Sabtu, 24 Mei 2008

[daarut-tauhiid] Tidak Boleh Menimbun Barang (Oleh: Mochamad Bugi)

http://www.dakwatuna.com/2008/tidak-boleh-menimbun-barang/

Ekonomi Syari'ah
1/3/2008 | 23 Safar 1429 H | Hits: 634

Tidak Boleh Menimbun Barang

Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com - Bukan sekali dua kali masyarakat kita mengalami
kelangkaan barang. Ada banyak sebab barang-barang yang kita butuh
tiba-tiba hilang dari pasar. Jikapun ada, harganya selangit. Salah
satu penyebab kelangkaan barang adalah para pedagang menimbun barang
dengan harapan harga akan naik. Ketika harga naik itulah, mereka akan
mendapat untung berlipat dari penjualan barang yang sebelumnya telah
mereka timbun.

Bagaimana Islam memandang masalah ini?

Menimbun barang dalam bahasa Arab sepadan dengan "al-ihtikar". Kata
ini bermakna azh-zhulm (aniaya) dan isaa'ah al-mu'aasyirah (merusak
pergaulan).

Ada beberapa definisi yang diberikan oleh ulama tentang ihtikar. Imam
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan, "Penimbunan barang
dagangan dari peredarannya." Imam Ghazali mendefinisikan, "Penyimpanan
barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga
dan penjualannya ketika harga melonjak." Sementara para ulama Mazhab
Maliki mendefinisikan dengan, "penyimpanan barang oleh produsen: baik
makananm pakaian, dan segala barang yang bisa merusak pasar."

Secara esensi ketiga definisi di atas sama, yaitu menyebut aktivitas
menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan menjualnya
ketika harga telah melonjak, barang itu baru dipasarkan. Namun,
mengenai jenis barang yang ditimbun beda.

Ulama Mazhab Maliki, sebagian ulama Mazhab Hanbali, Imam Abu Yusuf dan
Ibnu Abidin (dua nama terakhir adalah ahli fiqh dari Mazhab Hanafi)
menyatakan larangan menimbun tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan
hewan. Tetapi meliputi seluruh barang yang dibutuhkan masyarakat.
Alasannya, yang menjadi ilat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan
penimbunan adalah "kemudharatan yang menimpa orang banyak". Sebab,
kemudharatan yang menimpa orang banyak itu tidak terbatas pada
makanan, pakaian, dan hewan, tetapi juga mencakup seluruh barang yang
dibutuhkan orang.

Imam Asy-Syaukani juga tidak memerinci barang apa saja yang ditimbun,
sehingga seseorang bisa dikatakan sebagai penimbun jika menyimpan
barang untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan, Imam Asy-Syaukani
tidak membedakan apakah penimbun itu terjadi ketika pasar berada dalam
keadaan normal ataupun dalam keadaan tidak stabil. Hal ini perlu
dibedakan karena menurut jumhur ulama jika sikap para pedagang dalam
menyimpan barang tersebut bukan untuk merusak harga pasar, tentu tidak
ada larangan. Maklum, Imam Asy-Saukani termasuk kelompok ulama yang
mengharamkan penimbunan pada seluruh barang yang dibutuhkan masyarakat.

Sebagian ulama Mazhab Hanbali dan Imam Al-Ghazali mengkhususkan
keharaman penimbuna pada jenis produk makanan saja. Alasannya, karena
yang dilarang dalam nash hanyalah makanan. Menurut mereka, karena
masalah ihtikar menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual
barangnya dan kebutuhan orang banyak, maka larangan itu harus terbatas
pada apa yang ditunjuk oleh nash saja. Adapun ulama dari kalangan
Mazhab Syafi'i dan Hanafi membatasi ihtikar pada komoditas yang berupa
makanan bagi manusia dan hewan. Menurut mereka, komoditas yang terkait
dengan kebutuhan orang banyak pada umumnya hanya dua jenis itu. Oleh
karena itu, perlu dibatasi.

Dari paparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa ihtikar adalah
tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa, dan enggan menjual dan
memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga
pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang
hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, negara maupun
hewan amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut. Ihtikar
tidak saja menyangkut komoditas, tapi juga manfaat suatu komoditas,
dan bahkan jasa dari para pemberi jasa; dengan syarat "embargo" yang
dilakukan para pedagang atau pemberi jasa itu bisa membuat harga pasar
tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, dan jasa tersebut dibutuhkan
oleh masyarakat, negara, dan lain-lain.

Misalnya, pedagang gula pasir di awal bulan Ramadhan tidak mau menjual
barang dagangannya karena mengetahui bahwa pada pekan terakhir bulan
Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula untuk menghadapi lebaran.
Dengan sedikitnya stok gula di pasar, harga gula melonjak. Ketika
itulah para pedagang gula melepas stoknya ke pasar dan mereka mendapat
keuntungan yang tinggi.

Dasar hukum pelarangan menimbun barang adalah hasil induksi dari
nilai-nilai universal yang dikandung Al-Qur'an yang menyatakan bahwa
setiap perbuatan aniaya diharamkan. "Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran." [QS. Al-Maidah (5): 2]. "Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan."
[QS. Al-Haj (22): 78]. "Allah tidak hendak menyulitkan kamu." [QS.
Al-Maidah (5): 6]. "Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
[QS. Al-Baqarah (2): 279].

Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang merusak harga pasar, sehingga
harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam
neraka pada hari kiamat." (HR. At-Tabrani dai ma'qil bin Yasar).

Rasulullah saw. berkata, "Siapa yang melakukan penimbunan barang
dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam,
maka ia telah berbuat salah." (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Rasulullah saw. bersabda, "Para pedagang yang menimbun barang makanan
(kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari
(hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan
dengan)-nya." (HR. Ibnu Umar).

Berdasarkan ayat-ayat dan hadits di atas, para ulama sepakat bahwa
ihtikar adalah perbuatan terlarang (haram). Namun, berbeda cara
menetapkan hukumnya. Ulama Mazhab Syafi'i, Hanbali, dan Maliki
menggunakan ayat dan hadits di atas untuk menetapkan ihtikar sebagai
perbuatan yang haram.

Menurut kalangan Mazhab Maliki, ihtikar hukumnya haram dan harus
dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu
memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat,
stabilitas ekonomi masyarakat dan negara. Karena itu, pemerintah harus
turun tangan untuk mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah fiqh: haqq
al-ghair muhaafazun `alaihi syar'an (hak orang lain terpelihara secara
syara'). Dalam kasus ihtikar, yang paling utama dipelihara adalah hak
konsumen, karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang
melakukan penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika kepentingan
pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang
didahulukan adalah kepentingan orang banyak.

Ulama Syafi'i berpendapat bahwa hadits yang menyatakan ihtikar
merupakan perbuatan yang salah mengandung pengertian yang dalam. Orang
yang melakukan kesalahan (khatha'a) dengan sengaja berarti telah
berbuat suatu pengingkaran terhadap syariat. Mengingkari syariat
adalah hal yang diharamkan. Dengan demikian, perbuatan ihtikar
termasuk salah salah satu perbuatan yang diharamkan, apabila dalam
hadits itu pelakunya diancam dengan neraka.

Ulama Mazhab Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena
membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara. Ibnu
Qudamah mengemukakan alasan, ada sebuah hadits Rasulullah saw. yang
melarang melakukan ihtikar dalam kebutuhan pokok manusia. (HR. Asram
dari Abi Umamah).

Imam Al-Kasani (seorang ahli fiqh dari Mazhab Hanafi) berpendapat,
ihtikar haram karena banyak hadits Rasulullah saw. yang menyatakan
bahwa pelaku ihtikar dilaknat dan orang yang melakukan kesalahan
dengan sengaja adalah orang yang melakukan sesuatu yang haram. Ia juga
menyatakan, dalam masalah ihtikar terkandung dua kemaslahatan yang
bertentangan, yaitu kemaslahatan pribadi pedagang dan kemaslahatan
konsumen. Dilihat dari tujuan syariat dalam nenetapkan hukum, apabila
terjadi pertentangan antara kepentingan orang banyak dan kepentingan
pribadi, maka kepentingan orang banyak harus didahulukan. Oleh karena
itu, dalam kasus ihtikar, demi memelihara kemaslahatan orang banyak,
kepentingan pribadi harus dikorbankan, karena mendahulukan kepentingan
pribadi dapat meresahkan masyarakat banyak.

Namun Mazhab Hanafi secara umum berpendapat, ihtikar hukumnya makruh
tahrim. Makruh tahrim adalah istilah hukum haram dari kalangan usul
fiqh Mazhab Hanafi yang didasarkan pada dalil zhanni (bersifat
relatif). Dalam persoalan ihtikar, menurut mazhab ini, larangan secara
tegas hanya muncul dari hadits-hadits yang bersifat ahad (hadits yang
diriwayatkan satu, dua, atau tiga orang dan tidak sampai ke tingkat
mutawatir). Adapun derajat hujah hadits ahad adalah zhanni. Sementara
kaidah umum yang qath'i (pasti) adalah setiap orang bebas membeli dan
menjual barang dagangannya tanpa campur tangan orang lain. Menjual
barang atau tidak adalah masalah pribadi seseorang.

Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam
menetapkan hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil
yang bertentangan, yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang,
mereka bebas melakukan jual beli sesuai kehendak mereka; dan adanya
larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apa pun.

Larangan di sini tidak langsung tertuju pada perbuatan ihtikar,
melainkan larangan itu muncul disebabkan mudharat yang ditimbulkan
tindakan tersebut. Menurut mereka, mudharat itu bisa dihilangkan
karena bisa saja dilakukan jual beli yang sama sekali tidak mengandung
mudharat. Oleh karena itu, perbuatan ihtikar dengan alasan yang
melarangnya tidak menyatu. Di samping itu, seperti dijelaskan di atas,
larangan ihtikar dari hadits ahad.

Namun, jumhur ulama dalam menetapkan hukum haram tidak membedakan
antara dalil yang zhanni dan qath'i. Apabila ada larangan dari nash
(ayat dan hadits), baik sifatnya qath'i maupun zhanni, maka hukumnya
haram.

Jadi, sekalipun hadits-hadits yang secara tegas melarang ihtikar
seluruhnya ahad, tapi berdasarkan istiraa' ulama terhadap hukum
ihtikar dari berbagai ayat dan hadits, secara maknawi kekuatan
dalilnya sudah qath'i. Di samping itu, dalam rangka siyasah syar'iyah
(politik penetapan hukum) dinyatakan bahwa `kullu fi'lin fiil ashl
masyruu', yusbihu ghair masyruu' idza addaa ilaa ma'aal al-mamnuu'
(setiap perbuatan pada dasarnya dibolehkan, hukumnya bisa jadi tidak
boleh jika membawa kepada sesuatu yang dilarang). Dalam kasus ihtikar,
pada dasarnya pemilik barang boleh menjual barangnya sesuai dengan
keinginannya, tetapi akibat dari perbuatan ini orang banyak mendapat
mudarat. Oleh karena itu, larangan berbuat ihtikar termasuk dalam
kaidah di atas.

Para ulama yang melarang tindakan menimbun barang berpendapat, bila
penimbunan barang telah terjadi di pasar, pemerintah berhak memaksa
pedagang untuk menjual barang tersebut dengan harga standar yang
berlaku di pasar. Bahkan, barang yang ditimbun dijual dengan harga
modalnya dan pedagang yang menimbun tidak berhak untuk mengambil
untung. Ini sebagai hukuman atas tindakan mereka. Jika pedagang yang
menimbun dagangan enggan menjual barangnya sesuai dengan harga pasar,
hakim berhak menyita barang mereka dan membagi-bagikannya kepada
masyarakat yang membutuhkan.

Karena itu, pemerintah seharusnya sejak awal telah mengantisipasi agar
tidak terjadi penimbunan barang, manfaat, dan jasa yang dibutuhkan
oleh orang banyak. Pemerintah harus melakukan penetapan harga yang
adil atas setiap barang yang menjadi hajat orang banyak. Harga yang
adil itu didapat dengan mempertimbangkan modal dan keuntungan bagi
pedagang serta tidak terlalu memberatkan masyarakat. Bahkan,
pemerintah tidak boleh mengekspor barang kebutuhan warganya sampai
tidak ada lagi yang dapat dikonsumsi warga, sehingga membawa mudharat
bagi masyarakat. Pada hakikatnya pengeksporan barang yang dibutuhkan
masyarakat sama dengan ihtikar dari segi akibat yang dirasakan oleh
masyarakat. Pendapat ini didasarkan pada kaidah "tasharruf al-imaam
`ala ar-ra'iyyah manuuthun bi al-maslahah" (tindakan penguasa harus
senantiasa mengacu pada kemaslahatan orang banyak). (disadur dari
Ensiklopedi Hukum Islam).

http://www.dakwatuna.com/2008/tidak-boleh-menimbun-barang/

__._,_.___
===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Recent Activity
Visit Your Group
New business?

Get new customers.

List your web site

in Yahoo! Search.

Moderator Central

Get answers to

your questions about

running Y! Groups.

Health Groups

for people over 40

Join people who are

staying in shape.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: