Jumat, 23 Mei 2008
*Gerakan Islam Dinilai Pembangkit Nasionalisme *
JAKARTA -- Islam, dalam catatan sejarah, merupakan pembangkit nasionalisme
di Indonesia. Atas dasar ini, Dialog Peradaban yang digelar *Center for
Information and Development Studies* (Cides) pimpinan Syahganda Nainggolan,
mempersoalkan kembali gerakan Boedi Oetomo sebagai patokan Kebangkitan
Nasional.
Dalam dialog tersebut diungkapkan bahwa Sarekat Islam (SI)--peralihan dari
Sarekat Dagang Islam--lebih tepat menjadi tolok ukur Kebangkitan Nasional.
''Perlu pelurusan sejarah, dengan kajian akademis yang objektif, mengenai
peran Sarekat Dagang Islam,'' kata Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Indonesia, Ahmad Suhelmi, sebagai salah satu pembicara,
di Jakarta, Kamis (22/5).
Mengutip George Mc Turner Kahin, menurut Suhelmi, Islam telah menjadikan
nasionalisme Indonesia menjadi unik jika dibandingkan dengan nasionalisme di
belahan dunia lain. Islam pula yang menjadi simbol perlawanan pribumi
terhadap kolonialisme Belanda.
Sementara itu, Boedi Oetomo, kata Suhelmi, adalah organisasi yang lebih
menunjukkan sifatnya yang 'Jawa sentris' daripada watak nasionalistik. Juru
Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, mengutip tesis Savitri
Scherer, menggambarkan bahwa Boedi Oetomo adalah gerakan sosial yang
mengartikulasikan kepentingan kelompok priyayi nonbirokrat lokal. Pemicunya
adalah disharmoni antara priyayi nonbirokrat-
birokrat.
Karena itu, kemunculan Boedi Oetomo sebenarnya lebih didorong oleh keinginan
'menolong diri sendiri' para dokter Jawa itu yang merasa berada lebih rendah
dibanding priyayi birokrat. ''(Dengan) gambaran ini, sulit (Boedi Oetomo)
dianggap sebagai perintis Kebangkitan Nasional,'' kata Ismail.
Memang, kata dia, ada keinginan dari sebagian tokoh Boedi Oetomo untuk
memperluas perjuangan, tak hanya untuk priyayi Jawa. Kalangan ini kebanyakan
merupakan tokoh muda kala itu, misalnya Soewarno yang mengusulkan perbaikan
pendidikan untuk seluruh Hindia Belanda, tapi tak digubris.
Bahkan, Wahidin Sudirohusodo dalam pidatonya saat membuka kongres organisasi
ini pada Oktober 1908, kata Ismail, sangat mengagungkan sejarah Jawa dan
menekankan pentingnya pendidikan Barat bagi kemajuan Jawa. Hal itu khususnya
ditujukan bagi kaum priyayi, bukan untuk rakyat desa kebanyakan. Anggaran
dasar organisasi Boedi Oetomo pun secara tegas dalam pasal 2 menyatakan
perjuangan mereka hanya ditujukan bagi orang Jawa dan Madura.
Berbeda dengan Boedi Oetomo, papar Ismail, SI lebih menasional dengan
menerima keanggotaan dari semua kalangan. Tergambar dari tokohnya, yang
berasal dari beragam suku bangsa. Misalnya, ada Abdoel Moeis dari Sumatra
Barat dan AM Sangaji dari Maluku.
Pada 1916, tercatat 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan tak kurang
dari 700 ribu anggota. Angka ini melonjak menjadi dua juta orang pada 1919.
Sedangkan Boedi Oetomo, kata Ismail, pada masa keemasannya hanya memiliki
anggota 10 ribu orang.
(ann )
http://www.republik
--
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang
now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest
>> al-Ra'd [13]: 28
[Non-text portions of this message have been removed]
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar