Senin, 02 Maret 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2547

Messages In This Digest (7 Messages)

Messages

1a.

Re: (CATCIL) 4 PEREMPUAN HEBAT PERTAMA

Posted by: "susanti" susanti@shallwinbatam.com

Mon Mar 2, 2009 12:51 am (PST)


Wah, ukhuwah memang indah ya.
You are a lucky girl, huh?!

__,
----------------------------------------------------------

No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.0.237 / Virus Database: 270.11.5/1979 - Release Date: 02/27/09 13:27:00
2a.

(KELUARGA) ADIKKU PALING ROMANTIS DI HARI MILADKU

Posted by: "Kang Dani" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Mon Mar 2, 2009 1:04 am (PST)

Heeeeeeeeeee
kelewat nih.. biasanya mbak lia woro2 kalo ada yang milad :)
selamat ya divin, semoga keberkahan dan keselamatan selalu
mengiringi nsetiap langkahmu. Amiin

Dani Ardiansyah
www.sekolah-kehidupan.com
www.catatankecil.multiply.com

3a.

Re: [Catcil] Lelaki Itu

Posted by: "Kang Dani" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Mon Mar 2, 2009 1:10 am (PST)

Subhanallah..
menyentuh sekali..
semoga menjadi amalan yang tidak pernah
putus bagi orang tuanya :)

Dani Ardiansyah
www.sekolah-kehidupan.com
www.catatankecil.multiply.com

3b.

Re: [Catcil] Lelaki Itu

Posted by: "hariyanty thahir" anty_th@yahoo.com   anty_th

Mon Mar 2, 2009 1:25 am (PST)

^_^ maaf Teh Sky. Diriku apalagi waktu berhadapan dengan bapak itu.
Kalo ngga bisa kendalikan emosi, jgn2 sebelum ngomong ma istrinya, aq
dah nangis dulu.
Yah banyak sekali "pelangi" di sini

Makasih udah membacanya
makasih kang dani dah mempertajam apa hadiah Allah buat mereka

wassalam
anty th


4a.

Re: Inikah Gaya Pergaulan Pasutri Modern?

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Mon Mar 2, 2009 1:18 am (PST)

Hmm..tulisan ini menyentuh sisi terdalam kalbu saya. Alhamdulillah,di zaman
seperti ini,masih ada orang yang punya kesadaran akan hal-hal (sepertinya)
"remeh" tapi "penting". Makasih ya atas taushiyahnya!

Salam kenal,

Nursalam AR

2009/3/2 Ellnovianty Nine <noviellnine@yahoo.com>

> Oleh: Novi Mudhakir
> http://novianty.multiply.com/journal/item/119/Gaya_Pergaulan_Pasutri_M
> odern
>
> Tahun 2004 April aku kembali ke tanah air setelah menyelesaikan
> kuliah saya di Kota Kyoto, Jepang. Kemudian sekembalinya ke
> Indonesia, Allah swt memberiku rejeki berupa pekerjaan di sebuah
> kantor kerjasama internasional milik Pemerintah Jepang.
>
> Kembali hidup di negeri tercinta adalah harapanku saat itu. Terus
> terang aku merasa sudah terlalu puas dan sedikit 'eneg' (hehehe)
> dengan pola kehidupan di Jepang yang monoton. Bekerja, pergi kuliah,
> pulang ke apartemen yang penghuni cuma 'sebiji' yaitu diriku sendiri.
> Begitu tiap hari. Sesekali pergi bersosialisasi (kadang berusaha
> menghindari pergaulan karena capek sendiri), atau sekedar window
> shoping.
>
> Aku sungguh-sungguh merasa sepi, 'kesendirian' terlalu lama mewarnai
> kehidupan saya selama tujuh tahun di Jepang. Sejak bangun tidur di
> pagi hari hingga masuk kembali ke futon (kasur ala Jepang) di malam
> hari, hanya ada diriku di kamar apartemen itu. Terkadang aku sampai
> ngomong sendiri loh.
>
> Untuk itu aku merasa perlu kembali ke haribaan ibu pertiwi, hidup
> kembali di lingkungan masyarakat Indonesia yang terkenal hangat dan
> dinamis.
>
> Namun, entah mengapa aku seperti seorang 'Shimataro'. Shimataro
> adalah tokoh pada sebuah cerita rakyat Jepang. Kisahnya tentang
> seorang laki-laki muda yang membantu seekor penyu yang sedang dijaili
> oleh beberapa anak laki-laki. Atas bantuan si Shimataro ini, dia
> diajak oleh penyu berkunjung ke kerajaan laut. Di sana Shimataro
> dijamu oleh ratu dan para penghuni kerajaan. Setelah tiga tahun
> lamanya di laut, Shimataro pamit untuk kembali ke daratan. Ketika
> hendak pulang, sang ratu memberi Shimataro sebuah kotak yang tidak
> boleh dibuka isinya.
>
> Shimataro diantar kembali ke permukaan laut oleh penyu yang dulu dia
> selamatkan. Setibanya ke kampung halaman, Shimataro bingung karena
> penghuni kampung sudah berubah dan tidak dia kenal seorang pun.
> Begitu pula sebaliknya, tidak ada yang mengenalnya. Karena merasa
> bingung, sepi, sedih sendiri, Shimataro membuka kotak pemberian sang
> ratu. Padahal dia sudah dilarang untuk tidak membukanya. Ketika
> dibuka, seketika itu pula Shimataro berubah menjadi kakek-kakek.
> Ternyata, tiga tahun lamanya di dalam laut sama dengan pertambahan
> usianya dari seorang laki-laki muda menjadi kakek-kakek.
>
> Aku merasa seperti Shimataro. Tapi bedanya bukan karena tidak
> mengenal anggota keluargaku, atau aku tidak dikenal anggota
> keluargaku sendiri. Melainkan shock melihat pergaulan teman-teman
> sebayaku yang sudah menikah. Banyak sekali gaya pergaulan modern
> pasutri yang bagiku nggak lazim. Misalnya, berskin ship seperti tepuk-
> tepuk tangan (touch), bercanda dorong-dorong, duduk-duduk mepet-mepet
> dengan bukan pasangannya, berfoto bukan dengan pasangannya tapi
> mengganggap itu hal wajar karena pasangan berfoto saat itu adalah
> sahabat karibnya, dst. Belum lagi pergi makan bareng-bareng tanpa
> suami/istrinya.
>
> Gaya seperti ini mungkin aneh kalau aku perdebatkan. Karena
> kenyataannya banyak sekali yang seperti itu. Apa aku yang kuper ya?
> Atau memang itu wajar? Kalau begitu adanya maka gaya pergaulan di
> Indonesia tidak ada bedanya dengan di Jepang.
>
> Padahal negeri kita terkenal dengan adat ketimurannya. Plus, secara
> mayoritas dihuni oleh penduduk beragama Islam. Berjilbab pun ternyata
> tidak menghalangi para muslimah modern itu pergi karaoke bareng,
> bukan dengan pasangannya tapi dengan rekan lain jenis sekantornya.
>
> Aku teringat dengan air mata suamiku. Setelah menikah dan kembali
> hidup di Jepang (2005-sekarang), membuat mataku lebih melek bahwa
> pasutri itu harus benar-benar menjaga prilaku mereka dalam
> masyarakat.
>
> Suamiku pernah menangis sedih karena aku pernah memberi ijin seorang
> laki-laki muda ke apartemen kami, ketika suamiku sedang tidak di
> rumah. Ketika itu laki-laki yang adalah teman suamiku juga temanku,
> sedang hendak berkunjung ke rumah teman Indonesia lain. Nah rumah si
> orang yang akan dikunjungi itu letaknya ada di depan apartemen kami.
> Namun ternyata orang yang dikunjungi masih sedang ada di tempat lain.
> Padahal mereka keliatannya sudah berjanji untuk bertemu.
>
> Laki-laki muda yang sedang berkunjung itu membunyikan bel rumahku.
> Dan menceritakan kondisinya. Saat itu aku yang hamil delapan bulan
> sedang membuat kue pesanan. Awalnya tidak terfikir olehku untuk
> menyuruhnya masuk, karena tidak ada urusan denganku. Tapi dia
> bercerita sedang kesulitan dalam bahasa Jepang, dan ada tugas khusus
> yang harus dikerjakannya. Entah mengapa aku menawarkan jasa untuk
> membantunya. Akhirnya aku tawarkan masuk ke dalam rumah. Kebetulan
> dia juga bercerita bahwa tetangga kami yang akan dikunjunginya itu
> baru lima menit lagi sampai di rumahnya. Ya sudahlah, hitung-hitung
> membantu orang yang kesulitan, begitu pikirku.
>
> Ternyata tindakanku ini tidaklah baik dan salah dimata suamiku.
> Padahal aku tidak merasa ada yang salah dengan tindakannya. Karena
> laki-laki tadi teman kami, lagipula sedang kesulitan. Tapi bukan itu
> esensinya.
>
> Menurut suamiku, wanita yang sudah menikah tidak boleh mengijinkan
> laki-laki lain masuk ke rumahnya. Walaupun laki-laki dalam kondisi
> seperti si teman kami tadi. Toh, si teman bisa saja pergi ke tempat
> lain sambil menunggu orang yang berjanji dengannya. Mengenai bahasa
> Jepang, itu kan secara kebetulan saja dia bercerita dan membuatku
> kasihan untuk membantunya. Padahal itu kan bukan hal yang luar biasa
> harus dibantu atau bukan dalam kondisi kritis. Lagipula jika ada
> setan lewat maka akan jadi gosip murahan. Wah, istrinya Pak Diky (aku
> maksudnya) keliatan berdua di rumahnya dengan pria lain.
>
> Aku bertindak seperti itu karena aku rasanya sering banget melihat
> ibuku or ibu-ibu tetangga mengijinkan tamu laki-laki yang datang
> tanpa perjanjian sebelumnya, padahal ayahku/kepala rtnya sedang tidak
> di rumah saat itu. Misalnya, Pak RT yang tiba-tiba datang padahal
> ayahku sedang pergi membeli bensin mobil. Atau, ada sales promotion
> boy yang maksa presentasi di dalam rumah padahal ayahku sedang pergi
> beli sesuatu. Dan contoh sejenis. Kadang, jika ada atasan (pria
> tentunya) ibuku datang berkunjung mau tidak mau diijinkan masuk,
> meskipun terkadang ayah sedang tidak ada di rumah. Hmm...apalagi ya?
> Misalnya ada tetangga yang lagi iseng jalan-jalan sore tiba-tiba udah
> nongkrong di teras rumahku, padahal ayahku sedang (lagi-lagi) tidak
> ada di rumah.
>
> Di lain waktu, ada seorang WNI muda yang baru datang ke Sapporo untuk
> kuliah. Keetulan dia satu suku denganku yakni Minangkabau. Suatu kali
> dia berjanji dengan suamiku untuk main ke rumah. Entah bagaimana
> ceritanya, tetapi dia datang lebih awal dari suamiku. Tentu saja aku
> tolak untuk menerimanya masuk. Suamiku mengajarinya untuk mengenal
> adab masuk rumah pasutri dari sudut pandang Islam. Tapi dia malah
> bingung dan berkata, " kayaknya di Indonesia secara umum nggak saklek
> gini deh."
>
> Lalu bagaimana dengan wanita tanpa suami? Bagaimana adab yang baik
> jika menerima tamu laki-laki di rumahnya.
>
> Nah, contoh seperti itu membuatku benar-benar berfikir ulang serius
> tentang adab pergaulan pasutri di tanah air.
>
> Menurut teman-teman bagaimana batas pergaulan pasutri yang sebenar-
> benarnya. Apakah teman-teman pula pengalaman yang sama denganku?
>
>
>

--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam.multiply.com
5.

(Inspirasi) Menghadapi Masalah

Posted by: "teha" teha.sugiyo@toserbayogya.com

Mon Mar 2, 2009 2:09 am (PST)

/Inspirasi/

*MENGHADAPI MASALAH*

"Masalah ada di mana-mana, hanya ketekunanlah kunci untuk
mengatasinya". Itu kata Robert H. Schuller, dalam bukunya dengan judul
sama.
Masalah adalah kesenjangan antara yang diharapkan dengan yang
terjadi. Ada orang yang mengatakan bahwa masalah adalah /gap /antara
apa yang /seharusnya/ dan apa yang /senyatanya./ Dalam proses organisasi
hal seperti itu tidaklah aneh. Bahkan tindakan antisipasinya telah
disiapkan.
Tidak dapat disangkal, setiap kali berhadapan dengan masalah, sadar
atau tidak kita akan mengambil salah satu dari 4 sikap berikut ini:
1. *Melarikan diri dari masalah*. Ini jelas sikap pengecut, pecundang,
karena melakukan upaya pelarian dari masalah, padahal masalah tetap akan
mengikutinya.
2. *Melupakan masalah yang ada.* Ini pun jelas tidak baik, sebab akan
membuat masalah semakin meluas di luar kendali dan berpotensi menjadi
lebih buruk.
3. *Melawan masalah*. Indikasinya adalah menolak masalah dianggap
sebagai masalah, dan memilih sikap tidak peduli. Sikap seperti ini malah
menimbulkan masalah baru, sementara masalah sebelumnya tidak teratasi.
4.* Menghadapi masalah*. Pengalaman membuktikan bahwa inilah sikap
paling bijak. Bukan saja realistis, melainkan juga membuat kita lebih
terbiasa dan terlatih menyelesaikan masalah.
Perlu kita ingat, bahwa sesungguhnya masalah adalah kesempatan
potensial bagi kita untuk mengekspresikan potensi diri sebagai
profesional yang kompeten. Sayangnya, tidak semua orang dapat berpikir
begitu. Masih ada saja yang memiliki pandangan keliru, ditandai dengan
pendapat bahwa: masalah tidak akan terselesaikan, masalah sifatnya
permanen, tidak normal, membuat kita pahit, menguasai kita, dan kalau
dihadapi akan mematikan karir. Padahal sesungguhnya masalah adalah hal
yang dapat diselesaikan, hal yang lumrah dan normal dalam kehidupan, dan
kalau diatasi justru akan membuat kita menjadi lebih baik.
Ya, masalah memang harus dihadapi, diatasi, diselesaikan, sepedih
atau sesakit apa pun. Mungkin kita akan merasa babak belur, sakit hati,
terbanting atau berkeping-keping. Yang jelas, sesudahnya kita dapat
membangun kembali keping-keping tersebut dengan suasana hati yang baru.
Sahabat saya, Jeihan pernah mengatakan, "Kalau kamu kepedasan,
jangan minum es. Itu akan tambah lama rasa pedas itu bertahan di
mulutmu. Jadi, kalau kamu merasa kepedasan, minumlah air panas, seteguk,
dua teguk, beberapa teguk, awalnya memang merasa terbakar, namun rasa
pedas itu akan segera sirna". Masalah memang harus dihadapi, diatasi,
apa pun resikonya, bukan dibiarkan, didiamkan, dipeti-eskan.
Selanjutnya dalam hal pengambilan keputusan atas masalah, sebaiknya
kita pun paham bahwa salah satu penyebab sulitnya penyelesaian masalah,
karena kita terlalu dekat dengan masalah, sehingga kita tidak dapat
memahaminya secara objektif. Dengan mengambil jarak, kita akan memiliki
perspektif yang benar dan komprehensif terhadap masalah. Maka, sebaiknya
kita tidak pernah marah kalau pengambilan keputusan agak lama dari yang
kita harapkan, sebab proses ideal sedang berlangsung. Yaitu, pengambil
keputusan mengambil jarak agar keputusan lebih baik, lebih komprehensif
dan membawa dampak kebaikan. Bukan keputusan yang hanya baik dalam sesaat.
Jika masalah itu berada di dalam "kantong" kita, selama itu kita
tetap akan mendapatkan kesulitan mengatasinya, karena masalah itu
menyatu dengan diri kita. Jika kita berusaha "mengeluarkan masalah itu
dari kantong kita", nah kita akan tahu, bahwa sesungguhnya masalah itu
kecil atau besar.
Saya teringat dengan ucapan Paul Hana dalam bukunya /You Can Do
It!/, saat Daud menghadapi raksasa Goliath (Jaluth). Saudara-saudaranya
mengatakan, "Ia terlalu besar untuk /dihadapi/", namun Daud dengan
tegas mengatakan, "Tidak, ia terlalu besar untuk *diabaikan*!"
Yang juga perlu diingat, sesulit apa pun, serumit apa pun masalah
itu, pasti ada jalan keluarnya. Pasti ada cara untuk mengatasinya! Mari
kita cari jalan keluar itu, atau kalau tidak kita ketemukan, kita bikin
sendiri!
Selamat mengambil jarak untuk menghadapi atau mengatasi masalah!

live as if you were to die tomorrow
learn as if you were to live forever
(Mahatma Gandhi)

6.

[catcil] Anak perempuan satu-satunya

Posted by: "Ain Nisa" jurnalcahaya@yahoo.com   jurnalcahaya

Mon Mar 2, 2009 2:13 am (PST)

Anak Perempuan Satu-Satunya

Keluarga saya adalah keluarga caturwarga, satu ayah, satu ibu, kakak perempuan, dan adik laki-laki. Banyak orang yang tahu berujar iri, enak ya punya anak langsung diberi sepasang - mengingat beberapa pasangan terus menerus punya anak perempuan, lalu menunggu lama untuk punya anak laki-laki, ataupun sebaliknya.

Tidak ada satupun dari kami yang memungkiri nikmat itu. Sisi positif keluarga kecil adalah, segalanya lebih sederhana, terutama untuk orang tua. Ibu saya tak perlu memasak dalam jumlah banyak. Beliau masih bisa bekerja, bergaul dengan teman-temannya, dan perabotan tetap bersih. Bapak saya pun tak perlu bekerja terlalu ngotot (jika dilihat dari sisi kebutuhan ekonomi keluarga, nyatanya, dia memang pekerja keras). Ketika pindah rumah, yang kami cari justru rumah kecil agar tidak membuat suasana menjadi terlalu lengang.

Dari segi psikologis, atensi ke saya dan adik juga tercukupi. Tidak ada salah satu yang kurang diperhatikan. Terlepas segala sisi positifnya, ada satu catatan yang patut menjadi pertimbangan setiap keluarga kecil: Konsekuensi dari minimnya jumlah, adalah pilihan yang terbatas. Hal itu berarti, segala ekspektasi orang tua tentang anak perempuan, diberikan kepada saya. Dan untuk anak lelaki, dilekatkan pada adik saya.

***

Ekspektasi tersebut menyangkut pernikahan. Sebagaimana lazimnya budaya di Indonesia, Pernikahan anak perempuan selalu menjadi event besar karena pihak perempuan akan 'melepas' anaknya di bawah tanggung jawab suaminya. Dalam banyak hal, sang anak wajib memprioritaskan keinginan suami. Dari segi teknis, pesta menjadi besar karena pihak pelaksana adalah keluarga perempuan dan membutuhkan persiapan khusus.

Keluarga kecil saya adalah bagian dari mayoritas. Sewaktu pertama kali mengajukan proposal nikah di awal 2007, Bapak langsung menolak. Alasan utama adalah orang tua belum ada persiapan, mental ataupun dana. Melihat kekecewaan di mata saya, Ibu mencoba memberi alasan, "Kamu anak perempuan satu-satunya, Bapak Ibu ingin melepas kamu dengan terhormat." Banyak orang kemudian memafhumi alasan Bapak-Ibu, seperti, "Apalagi kamu anak pertama, perempuan satu-satunya
lagi."

Seperti "janji" nya, sehabis mereka menyetujui khitbah suami saya di pertengahan 2008, persiapan serius pun dimulai. Ibu yang tadinya bekerja sukarela pensiun dini dari kantor demi mengurus pernikahan. Bapak, menghabiskan waktu pulang kerjanya dengan begadang mengatur A to Z pernikahan layaknya event organizer handal. Saya sempat tercengang melihat berlembar-lembar detil perhitungan biaya katering di komputernya, yang bersebelahan dengan rumus khusus untuk jumlah undangan. Semua ini sangat berbeda dengan saya, sang pengantin sendiri, yang deg-degan pun tidak.

***

Tanpa melepas diri dari rasa syukur atas pernikahan yang begitu indah, tak dapat dipungkiri dalam prosesnya, hati saya bertanya-tanya
"Tidakkah semua ini terlampau mewah?"
"Tidakkah pesta ini bisa lebih sederhana?"
"Tidakkah seharusnya biaya ini bisa untuk memberi makan fakir miskin?"
pertanyaan yang menyusul kemudian, menantang balik,
"Apakah saya bersikap terlalu sinis?"
"Apakah saya malah mengeluhkan nikmat yang diberikan?"
"Apakah saya kurang bersyukur?"

pertanyaan yang menghantui saya siang dan malam...

***

Sebelum menikah, saya dan suami percaya, bahwa awal pernikahan harus dijalani berdua saja. Karena di momen-momen penting itu, kami akan menata diri sebagai suami-istri. Menyiapkan rumah sebagai lahan keluarga. Tidak perduli jika harus mengontrak rumah kecil atau kos. Maka sehabis menikah, saya dan suami langsung pindah ke sebuah perumahan di Cibubur. Kami menata segalanya dari awal. Membersihkan rumah berdua. Ia mencuci piring, saya masak. Ia menyapu, saya menata dapur. Orang tua saya sepertinya cukup kaget karena biasanya pengantin baru tinggal di rumah pihak perempuan selama beberapa lama, tapi kami tidak.

Walaupun anak perempuannya sudah tidak ada, orang tua tidak berhenti khawatir mengenai segala aspek kehidupan kami. Ibu menelepon hampir 7 kali setiap hari, untuk berpesan resep makanan sampai wanti-wanti untuk mandi air hangat di malam hari. Pembicaraan di telepon biasanya akan diakhiri pertanyaan, "Kapan kamu pulang?"

Seperti di satu hari sepulang dari dinas di Pekanbaru, saya meng-sms Bapak untuk bilang saya sudah sampai di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Bapak otomatis menjawab: pulang saja ke Bintaro. Saya menolak, karena mau pulang ke Cibubur dan masak untuk suami.

Jawabannya adalah hening.

Esoknya, giliran Ibu saya yang bertanya kapan saya mau pulang. TIba-tiba ia bercerita tentang Bapak. Katanya, setelah menerima sms balasan dari saya kemarin, Bapak berkata pada Ibu:
"Bapak lupa ya bu, Ain udah jadi milik orang. Bapak masih mikir Ain itu anak perempuan kita saja. Jadi otomatis langsung Bapak suruh pulang ke Bintaro."
Saya terhenyak.
Padahal Ibu saya menceritakannya dengan jenaka.
Tapi saya tak bisa menghentikan tetesan air mata yang mengalir sesudahnya.

***

Di akhir sholat hari itu, saya bersimpuh kepada Allah SWT. Memohon ampun dan menyesali sedalam-dalamnya kesinisan - sedikit apapun - yang pernah saya pikirkan ketika proses pernikahan berlangsung.

Sebagai anak, saya tak memahami arti menjadi orang tua. Menjadi ayah. Menjadi Ibu. Terlebih lagi, saya tak memahami arti menikahkan anak perempuan satu-satunya, yang berarti melepasnya kepada seorang pria asing, yang akan bertanggung jawab untuk dunia dan akhiratnya. Karenanya, ia ingin melepasnya dengan perayaan yang terhormat, indah, dan pantas untuk dikenang. Sesuai dengan standar dan kemampuannya.

Sebab setelahnya, ia tak akan memiliki sepenuhnya lagi. Kepatuhan bukanlah sepenuhnya untuk dirinya semata. Bahkan ia tak akan bisa bertemu setiap hari dan berbicara setiap saat.

Di akhir shalat hari itu, saya belajar untuk paham, bahwa mungkin yang dilakukannya bukanlah pernikahan ideal. Yang mereka inginkan mungkin tidaklah seluruhnya benar. Namun yang mereka inginkan juga bukanlah dosa besar dan melampaui batas-batas kemampuan. Maka demi segala sesuatu yang sudah mereka berikan dan demi apapun yang kini mereka rasakan, sepertinya saya telah menawarkan tenggang rasa yang terlalu kerdil. Sudah sepantasnya saya menerima sepenuhnya. Bersyukur karenanya. Semata-mata karena saya adalah anak perempuan mereka satu-satunya.

Recent Activity
Visit Your Group
Share Photos

Put your favorite

photos and

more online.

Y! Messenger

Want a quick chat?

Chat over IM with

group members.

Support Group

Lose lbs together

Share your weight-

loss successes.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: