Senin, 22 Maret 2010

[daarut-tauhiid] Nyanyian, antara yang diperbolehkan dan yang terlarang

 

Bismillahirrahmanirrahim

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Hudzaifi yg diambil dari kitab Ensiklopedi
Fiqih Kuwait/ Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 4/90-94.
Terbitan Departemen Urusan Agama dan Waqaf, Kuwait). Teks arabnya bisa
dilihat di
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/195/HUKUM_SEPUTAR_NYANYIAN

Mendengarkan Nyanyian

Menurut mayoritas fuqaha (ahli fiqih/juris) mendengarkan
nyanyian adalah HARAM, yakni JIKA:

1. Jika dibarengi dengan hal yang munkar

2. Jika ditakuti mengantarkan kepada fitnah seperti terperangkap
oleh wanita, atau remaja yang masih sangat muda, atau bangkitnya syahwat
yang mengantarkannya pada zina

3. Jika membuat pendengarnya meninggalkan kewajiban agama seperti
shalat, dan meninggalkan kewajiban dunia yang harus dilakukannya, ada
pun jika sampai meninggalkan perbuatan sunah maka itu makruh, seperti
meninggalkan shalat malam, doa di waktu sahur, dan semisalnya. (Ihya
`Ulumuddin, 2/269. Sunan Al Baihaqi, 5/69, 97. Asna Al Mathalib,
4/44, terbitan Al Maktabah Al Islamiyah. Hasyiah Al Jumal, 5/380,
terbitan Dar Ihya At Turats. Hasyiah Ibnu `Abidin, 4/384 dan 5/22,
Hasyiah Ad Dasuqi, 4/166. Al Mughni, 9/175, Al Manar Ats Tsalitsah.
`Umdatul Qari, 6/271, terbitan Al Muniriyah)

Nyanyian Untuk Menghibur Jiwa

Ada pun jika nyanyian dimaksudkan untuk mengistirahatkan
jiwa yang bersih dari pengertian nyanyian sebelumnya, maka telah terjadi
perselisihan atas hal itu. Segolongan ulama ada yang melarangnya dan
yang lain membolehkannya.

Abdullah bin Mas'ud Radhiallahu `Anhu
berpendapat hal itu haram, pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama
Iraq, diantaranya Ibrahim An Nakha'i, `Amir Asy Sya'bi,
Hammad bin Abi Sulaiman, Sufyan Ats Tsauri, Al Hasan Al Bashri, lalu
kalangan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah. (Sunan Al Baihaqi, 10/223. Al
Mughni, 9/175. Al Muhalla, 9/59, terbitan Al Muniriyah. `Umdatul
Qari, 6/271 . Mushannaf Abdurrazzaq, 11/4, 6, terbitan Al Maktab Al
Islami. Ihya `Ulumuddin, 2/269, terbitan Mathba'ah Al Istiqamah.
Fathul Qadir, 6/35. Bada'i Ash Shana'i, 6/2972)

Mereka yang mengharamkan berdalil dengan firman Allah
Ta'ala: "Diantara manusia ada yang membeli lahwal hadits
(perkataan yang tidak berguna) untuk menyesatkan manusia dari jalan
Allah." Berkata Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud: "Lahwul Hadits
adalah nyanyian."

Juga dengan hadits dari Abu Umamah Radhiallahu
`Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam melarang
menjual para budak wanita penyanyi (Al Mughanniyat), melarang
membelinya, melarang mempekerjakannya, dan memakan harga penjualannya.
(HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi dan ini menurut lafaz At
Tirmidzi dari Abu Umamah Radhiallahu `Anhu, At Tirmidzi mengatakan:
Kami mengetahui hadits ini hanya dari jalur ini. Sebagian ulama
membincangkan Ali bin Yazid, dan mendhaifkannya, dia orang Syam. Al
Bukhari mengatakan: munkarul hadits. An Nasa'i mengatakan: Laisa bi
tsiqah (tidak bisa dipercaya). Abu Zur'ah mengatakan: Laisa biqawwi
(tidak kuat). Ad Daruquthni mengatakan: matruk (ditinggalkan). Lihat
Sunan Ibnu Majah dengan tahqiq Fuad Abdul Baqi, 2/733, terbitan Isa Al
Halabi. Dan Tuhfah Al Ahwadzi, 4/502-504, terbitan Maktabah As
Salafiyah)

Hadits lainnya dari `Uqbah bin `Amir, bahwa Nabi
Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: "Segala hiburan yang
dimainkan oleh seseorang adalah batil, kecuali melatih kuda, memanah,
dan bergurau dengan istrinya." (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, An
Nasa'i, dan Al Hakim dari `Uqbah bin `Amir secara
marfu', dan lafaz Abu Daud: "Bukanlah termasuk hiburan (yakni
boleh) melainkan pada tiga hal; seseorang yang melatih kudanya,
bergurau dengan isteri, dan lempran panahnya …" At Tirmidzi
mengatakan: hadits ini hasan. Perkataan yang terdapat di dalam tanda
kurung merupakan perkataan si pensyarah hadits. Dan dalam bab ini, juga
ada dari Ka'ab bin Murrah, `Amru bin `Abasah, dan Abdullah
bin `Amru. Al Hakim mengatakan: sanadnya shahih, tetapi
Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya, dan disepakati Adz Dzahabi. Tuhfah
Al Ahwadzi, 5/365-367, Al Maktabah As Salafiyah. Mukhtashar Abi Daud
oleh Al Mundziri, 3/370, Darul Ma'rifah. Jami' Al Ushul,
5/41-42, Maktabah Al Hulwani, 1390H. Al Mustadrak, 2/95, Darul Kutub Al
`Arabi)

Ada pun pendapat Syafi'iyah, Malikiyah, dan sebagian
Hanabilah, bahwa hal itu (nyanyian untuk menghibur jiwa) adalah makruh.
Jika mendengarkannya dari wanita ajnabiyah (bukan mahram) maka lebih
makruh lagi. Kalangan Malikiyah menerangkan sebab kemakruhannya, karena
mendengarkan nyanyian menghilangkan muru'ah (citra diri yang
baik/wibawa). Sedangkan Syafi'iyah mengatakan; " Di dalamnya
terdapat hal yang melalaikan." Sedangkan Imam Ahmad menjelaskan
sebabnya: "Aku tidak menyukai nyanyian , karena nyanyian dapat
menumbuhkan nifaq di hati." (Hasyiah Ad Dasuqi, 4/166. Al Mughni,
9/175. Asna Al Mathalib, 4/344)

Sedangkan pendapat Abdullah bin Ja'far, Abdullah bin
Az Zubair, Al Mughirah bin Syu'bah, Usamah bin Zaid, `Imran bin
Hushain, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dan selain mereka dari kalangan
sahabat nabi, dan `Atha bin Abi Rabah (seorang tabi'in, pen),
dan dari kalangan Hanabilah seperti Abu Bakar Al Khalal, dan sahabatnya
Abu Bakar Abdil Aziz, dan Al Ghazali dari kalangan syafi'iyah,
menyatakan hal itu boleh. (Al Mughni, 9/175. Mushannaf Abdurrazzaq,
11/5. Ihya `Ulumuddin, 2/269)

Dalil mereka yang membolehkan adalah dengan nash dan
qiyas.

Dalil dari nash, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al
Bukhari dan Muslim, dari `Aisyah Radhiallahu `Anha, katanya:
Masuk ke ruanganku Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam, dan
saya memiliki dua orang jariyah (budak wanita yang masih remaja) yang
sedang bernyanyi dengan lagu Bu'ats, lalu dia berbaring di atas
hamparan dan memalingkan wajahnya. Lalu datanglah Abu Bakar dan
membentak saya, dan berkata: "Seruling syetan ada di sisi Rasulullah
Shallallahu `Alaihi wa Sallam, lalu Rasulullah menoleh dan bersabda:
"Biarkan mereka berdua." Maka ketika dia lengah, aku memberikan
isyarat kepada keduanya, lalu mereka berdua keluar. (Fathul Bari, 2/440,
terbitan As Salafiyah. Shahih Muslim dengan tahqiq Fuad Abdul Baqi,
2/607. Terbitan `Isa Al Halabi)

Umar bin Al Khathab mengatakan: "Nyanyian merupakan
perbekalan bagi musafir." (Atsar dari Umar bin Al Khathab ini
diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunanul Kubra, 5/68. Terbitan Majelis
Da'iratul Ma'arif , India. 1352H)

Al Baihaqi meriwayatkan dalam Sunannya: "Bahwa Umar
bin Al Khathab mendengarkan nyanyian Khawwat. Ketika masuk waktu sahur
(waktu untuk berdzikir dan doa, pen) beliau berkata kepadanya:
"Wahai Khawwat, hentikan lisanmu sekarang kita sudah masuk waktu
sahur (yakni untuk berdzikir, pen)." (Atsar diriwayatkan oleh Al
Baihaqi, dari Khawwat bin Jubeir dengan lafaz: Kami keluar bersama Umar
bin Al Khathab, dan dia berkata: kami melakukan perjalanan dengan
menaiki tunggangan, di antara mereka ada Abu Ubaidah bin Al Jarah dan
Abdurrahman bin `Auf Radhiallahu `Anhuma. Lalu Khawwat berkata;
Berkatalah segolongan kaum; "Bernyanyilah untuk kami wahai
Khawwat," maka kami bernyanyi untuk mereka. Mereka mengatakan:
"Bernyanyilah kepada kami dengan syair Dhirar." Lalu Umar
berkata: "Biarkanlah dia bernyanyi sesuai dengan perasaannya."
Khawwat berkata: "Maka saya terus bernyanyi untuk mereka sampai
datang waktu sahur . lalu Umar berkata: "Wahai Khawwat, hentikan
lisanmu sekarang kita sudah masuk waktu sahur." Ibnu Hajar telah
menyebutkan penguatan terhadap riwayat ini dari Ibnu As Siraj, dan dia
tidak memberikan komentar. Sunanul Kubra, 5/69. Al Ishabah, 1/457)

Sedangkan qiyasnya adalah bahwasanya nyanyian yang
tidak dibarengi dengan hal yang diharamkan, di dalamnya terdapat
pendengaran terhadap suara indah yang disyairkan. Dan mendengarkan
suara yang indah, dari sisi memang itu indah, maka itu tidaklah
diharamkan. Sebab, hal itu kembali kepada berlezat-lezat melalui indera
pendengaran terhadap apa-apa yang menjadi kekhususan baginya, sama
halnya dengan kelezatan yang dirasakan indera lain terhadap apa yang
disediakan untuknya.

Ada pun suara al mauzun (yang sya'irkan), bukanlah
suara yang diharamkan. Tidaklah anda melihat suara indah yang disyairkan
yang berasal dari tenggorokan burung bulbul, tentu mendengarkannya tidak
haram. Demikian pula suara manusia, karena tidak ada bedanya antara
tenggorokan dengan tenggorokan. Termasuk yang difahami dari suara indah
yang syairkan adalah tidaklah kebolehan itu bertambah kecuali dengan
adanya penekanan.

Sedangkan nyanyian yang menggerakan hati dan melahirkan
belas kasih, maka sesungguhnya jika belas kasih itu termasuk belas
kasih yang mulia, justru dituntut untuk melahirkannya. Telah terjadi
pada diri Umar bin Al Khathab Radhiallahu `Anhu bahwa dalam
perjalanan hajinya dia mendengarkan nyanyian –sebagaimana
disebutkan sebelumnya- dan para sahabat menyenandungkan nasyid rajaz
untuk memberikan kesan kepada pasukan ketika berjumpa, dan tidak satu
pun mereka menganggap yang demikian itu sebagai aib. Dan, syair
rajaz-nya Abdullah bin Rawahah sangat masyhur. (Ihya `Ulumuddin,
2/270)

Nyanyian Untuk Perkara Yang Mubah

Jika nyanyian disenandungkan untuk perkara yang mubah
seperti dalam pesta pernikahan, hari raya, khitan, kedatangan orang
jauh, menambah kebahagiaan yang dibolehkan, ketika mengkhatamkan Al
Quran untuk menguatkan rasa bahagia dengan hal itu, ketika perjalanan
para mujahidin menuju peperangan jika hal itu mampu menyemangati jiwa
mereka, atau bagi jamaah haji agar lahir kesan dalam jiwa mereka rasa
rindu terhadap ka'bah al musyarrafah, atau nyanyian untuk unta
sebagai penyemangat baginya dalam perjalanan –yaitu nyanyian Al
Hida- atau untuk menggiatkan bekerja seperti nyanyian para pekerja
ketika beraktifitas atau mengangkat beban berat, atau nyanyian untuk
mendiamkan anak-anak dan menidurkannya seperti nyanyian seorang ibu
untuk anak-anaknya, ini semua MUBAH sama sekali tidak dibenci menurut
pandangan jumhur ulama. (Ihya `Ulumuddin, 2/276-277. Hasyiah Al
Jumal, 5/380-381. Asna Al Mathalib, 4/344. Qalyubi, 4/220. Al Mughni,
9/176. Hasyiah Ad Dasuqi, 4/166. At Taj wal Iklil Limukhtashar Khalil
dengan Hamisy (catatan pinggir) Mawahib Al Jalil, 4/4, Cet. 2. 1399H.
Hasyiah Ibnu `Abidin, 5/222. Hasyiah Abis Sa'ud `Ala
Malamiskin, 3/389)

Mereka berdalil dari hadits yang diriwayatkan oleh
`Aisyah Radhiallahu `Anha sebelumnya, tentang dua orang jariyah
yang bernyanyi, ini merupakan nash kebolehan bernyanyi pada hari raya.

Hadits dari Buraidah: Rasulullah Shallallahu `Alaihi
wa Sallam keluar pada sebagian peperangan yang diikutinya. Ketika beliau
pulang, datanglah seorang jariyah berkulit hitam. Dia berkata:
"Wahai Rasulullah, saya telah bernazar, jika Allah memulangkan
Engkau dengan selamat saya bernazar akan memukul gendang dan bernyanyi
di depanmu." Maka Rasulullah Shalallahu `Alaihi wa Sallam
bersabda: "Jika kau sudah bernazar maka pukul-lah (gendang), jika
tidak bernazar, tidak usah." (HR. At Tirmidzi, katanya; hasan shahih
gharib. Al Mubarakfuri mengatakan; hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad,
dan Al Hafizh (Ibnu Hajar) menyebutkan hadits Buraidah ini dalam Fathul
Bari, dan dia mendiamkannya. Lihat Tuhfah Al Ahwadzi ,10/179, Al
Maktabah As Salafiyah. Jami' Al ushul, 8/617, Maktabah Al Hulwani)

Hadits ini menunjukkan kebolehan bernyanyi ketika
kedatangan orang yang bepergian jauh demi menambah kebahagiaan.
Seandainya nyanyian diharamkan, tidaklah boleh bernazar dengannya, dan
tentunya tidaklah Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam
membolehkan melakukannya.

Mereka juga berdalil dengan hadits dari `Aisyah
Radhiallahu `Anha, bahwa dia menikahkan kerabatnya dari kalangan
Anshar, lalu Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam datang
mengunjunginya dan berkata: "Apakah kau menghadiahinya sesuatu?"
`Aisyah menjawab: "Ya." Nabi bertanya: "Apakah kau
sudah mengutus untuknya seorang untuk bernyanyi?" `Aisyah
menjawab: "Tidak." Nabi bersabda: "Sesungguhnya orang Anshar
adalah kaum suka dengan hiburan, alangkah baiknya kau kirim seseorang
yang menyenandungkan;

Kami datang kami datang kepadamu, maka sambutlah kami
dan kami akan sambut kalian? (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dengan
lafaz seperti ini. Al Hafizh Al Bushiri mengatakan dalam Az Zawaid:
isnadnya diperselisihkan lantaran Al Ajlah dan Abu Az Zubair. Mereka
mengatakan: dia tidak mendengar dari Ibnu Abbas. Al Bukhari meriwayatkan
dari `Aisyah dengan lafaz: bahwa dia mempersembahkan seorang wanita
untuk dinilahkan dengan seorang laki-laki Anshar. Lalu Nabi bersabda:
"Wahai `Aisyah, apakah kamu punya sesuatu untuk hiburan? Karena
orang Asnhar itu senang hiburan. " Lihat Sunan Ibnu Majah dengan
tahqiq Fuad Abdul Baqi, 1/612, terbitan `Isa Al halabi. Fathul Bari,
9/225, terbitan As Salafiyah)

Nash ini menunjukkan kebolehan nyanyian ketika pesta
pernikahan.

Hadits lain dari `Aisyah Radhiallahu `Anha,
katanya: Saya dalam perjalanan bersama Rasulullah Shallallahu
`Alaihi wa Sallam, adalah Abdullah bin Rawahah orang yang bagus
melantunkan Al Hida', dia bersama kaum laki-laki sedangkan Anjasyah
bersama kaum wanita. Lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata
kepada Ibnu Rawahah: "Buatlah agar kaum itu bergerak
(berangkat)." Maka Ibnu Rawahah berjalan dengan cepat sambil
menyenandungkan syair rajaz, dan Anjasyah pun mengikutinya bersenandung
dan mengendalikan untanya dengan keras. Maka Nabi Shallallahu
`Alaihi wa Sallam berkata kepada Anjasyah: "Pelan-pelan saja,
lembutlah terhadap al qawarir (kaum wanita)." (HR. Bukhari dan
Muslim, dari hadits Anas bin Malik. Sedangkan lafaz dalam Shahih Muslim:
Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam berada dalam sebagian
perjalannya, dia bersama seorang anak berkulit hitam yang dipanggil:
Anjasyah si penggiring. Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam
berkata kepadanya: "Wahai Anjasyah, kau pelan-pelan saja dalam
menggiring kaum wanita." Lihat Fathul Bari, 10/538. Terbitan As
Salafiyah. Shahih Muslim dengan tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, 4/811,
terbitan `Isa Al Halabi, 1375H. Jami' Al Ushul, 5/171-172,
terbitan Maktabah Al Hulwani, 1390H)

Dari Saib bin Yazid Radhilallahu `Anhu, dia berkata;
Kami dalam perjalanan haji bersama Abdurrahman bin `Auf, dan kami
bermaksud menuju Mekkah, Abdurrahman memisahkan diri dari jalan,
kemudian dia berkata kepada Ribah bin Al Mughtarif: "Bernyanyialh
untuk kami wahai Abu Hassan –dia adalah seorang yang bagus nashabnya
(nashab adalah termasuk jenis nyanyian)- maka ketika dia bernyanyi, Umar
menemui mereka dan menentang lagu itu dan bertanya: "Apa ini?"
Abdurrahman berkata: "Apa ada masalah dengan ini? Kita berhibur dan
bernyanyi untuk mempersingkat perjalanan." Umar berkata; "Kalau
kau mau, nyanyikan saja syairnya Dhirar bin Al Khathab bin Mirdas, orang
Parsinya Quraisy. " (HR. Al Baihqi, Ibnu Hajar menyebutkannya dalam
Al Ishabah. Lihat Sunan Al Baihaqi, 10/224, terbitan Majlis Dairatul
Ma'arif, India, 1355H. Al Ishabah fi Tamyizis Shahabah, 1/502)

Umar pernah mengatakan nyanyian adalh perbekalannya
musafir. (Sunan Al Baihaqi, 5/68. Al Mughni, 1/179) Dan ini menunjukkan
kebolehan nyanyian untuk menghibur jiwa.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Umar bin Al Khathab
memerintahkan untuk melantunkan Al Hida'. (Mushnnaf Ibnu Abi Syibah,
1/177, dengan khat Istambul)

(selesai dari Kitab Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah)

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: