Sabtu, 31 Mei 2008

[daarut-tauhiid] Aktualisasi Panca Sila Sebagai Ideologi Bangsa

Aktualisasi Panca Sila Sebagai Ideologi Bangsa

Oleh; Prof. Dr. Achmad Mubarok,MA
Disampaikan dalam Rapat Kordinasi Persamaan Persepsi Terhadap Panca
Sila diselenggarakan oleh Kantor Wakil Presiden RI,
Jakarta 22 April 2008-04-18

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Pendahuluan

Realitas sejarah membuktikan bahwa Panca Sila Sebagai Dasar Negara
telah berhasil mengantar kemerdekaan bangsa Indonesia hingga hari ini
(62 tahun). Bahwa dalam kurun waktu 62 tahun selalu ada elemen bangsa
yang mempertanyakannya,bukan berarti kedudukan Panca Sila sebagai
dasar negara perlu ditinjau kembali, tetapi lebih bersumber pada
tagihan masyarakat kepada negara tentang seberapa jauh aktualisasi
Panca Sila dirasakan maknanya oleh mereka. Dinamika sejarah bangsa
kita yang menyentuh ideologi negara selalu berpangkal dari tuntutan
rasa keadilan dari sebagian rakyat yang secara obyektip memang belum
bisa dipenuhi oleh negara, dan oleh perilaku pemerintah yang terkadang
menggunakan Panca Sila sebagai senjata untuk mempertahankan
kekuasaannya sekaligus untuk memukul lawan politiknya.

Menjadikan Pancasila sebagai mainan politik justeru berdampak pada
menurunnya bobot Panca Sila sebagai ideologi bangsa. Pada era
keterbukaan seperti sekarang ini tidak zamannya lagi menjadikan Panca
Sila sebagai alat pemukul lawan, karena bukan saja tidak efektip
tetapi bahkan bisa menjadi bumerang dimana korbannya adalah bangsa itu
sendiri. Saya termasuk yang tidak ragu membicarakan Panca Sila secara
terbuka karena yakin bahwa konsep Panca Sila tahan uji terhadap dialog
dalam kerangka dinamika sejarah bangsa. Problem kita bukan pada
substansi Panca Sila tetapi pada bagaimana membumikan Panca Sila dalam
kehidupan aktual berbangsa.

Panca Sila Sebagai Produk Dialog Kebangsaan

Dari sejarah lahirnya Panca Sila dapat kita ketahui bahwa konsep Panca
Sila berakar dari kesadaran berbangsa setelah 300 tahun bangsa ini
bergumul dengan penjajahan Barat. Dari perlawanan secara sporadis oleh
para pahlawan kita di pelbagai wilayah Nusantara mengerucut ke

1. kesadarasn berekonomi dengan lahirnya Serikat Dagang Islam, kemudian
2. kesadaran berbangsa dengan lahirnya Budi Utomo yang kemudian
dijadikan tonggak kebangkitan nasional, kemudian
3. kesadaran kesamaan dalam perbedaan atau Bhinneka Tungal Ika yang
ditandai dengan Sumpah Pemuda 1928, dan puncaknya adalah
4. Proklamasi kemerdekaan RI 1945.

Dalam kurun waktu hampir setengah abad sebelum proklamasi 1945 telah
terjadi dialog politik dan budaya dari berbagai aspirasi kebangsaan,
ada yang mengedepankan simbol kesukuan seperti yong Java, yong Celebes
, ada juga yang mengedepankan simbol keagamaan Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, Yong Islamitten Bond, dan dialog itu mengerucut ke
aspirasi Nasionalisme dan Islamisme sehingga sebelum menjadi Panca
Sila dan UUD 45, dokumen itu adalah Piagam Jakarta yang bersifat
Nasionalis Islamis dimana pada kalimat Ketuhanan berbunyi Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya. Piagam
Jakarta bukan hanya milik orang Islam tetapi milik bangsa dan
merupakan konsep kebangsaan Indonesia, terbukti ditanda tangani pula
oleh AA Maramis yang beragama Kristen.

Hanya dengan kebesaran jiwa para pendiri negeri ini yang lebih
mengedepankan kebersamaan dan mengutamakan (tidak menunda) kemerdekaan
nasional maka kalimat setelah Ketuhanan dicoret, menjadi Ketuhanan
yang Maha Esa seperti yang kita kenal dalam teks Panca Sila sekarang ini.

Dialog Pasca Kemerdekaan 45

Para pendiri negeri ini menyadari bahwa konsep kebangsaan dari suatu
bangsa yang baru saja terlepas dari periode penjajahan panjang tidak
mungkin dapat disusun sempurna secara detail, oleh karena itu Panca
Sila dan UUD 45 didesain longgar untuk mampu menampung dinamika
kebangsaan pada periode mengisi kemerdekaan setelah proklamasi. Sudah
dibayangkan oleh para founding father bahwa konstitusi itu bersifat
sementara untuk selanjutnya harus disempurnakan.

Rupanya dialog lebih terfokus pada konsep nasionalisme vs Islamisme.
Dialog ini gagal disepakati dalam sidang konstituante, yang oleh
karena itu demi untuk menjaga stabilitas nasional Presiden Sukarno
mengeluarkan dekrit 5 Juli yang menetapkan kembali kepada Panca Sila
dan UUD 45 sebagai konstitusi tetapi mengakomodir semangat Islamisme
dalam Piagam Jakarta dengan menyebutkan bahwa Piagam jakarta menjiwai
seluruh batang tubuh UUD 45

Sayang pada bagian akhir dari periode Sukarno, Panca Sila sudah mulai
dijadikan senjata pemukul, bukan didialogkan. Pada saat itu publik tak
berdaya menghadapi politik mercu suar Presiden Sukarno, dan Parlemen
(MPRS dan DPRGR) selalu menyetujui gagasan-gagasan Sukarno. Bhinneka
Tunggal Ika berubah menjadi Nasakom, demokrasi dijalankan tanpa pemilu
(terpimpin), Masa Jabatan Presiden ditambah menjadi Presiden Seumur
Hidup, jabatan kepala negara menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Panca
Sila "dilebur" dalam Manipol Usdek yang kemudian dijadikan senjata
pemukul oleh aspiran politik, terutama PKI. Perilaku politik
menyimpang itu berujung pada pemberontakan PKI dan kejatuhan Sukarno.

Dialog semasa Orde Baru

Tahun 1965 Pak Harto hadir tepat waktu. Pak Harto merupakan sosok
pemimpin yang unik, kuat, cerdas, tahu diri, penampilannya lembut
hampir malu-malu tetapi memiliki sikap batin yang yang sangat keras
hampir tak kenal kompromi. Pak Harto menghela bangsa Indonesia keluar
dari kepengapan sistem "orde lama" menuju sistem "orde baru" yang
menjanjikan perbaikan.
Seperti teori bandul jam, PakHarto mengembalikan penyimpangan orde
lama dengan jargon kembali ke Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan
konsekwen. Penyimpangan orde lama di koreksi, partai politik
disederhanakan, pembangunan ekonomi di kedepankan, semuanya dengan
jargon kembali kepada Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan
konsekwen. Akan tetapi karena kuatnya sosok Suharto, Panca Sila juga
berada dalam genggaman kekuasaan Suharto.

Tidak ada dialog yang berarti, yang ada adalah sesuai dengan petunjuk
Bapak Presiden. Panca Sila di satu sisi dijadikan peneguh kekuasaan,
di sisi lain dijadikan senjata pemukul kepada lawan politik. Panca
Sila disakralkan, penafsirannya dibuat sendiri oleh Pak Harto menjadi
P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Panca Sila), ditatarkan kepada
seluruh aparat dengan sangat sistemik, dijadikan kurikulum di sekolah
dengan nama PMP (pendidikanMoral Panca Sila). Saking kuatnya bandul
semangat kembali kepada Panca Sila hingga "ndladrah" ke mana-mana,
sehingga ada istilah perburuhan Panca Sila, demokrasi Panca Sila,
sepakbola Panca Sila, arbitrase Panca Sila dsb, pokoknya semuanya
serba Panca Sila..

Dengan Panca Sila seperti itu Pak Harto bisa mengendalikan aparat
negara hingga ke desa-desa, merekayasa demokrasi sedemikian rupa
hingga negeri ini seperti sangat stabil dan seperti mau tinggal
landas. Pak Harto adalah satu-satunya "mata-hari" di negeri ini.
Setelah 32 tahun berkuasa, ketika secara alamiah matahari itu redup
maka gelaplah republik ini, redup pula wibawa Panca Sila dan UUD 45,
dan perilaku masyarakat selama era reformasi persis seperti perilaku
orang banyak dalam kegelapan. Anarki berlangsung dari jalanan hingga
Senayan.

Dialog Selama Era Reformasi

Karena kuatnya kemarahan dan kebencian kepada Suharto, ABRI,Golkar dan
orde Baru,maka reformasi yang digulirkan oleh Amin Rais dkk lebih
bersifat emosionil, inprofisasi dan tidak konsepsionil. Teori bandul
jam kembali berlangsung. Jika Pak Harto menarik bandul kepada semangat
kembalike Panca Siladan UUD 45secara murni dan konsekwen, era
reformasi justeru menempatkan UUD 45 sebagai "biang kerok" carut marut
bangsa. Oleh karena itu dengan sangat semangat dan emosional, MPR
produk reformasi melakukan amandemen konstitusi. Kerinduan untuk
kembali kepada Piagam jakarta juga disuarakan oleh Partai-partai Islam
di Sidang Umum MPR

Amandemen I,II,III, dan IV melahirkan konstitusi yang tidakjelas
kelaminnya, sistem presidensial atau parlementer. Perundangan dan PP
turunannya juga menjadi tumpang tindih, tidak jelas siapa yang
menumpang dan siapa yang menindih. Akibatnya ketidak menentuan
berlangsung terus entah sampaikapan.

Sekarang, ketika orang mulai merasakan sumpek dan ribetnya reformasi,
orang mulai bertanya, yang salah Panca Silanya atau orangnya ?
Ternyata Panca Sila yang sama menjadi berbeda ketika di tangan Sukarno
dan di tangan Suharto.

So What Next ?

Dari pengalaman sejarah tersebut diatas, saya berpendapat bahwa

1. Panca Sila sebagai dasar negara dan sebagai falsafah negara secara
konsepsional sudah sangat memadai untuk dijadikan acuan membangun
bangsa yang berdaulat dan bermartabat . Dialog yang dilakukan oleh
para founding father negeri ini dulu sudah sangat mendalam dan dan
komprehensip. Kebenaran Panca Sila sebagai konsep dasar hidup
berbangsa bagi bangsa Indonesia yang plural saya yakin akan bisa
teruji hingga dua tiga abad ke depan atau bahkan lebih. Setengah abad
pertama berdirinya Republik Indonesia, kecuali pada
komunitas-komunitas terbatas, rasanya memang belum pernah Panca Sila
benar-benar diberlakukan secara aktual dalam kehidupan masyarakat
Indonesia sehingga masyarakat merasa aman, bermartabat dan berpengharapan.

2. Seyogyanya Panca Sila jangan disakralkan, apalagi dibuat angker.
Panca Sila adalah konsep yang diilhami dari ajaran agama Islam dan
budaya modern (Barat) serta kearifan lokal. Oleh karena itu biarkan
Panca Sila sebagai ideologi terbuka yang memungkinkan menyerap
nilai-nilai baru (dari manapun datangnya) yang sudah teruji sebagai
nilai-nilai yang lebih baik dari nilai-nilai lama.

3. Ideolog Islamisme tidak lagi perlu menyuarakan gerakan pemberlakuan
syariat Islam, karena disamping kontraproduktip, sesungguhnya nilai
itu sudah tertampung dalam dekrit Presiden 5 Juli 1959, yakni Piagam
Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45. Dibutuhkan kecerdasan
untuk bisa memasukkan nilai-nilai syariat ke dalam perundang-undangan
tanpa menyebut syari'at Islam,misalnya UU haji,UU wakaf, UU
Perkawinan,UU bank syariah, memasukkan AkhlakMulia dalam Sisdiknas,
begitupun perda-perda yang mencegah kemaksiatan/pornografi, dan
sebagainya, itu semua merupakan perwujudan dari bunyiPiagamjakarta
menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45.

4. Konsistensi dalam penegakkan hukum dan pemihakan kepada orang
banyak (rakyat miskin) dalam kebijakan ekonomi merupakan wujud dari
aktualisasi Panca Sila.

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Salam Cinta,
agussyafii

==============================================
Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
achmad.mubarok@yahoo.com atau http://mubarok-institute.blogspot.com
==============================================

__._,_.___
===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Recent Activity
Visit Your Group
Moderator Central

Get answers to

your questions about

running Y! Groups.

Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Discover Tips

on healthy living

and healthy eating

on Yahoo! Groups.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: