Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu was Salamu 'Ala rasulillah wa 'Ala Aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba'd:
Shalat
ghaib adalah masyru' (disyariatkan). Tetapi kepada siapa
dilaksanakannya? Apakah kepada setiap mayit muslim? ataukah bagi yang
bertinggal di daerah yang memang tidak ada yang menshalatkannya. Lalu,
jika sudah ada yang menshalatkannya maka kewajiban menshalatkannya
adalah gugur, baik shalat jenazah atau shalat ghaib. Ataukah khusus bagi
tokoh-tokoh tapi tidak bagi manusia biasa? Bagaimanakah ini?
Imam Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ
فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى
فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ
Dari
Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam berkabung atas Najasyi ketika hari wafatnya, dan Beliau keluar
menuju lapangan bersama mereka (para sahabat) lalu membuat barisan dan
bertakbir empat kali. (HR. Bukhari No. 1333)
Kisah
ini menunjukkan bahwa shalat ghaib telah dilakukan oleh Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, kepada seorang muslim (Najasyi), dan dia
seorang raja yang menyembunyikan keislamannya, yang tinggal di negeri
kafir. Artinya tidak ada yang menshalatkannya di negerinya sendiri.
Itulah sebabnya Beliau dishalatkan secara ghaib oleh Nabi Shallallahu
'Alaihi wa Sallam, dan ini adalah shalat ghaib yang pertama dilakukan
oleh nabi sekaligus yang terakhir. Oleh karena itu, sebagian ulama
berpendapat bahwa shalat ghaib adalah khusus Najasyi, atau ada juga yang
mengatakan boleh juga bagi yang memiliki kasus seperti Najasyi; tinggal
di negeri kafir dan tidak ada yang menshalatkannya. Ada juga yang
mengatakan bahwa itu khusus bagi raja, ulama, dan tokoh sebagaimana
Najasyi, bukan untuk rakyat kebanyakan.
Berkata Al Ustadz Dr. Su'ud Abdullah Al Funaisan:
فالحنفية
والمالكية لا يجوزون الصلاة على الميت الغائب وهي رواية في مذهب أحمد.
ووجه ذلك عندهم أنه لم ينقل عن الرسول صلى الله عليه وسلم أنه صلى صلاة
الغائب على غير النجاشي ، ويرون أن صلاة الغائب خاصة به، وقالوا أيضا أنه
مات كثير من الصحابة خارج المدينة ولم ينقل أن الرسول - صلى الله عليه وسلم
- صلى عليهم أو أمر بذلك.
وذهبت
الشافعية والحنابلة إلى مشروعية الصلاة على الميت الغائب وتمسكوا بصلاة
الرسول - صلى الله عليه وسلم - وصحابته على النجاشي عند موته ولا يرون
خصوصيتها به لعدم النص على ذلك، وقالوا : الأصل في الأحكام العموم وعدم
الخصوصية.
والذي
يظهر لي - والله أعلم - بعد النظر والتأمل في النصوص: أن صلاة الغائب
جائزة إذا كان المتوفى له شأن بين المسلمين في الصلاح والعلم أو الدعوة إلى
الله، أو كان زعيما وأميراً - كما هي الحال في النجاشي - رحمه الله - .
أما إذا كان الميت من آحاد الناس وعامتهم فلا تشرع صلاة الغائب عليه حينئذ .
Kalangan
Hanafiyah dan Malikiyah berpandangan tidak bolehnya shalat kepada mayit
yang ghaib, dan ini juga satu riwayat dari pendapat Ahmad. Alasan
mereka adalah karena tidak pernah diriwayatkan dari Rasul Shallallahu
'Alaihi wa Sallam melakukan shalat ghaib kepada selain Najasyi, mereka
berpendapat bahwa shalat ghaib adalah khusus bagi Najasyi. Mereka juga
mengatakan, bahwa para sahabat banyak yang wafat di luar Madinah, tetapi
tidak ada riwayat yang menyebut bahwa Beliau melakukan shalat ghaib
atau memerintahkan hal itu.
Kalangan
Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat disyariatkannya shalat ghaib,
berdasarkan riwayat shalatnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bersama sahabatnya untuk Najasyi ketika hari wafatnya. Mereka tidak
menilai bahwa ini khusus bagi dia saja, sebab tidak ada dalil yang
menunjukkan kekhususan itu. Mereka mengatakan: asal dari hukum adalah
keumumannya, tidak secara khusus.
Ada
pun yang benar menurutku adalah –wallahu a'lam- setelah memperhatikan
dan melihat nash-nash yang ada; shalat ghiab adalah boleh jika yan
wafat itu tinggal bersama kaum muslimin dalam keadaan baik, berilmu, dan
penyeru dakwah ilallah, atau dia seorang pemimpin dan penguasa,
sebagaimana begitulah keadaan Najasyi Rahimahullah.
Sedangkan jika yang wafat adalah salah satu dari manusia dan rakyat kebanyakan, maka saat itu tidak disyariatkan shalat ghaib. (Al Khulashah, 2/223)
Disebutkan dalam Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid juga:
فإن
الصلاة على الغائب (أي: المسلم الذي مات في بلد آخر) جائزة، فقد روى
الشيخان صلاة النبي صلى الله عليه وسلم والصحابة معه على النجاشي لما مات
في الحبشة.
وتصلى صلاة الغائب على كل مَن تُصلى عليه صلاة الجنازة، وهو: كل مسلم مات: ذكراً كان أم أنثى، صغيراً كان أم كبيراً، باتفاق الفقهاء.
Sesungguhnya
Shalat Ghaib (yaitu shalat kepada muslim yang wafat di negeri lain)
adalah boleh. Telah diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim)
tentang shalatnya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabat
bersamanya terhadap mayat Najasyi yang wafat di Habasyah.
Dilakukannya
shalat ghaib adalah untuk setiap orang yang dishalatkan jenazahnya, dia
adalah setiap muslim yang wafat, baik laki-laki atau wanita, anak-anak
atau orang tua, menurut kesepakatan para fuqaha. (Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid, 2/141)
Demikianlah
perbedaan pendapat para fuqaha dalam hal ini. Pandangan yang mengatakan
bahwa shalat ghaib boleh dilakukan untuk setiap muslim adalah pendapat
yang lebih kuat. Insya Allah. Inilah pendapat Syafi'iyah, Hanabilah, dan
lainnya.
Ada beberapa alasan:
-
Tidak ada dalil yang menunjukkan khusus buat Najasyi dan khusus buat
tokoh saja. Nash yang 'am (global - umum) mesti dipakai selama yang
khas (khusus-spesifik) tidak ada.
-
Walaupun Nabi Shallalahu 'Alaihi wa Sallam hanya sekali melakukan
shalat ghaib, dan tidak pernah melakukannya kepada mayat lainnya, itu
sama sekali tidak menghilangkan nilai pensyariatannya. Pengulangan
bukanlah syarat untuk pensyariatan sebuah amalan. Syariat shalat ghaib
tetaplah berlaku selama belum ada yang menasakh(menghapus)-nya,
walaupun dalam sejarahnya nabi hanya melakukan sekali seumur hidupnya.
-
Pensyariatan shalat ghaib untuk semua mayit muslim di tempat lain,
adalah lebih sesuai dengan rahmat dan keadilan Islam yang tidak pilih
kasih bagi umatnya.
Ada
pun bagi mayit muslim yang berada di negeri kafir, dan di sana tidak
ada yang menshalatkannya, maka wajib -bukan hanya boleh- bagi muslim di
negeri lain yang mengetahuinya untuk menshalatkan secara ghaib, sebab
shalat ghaib saat itu seperti shalat jenazah, yakni fardhu kifayah. Ada
pun jika mayit tersebut tinggal di negeri muslim, dan sudah ada yang
menshalatkannya maka gugurlah kewajiban yang lainnya, termasuk shalat
ghaib. Gugur kewajiban bukan berarti tidak boleh dilaksanakan.
Demikian. Wallahu A'lam
Disadur dari blog al-Ustadz Farid Nu'man (http://faridnuman.blogspot.com)
---
Syaikhul Muqorrobin MITS 02
HerbaTeN
BatikTeN
Binuang Coal Shop
HP: +6287877348486
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar