sama dengan kita bergeser sejauh 111 km dari Ka'bah, alias sudah berada di luar kota Makkah.

Untuk itu perlu untuk mengukur ulang kembali sumbu bangunan masjid-masjid terhadap arah kiblat (dalam bahasa pak Ali Muffiz disebut menyempurnakan arah kiblat). Beragam metode disebut, mulai dari kompas, Matahari dan yang termutakhir seperti GPS (global positioning systems) ataupun citra satelit dalam spektrum visual seperti dari satelit QuickBird (Digital Globe) yang inheren dalam Qibla Locator. Kompas memiliki keakuratan terendah, sehingga lebih disarankan menggunakan Matahari maupun GPS. Jika menggunakan Matahari ada metode Rashdul Qiblat, dan terutama rashdul qiblat istimewa pada tanggal 28 Mei pukul 16:18 WIB dan 16 Juli pukul 16:27 WIB dimana Matahari berada di titik zenit Ka'bah dan pada saat itu bayang-bayang Matahari akan tepat mengarah ke Ka'bah, tanopa perlu memperhitungkan letak lintang bujur tempat yang akan dikalibrasi arah kiblatnya. Koordinat Ka'bah yang disarankan adalah 21° 25' 25" LU 39° 49' 39" BT dan dalam pengukuran harus
dilakukan kalibrasi waktu terlebih dahulu (misalnya dengan Telkom 103).

Saya menanggapi persoalan rashdul qiblat istimewa ini, dimana karena sejatinya Matahari bukanlah sumber cahaya titik (point source) seperti bintang-bintang, namun berupa cakram bercahaya sangat kuat (disk source) dengan apparent diameter 0,5° bila dilihat dari Bumi. Jika misalnya pusat cakram Matahari ada di titik zenith Ka'bah pada jam x dan memperhitungkan gerakan Matahari yang menempuh jarak 1° selama 4 menit, maka pada jam x - 1 menit tepi barat cakram Matahari sudah menyentuh titik zenith Ka'bah, sementara pada jam x + 1 menit tepi timur cakram Matahari masih menyentuh titik zenith Ka'bah. Dengan memperhitungkan hal ini, rashdul qiblat istimewa itu sebenarnya terjadi pada 26 - 28 Mei 2008 pukul 16:18 WIB dan 15 - 17 Juli 2008 pukul 16:27 WIB. Konsekuensinya akurasi pengukuran arah kiblat dengan cara ini pun berharga 0,5°.

Juga harus diperhitungkan bagaimana jika pada tanggal-tanggal itu cuaca malah mendung (mengingat Indonesia dikelilingi badan air massif yang membuat cuaca disini sangat chaotic oleh pengaruh El-Nino Southern Oscillation dan Madden-Julian Oscillation). Saya mengusulkan untuk mempertimbangkan juga metode Matahari yang lain misalnya metode transit Matahari dimana bayang-bayang sinar Matahari tepat mengarah ke utara-selatan sejati. Mencari waktu transit (jam t) kan relatif lebih mudah, hanya memperhitungkan bujur lokasi, bujur acuan zona waktu setempat (untuk WIB pada bujur 105° BT) dan equation of time (yang rumus pendekatannya juga ada dan simpel sebagaimana dipaparkan Jean Meeus). Tentu saja dengan memperhitungkan apparent diameter Matahari sebesar 0,5° maka transit terjadi sepanjang jam t ± 1 menit.

Masalah akurasi menjadi bahan perbincangan serius. Disajikan contoh bagaimana Masjid Agung Pekalongan (yang dibangun di masa para wali) pernah diukur sampai 3 kali (pada waktu yang berbeda) dan ketiganya memberikan hasil yang berbeda-beda pula. Tidak dijelaskan apa metode yang digunakan. Jika menggunakan kompas, baik kompas medan maupun kompas yang terinstall di teodolit, perbedaan itu wajar saja mengingat arah jarum kompas yang mudah dipengaruhi medan magnetik lokal. Namun jika menggunakan Matahari, maka perbedaan hasil pengukuran itu tidaklah melebihi 0,5° (atau 00° 30').

Masalah batas akurasi pengukuran ini yang nampaknya belum banyak dipahami. Pengukuran berbasis Matahari misalnya (yang disebut the most accurate method oleh Dr. Khalid Shaukat dari Islamic Society of North America/ISNA), masih ada anggapan luas bahwa akurasinya bisa dipertajam sampai orde detik busur, sementara sejatinya dengan apparent diameter 0,5° maka akurasinya paling banter juga hanya 0,5°. Memang dengan cara ini potensi melencengnya arah kiblat masih ada, yakni maksimum 0,5°. Sebagai ilustrasi, jika kita meletakkan paku pada jarak 20 m maka paku itu perlu digeser 17,5 cm untuk memperlihatkan pergeseran 0,5 derajat. Kecil memang. Namun jika dikehendaki akurasi ini harus dipertajam lagi, perlu diterapkan prinsip-prinsip statistika pengukuran dengan tidak hanya mengandalkan satu metode dan satu kesempatan saja.

Bagaimana relasi arah kiblat dengan tektonika setempat disuarakan utusan Wonosobo. Sebagaimana diketahui Pulau Jawa berdiri di atas Lempeng Sunda dan senantiasa didesak Lempeng Australia ke utara dengan kecepatan 6 cm/tahun. Apakah ini berpengaruh? Dalam diskusi kecil di luar forum (setelah acara selesai), saya memaparkan, katakanlah sebuah masjid telah berdiri 200 tahun dan jika dianggap kerak bumi tempatnya berdiri senantiasa bergeser ke utara dengan kecepatan 6 cm/tahun, maka ia hanya bergeser 1,2 m saja dari posisi awal pembangunannya. Dengan jarak Makkah ke Jawa Tengah sebesar 8.320 km (untuk titik acuan Masjid Agung Jawa Tengah), maka pergeseran 1,2 m itu setara dengan 0,03 detik busur (atau 0° 0' 0,03"). Ini sangat kecil dan tidak terbaca oleh instrumen pengukuran saat ini, terkecuali cGPS (continuous GPS) sebagaimana yang dipasang tim Tectonic Observatory Caltech dan Puslitbang Geoteknologi LIPI dalam jejaring SuGAR (Sumatran GPS Array) guna
mempelajari sifat gempa Sumatra dalam kampanye GPS-GPS (Global Positioning Systems - Geodynamic Projects in Sumatra). Dan cGPS ini luar biasa mahalnya. Sebagai ilustrasi pergeseran 0,03 detik busur ini, andaikata kita memasang paku pada jarak 20 m di hadapan kita, maka paku itu hanya digeser 0,003 mm saja. Sangat kecil dan undetectable.

Selain itu, interaksi antar lempeng pada zona subduksi di lepas pantai selatan Jawa (alias di sepanjang patahan megathrust Sunda) tidaklah saling lepas tetapi terkunci (locked). Ini bermakna gerak lempeng Australia tertahan sepenuhnya di zona subduksi, sehingga terjadi penggelembungan (uplift) di sini, ditandai dengan rendahnya frekuensi kegempaan disini seperti ditunjukkan data USGS maupun BMG. So konsekuensinya daratan Pulau Jawa tidak ikut bergerak.

3. Rukyat

Sesi ini berlangsung cepat karena waktunya dipadatkan. Pembahasan difokuskan pada teknik pelaksanaan rukyatul hilaal dan sidang itsbat.

Dimulai dengan penjelasan apa itu rukyatul hilaal, yakni kegiatan/usaha untuk melihat hilaal (bulan sabit terkecil) yang dilakukan sesaat setelah terbenamnya Matahari untuk menentukan awal bulan (lunasi Hijriyyah). Sehingga tujuan rukyat adalah mengobservasi muncul tidaknya busur cahaya berbentuk lengkung/sabit itu, bukan untuk mendeteksi keseluruhan bentuk Bulan yang berupa cakram berdiameter apparent 0,5°.

Dipaparkan juga persiapan yang perlu dilakukan, termasuk perlu disiapkannya peta rukyat dan peralatan yang dibutuhkan, yang ditekankan pada gawang rukyat dan teodolit. Kemudian ketika hasil rukyat positif (hilaal dipastikan terlihat), barulah hakim agama/mahkamah syari'ah berperan dengan mencatat identitas pelapor, mengitsbatkan laporan rukyat dan membuat berita acara. Laporan hasil rukyat kemudian dikirimkan ke Depag Pusat dan menjadi materi untuk sidang itsbat.

Sidang itsbat diselenggarakan di Depag dengan dipimpin oleh Menteri Agama dan dihadiri oleh 100-an orang yang terdiri dari duta besar negara-negara Islam, pejabat eselon I dan II Depag, anggota BHR Depag, MUI dan Ormas Islam serta lembaga/instansi terkait. Materinya hanyalah penetapan awal bulan yang didahului dengan presentasi/simulasi hisab awal bulan.

Sebagai penutup dari sesi ini, dipaparkan juga peta ketinggian Bulan untuk penentuan awal Ramadhan dan Syawwal 1429 H.

Saya menanggapi dengan menyarankan perlunya kita menekankan adanya benda langit terang (seperti Venus, Merkurius, Jupiter) yang mirip dengan hilaal sehingga bisa dikacaukan sebagai hilaal. Terlebih jika kita tinjau dari sudut pandang fisika optika, benda-benda langit tadi memiliki apparent diameter sangat kecil (dalam orde beberapa detik busur saja) dibandingkan Bulan (yang diameternya 0,5°) sehingga cahaya dari benda-benda langit tadi memiliki intensitas ratusan kali lipat lebih besar dibanding intensitas cahaya hilaal. Konsekuensinya benda-benda langit tadi justru lebih mudah teramati dibandingkan hilaal, dan jika posisinya berdekatan, wah bisa dianggap sebagai hilaal dong. So, saya menyarankan agar dalam menyiapkan perhitungan (hisab) kita juga harus menghitung posisi benda-benda langit tersebut, dan jika mereka pas berdekatan dengan hilaal, kita harus lebih berhati-hati.

Saya juga menekankan perlunya dokumentasi akan hasil rukyat. Dokumentasi yang lengkap (termasuk berita acara, alat yang digunakan, jumlah dan identitas perukyat serta citra hilaal hasil bidikan dengan kamera) akan menjadi bahan yang sangat baik untuk dikaji pada masa selanjutnya. Paling tidak kita bisa menyusun sebuah kriteria yang saintifik, yang valid (sahih) dan reliabel (bisa diulangi) sehingga hasil rukyat akan bisa dipercaya secara kaidah ilmiah.

Catatan

Pada dasarnya tidak ada hal baru yang disampaikan dalam lokakarya ini. Terutama dalam masalah rukyat hilaal, tidak tergali lebih dalam bagaimana upaya penyatuan definisi/kriteria yang sedang berkembang di kalangan NU dan Muhammadiyah yang telah berjalan dalam beberapa pertemuan.

Dalam diskusi kecil di luar forum memang sempat mencuat hal tersebut dan diinformasikan bahwa Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjih-nya) pada dasarnya berharap ada kriteria yang saintifik, sementara di kalangan NU (lewat Lajnah Falakiyah-nya) mulai bisa dipahami bahwa hilaal hanya bisa dilihat jika elongasi Bulan melebihi limit Danjon (sepertinya pemahaman ini merupakan hasil kerja keras sosialisasi pak Mutoha dkk). Sehingga kriteria MABIMS yang sekarang digunakan (yakni tinggi Bulan minimum 2° dengan selisih altitude Bulan - Matahari (aD) minimum 3° dan umur Bulan minimum saat ghurub 8 jam dari konjungsi) nampaknya akan ditinggalkan. Kriteria MABIMS 2° ini sendiri berpangkal dari hasil observasi penentuan awal Syawwal pada 29 Juni 1984, dimana dinyatakan saat itu hilaal teramati dari tiga lokasi sekaligus yakni Pare-Pare, Jakarta dan Pelabuhan Ratu. Namun simulasi komputer (lengkap dengan analisis fotometri yang valid dan reliabel) untuk tanggal
tersebut menunjukkan sangat boleh jadi yang dianggap sebagai hilaal pada waktu itu sejatinya adalah Merkurius.

Dalam lapangan rukyat hilaal, sejak 1977 telah berlangsung perkembangan yang luar biasa dimana visibilitas (keterlihatan) hilaal didekati dari tiga aspek sekaligus yang komprehensif : posisi Bulan - Matahari, dinamika atmosfer dan alat optik yang digunakan (termasuk mata telanjang). Jika posisi Bulan - Matahari bisa ditentukan dengan akurasi sangat tinggi (merujuk pada hisab kontemporer, misalnya dari algoritma Jean Meeus VSOP87 yang direvisi dengan algoritma Chapront ELP 2000/82 untuk teori gerak Bulan) hingga ketidakpastiannya hanya 10 detik busur (0,0027°) maka dinamika atmosfer relatif highly unpredictable. Sehingga visibilitas hilaal pun kemudian menjadi sebuah persoalan statistik. Adanya garis batas penanggalan lunar internasional (ILDL) yang sudah dikenal luas itu sebenarnya bukan garis imajiner eksak seperti halnya meridian nol Greenwich, namun lebih berupa garis dimana probabilitas visibilitas = 50 %, dan garis ini pun cukup lebar yakni 22°
(lebar ketidakpastian ILDL merujuk teori Schaefer).

Persoalannya, perkembangan yang luar biasa ini relatif belum diseminasikan ke masyarakat luas dan masih terbatas di kalangan ilmiah. dalam diskusi kecil di luar forum sempat mencuat bagaimana jika publikasi ilmiah pasca 1977 itu diterjemahkan, untuk kemudian diterbitkan dan dijadikan bahan bacaan, bukan hanya dalam lingkup Badan Hisab dan Rukyat (BHR) di Propinsi/Kabupaten saja, namun juga pada kurikulum prodi Falak fakultas Syariah di IAIN/UIN/STAIN di Indonesia, juga pada prodi Fisika F-MIPA di Indonesia.

salam

Ma'rufin

7.

Klasik dan Kontemporer, Catatan dari Cileungsi

Posted by: "Ma'rufin Sudibyo" marufins@yahoo.com   marufins

Sat May 24, 2008 11:45 pm (PDT)

Pada 15 - 16 Maret 2008 berlangsung diskusi "Koreksi Sistem Hisab Sullam al-Nayyirain" di pondok pesantren al-Fatah Shuffah Hizbullah, Cileungsi. Diskusi ini difasilitasi oleh pegiat-pegiat rukyat jaringan Jama'ah Muslimin Hizbullah, yang tersebar di jawa, Sumatra, Kalimantan, yang rutin melakukan rukyat tiap awal lunasi dengan bantuan hisab Sullam al-Nayyirain.

Diskusi berlangsung dalam dua tahap berdasarkan tiga makalah yang saya persiapkan. Tahap pertama menekankan pada konsepsi dasar hisab dan rukyat, yang diakui atau tidak, sebenarnya tidak begitu kita pahami. Saya menguraikan perkembangan hisab dan rukyat sejak masa Daulah Abbasiyah dengan segala kriteria visibilitas yang muncul pada saat itu hingga ke perkembangan abad ke-20 CE. Dari situ sistem hisab kemudian bisa diklasifikasikan ke dalam empat kelompok besar : taqribi/pendekatan (seperti Sullam al-Nayyirain), haqiqi (seperti Menara Kudus), haqiqi tahqiqi (seperti Nurul Anwar) dan kontemporer (seperti Meuus, Brown, Newcomb dll).

Juga dipaparkan bagaimana hisab dan rukyat menurut sains modern. Dimana di sini ada yang disebut pembatas/limit Danjon, adanya tiga pilar dalam visibilitas hilaal (posisi Bulan - Matahari, dinamika atmosfer Bumi dan kemampuan alat optik), garis batas penanggalan lunar internasional (ILDL), keharusan melaksanakan hisab dan rukyat secara bersama-sama karena sifat dasar visibilitas hilaal sebagai peristiwa statistik, dan hisab tidak bisa hanya berdasarkan satu parameter saja. Juga ditambahkan tentang kasus Saudi Arabia, yang mengalami "salah lihat" hingga 87 % ketika melakukan rukyat untuk awal Ramadhan dalam kurun waktu 1961 - 2004 dan bagaimana kerajaan Islam ini sering tidak konsisten terhadap keputusan (baca : kriteria) yang dibuatnya sendiri.

Pada tahap kedua dipaparkan bagaimana posisi Sullam al-Nayyirain dalam konteks hisab rukyat modern. Sebagai sistem hisab taqribi, diakui atau tidak, Sullam adalah sistem hisab yang sederhana, belum mendasarkan pada trigonometri segitiga bola, sehingga hasilnya pun dikategorikan aproksimasi (pendekatan). "Tinggi hilaal" (irtifaul hilaal) yang dihasilkan Sullam sering disalahpahami sebagai tinggi/altitude atau arc of descent (aD) dari Bulan, padahal jika dilihat dari rumusannya dimana irtifaul hilaal ini diperoleh dari selisih ghurubusy syams (terbenamnya Matahari) dengan ijtima' (konjungsi) dalam jam dan kemudian dikalikan 0,5° maka sebenarnya irtifaul hilaal itu adalah elongasi/arc of light (aL) dalam pengertian astronomi. Sehingga saya membahasakan irtifaul hilaal ini sebagai "tinggi miring".

Karena outputnya adalah elongasi, dalam sains modern ada yang disebut pembatas/limit Danjon, yakni batas elongasi minimum agar hilaal masih bisa visibel. Secara umum telah diketahui bahwa limit Danjon berharga 7° (8° jika merujuk Konferensi Istambul 1978), sehingga sebaiknya irtifaul hilaal minimum untuk sistem hisab Sullam agar kondisi imkan rukyat (hilaal mungkin dapat dirukyat) terjadi haruslah dinaikkan ke 7°, bukan berpegangan pada 2° seperti selama ini terjadi. Atau jika dikehendaki perhitungan yang lebih rumit, bisa dilakukan koreksi terhadap irtifaul hilaal Sullam dengan menggunakan prinsip trigonometri segitiga bola.

Catatan

Peserta dalam diskusi ini sudah cukup paham dan piawai dalam menggunakan sistem hisab Sullam. Memang sistem hisab ini, meskipun dikategorikan taqribi, adalah sistem hisab yang sederhana sehingga mudah dipelajari di pesantren-pesantren. Dan terhadap sistem hisab ini pun, sebagian peserta sudah mencoba untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan pertambahan tahun Hijriyyah. Tim Cakung, misalnya, juga sudah memahami dengan baik bahwa irtifaul hilaal yang disajikan Sullam memang harus dimaknai sebagai "tinggi miring" (elongasi) dan itulah yang mereka gunakan.

Persoalan yang lebih mengemuka adalah, sering sekali terjadi kasus dimana para perukyat merasa sudah melihat hilaal (dan sistem hisab Sullam juga membenarkan hal itu dengan irtifaul hilaal di atas 2°) namun laporan itu ditolak dalam sidang itsbat (seperti misalnya dalam Idul Fitri 1428 H lalu). Ada yang merasa bahwa hal ini membohongi umat, menyulitkan umat. Terlebih landasan penolakan itu menggunakan basis sistem hisab lain yang berbeda dengan Sullam, misalnya kontemporer, sementara (dalam pandangan perukyat) Sullam-lah yang paling akurat.

Tentu saja soal akurasi ini highly debatable. Selain itu kita juga mengedepankan prinsip kehati-hatian, sehingga klaim perukyat itu juga perlu di-cross check dengan laporan dari perukyat lain yang berbeda tempat. Jika setidaknya ada 3 tempat yang melaporkan kondisi yang sama, baru hal itu bisa diterima dalam sidang itsbat. Di samping itu juga harus dipahami bahwa ada benda langit terang lain yang bisa menyerupai hilaal dan disalahartikan, seperti Venus, Merkurius, Mars maupun Jupiter. Sebab dalam umur bulan yang sangat muda, hilaal bisa saja nampak sebagai titik cahaya mirip bintang, sementara benda2 langit tadi juga menampakkan diri sebagai titik cahaya mirip bintang. Jika tidak hati2, kita bisa salah lihat dan menganggap itu hilaal, sebagaimana perukyat Saudi Arabia dalam penentuan 1 Zulhijjah 1428 H lalu. Untuk itu perukyat juga sebaiknya mulai membiasakan untuk menghitung posisi (baca : tinggi) Merkurius, Venus, Mars dan Jupiter saat sunset, di
samping menghitung posisi Bulan.

Hal lain yang mengemuka adalah kegalauan peserta, mengapa dalam wilayah politis yang sama (seperti Indonesia misalnya), komunitas Umat Islam didlaamnya bisa berbeda dalam melaksanakan Idul Adha 1428 H dan bahkan perbedaan itu merentang hingga 4 hari berturut-turut ! Apa tidak bisa bersatu ? Dalam tanggapan saya, meski tinggal di wilayah yang sama, komunitas2 tersebut menggunakan rujukan yang berbeda-beda sehingga melaksanakan Idul Adha dalam waktu yang berbeda-beda pula. Misalnya seperti Jama'ah Muslimin sendiri, yang memilih merujuk pada keputusan Saudi Arabia meski keputusan itu akurasinya highly debatable. Ini memang sulit diatasi secara langsung, katakanlah meskipun dengan menggunakan pendekatan kekuasaan. Namun bisa diatasi pelan-pelan dengan terus menggiatkan sosialisasi dan edukasi.

Lain dari itu yang lebih penting lagi adalah menggagas forum bersama untuk merumuskan bareng2 definisi hilaal di wilayah politis lokal. Betul, Qur'an/Hadits telah mendefinisikan hilaal sebagai Bulan yang demikian tipis hingga mirip benang, namun bagaimana parameter astronomis agar kondisi mirip benang itu bisa eksis, itulah yang belum ada. Di Indonesia kita mengenal kriteria MABIMS, yang menyebut hilaal sudah teramati jika tingginya 2°. Kriteria ini tidak bisa diterima oleh sejumlah kalangan karena bias dan penelusuran memperlihatkan dasar pengamatan yang melandasi kriteria ini sangat mungkin adalah kasus "salah lihat", dimana Merkurius/Venus dikira hilaal (pada 29 Juni 1984). Dari kompilasi data pengamatan RHI, hilaal bergantung pada jarak horizontal (selisih azimuth atau DAz) antara Bulan dan Matahari. Jika Bulan persis di atas Matahari (DAz = 0°), hilaal baru teramati jika tingginya 12,5°. Jika Bulan ada di kiri/kanan Matahari (pada DAz = 5°),
hilaal baru teramati jika tingginya 8,5°.

Secara global forum bersama seperti itu pernah dilakukan pada 1978 dengan berlangsungnya Konferensi Istambul. Namun lanjutannya macet pada 1991 seiring dengan meledaknya krisis Irak-Kuwait, yang kemudian berlanjut dengan krisis Irak - Syiah dan akhirnya dipungkasi invasi AS ke Irak. Sementara di Indonesia, forum bersama itu alhamdulillah baru mulai berjalan, memang masih terbatas di kalangan NU dan Muhammadiyah guna menyusun definisi bersama. Dan harap diketahui, sepanjang 1977 hingga sekarang ada banyak sekali perkembangan dalam ilmu hilaal, yang belum begitu terdiseminasikan informasinya.

Persoalan Makkah sebagai ummul qura (centre of calendar) juga mengemuka. Makkah disebut berada di tengah Bumi, tepat berada di tengah-tengah bentangan wilayah Muslim antara Maroko dan Indonesia. Sehingga sudah sepantasnya Makkah kemudian ditetapkan sebagai pusat penanggalan Hijriyyah global. Dan jika Makkah (ataupun wilayah dibaratnya, seperti Sudan atau Tunisia) sudah berhasil melihat hilaal, tentunya Indonesia yang hanya berselisih waktu 4 jam dari Makkah juga harus mengikutinya.

Saya menanggapi hal ini dengan menyebut komunitas Islam itu bukan hanya terbatas hingga Maroko saja, tetapi juga tumbuh dan berkembang pesat di benua Amerika sehingga jika mereka ini 'diabaikan' tentunya kita tidak bersikap adil. Dan dalam kalender Hijriyyah, secara saintifik, dikenal adanya garis ILDL (garis batas penanggalan lunar internasional). Garis ini membelah Bumi menjadi dua lunasi Hijriyyah yang berbeda-beda. Dan berbeda dengan garis penanggalan internasional (IDL) dari solar calendar yang tepat berada di bujur 180°, garis ILDL letaknya selalu berubah-ubah secara random dari satu lunasi ke lunasi berikutnya. Maka dimungkinkan saja hilaal suatu saat sudah terlihat di Tunisia atau Sudan namun di Indonesia belum, karena garis ILDL itu melintas di antara Indonesia dan Sudan.

Garis ILDL ini sudah disebutkan secara implisit dalam hadits Kurayb, dimana saat itu kemungkinan melintas di antara Madinah dan Damaskus (terlepas dari kegentingan politis yang mencuat antara Madinah dan Damaskus). Dan garis ILDL ini sering sekali memotong garis bujur 180°. Sehingga jika kita konsisten menggunakan definisi hilaal seperti yang sudah diformulasikan oleh sains modern, dan dibiaskan atau tidak terpaku kaku pada garis bujur 180° ini, maka pernyataan "hilaal berlaku global" memang terbukti dan benar. Hilaal berlaku global karena seluruh permukaan Bumi juga akan bisa melihatnya diawali dari FVA (first visibility area) yang terdapat di 'ujung' kerucut tumpul ILDL dan diakhiri tepat di sisi timur garis ILDL berselang 24 jam setelah hilaal terlihat dari FVA.

Pada akhir acara, peserta menyebut substansi dalam koreksi sistem hisab Sullam pada dasarnya bisa diterima, karena hisab Sullam juga bukan kitab suci dan itu mungkin saja untuk dikoreksi terus menerus agar sesuai dengan perkembangan zaman. Namun dalam penulisannya, saya disarankan untuk menghindarkan kata-kata/judul "Koreksi Sistem Hisab Sullam..." mengingat kata-kata "koreksi" itu terlalu 'garang' dan bisa menimbulkan antipati sebelum melihat lebih jauh.

salam

Ma'rufin

8a.

102 FM lagi... :)

Posted by: "KSM 102 FM ITB" fm102itb@yahoo.com   fm102itb

Sat May 24, 2008 11:45 pm (PDT)

promosi lagi:

http://102fm-itb.org

kunjungi yah...

terima kasih...

Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Finance

It's Now Personal

Guides, news,

advice & more.

Do-It-Yourselfers

on Yahoo! Groups

How-to ideas,

projects and more.

Y! Groups blog

The place to go

to stay informed

on Groups news!

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web
===============================================================
**  Arsip          : http://members.tripod.com/~fisika/
**  Ingin Berhenti : silahkan mengirim email kosong ke :
                     <fisika_indonesia-unsubscribe@yahoogroups.com>
===============================================================

Tidak ada komentar: