Rabu, 28 Mei 2008

[daarut-tauhiid] menuju indonesia 2009

para milist yang budiman, sebentar lagi kita akan menghadapi era kepemimpinan baru melalui pemilu, sebagai umat islam tentunya kita harus mencermati bagaimana sebenarnya pemilu itu, berikut tulisan yang saya dapat mengenai pemilu dalam pandangan syara':


PEMILU DALAM ISLAM

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi


Adakah Pemilu?
Mungkin pertanyaan kita yang mendasar adalah, apakah pemilu (pemilihan umum) itu ada dalam Islam? Jika Islam mengakui keberadaannya, apa dasar argumentasinya? Bagaimana kaitannya dengan cara pemilihan khalifah pada masa Khulafa` Rasyidin? Lalu, apakah pemilu dalam Islam ini sama dengan pemilu dalam sistem demokrasi? Mari kita kaji satu per satu jawabannya.
Benar, pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab kekuasaan itu ada di tangan umat (asâ€"sulthan li al-ummah). Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yang terlaksana melalui metode baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalifah (Zallum, 2002:41; Al-Khalidi, 1980:95). Prinsip ini berarti, seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalifah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Dan pemilu (al-intikhab), dapat menjadi salah satu cara (uslub) bagi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalifah.
Namun perlu dipahami, bahwa pemilu hanya cara (uslub), bukan metode (thariqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah. Sedang metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah (An-Nabhani, 1973:92). Lebih detilnya, cara merupakan perbuatan cabang (al-fi'l al-far'iy) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum untuk perbuatan pokok (al-fi'l al-'ashliy). Misalkan, cara Amil Zakat mengambil zakat dari muzakki, apakah dengan jalan kaki atau naik kendaraan, apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer, apakah harta itu dikumpulkan di satu tempat atau tidak. Ini semua merupakan perbuatan cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalkan dalil QS At-Tawbah [9] : 103. Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk "cara" (uslub) yang
hukumnya adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas mengambil zakat, sebab ia adalah "metode" yang sifatnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan atau diubah. Termasuk juga "metode" adalah perbuatan cabang â€"dari perbuatan pokok-- yang memiliki dalil khusus. Misalkan, kepada siapa zakat dibagikan, barang apa saja yang dizakati, dan berapa kadar zakat yang dikeluarkan. Semuanya berlaku secara permanen dan tidak boleh diubah, karena sudah dijelaskan secara rinci sesuai dalil-dalil khusus yang ada (An-Nabhani,1953:116; Zallum, 2002:205-206; Al-Mahmud, 1995:106-107).
Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalifah dalam Syariat Islam. Ada metode (thariqah) yang tetap dan hukumnya wajib. Dan ada pula cara (uslub) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib (Abdulah, 1996:130-131). Dalil wajibnya baiat antara lain adalah sabda Rasulullah SAW :

"Barangsiapa mati sedang di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati jahiliyah." (Hadits sahih. Lihat Shahih Muslim, II/240; Majma' Az-Zawaid, V/223-224; Nayl Al-Awthar,VII/183; Fathul Bari, XVI/240).

Rasul SAW mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan "mati jahiliyah". Maka ini merupakan indikasi (qarinah), bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya (Abdullah, 1996:131).
Adapun tatacara pelaksanaan baiat (kayfiyatu ada` al-bai'ah), sebelum dilakukannya akad baiat, merupakan uslub yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah (An-Nabhani, 1973:92). Jadi, dalil wajibnya baiat di atas, sudah mencakup pula kebolehan adanya berbagai macam cara (uslub) untuk melaksanakan baiat. Dari sinilah, pemilu boleh dilakukan untuk memilih khalifah. Sebab pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalifah yang akan dibaiat.
Mengapa cara pemilihan khalifah boleh berbeda dan berubah, termasuk dibolehkan juga mengambil cara pemilu? Sebab ada Ijma' Shahabat mengenai tidak wajibnya berpegang dengan satu cara tertentu untuk mengangkat khalifah, sebagaimana yang terjadi pada masa Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbeda-beda untuk masing-masing Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, ridhwanullah 'alayhim. Namun pada semua khalifah yang empat itu selalu ada satu metode (thariqah) yang tetap, dan tidak berubah-ubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu-satunya metode untuk mengangkat khalifah, tak ada metode lainnya (Zallum, 2002:82).

Pemilihan Khulafa` Rasyidin
Baiat menurut pengertian syar`i adalah hak umat untuk melangsungkan akad Khilafah (haq al-ummah fi imdha` 'aqd al-khilafah) (Al-Khalidi, 1980:114; 2002:26). Baiat ada dua macam : Pertama, baiat in'iqad, yaitu baiat akad Khilafah. Baiat ini merupakan penyerahan kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi khalifah. Kedua, baiat ath-tha'at (atau bai'ah 'ammah), yaitu baiat dari kaum muslimin yang lainnya kepada khalifah, yang cukup ditampakkan dengan perilaku umat mentaati khalifah (Al-Khalidi, 2002:117-124).
Baiat tersebut merupakan metode yang tetap untuk mengangkat khalifah. Maka dari itu, pada masing-masing Khulafa` Rasyidin, akan selalu kita jumpai adanya baiat dari umat kepada para khalifahnya masing-masing. Adapun cara-cara praktis pengangkatan khalifah (ijra`at at-tanshib), atau cara (uslub) yang ditempuh sebelum baiat, telah dilangsungkan dengan cara yang berbeda-beda. Dari cara-cara yang pernah dilakukan pada masa Khulafa` Rasyidin, dapat diambil cara-cara pengangkatan khalifah sebagai berikut (Zallum, 2002:72-85) :
Pertama, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan 5 (lima) langkah berikut : (1) diselengarakan pertemuan (ijtima') oleh mayoritas Ahlul Halli wal Aqdi, (2) Ahlul Halli wal Aqdi melakukan pencalonan (tarsyih) bagi satu atau beberapa orang tertentu yang layak untuk menjabat khalifah, (3) dilakukan pemilihan (ikhtiyar) salah satu dari calon tersebut, (4) dilakukan baiat in'iqad bagi calon yang terpilih, dan (5) dilakukan baiat ath-tha'at oleh umumnya umat kepada khalifah.
Kedua, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Umar bin Khaththab. Yaitu ketika seorang khalifah merasa wafatnya sudah dekat, dia melakukan 2 (dua) langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat : (1) khalifah itu meminta pertimbangan (istisyarah) kepada Ahlul Halli wal Aqdi, mengenai siapa yang akan menjadi khalifah setelah dia meninggal, (2) khalifah itu melakukan istikhlaf/'ahd (penunjukan pengganti) kepada seseorang yang akan menjadi khalifah setelah khalifah itu meninggal. Setelah itu selanjutnya dilakukan dua langkah lagi : (3) calon khalifah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in'iqad untuk menjadi khalifah, dan (4) dilakukan baiat ath-tha'at oleh umat kepada khalifah.
Ketiga, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan. Yaitu ketika seorang khalifah dalam keadaan sakaratul maut, maka atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat, dia melakukan langkah berikut : (1) khalifah melakukan penunjukan pengganti (al-'ahd, al-istikhlaf) bagi beberapa orang yang layak menjadi khalifah, dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang mereka untuk menjadi khalifah setelah dia meninggal, dalam jangka waktu tertentu maksimal tiga hari. Setelah khalifah meninggal dilakukan langkah : (2) beberapa orang calon khalifah itu melakukan pemilihan (ikhtiyar) salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah, (3) mengumumkan nama calon terpilih kepada umat, (4) umat melakukan baiat in'iqad kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalifah, dan (5) dilakukan baiat ath-tha'at oleh umat secara umum kepada khalifah.
Keempat, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Yaitu, setelah wafatnya khalifah, dilakukan langkah sebagai berikut : (1) Ahlul Halli wal Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi khalifah, (2) Ahlul Halli wal Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi khalifah, dan orang itu menyatakan kesediaannya setelah merasakan kerelaan mayoritas umat, (3) umat melakukan baiat in'iqad kepada calon itu untuk menjadi khalifah, dan (5) dilakukan baiat ath-tha'at oleh umat secara umum kepada khalifah.
Itulah empat cara pengangkatan khalifah yang diambil dari praktik pada masa Khulafa` Rasyidin. Berdasarkan cara pengangkatan Khulafa` Rasyidin di atas, khususnya pengangkatan Utsman bin Affan, Taqiyuddin An-Nabhani (1963:137-140) dan Abdul Qadim Zallum (2002:84-85) lalu mengusulkan satu cara dalam pengangkatan khalifah. Diasumsikan ada Majelis Ummah yang merupakan majelis wakil umat dalam melakukan musyawarah dan muhasabah (pengawasan) kepada penguasa. Cara ini terdiri dari 4 (empat) langkah : (1) para anggota Majelis Ummah yang muslim melakukan seleksi terhadap para calon khalifah, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam untuk memilih salah satu dari mereka. Di sinilah pemilu bisa dilaksanakan sebagai cara pelaksanaannya, (2) Majelis Ummah mengumumkan hasil pemilihan umum (al-intikhab) dan umat Islam mengetahui siapa yang meraih suara yang terbanyak, (3) umat Islam segera membaiat (baiat in'iqad) orang yang meraih suara terbanyak
sebagai khalifah, dan (4) setelah selesai baiat, diumumkan ke segenap penjuru orang yang menjadi khalifah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh umat, dengan menyebut nama dan sifat-sifatnya yang membuatnya layak menjadi khalifah.

Pemilihan Anggota Majelis Ummah
Di samping pemilu untuk memilih khalifah, dalam sistem politik Islam juga ada pemilu untuk memilih para anggota Majelis Ummah. Jadi proses untuk menjadi anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikhab) oleh umat, bukan melalui pengangkatan/penentuan (at-ta'yin) oleh khalifah. Mengapa melalui pemilihan? Sebab di sini berlaku akad wakalah (perwakilan). Anggota Majelis Ummah adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra`yu) dan pengawasan kepada penguasa (An-Nabhani, 1990:90-96). Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh pihak yang mewakilkannya (al-muwakkil), bukan oleh pihak lainnya Karena itu, anggota Majelis Ummah haruslah dipilih oleh umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah (Zallum, 2002:221).
Mengingat pemilu untuk memilih anggota Majelis Ummah adalah akad wakalah, maka implikasinya berbeda dengan akad Khilafah. Dalam akad wakalah, pihak muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya ('azl al-wakil), sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad wakalah termasuk akad yang tidak mengikat (min al-'uqud al-ja`izah) (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Mazhahib Al-Arba'ah, III/148). Maka dari itu, umat memiliki hak untuk memberhentikan para wakilnya di Majelis Ummah. Ini berbeda dengan akad Khilafah, sebab dalam akad Khilafah umat tidak berhak memberhentikan Khalifah ('azl al-khalifah). Sebab, nash-nash hadits tetap memerintahkan taat (pada perkara yang non maksiat) kepada khalifah, jika khalifah melanggar syara'. Hadits-hadits Nabi SAW itu tidak memerintahkan atau membolehkan umat menarik kembali baiatnya. Jadi, meskipun umat yang mengangkat dan membaiat khalifah, tetapi umat tidak berhak
memberhentikan khalifah, selama akad baiat telah dilakukan sempurna sesuai syara'. Jika khalifah melanggar syariat Islam, yang berhak memberhentikannya adalah Mahkamah Mazhalim, yaitu lembaga peradilan (Al-Qadha`) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan penguasa/negara (Zallum, 2002:114-115).

Samakah dengan Demokrasi?
Ketika Islam membolehkan pemilu untuk memilih khalifah atau anggota Majelis Ummah, bukan berarti pemilu dalam Islam identik dengan pemilu dalam sistem demokrasi sekarang. Dari segi cara/teknis (uslub), memang boleh dikatakan sama antara pemilu dalam sistem demokrasi dengan pemilu dalam sistem Islam (An-Nabhani, At-Tafkir, 1973:91-92; Urofsky, Demokrasi, 2003:2).
Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan, keduanya sangatlah berbeda, bagaikan bumi dan langit. Pertama, Pemilu dalam demokrasi didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-din 'an al-hayah, secularism) (Al-Khalidi, 1980:44-45), sedangkan pemilu dalam Islam didasarkan pada Aqidah Islamiyah, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dari kehidupan (Yahya Ismail, 1995:23). Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-siyadah li asy-sya'b), sehingga rakyat di samping mempunyai hak memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sedang pemilu dalam Islam, didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syara' (as-siyadah li asy-syar'i), bukan di tangan rakyat. Jadi meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, tetapi kehendak rakyat wajib tunduk pada hukum Al-Qur`an dan As-Sunnah. Rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri seperti dalam demokrasi
(An-Nahwi, 1985:37-38; Ash-Shawi, 1996:69-70; Rais, 2001:311). Ketiga, tujuan pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sedang pemilu dalam Islam, bertujuan memilih penguasa yang akan menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia seperti dalam demokrasi (Zallum, 1990:1, 1994:139-140; Belhaj, 1411 :5). [ ]


DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, Muhammad Husain. 1996. Mafahim Islamiyah. Juz II. Cetakan I. Beirut : Darul
Bayariq.

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh 'Ala Al-Mazhahib Al-Arba'ah. Juz III. Cetakan I. Beirut :
Darul Fikr.

Al-Khalidi, Mahmud. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. Kuwait : Darul Buhuts Al-'
Ilmiyah.

Al-Khalidi, Mahmud. 2002. Bai'at dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam (Al-Bai'at fi Al-Fikr
As-Siyasi Al-Islami). Alih Bahasa Muhammad Bajuri. Cetakan I. Bangil : Al-Izzah.

Al-Mahmud, Ahmad. 1995. Ad-Da'wah Ila Al-Islam. Cetakan I. Beirut : Darul Ummah.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz II. Cetakan II. Al-Quds :
Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir.

----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur. t.tp : t.p.

----------. 1973. At-Tafkir. t.tp : t.p.

----------. 1990. An-Nizham Al-Ijtima'i fi Al-Islam. Cetakan III. Beirut : Darul Ummah.

---------. 2001. Nizham Al-Islam. Cetakan VI. T.tp. : Min Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir.

An-Nahwi, Adnan Ali Ridha. 1985. Asy-Syuura Laa Ad-Dimuqrathiyah. Cetakan II. Kairo : Dar
Ash-Shahwah.

Ash-Shawi, Shalah. 1996. Meluruskan Pemahaman Jamaah dalam Dunia Pergerakan
Kontemporer (Jama'atul Muslimin : Mafhumuha wa Kayfiyatu Luzumiha fi Waqi'ina Al-Mu'ashir). Alih Bahasa Bukhari Burhanuddin. Cetakan I. Solo : Khazanah Ilmu.

Belhaj, Ali. 1411 H. Ad-Damghah Al-Qawiyah li Nasf 'Aqidah Ad-Dimuqrathiyah. Beirut : Darul
'Uqab.

Ismail, Yahya. 1995. Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Perspektif Sunnah (Manhaj As-
Sunnah fi Al-'Alaqah Bayna Al-Hakim wa Al-Mahkum). Alih Bahasa Andi Suherman. Cetakan I. Jakarta : Gema Insani Press.

Rais, Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam (An-Nazhariyah As-Siyasiyah Al-Islamiyah). Alih
Bahasa Abdull Hayyi Al-Kattanie dkk. Jakarta : Gema Insani Press.

Urofsky, Melvin I. et.al. 2003. Demokrasi. Office of International Information Programs-U.S. Department of State. http:/usinfo.state.gov

Zallum, Abdul Qadim. 1990. Ad-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr. t.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir.

----------. 1994. Afkar Siyasiyah. Cetakan I. Beirut : Darul Ummah.

----------. 2002. Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. Cetakan VI. t.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir.



[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Need traffic?

Drive customers

With search ads

on Yahoo!

Yahoo! Groups

Find balance

between nutrition,

activity & well-being.

Moderator Central

Yahoo! Groups

Join and receive

produce updates.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: